Problem Eksistensialis Perempuan Indonesia

35
VIEWS

Dalam perspektif eksistensialis, menjadi perempuan tidak dapat diartikan sekadar sebuah fakta biologis belaka, melainkan sebagai medan perjuangan yang panjang dalam lintasan waktu untuk melawan dominasi patriarki yang mengakar dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat. Kebebasan dan kedaulatan perempuan atas tubuh serta kehidupannya sendiri justru kerap kali menjadi persoalan tak berujung, terutama dalam konteks Indonesia, di mana sistem sosial masih menempatkan laki-laki pada posisi serta peranan yang dominan. Relasi kuasa semacam ini tidak hanya mereduksi perempuan menjadi objek semata, tetapi juga menjadikan tubuh mereka arena disiplin sosial yang sarat kontrol dan pengabaian terhadap potensi eksistensialnya sebagai manusia. Maka, perjuangan perempuan untuk mengartikulasikan eksistensinya bukan hanya soal menolak reduksi biologis, tetapi juga soal menantang status quo struktur kuasa yang secara sistematis membungkam kebebasan mereka.

Objektifikasi Sebagai Problem Struktural dan Pengalaman Eksistensialis

Sejak masa kolonial, perempuan sering hanya dinilai dari penampilan fisik dan fungsi seksualnya. Banyak perempuan pribumi bahkan dijadikan gundik oleh laki-laki Eropa. Tubuh perempuan menjadi simbol penaklukan kolonial, dalam artian menguasai tubuh perempuan berarti menguasai manusia dan wilayah pribumi. Dalam periode ini, selain disebabkan oleh kolonialisme, praktik budaya feodal telah menyebabkan perempuan memiliki status sosial yang sangat rendah karena tidak memiliki hak sosial dan ekonomi yang setara dengan laki-laki. Perempuan hampir tidak memiliki ruang untuk aktualisasi potensi diri yang dimiliki.

Ketika Indonesia memasuki masa kemerdekaan, peran perempuan mulai ditafsirkan ulang. Bung Karno, lewat karyanya Sarinah, memberi dorongan besar bagi perempuan untuk ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan. Pada periode ini muncul sejumlah tokoh perempuan yang aktif dalam gerakan revolusioner seperti Fransisca Casperina Fanggidaej melalui Pemuda Sosialis Indonesia (PSI). Namun, dalam realitas yang lebih luas, peran perempuan masih dipersempit dalam ranah feminitas—taat, lembut, dan merawat—berbeda dengan laki-laki yang ditempatkan dalam ranah maskulinitas, yang identik dengan dominasi dan kemandirian. Akibatnya, kontribusi perempuan pada masa kemerdekaan belum begitu menonjol dan signifikan.

Posisi dan peran perempuan menjadi semakin rumit serta kelam saat Orde Baru berkuasa. Prahara 65, turut menghancurkan gerakan perempuan melalui fitnah seksual terhadap Gerwani yang dimotori oleh kekuasaan Orde Baru. PKI dan Gerwani merupakan momentum strategis bagi kekuasaan Orde Baru untuk memantapkan hegemoni serta menegasikan peran perempuan dalam arena kekuasaan yang didominasi oleh kelompok laki-laki. Pemerintahan Orde Baru, lewat propaganda dan kebijakannya, mengontrol tubuh dan kehidupan perempuan dengan menerapkan nilai-nilai konservatif yang membatasi kebebasan mereka. Program-program seperti Keluarga Berencana (KB), yang dijalankan dengan keterlibatan aparat keamanan, serta organisasi Dharma Wanita dan PKK, digunakan sebagai alat oleh negara untuk menyeragamkan dan mengendalikan peran perempuan. Menurut Saskia Wieringa dalam Sexual Politics in Indonesia (2022) kekerasan 65 dan kemunculan Orde Baru merupakan reaksi struktural patriarki terhadap gerakan perempuan yang semakin kuat pada masa Orde Lama.

Orde Baru mempunyai cara berbeda dalam mengartikan eksistensi perempuan. Perempuan dan tubuhnya dijadikan arena pertarungan kekuasaan serta media teror terhadap suara-suara kritis. Dalam kerusuhan Mei 1998, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat ada 85 kasus kekerasan seksual yang telah terverifikasi. Sementara itu, berdasarkan data dari Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR), selama masa aneksasi Indonesia atas Timor Leste (1975-1999) tercatat 853 kasus pelanggaran seksual, dengan 393 di antaranya berupa pemerkosaan. Sebanyak 93,3% pelaku kekerasan seksual di Timor Leste tersebut adalah pasukan keamanan Indonesia dan kelompok pendukungnya.

Kekerasan seksual yang terjadi menyebabkan trauma mendalam pada perempuan yang menjadi korban. Namun, upaya pemulihan dari pihak pemerintah tidak pernah dilakukan. Bahkan, kekuasaan berusaha mengingkari dan menutup-nutupi adanya kekerasan berbasis gender ini. Kedua peristiwa tersebut merupakan bentuk kekerasan sistematis dan masif yang dilakukan berdasarkan gender, dengan tujuan menghancurkan kelompok tertentu. Orde Baru secara struktural melalui otoritas kebijakan yang dimiliki, berusaha menegakkan peranan laki-laki dengan menundukkan kelompok perempuan melalui institusi dan ideologi patriarkis resmi.

Tumbangnya totalitarianisme Soeharto oleh gerakan reformasi,  tidak serta merta menghadirkan “angin segar” bagi perempuan. Sejak reformasi hingga saat ini tubuh perempuan tetap menjadi objek beroperasinya hegemoni laki-laki yang terfasilitasi oleh kapitalisme. Kapitalisme bekerja dengan dua cara dalam proses objektifikasi perempuan. Pertama, menjadikan tubuh dan peran perempuan sebagai objek ekonomi yang termarginalkan dengan memaksa perempuan menjual tenaga mereka dengan upah yang lebih rendah dengan kondisi kerja yang buruk. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 memperlihatkan kesenjangan upah antara pekerja perempuan dan pekerja laki-laki. Dilihat dari rata-rata upah per bulan, pekerja laki-laki mendapatkan upah sekitar 3,23 juta per bulan dan pekerja perempuan sekitar 2,4 juta per bulan. Sumber lain dari Global Gender World Report 2024 yang diterbitkan oleh World Economic Forum, pekerja laki-laki menerima upah rata-rata per jam 17% lebih tinggi dibandingkan perempuan.

Kedua, komoditifikasi atas tubuh perempuan. Tubuh perempuan menjadi objek yang dapat diperjual belikan serta dipandang hanya dari nilai estetik atau seksualnya. Citra tubuh perempuan diperdagangkan melalui industri iklan dan film. Dalam struktur ekonomi kapitalis, perempuan diarahkan ke pasar tenaga kerja yang mengutamakan penampilan fisik. Nilai perempuan dalam ekonomi kapitalis, sering hanya dikaitkan dengan daya tarik seksualnya yang diatur oleh standar patriakal.  Melalui dua dorongan ini, kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi menjadikan tubuh perempuan sebagai objek keuntungan finansial dengan cara mengurangi martabat mereka karena hanya dinilai berdasarkan penampilan atau ekspresi seksualitasnya. Kapitalisme membutuhkan objektifikasi perempuan untuk mendorong siklus konsumsi dan menciptakan pasar baru.

Sistem patriarki dan kapitalisme membuat objektifikasi terhadap perempuan beroperasi dari praktik yang begitu subtil seperti pemberian standar kecantikan tertentu hingga kekerasan fisik dan seksual yang begitu nyata terpampang dalam publikasi media. Komnas Perempuan mencatat, di tahun 2024 terdapat 4.178 kasus kekerasan terhadap perempuan. Berbagai kasus ini terjadi di ranah privat, ruang digital, dan ruang publik. Objektifikasi terhadap perempuan di Indonesia cenderung mengalami peningkatan, baik secara langsung dalam bentuk pelecehan, kekerasan fisik dan mental maupun secara halus seperti pemosisian perempuan sebagai “pemanis visual” dalam promosi produk bisnis hingga penerapan standar berpakaian di tempat kerja.

Beberapa contoh yang sempat diuraikan di atas seperti operasionalisasi kekuasaan Orde Baru dalam domestifikasi peran perempuan dan eksploitasi buruh perempuan melalui sistem kapitalis, merupakan bukti bahwa objektifikasi perempuan bukan semata merupakan fenomena sosial atau budaya, tetapi juga merupakan hasil dari dinamika ekonomi dan politik yang melibatkan kekuasaan dan implementasi kebijakan. Sistem kekuasaan dengan berbagai instrumen kebijakan yang melekat pada otoritas pemerintah, dalam banyak kasus beroperasi untuk mempertahankan dominasi dan hegemoni laki-laki terhadap perempuan.

Untuk melihat secara kritis masalah objektifikasi terhadap perempuan, maka tubuh menempati posisi penting dalam pengalaman eksistensialis perempuan. Menurut Simone de Beauvoir dalam karyanya The Second Sex (2016), tubuh bukan semata fakta biologis. Sebaliknya, tubuh adalah pengalaman eksistensi dalam lingkungan sosio-kultural yang dialami secara subjektif oleh perempuan. Sebagai sebuah pengalaman, maka pemaknaan akan tubuh sangat dipengaruhi oleh interaksi atau pengalaman keseharian perempuan dalam konteks sosio-kultural tersebut. Sebab ini, kemudian mengakibatkan tidak sedikit perempuan menormalisasi kondisi pembatasan kebebasan dan eksistensi mereka.

Dalam berbagai praktik di Indonesia, tubuh perempuan dipandang sebagai objek yang harus didefinisikan dan diberikan makna menurut perspektif laki-laki yang berperan sebagai subjek. Kondisi yang demikian kemudian mengakibatkan tubuh perempuan terjebak dalam seperangkat  norma dan stereotip yang membatasi eksistensinya. Budaya patriarki berhasil memproduksi standar ganda dan penilaian biner terhadap perempuan dengan segala bentuk ekspresi seksualitasnya di masyarakat. Contohnya, dalam praktik kehidupan masyarakat patriarkal, banyak yang beranggapan bahwa tugas utama perempuan adalah menjalankan pekerjaan-pekerjaan domestik atau yang disingkat “kasur, dapur, dan sumur”. Persepsi yang demikian mengakibatkan minimnya partisipasi perempuan dalam ruang ekonomi dan politik.

Contoh lain yang sering ditemui dalam keseharian kita adalah ketika seorang perempuan mengenakan pakaian yang dianggap seksi dan menunjukkan ekspresi sensualitas di ruang publik, sering kali langsung dihukum secara sosial dan dianggap berdosa karena diduga telah memancing birahi laki-laki. Dalam pandangan masyarakat, hal ini dianggap sebagai sebuah perilaku yang tidak layak dan harus segera ditertibkan. Namun, di sisi lain, dalam ruang digital, ekspresi sensualitas perempuan dijadikan komoditas yang sangat dibutuhkan untuk mempromosikan produk ekonomi, sehingga justru dipandang sebagai hal yang menguntungkan dan dibenarkan. Fenomena yang penuh paradoks ini menciptakan sebuah ironi yang kerap terjadi di sekitar kita. Tragisnya, tidak jarang kondisi ini dianggap sebagai sesuatu yang normal, sehingga tidak perlu untuk dipersoalkan dan dikritisi.

Institusi negara dan agama turut andil dalam praktik objektifikasi terhadap perempuan. Atas nama moralitas, tubuh perempuan menjadi objek dominasi kuasa negara dan dogma agama menjadi legitimasi kekerasan terhadap perempuan. Mengutip Soe Tjan Marching dalam buku Seks Dalam Ketetapan Negara dan Tuhan (2024), para pejabat negara dan tokoh agama di negeri ini, masih saja lebih gemar untuk mengintip tubuh dan ranjang perempuan dari pada menuntaskan kasus kekerasan dan pelecehan seksual, di mana perempuan sering menjadi korban. Bagi pemimpin negara dan agama, tubuh perempuan merupakan objek ideal untuk meningkatkan popularitas dan meneguhkan moralitas mereka.

Pengalaman eksistensialis sebagai objek dari operasi kuasa hegemonik patriarki, kemudian memosisikan perempuan sebagai liyan atau “yang lain” dalam lingkungan sosial. Sebagai liyan, posisi perempuan dalam lingkungan sosial-kultural dimaknai secara berbeda, terpinggirkan, dan bukan sebagai pusat atau subjek. Kehadiran perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap atau pendukung laki-laki. Perempuan tidak benar-benar bebas dalam mengartikulasikan kepentingan dan potensi eksistensinya. Sebaliknya, perempuan akan terus terikat pada laki-laki sehingga tidak akan mencapai kebebasan eksistensial yang harusnya dialami.

Otonomi Atas Tubuh dan Gerakan Transendensi

Setiap perempuan memiliki potensi untuk menentukan arah hidupnya sendiri. Langkah awal adalah kesadaran: perempuan perlu menyadari bahwa mereka sering ditempatkan sebagai “liyan”, atau pihak yang dianggap berbeda dan lebih rendah. Dari kesadaran inilah perlawanan bisa dimulai. Pada tubuh perempuan, terdapat potensi untuk melampaui praktik objektifikasi. Tubuh perempuan bukan sekadar objek yang dipengaruhi, tetapi juga punya daya untuk memengaruhi. Inilah kekuatan yang bisa digunakan untuk melampaui cara pandang patriarki.

Perempuan mempunyai otonomi atas tubuhnya sendiri. Artinya perempuan berhak penuh untuk mengelola, mengontrol, dan mengekspresikan tubuhnya sesuai kehendaknya, bukan atas tekanan orang lain, termasuk laki-laki. Tubuh tidak hanya soal fakta biologis, tetapi juga ruang kebebasan. Dengan keberanian untuk mengambil keputusan sendiri, perempuan bisa hidup secara otentik—bukan sekadar menjalani hidup berdasarkan keinginan orang lain. Inilah gerakan transendensi: keluar dari posisi pasif, dari keterkungkungan domestik, menuju kehidupan yang lebih bebas dan aktif.

Namun, perlawanan tidak boleh berhenti pada level individu. Dari tubuh dan kesadaran personal, gerakan perlu bergeser ke ranah publik. Kelompok perempuan bersama laki-laki yang peduli bisa membangun solidaritas lintas gender, memperjuangkan isu perempuan dalam ruang diskusi dan aksi. Seperti yang telah dilakukan oleh Aliansi Laki-laki Baru (ALB) sebuah kelompok laki-laki pro-feminis. Sejak berdiri pada tahun 2009 di Bandung, ALB rutin melakukan kegiatan deklarasi dan kampanye publik, peer to peer sensitization workshop, dan pembentukan jaringan regional. Kegiatan utama tersebut dilakukan dengan kemitraan bersama kelompok feminis, lembaga pemerintah (KemenPPPA), LSM serta perguruan tinggi. Dampaknya, pada tataran kebijakan, ALB mampu menginspirasi kebijakan “ruang aman” di beberapa kampus sebagai bentuk dukungan terhadap korban kekerasan berbasis gender. Juga, diterbitkannya nota kesepahaman pelatihan anti-seksisme bagi pegawai negeri dan karyawan swasta (Maulana, 2022).

Baca Juga:

Bentuk lain dari gerakan kolektif yang dapat dilakukan yaitu pemberdayaan perempuan melalui pendidikan kritis, seperti yang dilakukan oleh Institut KAPAL Perempuan melalaui “Sekolah Perempuan”. Dengan menyasar kelompok perempuan marginal yang berada di desa-desa, KAPAL perempuan membuat modul pendidikan kritis dengan empat tahapan: membangun kesadaran kritis terhadap norma dan gender, analisis sosial atas relasi kuasa dan objektifikasi, strategi dan advokasi untuk perubahan kebijakan lokal, dan pelatihan praktis advokasi perempuan (VOA, 2019). Pendidikan kritis adalah alat strategis untuk melampaui objektifikasi perempuan. Dengan membangun kesadaran historis, otonomi berpikir, serta semangat aksi, perempuan dapat menjadi subjek yang mengartikan dirinya sendiri tanpa terkooptasi hegemoni patriarki.

Pada akhirnya, seperti kata Simone de Beauvoir, perempuan tidak “dilahirkan” sebagai perempuan—ia “menjadi” perempuan melalui proses hidupnya.  Posisi perempuan yang selalu tersubordinasi serta dibelenggu oleh beragam norma hasil konstruksi pengalaman dan pemaknaan kaum laki-laki, menjadikan proses “menjadi” sebagai sebuah perjalanan yang tak mudah bagi kaum perempuan. Apalagi perjuangan tersebut harus dimulai dalam posisi yang tidak strategis untuk perjuangan akibat kemiskinan, keterbatasan akses pendidikan dan ruang aktualisasi diri, hingga terjerat dalam relasi kuasa yang asimetris dalam lingkungan sosial. Objektifikasi perempuan bukan sebatas cacat moral individu, melainkan sebagai gejala dari penyakit yang jauh lebih dalam: sebuah tatanan sosial yang dibangun di atas ketidaksetaraan dan eksploitasi. Melawan objektifikasi, oleh karena itu, berarti melawan struktur itu sendiri.

Dengan berbagai tantangan tersebut, maka perjuangan ini adalah perjalanan yang harus terus dihidupi: dimulai dari diri sendiri, lalu diperkuat oleh gerakan bersama menuju kebebasan yang setara.

Daftar Referensi

Beauvoir, S. D. (2019). The second sex: Fakta dan mitos. Narasi-Pustaka Promethea.

Badan Pusat Statistik. (2025). Potret kesenjangan gender di Indonesia: Upah pekerja perempuan 17% lebih rendah dari laki-laki. Diakses September 2025, dari https://data.goodstats.id/statistic/potret-kesenjangan-gender-di-indonesia-upah-pekerja-perempuan-17-lebih-rendah-dari-laki-laki-KxpbG

Badan Pusat Statistik. (2025). Potret kesenjangan gender di Indonesia: Upah pekerja perempuan 17% lebih rendah dari laki-laki. Diakses September 2025, dari https://data.goodstats.id/statistic/potret-kesenjangan-gender-di-indonesia-upah-pekerja-perempuan-17-lebih-rendah-dari-laki-laki-KxpbG

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Timur. (2006). Bab 7.7: Pemerkosaan, perbudakan seksual, dan bentuk-bentuk lain kekerasan seksual. Diakses 6 September 2025, dari https://www.etan.org/etanpdf/2006/CAVR/bh/07.7-Pemerkosaan-perbudakan-seksual-dan-.pdf

Kompas.com. (2024). Pendapatan perempuan dan pria di Indonesia masih timpang. Diakses September 2025, dari https://lestari.kompas.com/read/2024/02/20/100000086/pendapatan-perempuan-dan-pria-di-indonesia-masih-timpang

Marching, S. T. (2024). Seks dalam ketetapan negara dan Tuhan. EA Books.

Maulana, M. F. (2022). Keterlibatan laki-laki dalam kesetaraan gender. Jurnal Anifa Studi Gender dan Anak, 3(2), 138–150. https://doi.org/10.32505/anifa.v3i2.4899 https://ppl-ai-file-upload.s3.amazonaws.com/web/direct files/attachments/100394086/65299026-691e-4e60-88b9-81e04efabb1c/4899-Article-Text-16527-1-10-20221119-3.pdf

Tempo.co. (2025). Berikut cuplikan laporan TGPF soal pemerkosaan massal 1998. Diakses 6 September 2025, dari https://www.tempo.co/politik/berikut-cuplikan-laporan-tgpf-soal-pemerkosaan-massal-1998-1715610

VOA Indonesia. (2019, 18 Desember). Sekolah Perempuan ajak kaum hawa untuk berani bersuara. Retrieved from https://www.voaindonesia.com/a/sekolah-perempuan-ajak-kaum-hawa-untuk-berani-bersuara/4706918.html https://www.voaindonesia.com/a/sekolah-perempuan-ajak-kaum-hawa-untuk-berani-bersuara/4706918.html

Wieringa, S. E. (2002). Sexual politics in Indonesia. Palgrave Macmillan.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.