sepotong pagi dipenuhi bercak darah, mengetuk hati yang terluka
merayu pilu dengan sedikit erang kesakitan, menyayat serai airmata
kemudian lantai basah, dinding kamar gundah, jalan-jalan terbelah
dari ufuk jiwaku barikade, sobekan kertas pemilu, plastik sampah
berserakan—juga selebaran gelap, foto mantan presiden, poster iklan
bendera-bendera partai, teks pidato pejabat negara, teriakan demonstran
bercampur aroma bangkai menyengat dari abu pertokoan—terus menyala
lalu seseorang berpakaian rahib—begitu gaib, bangkit dari tidurku
merapikan peta Negara yang tertutup remang kabur Jakarta, atau jarimu
atau tangan sekelompok mahasiswa yang sebagian tubuhnya terbakar
di meja perjudian para politisi. Kata-kata tumbuh dari api dan kelakar
menyimpan sekam, menyembunyikan cakar elang dan kutuk tembakan
sesekali terdengar juga, batuk-batuk disertai cacian, lengking bunyi letusan
berhamburan: dari pelipis amis langit senjakala, dari desis tangis suka-cita
di hatiku, sepotong pagi berlumuran nanah dan darah, leleh terkelupas
menyerupai gambar atlas, di alismu ilalang ranggas, asap ban-ban bekas
getah dendam membumbung ke udara, menutup serpihan cakrawala
dari jauh gema lonceng kematian berdentang-juga gemuruh beribu kuda
mendengung dalam batok kepala, angin menyusun retakan senyap waktu
di sela jerit frustasi, gedung-gedung pemerintah meringkik dan membatu
Istana Negara itu—di hadapanku seperti rumah hantu: kelak menyergapmu!
Cirebon, 1999/2011