When I saw death on a road, I saw my face in his.
My thoughts resembled locomotives/ straining out of fog/ and into fog.
Suddenly I felt akin/ to lightning/ or a message/ scratched in dust.
–Adonis, A Dream of Death
Setelah menyentak dengan Jagal, kini Joshua Oppenheimer menyuguhkan kepada kita karya terbarunya, Senyap. Mengambil setting di Deli Serdang, film dokumenter berdurasi 97 menit ini mengajak kita untuk mendengarkan kisah para penyintas yang hidup dengan status musuh ideologi negara. Ketakutan, ketidakpercayaan dan kemarahan hadir dalam setiap ingatan mereka tentang negara. Namun pada saat yang bersamaan mereka mencoba mencari jawaban dari banyak pertanyaan yang selama ini tak terjawab mengenai apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga mereka yang dihilangkan paksa pada peristiwa pembantaian anggota atau yang tertuduh PKI.
Adalah Adi Rukun, seorang penjual kacamata keliling yang mencari tahu siapa yang bertanggungjawab atas kematian kakaknya, Ramli, pada peristiwa pembantaian di awal Orde Baru itu. Menurut catatan, pembantaian di Deli Serdang terjadi setahun setelah peristiwa serupa terjadi di Jawa. Adi yang dilahirkan beberapa tahun setelah peristiwa itu mendengar kisah-kisah sedih pembantaian melalui Ibunya yang biasa dipanggil Mamak. “Saat itu ya semua harta diambil. Suaminya dibunuh, istrinya dikerjai.” cerita Mamak menggambarkan bagaimana masa peristiwa itu terjadi. Cerita suram Mamak tersebut juga dialami oleh banyak buruh perkebunan di Deli Serdang yang saat itu aktif berserikat sebagai organisasi sayap PKI.
Adi tidak pernah melihat Ramli tapi ia sering mendengar bagaimana Mamak bercerita tentang Ramli yang hilang dibawa kelompok preman yang menyebut diri mereka Pemuda Aksi. Mamak ingat betul saat Ramli sempat pulang dalam keadaan luka parah dengan usus terburai pada suatu malam. Ramli yang sempat dirawat di rumah malam itu dijemput oleh Pemuda Aksi yang mengatakan akan membawanya berobat. Mamak tak bisa menolak, tapi ia tahu bahwa Ramli tak akan pernah kembali.
Kekayaan data visual yang Joshua yang telah bekerja di isu perkebunan di Deli Serdang selama sepuluh tahun menjadi kekuatan film ini. Sama seperti Jagal, Senyap menjadikan televisi sebagai medium penghubung antara kebanggaan para algojo memamerkan adegan pembantaian dengan ruang batin korbannya. Adi menyaksikan melalui televisi bagaimana dua sosok pria lanjut usia, yang tak lain adalah Inong dan Hasan, berdiri di bawah pohon pisang di pinggir sungai. Dengan gagah mereka menceritakan bagaimana mereka dengan sukses menghabisi nyawa orang-orang yang telah secara resmi ditulis sebagai anggota PKI. Sungai Ular menjadi tempat pembuangan akhir mayat hasil karya mereka. Peragaan pembunuhan dengan senyum menghadirkan suasana ngeri.
Sosok pembunuh Ramli bukanlah orang yang datang dari jauh tapi tetangga mereka sendiri. Mamak merasakan kesedihan mendalam setiap kali berpapasan denga para pembantai anaknya. Inong dan Hasan pun tak menampik bahwa Ramli adalah pemuda yang baik. Namun kesalahan Ramli bergabung dengan PKI membuat Inong dan Hasan tak memiliki pilihan lain kecuali, dalam bahasa Anwar Congo, menyelamatkan Ramli dari paham yang berbahaya itu. Ini adalah alibi yang mengejutkan karena sama persis dengan yang digambarkan Joshua pada bagian akhir Jagal.
Dua perjumpaan emosional antara keluarga penyintas dan pembantai dihadirkan dalam Senyap. Perjumpaan Adi dengan Inong untuk menawarkan kacamata menjadi momen emosional, terlebih ketika Adi bertanya bagaimana peristiwa itu terjadi dan bagaimana Inong sampai tega melakukannya. Kemarahan Inong muncul saat Adi lebih banyak berbicara soal peristiwa itu. Lalu perjumpaan Adi dengan keluarga almarhum Hasan yang juga diwarnai kemarahan karena tidak mau cerita lama tentang Hasan diungkit. “Mengapa peristiwa yang sudah berlalu harus diungkit lagi?”, pertanyaan tersebut menyiratkan keengganan untuk membuka kembali peristiwa pembantaian tersebut.
Sebagaimana diungkapkan Adi Zulkadry, teman Anwar Congo, dalam Jagal—bahwa para pelaku enggan membuka kembali peristiwa 1965 karena pertimbangan psikis mereka, dalam Senyap, tokoh Pemuda Aksi yang beberapa diantaranya hari ini menduduki posisi peting dalam politik lokal juga menyampaikan hal yang sama: kalau diungkit akan terjadi peristiwa yang serupa. Para penyintas juga memiliki pertimbangan lain sehingga enggan membuka catatan sejarah itu. Seperti Mamak yang terkejut begitu mengetahui Adi mendatangi para algojo pembunuh Ramli. “Kenapa menemui mereka? Awas kalau diculik kamu nanti.” kata Mamak.
Menonton film Joshua seakan membawa kita ke ruang waktu yang ambigu. Terkadang membawa kita pada masa lalu bagaimana kita, terutama yang lahir sebelum tahun 1990-an, tak memiliki banyak pilihan selain menonton film “wajib” G30S/PKI. Atau ke masa depan, tentang bagaimana ide bahaya laten komunisme yang masih terus dipelihara untuk mengamankan kepentingan ekonomi politik sekelompok elit.
Tawaran Lugas
Dibandingkan dengan Jagal, seruan Joshua melalui Senyap lebih lugas, yaitu harus ada upaya rekonsiliasi untuk membuka peristiwa pembantaian itu dengan perspektif yang berkeadilan. Jika Jagal mengharuskan kita untuk mengerutkan kening untuk memahami pesan dari sinema yang surealis, Senyap menempatkan standar estetika kita pada tempat yang lebih “nyaman” sehingga bisa berkonsentrasi pada pesan yang disampaikan lewat film.
Pengakuan tentang tidak sadarnya konteks politik saat itu menjadikan pemuda yang tidak sepakat dengan gerakan PKI sebagai tumbal. Seperti yang diceritakan para algojo dalam Jagal maupun Senyap, tentara menjadi aktor yang seharusnya bertanggungjawab atas peristiwa itu karena dari mereka lah daftar tentang siapa-siapa saja yang harus dihabisi. Belakangan diketahui bahwa pemerintah Amerika “menyumbang” daftar 5.000 nama dalam daftar itu.
Perbedaan lain dengan Jagal adalah Senyap mendapat respon positif dari Komnas HAM, sebuah lembaga negara yang fokus pada isu-isu pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Melalui sambutannya dalam pemutaran perdana film ini di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada beberapa waktu lalu, Nurkhoiron, komisioner Komnas HAM, menyampaikan bahwa Senyap menjadi langkah penting bagi kerja-kerja rekonsiliasi yang telah dimulai sejak zaman Gus Dur dahulu. Rencananya film ini akan diputar di beberapa tempat di Indonesia sebagai bagian dari rangkaian peringatan hari HAM pada tanggal 10 Desember mendatang.
Jalan rekonsiliasi baru saja dirintis setelah kejatuhan Soeharto. Tak sedikit yang menganggap upaya ini sebagai bagian dari gerakan menghidupkan kembali PKI. Namun, bagi Adi yang terpenting adalah pengungkapan kebenaran sebagai modal awal untuk kerja-kerja rekonsiliasi selanjutnya. Ajakan untuk melakukan rekonsisliasi direpresentasikan oleh Adi dengan mendatangi para tokoh Pemuda Aksi untuk mengetuk sisi kemanusiaan mereka merupakan langkah yang sangat berani. Hasilnya, permintaan maaf yang disampaikan beberapa kerabat anggota Pemuda Aksi atas apa yang terjadi pada Ramli dan nasib keluarga Mamak menjadi harapan bagi Adi untuk melanjutkan kerja-kerja pencarian kebenaran. Lantas, apakah kita mau menyambut ajakan rekonsiliasi yang disampaikan Senyap? Wallahu a’lam.
*Penulis adalah penikmat film dokumenter dan Direktur Yayasan Desantara
terima kasih 🙂 tulisan anda bagus anda mengulas dengan sangat substansi