Perselisihan Sejarah: Sebuah Dialog tentang Aktivisme dan Gerakan Kiri dalam Mendekolonisasi Asia

34
VIEWS

Di Selatan Global, penulisan sejarah adalah laku perlawanan. Narasi teleologis tentang dekolonisasi telah menempatkan negara dan pemimpin otoriter sebagai aktor utama, banyak di antaranya berkuasa turun-temurun. Dari Nigeria sampai Uganda, Sri Lanka sampai Malaysia, wacana “keaslian” (indigeneity) mengokohkan kelompok etnis tertentu, yang sebelumnya diuntungkan oleh kolonialisme, sebagai elit penguasa.[1] Perang Dingin semakin memperburuk represi dan demonisasi terhadap gerakan Kiri oleh rezim-rezim yang bersekutu dengan Barat. Di Indonesia, misalnya, setelah pembantaian massal gerakan Kiri pada 1965 yang diikuti naiknya Jenderal Soeharto yang didukung AS, film-film propaganda pemerintah yang menggambarkan kaum komunis sebagai pengkhianat kejam diputar di ruang-ruang kelas dan televisi nasional selama dua dekade. Di berbagai tempat lain, seperti di Afrika Selatan, India, dan Singapura, aktivis Kiri dijebloskan ke penjara selama puluhan tahun tanpa proses peradilan menggunakan undang-undang keamanan warisan kolonial.

Praktik penulisan sejarah adalah pembingkaian ulang periode dekolonisasi dan pembangunan bangsa sebagai periode yang jauh lebih internasionalis, demokratis, dan plural dibandingkan versi narasi negara. Praktik ini menuntut penelusuran jejak kolonial dalam rezim-rezim pascakolonial dengan mengungkap bagaimana taktik kolonial dijadikan alat penindasan dan bagaimana kategori ras dan etnis warisan kolonial tetap digunakan sebagai mekanisme eksklusi. Inilah upaya memulihkan peran dan gagasan Kiri dalam membentuk visi dunia yang bersifat nasionalis sekaligus internasionalis.

Generasi demi generasi aktivis di Selatan Global telah merebut sejarah dari cengkeraman negara. Setelah sejarahnya puluhan tahun dikubur dan dipinggirkan, kontribusi pemikiran Kiri di era dekolonisasi semakin terlihat seiring terbitnya memoar para aktivis dalam proyek sejarah lisan.[2] Aktivis dan kurator dalam dialog ini berupaya meninjau ulang pemahaman publik tentang pembangunan bangsa pascakolonial.[3] Laku perlawanan dalam karya mereka hadir dalam bentuk yang kompleks, misalnya upaya Agnes Khoo dan Ita Fatia Nadia dalam menggali sejarah lisan perempuan yang melawan kolonialisme sekaligus penindasan ekonomi dan patriarki.[4] Penelitian mutakhir Fadiah Nadwa Fikri tentang koalisi PUTERA–AMCJA (front persatuan lintas etnis antikolonial pertama di Malaya) menantang narasi kebangsaan berbasis ras; penelitian ini juga menunjukkan bahwa meskipun perbedaan pendapat mewarnai penyusunan agenda politik gerakan antikolonial, konsensus sebagai kunci untuk memperkuat front persatuan dan perjuangan pembebasan yang lebih luas tetap menjadi tujuan akhir.[5]

Fokus dialog kami adalah Asia Tenggara maritim dan Sri Lanka, dua kawasan yang bergulat dengan isu kewarganegaraan multietnis, otoritarianisme, dan warisan Perang Dingin yang menjadi inti dari proses dekolonisasi di seluruh Selatan Global. Sebagaimana dinyatakan Fadiah Nadwa Fikri dalam dialog ini, wacana Kiri di kawasan ini mengadopsi gagasan Melayu kosmopolitan dengan kesadaran bahwa perjuangan rakyat Asia Tenggara terkait erat dengan perjuangan dunia yang lebih luas. Konsep “Asia Tenggara” sendiri, pada dasarnya, adalah konstruksi era Perang Dingin. Di Amerika Serikat, departemen kajian Asia Tenggara didirikan khusus untuk mempelajari masyarakat yang dianggap rentan terhadap pengaruh komunisme.[6] Seperti dikemukakan kurator Carlos Quijon Jr., “Asia Tenggara sebagai konstruksi regional modern adalah kunci untuk memahami bagaimana kekuatan neokolonial global mengkonsolidasikan dirinya pasca-Perang Dingin.”

Asia Tenggara maritim dan Sri Lanka merupakan poros imajinasi politik Afro-Asianisme dan konsep Dunia Ketiga sebagai kekuatan oposisi. Kolombo, tempat Konferensi Bandung dikonseptualisasikan, kemudian menjadi tuan rumah konferensi pertama perempuan Asia-Afrika sekaligus markas Biro Pengarang Asia–Afrika. Dinamika di dalamnya ditampilkan dalam pameran Encounters karya Sandev Handy di Museum Seni Modern Sri Lanka.[7] Indonesia bukan sekadar tempat berlangsungnya Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955, melainkan juga pusat aktivisme gerakan Kiri dalam membangun jaringan solidaritas Asia-Afrika sepanjang dekade 1950–1960-an. Sebagaimana ditunjukkan Wildan Sena Utama, konferensi-konferensi seperti Konferensi Mahasiswa Asia–Afrika menjadi tulang punggung jaringan yang menghubungkan Asia Tenggara dengan Afrika Utara, sehingga konferensi ini menjadi tempat bernaung bagi pejuang kemerdekaan Aljazair dan Tunisia.[8] Wildan Sena Utama juga mencatat bahwa internasionalisme Kiri pada 1950-an sangat bergantung pada dukungan negara. Para pemimpin KAA Bandung, seperti Jawaharlal Nehru, Sukarno, U Nu, dan Gamal Abdel Nasser, adalah pemimpin gerakan Kiri yang pemikirannya dibentuk oleh gagasan-gagasan tentang keadilan sosial, kesetaraan ekonomi, dan perlawanan terhadap kolonialisme dan kapitalisme. Semangat Afro-Asianisme ini juga dihidupi oleh para aktivis Kiri di luar ranah diplomatik yang membangun jaringan di seluruh Selatan Global, mulai dari Tiongkok sampai Aljazair.

Namun, gagasan dekolonial Afro-Asianisme tidak pernah tunggal. Antoinette Burton dan Christopher Lee menunjukkan sejarah kompleks mengenai ras, diplomasi, dan migrasi yang membingkai relasi India-Tiongkok dengan benua Afrika, sekaligus meruntuhkan pemahaman monolitik tentang Afro-Asianisme.[9] Di Asia Tenggara pada era Perang Dingin, Afro-Asianisme digunakan oleh para penguasa sebagai alat represi sekaligus legitimasi antikolonial. Temuan Quito Swan dan Emma Kluge mengungkap bagaimana klaim kedaulatan aktivis Papua Barat dimarjinalkan oleh dominasi Indonesia dalam gerakan Afro-Asianisme dan ambisi teritorial negara yang baru merdeka tersebut.[10] Di Singapura, Afro-Asianisme digunakan oleh Lee Kuan Yew untuk menarik dukungan buruh dengan menjadikan negaranya tuan rumah Konferensi Serikat Buruh Afro-Asia. Sementara di Malaysia, Perdana Menteri Mahathir Mohamad menjadi pendukung awal Organisasi Solidaritas Rakyat Afro-Asia dan Gerakan Non-Blok. Ironisnya, dukungan Lee maupun Mahathir atas Afro-Asianisme dilakukan bersamaan dengan represi dan pemenjaraan terhadap aktivis Kiri di masa mereka berkuasa.

Praktik penulisan sejarah sebagai bentuk perlawanan berarti membongkar kompleksitas Afro-Asianisme: menyingkap potensinya sebagai kekuatan solidaritas maupun alat kekuasaan negara, terutama ketika masih berperan penting dalam diplomasi. Seperti dikemukakan Khoo, praktik ini mencakup kesadaran akan adanya ketimpangan dalam visi solidaritas Afro-Asia, siapa saja yang dimarjinalkan dalam konferensi pertama di Kolombo, dan mengapa muncul sikap merendahkan bahwa pemimpin Asia harus menjadi teladan bagi Afrika.[11] Praktik ini juga berarti mengakui adanya politik kelas dalam Afro-Asianisme, mewaspadai sifat elitisnya, seperti dicatat Handy dalam konteks Sri Lanka, dan mengungkap potensinya untuk mengangkat isu-isu akar rumput, seperti ditunjukkan Ita Fatia Nadia dalam konteks Indonesia.

Dalam beberapa dekade terakhir, di tengah derasnya arus globalisasi dan kebangkitan nasionalisme, para intelektual-aktivis, seniman, dan kurator menengok kembali visi dan realpolitik era KAA Bandung untuk mencari inspirasi bagi situasi kontemporer, terutama setelah kegagalan negara-negara pascakolonial mewujudkan cita-cita emansipatoris di masa itu. Di persimpangan antara nostalgia terhadap Afro-Asianisme dan penggalian sejarah Kiri ini, apa yang dapat dibagikan para intelektual-aktivis, akademisi, dan kurator dari Asia Tenggara mengenai keterkaitan antara Afro-Asianisme, internasionalisme, dan perjuangan panjang gerakan Kiri melawan kolonialisme dan otoritarianisme? Bagaimana kita dapat merajut hubungan antara kajian akademis tentang periode ini dengan aktivisme dan seni dalam semangat solidaritas transnasional dan praktik dekolonial? Dan apa yang bisa kita pelajari dari temuan kolektif tentang aktivisme transnasional di masa lalu untuk memahami tantangan yang dihadapi gerakan oposisi lintas negara dan lintas generasi?

Dialog ini bermula dari pertemuan para akademisi, aktivis, dan kurator yang berlangsung di International Institute of Social History (IISH), Amsterdam, pada musim semi 2022 (lihat gambar 1).[12] Lembaga ini menyimpan koleksi sejarah lisan, dokumen, dan arsip terkait sejarah gerakan Kiri di Asia dan gerakan Afro-Asia. Selama seminggu, kami menggarap riset individu mengenai sejarah tersebut, sambil rutin bertatap muka—termasuk dengan sejumlah rekan dari berbagai penjuru dunia yang bergabung secara daring—untuk membahas temuan dan memperluas diskusi pada isu-isu sejarah transnasional, aktivisme, dan sejarah publik. Nadia meneliti perempuan Kiri Indonesia yang terlibat dalam proyek Afro-Asia; Khoo melakukan penelusuran awal mengenai jejaring Afro-Asia pada 1950–1960-an dengan fokus pada perempuan, hubungan antarnegara, gerakan serikat buruh, dan jurnalisme internasional; dan Fadiah meneliti sejarah Resimen Kesepuluh Malaysia, sayap bersenjata Partai Komunis Malaya yang mayoritas anggotanya beretnis Melayu. Usai menggelar pameran tentang Organisasi Penulis Afro-Asia di Sri Lanka, Handy melanjutkan penelitian tentang dinamika internal organisasi tersebut. Sena Utama bergabung secara daring dari Bristol, tempatnya menempuh studi doktoral mengenai keterlibatan Indonesia dalam jaringan Afro-Asia. Sementara Carlos Quijon Jr. dan Kathleen Ditzig berpartisipasi dari jarak jauh untuk membahas pameran Afro-Southeast Asian Affinities, sebuah pameran multilokasi yang dihadirkan secara hybrid (digital dan fisik) di Singapura, Manila, dan Seoul.

Kontribusi-kontribusi ini merupakan upaya para sarjana, aktivis, dan kurator untuk menggali kembali sejarah dekolonisasi guna menantang narasi-narasi yang dipertahankan rezim otoriter. Afro-Asianisme berperan sebagai alat konseptual untuk memperluas pandangan yang melampaui batas negara, sebagai subjek kajian historis, sebagai bentuk mobilisasi yang menghubungkan dekolonisasi di masa lalu dan masa kini, dan untuk menampilkan perlawanan, baik sebagai sejarah maupun metode.

—Su Lin Lewis

***

Su Lin Lewis: Apa sebenarnya gagasan Afro-Asianisme pada 1950-an dan 1960-an? Bagaimana ia dijalani dan siapa pelopornya? Apakah ia fenomena elite semata atau hadir juga di akar rumput?

Sandev Handy: Saya meneliti para penulis yang tergabung dalam Biro Pengarang Asia–Afrika di Kolombo. Saya semakin curiga mereka berasal dari latar belakang elite dan didominasi laki-laki. Mereka bicara kepada audiens internasional melalui pernyataan-pernyataan resmi dan menjadi bagian dari gerakan Kiri borjuis. Mereka adalah navigator politik yang tampaknya agak terputus dengan gerakan Kiri di akar rumput.

Ita Fatia Nadia: Afro-Asianisme adalah gerakan yang sangat berpengaruh. Memang, pada awalnya ia digerakkan oleh elite—tokoh-tokoh seperti Sukarno dan Ali Sastroamidjojo—namun aktivis seperti Francisca Fangidaaj [yang sedang saya teliti di Amsterdam] mengangkat kepentingan akar rumput ke panggung internasional. Saya juga teringat pada Ibraham Isa, aktivis Indonesia yang menjadi anggota sekretariat permanen Komite Solidaritas Rakyat Afro-Asia di Kairo.

Su Lin Lewis: Dalam proyek Afro-Asian Networks, kami berusaha mengungkap bagaimana gerakan Afro-Asian berkembang di luar jalur diplomasi resmi, melampaui Konferensi Bandung.[13] Kami melacak jejak aktivis serikat buruh, perempuan, aktivis politik, intelektual—kami memetakan beberapa konferensi yang kini nyaris terlupakan. Tetapi kami menemukan tumpang tindih antara aktor negara dan non-negara—banyak konferensi yang kami teliti (Asian Socialist Conference, Afro-Asian People’s Conference, dan Afro-Asian Women’s Conference) ternyata disponsori pemerintah. Pendekatan melalui konferensi punya keterbatasan—peserta umumnya mampu bepergian dan sudah punya panggung di tingkat nasional. Saya lebih tertarik untuk melihat bagaimana Afro-Asianisme hidup dan dipraktikkan di tingkat akar rumput, jika memang ada. Saya rasa poin Sandev tentang jurang antara kedua tingkat ini penting dibahas.

Fadiah Nadwa Fikri: Saya meneliti materi siaran Suara Revolusi Malaya (Voice of Malayan Revolution), stasiun radio milik Partai Komunis Malaya (PKM). Materi itu berisi berita tentang gerakan-gerakan PKM, pernyataan resmi PKM tentang isu-isu perjuangan antikolonial di seluruh dunia, dan pernyataan solidaritas dengan rakyat yang berjuang melawan kolonialisme dan imperialisme. Mereka banyak terinspirasi oleh perjuangan di Indonesia dan di Afrika dalam membangun pandangan dunianya.

Agnes Khoo: Kita perlu berhati-hati agar tidak meromantisasi periode ini. Saya sendiri pernah mewawancarai mantan perempuan pejuang PKM yang kini kebanyakan menetap di Thailand Selatan. Bagi mereka, Afro-Asianisme adalah konsep, mimpi, dan cita-cita politik—sesuatu yang mereka banggakan. Rasa penasaran terhadap solidaritas Afro-Asia ini bahkan membuat saya pindah ke Ghana, Afrika Barat. Namun, bagi para perempuan pejuang ini, Afro-Asianisme tetaplah konsep abstrak karena mereka harus bertempur di belantara tropis yang lebat di perbatasan Thailand Selatan-Malaysia. Hubungan antara Indonesia, Afrika, dan Asia mungkin lebih nyata. Orang tua saya dulu sering menyanyikan lagu-lagu Indonesia dari era 1950-an dan 1960-an yang sebagian sudah diterjemahkan ke bahasa Mandarin. Menariknya, saat saya melakukan penelitian lapangan di CPM Peace Villages (1998–2004), penduduk desa juga menyanyikan lagu-lagu Indonesia dari era yang sama dalam versi Mandarin dan Melayu. Saya cukup terkejut.

Wildan Sena Utama: Saya meneliti partisipasi Indonesia dalam gerakan Afro-Asia. Gerakan Afro-Asia adalah serangkaian kolaborasi aktivis antikolonial dan antiimperialis dari beragam latar belakang yang menerjemahkan semangat Bandung ke dalam berbagai bentuk perjuangan di bawah panji Afro-Asianisme. Jadi, Bandung bukan satu-satunya momen historis yang membentuk Afro-Asia, melainkan hanya salah satu tonggak yang melahirkan gerakan-gerakan Afro-Asia di era 1950-an dan 1960-an. Meskipun Afro-Asia sebagian besar digerakkan oleh aktor non-negara, gerakan ini tetap mendapat dukungan dari negara dan pemimpinnya, misalnya Sukarno dan Nasser.

Baca Juga:

Su Lin Lewis: Apa yang menjadi ciri khas gerakan Kiri pada periode ini? Saya melihat banyak perpecahan di dalamnya, terutama antara kelompok sosialis dan komunis.

Agnes Khoo: Menurut saya, gerakan Kiri ibarat rumah besar yang menaungi banyak aliran, dan memang selalu demikian. Maka, kita harus memahaminya secara kontekstual dan kritis. Label sosialisme dan/atau komunisme sendiri punya banyak penafsiran. Lee Kuan Yew, perdana menteri pertama Singapura, adalah seorang sosialis Fabian. Dikotomi kanan-kiri terlalu menyederhanakan realitas ini. Gerakan Kiri di Sri Lanka, misalnya, sangat berbeda dengan gerakan Kiri di Singapura. Perpecahan tidak hanya terjadi antara kelompok sosialis dan komunis; ada banyak sekali faksi. Faksionalisme yang merajalela di Asia dan Afrika ini kerap melemahkan gerakan antikolonial dan antiimperialis Afro-Asia. Belum lagi sabotase, intervensi, dan hambatan dari kekuatan kolonial. Partai-partai politik di Asia dan Afrika terpecah-pecah karena berbagai alasan, baik alasan internal maupun eksternal.

Wildan Sena Utama: Saya sependapat dengan Agnes bahwa Kiri itu sangat luas. Sulit memberi definisi yang tegas untuk sosialis dan komunis pada periode ini, terutama dalam konteks Indonesia. Identitas sosialis dan komunis di Indonesia sangat cair. Semua aktivis Indonesia yang terlibat dalam gerakan Afro-Asia sama-sama mendukung sosialisme, meski afiliasi partainya berbeda-beda. Di Indonesia, label itu lebih berkaitan dengan keanggotaan di partai dan organisasi tertentu. Misalnya, [novelis] Pramoedya Ananta Toer. Alih-alih dilabeli nasionalis revolusioner dengan kecenderungan Sukarnois, ia dilabeli komunis karena bergabung dengan Lekra yang dianggap sebagai sayap kebudayaan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ita Fatia Nadia: Perpecahan di Indonesia tak hanya terjadi antara sosialis dan komunis, tetapi juga di dalam partai-partai itu sendiri, misalnya di Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ayah saya dan Djohan Sjahroezah merupakan bagian dari basis akar rumput di Jawa Timur yang dekat dengan PKI. Mereka bahkan mendirikan “Rumah Marxis” sebagai tempat bertemu dengan anggota PKI. Namun, di dalam PKI sendiri pun terdapat perpecahan. Kesalahan terbesar PSI dan para pemimpinnya saat itu adalah tidak menentang genosida politik terhadap PKI pada 1965.

Sandev Handy: Perpecahan ini juga terkait dengan posisi dan kepekaan politik masing-masing kelompok. Kaum internasionalis Kiri di Sri Lanka saat itu kebanyakan adalah sosialis yang fokus pada proyek pembangunan negara. Ada jurang yang lebar antara mereka dengan gerakan Kiri di akar rumput. Saya tidak merasa kita harus menghapus istilah “kanan” dan “Kiri”, justru kita bisa menggunakannya sebagai lensa untuk memahami bagaimana kaum sosialis nasional di Sri Lanka tergelincir ke dalam imajinasi etno-nasionalis yang rasis dan brutal. Di sisi lain, perpecahan ini penting karena memaksa kita keluar dari retorika strategis dan melihat bagaimana gerakan Kiri rentan diperalat untuk kekerasan negara.

Fadiah Nadwa Fikri: Antikomunisme di gerakan Kiri adalah sesuatu yang harus kita cermati dengan serius, begitu juga kekuatan kontra-revolusioner seperti CIA. Ambil contoh wacana koalisi PUTERA-AMCJA dalam historiografi antikolonialisme Malaya yang dibentuk oleh narasi dominan sebagai kontrol dan pengaruh komunis. Padahal, inilah koalisi pertama di mana orang Melayu dan non-Melayu bekerja sama melawan kolonialisme Inggris dan membangun nasionalisme Malaya sebagai kekuatan pemersatu. Namun, secara historis, ia justru dibingkai melalui rasialisasi—pengkategorian dan pengasingan politik menggunakan konsep ras sebagai konstruksi kolonial modern. Pelanggengan narasi dominan ini memiliki banyak fungsi, misalnya menyangkal agensi dalam koalisi ini, termasuk kelompok komunis. Selain itu juga menciptakan pembelahan politik antara komunis dan aktor politik lainnya—kelompok-kelompok yang bersatu untuk kemerdekaan Malaya. Fungsi dari pembelahan politik ini, sebagaimana digunakan Inggris sebagai taktik kolonial dalam masyarakat Malaya yang sangat terasialisasi, adalah untuk mendelegitimasi gerakan antikolonial radikal sekaligus menebar benih kecurigaan di tengah rakyat maupun di antara anggota gerakan. Sayangnya, hingga kini masih ada Kiri yang melanggengkan narasi ini ketika membahas sejarah antikolonialisme. Dan perlu diingat, koalisi ini adalah kapitalisme-kesejahteraan (welfare capitalism), bukan sosialisme.

Sandev Handy: Mengenai perpecahan dan faksionalisme, saya teringat kutipan dari Unthinking Mastery karya Julietta Singh yang mungkin bisa membantu kita melihatnya lebih jernih:

Kritik saya terhadap Gandhi dan Fanon yang lahir dari kesadaran yang menghantui pikiran saya, seperti halnya mereka, selalu menghasilkan warisan masa lalu yang belum bisa saya kenali. Melihat kembali Gandhi dan Fanon secara kritis berarti merefleksikan bagaimana kita sebagai Kiri intelektual juga (dan sering kali tanpa disadari) menciptakan pihak-pihak yang terpinggirkan dari inklusivitas yang kita inginkan. Alih-alih mendisiplinkan politik antikolonial dan pemikiran kritis saat ini, saya justru ingin menghidupkan kontradiksi di dalamnya. Bisa jadi, kontradiksi yang rumit dalam wacana dekolonisasi justru menyimpan kemungkinan cara hidup tanpa hasrat menguasai. Memperhatikan dengan cermat warisan masa lalu yang luput dari upaya penyatuan politik ala Gandhi dan Fanon adalah cara untuk menghadirkan sejarah sebagai landasan proyek politik kita. Menghadapi kekacauan politik antikolonial yang utopis membantu kita lebih peka terhadap warisan masa lalu yang terus kita ciptakan di masa kini.[14]

Su Lin Lewis: Bicara soal kerumitan warisan masa lalu, warisan seperti apa yang ditinggalkan periode tersebut bagi gerakan Kiri hari ini? Adakah kesinambungan, kemiripan, atau justru perbedaan dengan jaringan aktivis transnasional di akhir abad ke-20?

Agnes Khoo: Warisan gerakan Kiri, khususnya di Asia, sebenarnya terdokumentasi dengan baik, misalnya dalam catatan sejarah, pendidikan (negara maupun non-negara), sejarah lisan, sastra, lagu, film, atau memori kolektif. Namun, penafsirannya bisa sangat beragam dari satu orang ke orang lain, dari satu keluarga ke keluarga lain, antargenerasi, antarpemerintah, maupun di antara berbagai pandangan politik dan organisasi. Baik di Asia maupun Afrika, warisan ini tetap kontroversial dan kerap memicu pendapat yang memecah-belah rakyat. Ingatan tentang gerakan Kiri, penuturan kembali kisah mereka, dan imajinasi kita tentangnya berlapis-lapis dan penuh nuansa. Penafsiran dan (re)presentasinya pun terus beradaptasi, berubah seiring waktu, dan bergantung pada dinamika sosio-politik dan sosio-ekonomi. Sejarah, seperti halnya kehidupan, berjalan berkesinambungan, kadang tersembunyi di arus bawah dan kadang muncul ke permukaan dalam bentuk perlawanan, gerakan sosial, atau aksi masyarakat sipil. Benang merah yang menghubungkan “masa lampau” dan “masa kini” adalah semangat perlawanan yang gigih, hasrat idealis untuk perubahan positif, dan sikap altruistik untuk memperjuangkan hak-hak rakyat. Dengan kata lain, bagi saya, sejarah dan ingatan adalah upaya manusia untuk memahami dirinya dalam momen-momen tertentu, yang bisa bersifat tanpa pamrih, tapi bisa juga bersifat egois dan strategis.

Wildan Sena Utama: Menurut saya, warisan para aktivis antiimperialis pada masa itu adalah meletakkan agenda dekolonisasi, membayangkan, dan mendorong terciptanya dunia yang bebas dan damai melalui gerakan transnasional. Warisan ini tetap relevan hari ini ketika kita dihadapkan pada ketidakadilan dan persoalan global seperti neoliberalisme, perang, perubahan iklim, dan pandemi. Dalam konteks Indonesia, warisan ini sangat penting mengingat kecenderungan aktivis yang berpikir dan bergerak dalam lingkup sosio-politik yang sempit, meskipun masalah ini tidak bisa dilepaskan dari warisan otoritarianisme rezim Soeharto. Ada kemiripan antara gerakan solidaritas Afro-Asia dan gerakan transnasional hari ini, terutama dalam hal penggunaan jaringan transnasional sebagai metode politik untuk melawan ketidakadilan global dan mendorong perubahan. Namun, ada juga perbedaannya, misalnya dalam hal ketergantungan pada negara dan figur kepala negara.[15]

Su Lin Lewis: Apa arti penting dari periode ini untuk jaringan transnasional di masa kini?

Ita Fatia Nadia: Suami saya, Hersri Setiawan, adalah anggota permanen Biro Pengarang Asia–Afrika. Ia pernah menceritakan sebuah komitmen politik yang dibuat antara para pengarang pada pertemuan di Tashkent—sebuah manifesto politik. Konferensi Perempuan Afro-Asia juga menghasilkan manifesto politik yang dibuat oleh para delegasi perempuan. Organisasi perempuan Kiri Indonesia, Gerwani, memiliki hubungan erat dengan Organisasi Solidaritas Rakyat Afro-Asia. Banyak anggota Gerwani dikirim ke Aljazair. Berkat pekerjaan saya dalam gerakan perempuan di Asia, saya bisa bertemu tokoh-tokoh gerakan feminis, termasuk Kumari Jayawardene. Ia melihat adanya hubungan antara gerakan perempuan Afro-Asia dan Asia. Ia sempat datang ke Indonesia tiga kali sebelum Konferensi Bandung dan bertemu dengan jurnalis Indonesia, termasuk Francisca Fangidaaj, yang arsipnya saya teliti di Amsterdam. Dari penelusuran arsip itu, saya melihat betapa pentingnya Afro-Asianisme bagi gerakan Kiri dan gerakan perempuan di Indonesia pada 1950-an. Saat ini, Afrika nyaris absen dalam wacana politik kita. Kita perlu bertanya mengapa ini bisa terjadi.

Wildan Sena Utama: Proses dekolonisasi dan gerakan pembebasan nasional di seluruh dunia, ditambah gejolak Perang Dingin, melahirkan banyak inisiatif dan peristiwa yang kini sebagian besar luput dari pengetahuan kita. Saya sendiri tidak menyangka luasnya jejaring dan hubungan yang dibangun para aktivis antiimperialis dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Dalam konteks sejarah Indonesia, periode ini penting karena memperluas hubungan Indonesia dengan Afrika, tidak hanya Afrika Utara, tetapi juga Afrika sub-Sahara. Solidaritas Afro-Asia membuka ruang yang memungkinkan jejaring ini berkembang. Seperti disampaikan Ita, sulit melihat adanya penguatan hubungan antara Afrika dan Indonesia di masa kini. Meski begitu, periode ini juga membawa dampak besar bagi Indonesia ketika jatuhnya Sukarno akibat kudeta Orde Baru mengubah secara mendasar arah pembangunan Indonesia.

Agnes Khoo: Dari perspektif Afrika, benua Afrika telah mengembangkan wacana politiknya sendiri. Diskursus Afro-Asia terus mengalami perkembangan di seluruh Afrika, dengan penekanan pada perspektif yang khas dan dan berakar pada pengalaman Afrika yang berbeda dengan Asia. Konteks ini semakin relevan di tengah meningkatnya investasi asing dari berbagai negara Asia di Afrika, meskipun melambat cukup tajam akibat pandemi COVID-19. Investasi tersebut tidak hanya datang dari Tiongkok tetapi juga dari Malaysia, Singapura, Thailand, Korea Selatan, Jepang, India, Turki, dan Lebanon. Para intelektual dan pemimpin politik Afrika sangat sadar bahwa Persatuan Afrika dan Pan-Afrikanisme (alih-alih Afro-Asianisme) adalah fondasi bagi segala bentuk hubungan dan solidaritas internasional lainnya.

Fadiah Nadwa Fikri: Isu-isu transnasional seperti migrasi paksa dan migrasi buruh di Asia Tenggara masih memicu perdebatan hingga kini di negara-negara seperti Singapura. Mungkin menggali kembali sejarah di periode ini dapat menjadi pengingat bahwa perjuangan kita melawan eksploitasi kapitalis saling terhubung. Kita penting membicarakannya agar kita sadar bahwa persoalan ini bukan hanya persoalan orang Malaysia, tetapi juga Singapura, Indonesia, Filipina, dan semua bangsa tertindas di era kolonial. Gagasan pemersatu semacam ini berakar pada dunia Melayu (sebuah kawasan peradaban) yang menjadi landasan perjuangan untuk membangun persatuan di antara bangsa-bangsa terjajah sebagai penghuni wilayah tersebut jauh sebelum kolonialisme datang. Dalam pandangan ini, setiap orang menjadi bagian dari komunitas, tanpa seorang pun dianggap asing atau inferior. Gagasan ini memang disusun untuk menantang pembelahan dan keterasingan yang sengaja diciptakan rezim perbatasan kolonial yang rasis. Gagasan ini juga menyingkap bahwa konsep perbatasan, layaknya konsep ras, adalah instrumen ideologis yang dibangun di atas hierarki rasial dan kultural demi mempertahankan kekuasaan kolonial, bukan sekadar garis di peta untuk menandai wilayah. Perbatasan itu sendiri merupakan produk dari organisasi sosial terasialisasi yang dirancang untuk memecah-belah, menaklukkan, dan mengeksploitasi bangsa terjajah—organisasi sosial yang tujuan akhirnya adalah akumulasi kekayaan. Semua ini merupakan bagian penting dari wacana Kiri yang tetap relevan hingga kini.

Agnes Khoo: Asia Tenggara secara keseluruhan, termasuk Filipina, jauh lebih terbuka terhadap multikulturalisme dibandingkan Asia Timur. Hubungan kita terjalin bukan hanya lewat daratan, tetapi juga lautan. Sebaliknya, Asia Timur—Jepang, Semenanjung Korea, dan Tiongkok—secara historis cenderung lebih tertutup atau bersifat insular. Pada berbagai masa, wilayah ini sengaja diisolasi dari dunia luar melalui dekrit dan kebijakan negara. Batas tegas antara “kita” dan “orang asing/pendatang” masih tetap dipertahankan, termasuk terhadap buruh migran yang berasal dari Asia Tenggara, Asia Selatan, maupun Afrika.

Sandev Handy: Saya kira itu terkait dengan wacana soal perbatasan yang lebih luas. Sepuluh tahun lalu, jika Anda bicara bahwa perbatasan itu tidak nyata mungkin Anda akan dianggap ekstrem. Sekarang, saya merasa gagasan ini mulai mendapat sorotan lebih luas. Menurut saya, bicara tentang melampaui batas negara berarti bergerak menjauh dari pendekatan berbasis daratan dan mulai mendekat pada pendekatan berbasis laut, seperti yang Anda sebutkan tadi, Fadiah. Saya sangat takjub dengan pembangunan dunia yang berlangsung pada periode itu; seakan-akan upaya membangun dunia benar-benar hadir dalam setiap pidato yang diucap dan setiap surat yang ditulis. Namun, kini kita berada dalam kondisi yang sangat berbeda.

Su Lin Lewis: Saya penasaran, apakah periode ini muncul dalam gelombang-gelombang? Era internasionalisme Kiri pada 1950-an dan awal 1960-an tampaknya memudar di pertengahan dekade itu, setidaknya di Asia Tenggara, bersamaan dengan naiknya otoritarianisme dan represi terhadap gerakan Kiri. Pada 1980-an, kita melihat kemunculan generasi baru aktivis transnasional seiring lahirnya LSM. Kemudian, nasionalisme yang kaku dan pengetatan perbatasan kembali menguat, terutama setelah peristiwa 9/11. Tetapi menarik, Sandev, seperti yang Anda katakan, mungkin fokus untuk membangun jejaring transnasional di kalangan aktivis hari ini adalah respons terhadap kebangkitan nasionalisme.

Agnes Khoo: Di Asia dan Afrika saat ini, penarikan diri dari solidaritas internasional terasa semakin nyata, terutama akibat pandemi COVID-19 dan berbagai kebijakan lintas batas yang diberlakukan pemerintah. Hari ini, kita menyaksikan penguatan perbatasan (misalnya, atas nama pandemi dan kesehatan publik), invasi Rusia ke Ukraina, kebangkitan dan ekspansi NATO, hingga meningkatnya ketegangan AS–Tiongkok; semuanya bergema di seluruh dunia, baik secara politik maupun ekonomi. Ada perbedaan mendasar antara internasionalisme sebagai inti dari wacana Kiri dan globalisasi, khususnya globalisasi neoliberal yang membajak internasionalisme. Dalam konteks ini, bisa dibilang gerakan Kiri telah gagal melampaui batas negara-bangsa untuk meraih solidaritas internasional dan mewujudkan internasionalisme. Bahkan, masyarakat sipil dan LSM internasional yang membangun jejaring dan solidaritas lintas batas pun kerap terdesak ke posisi defensif akibat kebangkitan fasisme sayap-kanan.

Wacana internasionalisme saat ini cenderung dirumuskan dalam kerangka nasional/is dengan berbagai variannya. Namun, saya percaya Afro-Asianisme belum berakhir. Jika, seperti kata Sandev, kita meninggalkan cara pandang daratan sebagai pemisah dan mulai melihat lautan sebagai pemersatu, rasanya kita bisa membingkai ulang sekaligus menghidupkan kembali Afro-Asianisme. Meski begitu, kita juga tidak boleh melupakan tragedi yang menimpa banyak pengungsi Afrika yang berlayar mencari suaka di Eropa dan tenggelam di Laut Mediterania—dalam realitas neoliberalisme yang kejam, pengendalian pandemi, dan rezim perbatasan, laut tetap menjadi ruang geografis yang memisahkan kita.

Carlos Quijon Jr.: Sebagian besar riset yang kami lakukan untuk Afro–Southeast Asian Affinities pada dasarnya adalah upaya meninjau kembali periode ini dan melihat bagaimana sejarah Asia Tenggara terbentuk di dekade-dekade berikutnya. Pameran ini menempatkan Asia Tenggara menjadi sebagai semacam batu uji bagi wacana tentang keberlanjutan solidaritas Asia–Afrika. Sebagai contoh, sejarah Maphilindo menunjukkan bagaimana para pemimpin Malaya, Filipina, dan Indonesia mencoba menavigasi aspirasi sekaligus kegelisahan dalam tatanan dunia yang dibentuk oleh solidaritas negara-negara yang baru merdeka, sembari tetap menanggung beban kekuasaan neokolonial. Dengan maraknya riset dan pameran tentang solidaritas Asia–Afrika belakangan ini, kami merasa perlu menekankan bahwa kerangka transnasional selalu hadir di tengah tarik-menarik kepentingan.

Su Lin Lewis: Bagaimana pengalaman Anda menghidupkan kembali sejarah ini melalui sejarah publik? Dan bagaimana respons publik?

Sandev Handy: Kami menggelar pameran Encounters di Museum Seni Modern dan Kontemporer, museum baru yang sementara masih berlokasi di dalam pusat perbelanjaan. Salah satu bagian dari pameran ini mengangkat sejarah yang rumit: persilangan antara harapan dan kekerasan gerakan Kiri di Sri Lanka pada 1950-an dan 1960-an dan perannya dalam menempatkan Sri Lanka di kancah global. Karya terbesar yang kami tampilkan adalah lukisan setinggi 16 kaki karya Senaka Senanayake (gambar 2) yang pernah dipajang di Hotel Oberoi dan dipesan khusus untuk KTT Kelima Gerakan Nonblok. Kami juga memamerkan lukisan karya Aubrey Collette tentang para pemimpin KAA Bandung (gambar 3) dan buku puisi terbitan Biro Pengarang Asia–Afrika—biro ini pertama kali dibentuk di Sri Lanka (waktu itu masih bernama Ceylon) pada 1958. Salah satu puisi menggambarkan buruh kontrak perkebunan teh sebagai tulang punggung ekonomi yang menyebut Sri Lanka “surga bagi sebagian orang”, sebuah ironi gerakan Kiri di masa itu.

Perpecahan dalam Biro Pengarang Asia–Afrika membuat sebagian pengarang memindahkan markasnya ke Kairo dan meluncurkan majalah Lotus (teratai). Kami menelusuri berbagai representasi bunga teratai di Sri Lanka, termasuk Way of the Lotus karya Martin Wickramasinghe dan Lotus Tower di Kolombo. Munculnya unsur sayap-kanan etnonasionalis dalam wacana Kiri ini menunjukkan betapa kompleksnya artikulasi kebangsaan dari proyek pascakolonial. Sejarah yang terlupakan ini membuat pengunjung tertegun dan biasanya mereka menghabiskan waktu lebih lama mendiskusikan sejarah Sri Lanka. Pameran ini sangat berbeda dari sejarah publik yang dominan di Sri Lanka karena menggoyahkan pemahaman banyak orang tentang masa lalu Sri Lanka itu sendiri. Saya pribadi tertarik mencari tahu kapan persisnya sejarah ini bergeser dan bagaimana cara memulihkannya. Itulah sebabnya saya melihat laut sebagai ruang yang menarik—sebuah cara untuk melepaskan riset dari batasan daratan dan melihat laut dan langit sebagai tempat bertemunya pertukaran dan pembentukan identitas, yang pada gilirannya mengungkap perspektif baru dalam mengkritisi gerakan Kiri di Sri Lanka dan kecenderungan etnonasionalisnya.

Gambar 2. Lukisan Senaka Senayake di pameran Encounters, Museum Seni Modern dan Kontemporer, Sri Lanka, 2022. Sumber: MMCA Sri Lanka.
Gambar 3. Konferensi Bandung karya Aubrey Collette, arang di atas kertas, 1955. Fotografer tidak diketahui. Koleksi Yayasan Sapumal. Sumber: MMCA Sri Lanka.

Fadiah Nadwa Fikri: Unsur rasialis yang disebut Sandev tadi penting untuk dicermati. Anggota Resimen Kesepuluh PKM sebagian besar orang Melayu, namun kerap dilihat melalui lensa rasial yang sempit. Pandangan-dunia mereka diabaikan atau distigma akibat rasisme anti-Tionghoa yang dipupuk oleh kolonial Inggris dan aristokrat Melayu di Malaya, yang erat kaitannya dengan antikomunisme (mereka berpandangan “orang Melayu tidak mungkin jadi komunis!”). Saya sering membagikan hasil penelitian saya di Twitter, termasuk penelitian saya di Amsterdam. Banyak orang merasa heran ketika seorang perempuan Malaysia bicara tentang Malcolm X. Padahal, sebagai orang kulit hitam yang hidup di negara yang dibangun di atas perbudakan dan kolonialisme pendudukan, apa yang dikatakan Malcolm X tentang agama, kemanusiaan, penindasan, pembebasan, kapitalisme, rasisme, dan imperialisme sebenarnya tidak asing untuk kita.

Saya juga membagikan temuan saya tentang Sastrawan Negara Malaysia, Usman Awang, yang karyanya dikenal luas. Saya menemukan upaya penghapusan jejak internasionalismenya, padahal ia aktif dalam Gerakan Pengarang Asia–Afrika dan menulis puisi tentang Konferensi Bandung dan Black Power (“Salji Hitam” dan “Suara Blues”). Sejarah menyimpan kekuatan besar, meski kerap dibungkam dan dilupakan. Peran kita adalah merekonstruksi apa yang Antonio Gramsci sebut sebagai “Inventory of Traces”—dan itulah yang kami lakukan di Amsterdam (lihat gambar 4).[16]

Gambar 4. Fadiah dan Ita membahas pamflet Peranan Intelektual (Peranan Intelektual) karya penyair Melayu Usman Awang dan novelis Indonesia Pramoedya Ananya Toer yang terdapat di International Institute of Social History. Sumber: Dok.umentasi Tim Penulis.

Ita Fatia Nadia: Sejarah 1965 [di Indonesia] dan genosida politik yang menyertainya telah lama terkubur dalam narasi resmi. Kami memulai museum keliling untuk membagikan ingatan para penyintas, membangun kesadaran sejarah, memperjuangkan keadilan, dan melawan impunitas. Banyak penyintas perempuan menyimpan semacam “arsip” pribadi yang tidak pernah mereka ceritakan. Koleksi kami meliputi foto-foto arsip para penyintas berupa gaun, buku catatan, sepatu, mug, sampai botol kaca berisi perahu mini yang dibuat salah satu penyintas—semuanya artefak dari kamp tahanan. Museum ini dibuat “keliling” karena setiap daerah memiliki ingatan dan ceritanya sendiri. Kami menggelarnya di ruang kelas, gedung publik, dan terkadang di pusat perbelanjaan, dengan menampilkan kronologi peristiwa. Salah satu instalasi museum keliling kami menampilkan gaun dengan layar di bagian atas [menggantikan kepala] yang memutar klip sejarah lisan penyintas perempuan. Kami juga menampilkan sepeda milik seorang penyintas (lihat gambar 5). Setiap lokasi menghadirkan cerita dari penyintas perempuan yang berbeda sesuai wilayahnya.

Para penyintas menciptakan lagu-lagu selama di tahanan. Ada tiga mural utama: lagu karya Ibu Heriyati berjudul Laku Untuk Anakku yang diproyeksikan di dinding oleh mahasiswa seni dari Institut Seni Yogyakarta; sepucuk surat dari Pramoedya kepada putrinya; dan sebuah gambar kamp penjara karya Pak Leo, seniman Lekra (lembaga kebudayaan kiri), yang dibuat berdasarkan ingatannya. Kami memiliki foto bunker tempat para seniman dan penulis Lekra ditahan, terpisah dari ilmuwan, buruh, dan kelompok lain (totalnya sekitar sepuluh ribu orang). Ada juga rekaman seorang tahanan yang menceritakan kondisi kamp tahanan, dan kumpulan tulisan Hersri. Para penulis tidak pernah tidur; mereka menulis sepanjang malam. Ilmuwan pertanian menyarankan agar naskah-naskah itu dibungkus plastik dan ditanam di lubang dekat pohon pisang yang menyerap air. Naskah-naskah itu kemudian disembunyikan dalam sarung saat mereka dibebaskan. Di kamp, tahanan perempuan menyanyikan macam-macam lagu, termasuk lagu Asia Afrika Bersatu yang ditulis di penjara. Kini, Pulau Buru sudah hancur total. Beberapa penyintas masih tinggal di bekas lokasinya. Ketika menyelenggarakan museum keliling ini, kami sering mendapat penolakan dari pemerintah daerah, tapi sering juga mendapat kerja sama dari sekolah. Biasanya, kami menghabiskan satu hari untuk pengantar dan diskusi, lalu keesokan harinya pameran digelar. Meski terkadang para guru awalnya menolak, beberapa hari kemudian mereka menyadari pentingnya klarifikasi sejarah dan diskusi seperti ini.

Gambar 5. Ita Fatia Nadia memaparkan di museum keliling mengenai artefak yang disimpan oleh tahanan yang diasingkan ke kamp penjara Pulau Buru selama genosida politik tahun 1965 yang menewaskan 1–3 juta orang berhaluan kiri. Sumber: Dokumentasi Tim Penulis.

Fadiah Nadwa Fikri: Museum keliling ini menginspirasi saya untuk melakukan inisiatif serupa terkait periode yang dikenal sebagai Darurat Malaya—perang brutal selama dua belas tahun yang dilancarkan pemerintah kolonial Inggris melawan para pemberontak dan rakyat Malaya demi mempertahankan cengkeramannya atas Semenanjung Malaya pasca-kekalahan Jepang pada 1945. Program pendidikan populer seperti ini menjadi wadah penting untuk menyampaikan sejarah antikolonialisme dan solidaritas transnasional. Saya juga menyadari betapa pentingnya praktik penerjemahan. Aktivis dan intelektual Indonesia telah menerjemahkan banyak karya penting tentang antikolonialisme, seperti The Wretched of the Earth karya Frantz Fanon. Praktik-praktik seperti ini sangat dibutuhkan di negara-negara seperti Malaysia.

Agnes Khoo: Bicara tentang penerjemahan karya sejarah, saya pernah menerjemahkan (dari bahasa Inggris ke Mandarin) memoar politik Lim Hong Bee (1917–1995)  yang diterbitkan di London, tempat ia hidup dalam pengasingan sejak 1950-an. Lim adalah pendiri Malayan Democratic Union (MDU) dan editor Malayan Monitor. Ia meninggal di Bolton, Manchester, Inggris. Ia adalah seorang internasionalis, antikolonial, dan antiimperialis yang aktif pada masa Perang Dunia II dan Perang Korea. Perjuangannya melawan kolonialisme Inggris dan Jepang membawanya ke Afrika Selatan di mana ia menyaksikan secara langsung realitas apartheid. Pengalaman itu memperluas pandangannya dengan menghubungkan perjuangan Afrika dan Asia untuk hak penentuan nasib sendiri. Menerjemahkan ingatan bukan sekadar memindahkan kata-kata, tetapi menggali sejarah yang tersembunyi, ditekan, dan dibungkam yang diungkapkan dalam bahasa berbeda. Penerjemahan mampu membangkitkan ingatan dan memberi makna baru pada ingatan itu. Melalui proses penafsiran ulang dan mediasi bahasa, penerjemahan memungkinkan sejarawan dan penerjemah untuk menemukan kembali sejarah dan terhubung lebih erat dengannya.

Carlos Quijon Jr.: Orang-orang yang melihat seri pameran kami [tentang Afro-Southeast Asian Affinities] mengaku asing dengan sejarah-sejarah yang kami sajikan. Kami melihat respons ini sebagai langkah awal yang penting untuk membayangkan ulang sejarah global dan mempertanyakan narasi sejarah dominan. Upaya ini bukan sekadar menempatkan Asia Tenggara dalam konteks sejarah global, tetapi juga bagaimana sejarah Asia Tenggara sebagai konstruksi regional modern adalah kunci untuk memahami bagaimana kekuatan neokolonial global mengkonsolidasikan dirinya pasca-Perang Dingin. Antusiasme akademisi dan mahasiswa terhadap arsip dan karya seni yang kami tampilkan sangat tinggi. Kami berharap bisa menginspirasi generasi mendatang untuk terus menggali dan mempertanyakan narasi sejarah dominan.

Sandev Handy: Saya sangat tertarik dengan cara Carlos dan Kathleen menghubungkan Afro-Asianisme di masa lalu dengan masa kini, bagaimana cara kerjanya, dan seperti apa bentuknya sekarang, termasuk di forum-forum seperti Reddit.

Agnes Khoo: Buku saya tentang sejarah lisan perempuan dalam perjuangan antikolonial dan antiimperialis rakyat Malaya, khususnya eks pejuang perempuan dari PKM (meskipun tidak semuanya anggota partai), pertama kali terbit dalam bahasa Inggris dan Mandarin di Malaysia pada 2004, kemudian edisi Taiwan (Mandarin) pada 2006. Edisi bahasa Indonesia dan bahasa Melayu menyusul pada 2009. Terakhir, versi e-booknya diterbitkan di Malaysia pada 2017. Namun, edisi bahasa Melayu masih dilarang pemerintah Malaysia sejak pemerintahan Najib. Menariknya, buku ini tetap sulit didapat di Singapura sejak terbit pada 2004, meskipun Perpustakaan Nasional Singapura menyimpan koleksi lengkap karya saya termasuk terjemahannya. Edisi Mandarin 2004 yang terbit di Malaysia bahkan sempat masuk sepuluh besar buku terlaris menurut surat kabar berbahasa Mandarin. Saya mendengar bahwa edisi bahasa Indonesia masih populer di toko buku bekas di Indonesia karena sudah tidak dicetak lagi. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa kerinduan akan sejarah alternatif selalu ada dan akan selalu ada, meski suara-suara ini terus dibungkam oleh narasi yang dikendalikan dan didukung negara.

Su Lin Lewis: Bagaimana pengalaman penelitian kolaboratif Anda di Amsterdam?

Agnes Khoo: Pengalaman yang sangat berkesan. Saya mendapat kesempatan langka untuk menggali arsip-arsip yang selama ini terkubur di bawah “beban sejarah”, jika boleh dibilang demikian. Kami duduk bersama, mencoba mengurai maknanya, melampaui batas ruang dan waktu untuk terhubung dengan masa lalu, dan yang lebih penting, dengan satu sama lain. Namun, penelitian kami juga punya keterbatasan—kami hanya punya waktu satu minggu. International Institute of Social History (IISH) sebagai lembaga arsip juga punya keterbatasan tersendiri. Misalnya, majalah Lotus tidak pernah dikoleksi karena dianggap sebagai “produk budaya, bukan produk politik” (menurut pengelola Asia Desk), padahal Lotus adalah salah satu publikasi penting dari gerakan solidaritas Afro–Asia,

Saya pernah bekerja di IISH pada 1992–93, jadi saya paham kalau IISH selalu menghadapi tantangan dalam hal administrasi dan anggaran. Selain itu, ada kesenjangan antara koleksi yang tersedia secara daring dan apa yang bisa diakses oleh publik. Arsip dan kerja pengarsipan tidak pernah netral; keduanya dipengaruhi oleh tuntutan politik, ekonomi, dan sosial. Apa yang akhirnya diarsipkan selalu bersifat selektif, atau swaselektif, dengan kriteria yang ditentukan negara atau lembaga terkait. Saya menyampaikan ini bukan untuk merendahkan nilai arsip—justru arsip sangat penting—tetapi dengan menyadari keterbatasan ini, kita bisa menggunakan arsip secara lebih kritis. Saya sangat menikmati sesi refleksi di akhir hari ketika melakukan penelitian di IISH. Bukan hanya mempererat kebersamaan tim, sesi itu juga menyatukan visi kami dan memberikan arah sementara untuk penelitian selanjutnya.

Sandev Handy: Sesi refleksi di akhir hari memang sangat berguna. Saya merasa kami berhasil menemukan sisi lain dari gerakan Afro–Asia yang selama ini terlalu diglorifikasi. Saya bisa mengakses bahan-bahan sejarah (seperti majalah The Call) yang sebelumnya tidak pernah saya temukan; publikasi semacam ini nyaris tidak ada dalam arsip-arsip di Sri Lanka. Di sisi lain, proses ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru untuk penelitian saya sebelumnya. Kesempatan melihat bahan-bahan ini bersama kolega dari berbagai wilayah benar-benar pengalaman yang langka.

Fadiah Nadwa Fikri: Saya sangat tertarik dengan pembahasan Sandev tentang karya Senanayake dan hubungannya dengan Black Panthers. Saat berbincang dengan Ita di hari pertama, kami menemukan dua tokoh PKM—Pak Hitam dan Pak Besar—yang mendukung perempuan komunis Indonesia di masa revolusi.

Ita Fatia Nadia: Sangat menyenangkan bisa menjadi bagian dari kolektif ini. Sebagai orang Indonesia di Belanda, saya menelusuri berbagai arsip—begitu banyak dokumen yang bisa ditelusuri, begitu banyak aktivis yang bisa diajak berdiskusi. Para eksil Indonesia yang saya temui benar-benar membantu menghidupkan kembali sejarah ini.

Sandev Handy: Berkat keterlibatannya di gerakan feminis, Ita mengenal banyak perempuan di Sri Lanka yang menjadi inspirasi bagi saya.

Su Lin Lewis: Sebagai peneliti Konferensi Sosialis Asia, saya sangat beruntung bisa berdiskusi dengan Ita tentang keterlibatan ayahnya dalam konferensi itu. Sebagai peneliti sejarah gerakan aktivis transnasional, berdiskusi dengan kalian sebagai bagian dari sejarah panjang aktivisme di kawasan ini memberikan saya pemahaman yang lebih mendalam.

Agnes Khoo: Pengalaman menelusuri arsip di IISH mengajarkan saya bahwa, baik sebagai peneliti individu maupun bagian dari tim, cara kami mengakses, membaca, dan menafsirkan “sejarah” akan selalu bersifat majemuk, beragam, tidak final, subjektif, dan terus berkembang. Kami meneliti sejarah-sejarah ini untuk, sebisa mungkin, menemukan satu versi kebenaran yang paling bisa dipertanggungjawabkan, tentunya dengan mempertimbangkan konteks dan waktu penelitian dilakukan. Pandangan dan penilaian kami terhadap sejarah pun berubah seiring waktu. Saat konteksnya berganti, potret sejarah tertentu akan terus dievaluasi. Saya memandang penelitian kami di IISH sebagai upaya kolektif untuk mengakses, membaca, dan menilai rangkaian “potret” history dan herstory Afro–Asia melalui lensa “Solidaritas dan Ke(tak)terhubungan” di era Perang Dingin. Setiap penelitian sejarah selalu bersifat terbuka dan tidak final karena sejarah sendiri terus berkembang, begitu pula orang-orang yang membuat, membentuk, mengalami, membaca, memahami, dan menilainya. Saya sangat menghargai keseriusan, ketulusan, dan fokus kelompok ini dalam menggali sejarah Afro–Asia dari berbagai bidang, tujuan, dan perspektif. Tanpa mereka, saya tidak akan bisa belajar sebanyak. Keragaman latar belakang, keahlian, dan minat dalam kelompok ini sangat memperkaya pengalaman saya.

Wildan Sena Utama: Meskipun tidak berkesempatan ke Amsterdam, saya meyakini bahwa model kolaborasi antara aktivis dan akademisi dari Selatan Global sangat penting karena kita membutuhkan perspektif dan pengetahuan dari mereka yang tumbuh, hidup, dan berkarya di sana. Mereka punya pengetahuan dan pengalaman yang lebih mendalam tentang sejarah, identitas, pengetahuan, dinamika sosial-politik, dan aktivisme di negaranya masing-masing. Saya berharap model kolaborasi yang setara seperti ini—dialog terbuka, kerja sama, dan saling belajar—bisa menjadi contoh bagi penelitian-penelitian lain di Selatan Global. Saya pribadi mendapat banyak manfaat dari kolaborasi ini, terutama ketika sumber-sumber penelitian saya berhubungan dengan rekan-rekan di sini, misalnya Ita dan Sandev. Kolaborasi ini membantu saya mengisi kekurangan dalam hal sumber, argumen, maupun pengetahuan, sekaligus memperkaya wawasan saya melalui dialog dan pertukaran informasi.

Su Lin Lewis: Bagaimana Anda melihat pengembangan proyek ini di masa depan?

Fadiah Nadwa Fikri: Kami membayangkan sebuah publikasi bersama mengenai sejarah solidaritas Afro-Asia dan antikolonial yang nantinya bisa menjadi rujukan untuk merancang program-program pendidikan populer seperti film dokumenter, zine, dan pameran keliling—program-program yang bisa kami selenggarakan secara mandiri maupun kolektif.

Agnes Khoo: Selain dialog ini, saya berharap menemukan lebih banyak penelitian tentang solidaritas Afro-Asia pada periode 1950-an hingga 1960-an yang menjelaskan bagaimana solidaritas ini terhenti dan bertransformasi. Harapan dan praktik utopis pascaperang telah digantikan oleh neoliberalisme, determinisme ekonomi, dan pragmatisme, dan belakangan oleh nasionalisme dan proteksionisme yang kian menguat. Saya ingin mendalami kajian ini melalui studi perbandingan antara Ghana dan beberapa negara Asia, seperti Korea Selatan dan Tiongkok. Apa makna solidaritas itu pada 1950-an dan 1960-an (atau secara umum, periode Perang Dingin), dan bagaimana maknanya berubah di Asia dan Afrika pada abad ke-21? Di samping itu, saya juga ingin mengkaji kebangkitan etnonasionalisme hari ini yang membajak cita-cita internasionalisme gerakan Kiri.

Carlos Quijon Jr.: Kami terus melanjutkan penelitian ini dengan harapan bisa membawa pameran kami ke tempat dan ruang-ruang lainnya. Penelitian untuk rangkaian pameran ini kami rancang sebagai proses berkelanjutan dan iteratif yang responsif terhadap kurator dan seniman yang bekerja sama dengan kami, dan kami selalu membangun dialog bermakna di setiap lokasi pameran. Sembari menunggu tahap selanjutnya, kami terus memperluas penelitian dengan menggarap sejarah futurisme dan sejarah kriya di Asia Tenggara. Kami juga tertarik mengembangkan aspek kelembagaan—membangun jaringan sumber daya yang menghubungkan institusi dan praktisi—agar penelitian ini dapat terus berlanjut melampaui relevansi kontemporernya.

Ita Fatia Nadia: Baru-baru ini saya diundang ke “People’s Forum” di Tricontinental Institute. Saya ingin membawa hasil temuan kami tentang internasionalisme untuk memikirkan bagaimana ide Afro-Asia bisa diwujudkan kembali dalam konteks hari ini. Internasionalisme para aktivis seperti Francisca dan Hersi pada 1950-an dan 1960-an terhenti pada 1965, dan saya sedang memikirkan cara untuk menghidupkannya kembali. Internasionalisme-nya Francisca Fanggidaej adalah melawan kolonialisme sekaligus mengangkat isu perempuan. Saya melihat ada keterkaitan antara aktivismenya dengan aktivisme generasi muda seperti putri saya yang aktif di Kunci [forum studi di Yogyakarta], yang menggunakan budaya dan seni untuk terhubung dengan gerakan di Amerika Latin, Palestina, dan Eropa. Saya melihat kesinambungan politik antara generasi hari ini dengan internasionalisme era 1960-an—semangat melawan kolonialisme dan semangat Kiri progresif masih hidup—hanya saja kerangka dan metode perjuangannya berbeda.

Su Lin Lewis: Beberapa dari Anda adalah aktivis sekaligus sejarawan—adakah keterkaitan antara sejarah dan aktivisme? Selama seminggu ini, apakah Anda menemukan hal baru tentang keterkaitan ini?

Agnes Khoo: Saya sudah menjadi aktivis sejak 1980-an di Singapura dan wilayah Asia lainnya. Meskipun sejak pertengahan 2000-an saya tidak lagi berada di garis depan, saya masih menganggap diri saya seorang aktivis. Karya akademis dan non-akademis saya selalu berakar pada aktivisme ini, yang selama puluhan tahun telah membentuk perspektif regional dan lintas regional melalui pengalaman langsung. Jadi, saya tidak ragu mengatakan bahwa sejarah dan aktivisme terkait erat. Pada dasarnya, ingatan diciptakan dan dibentuk oleh para pelaku dan aktivis itu sendiri. Sementara, tugas para sejarawan adalah mempresentasikan dan merepresentasikan pembacaan mereka atas ingatan-ingatan ini, yang sifatnya selalu terbuka dan tidak pernah final. Ingatan-ingatan yang mengabadikan aktivisme merupakan bentuk aktif dari proses pembentukan sejarah.

Seperti halnya tidak semua sejarawan (tidak harus) menjadi aktivis, demikian pula tidak semua aktivis (harus) menjadi sejarawan. Keduanya memiliki tanggung jawab dan kontribusi pentingnya masing-masing terhadap sejarah dalam hal mengabadikan tindakan, ide, dan pemikiran. Aktivis punya cara sendiri dalam mendokumentasikan apa yang “telah dilakukan” dan apa yang “terjadi”, berbeda dengan cara sejarawan menafsirkan dan menghadirkan kembali “masa lalu” di “masa kini.” Di sisi lain, ada juga komunitas aktivis-akademisi atau akademisi-aktivis di berbagai negara yang memilih melampaui dikotomi ini dan bekerja sebagai keduanya secara bergantian atau sekaligus. Bagi saya, ini adalah bentuk perlawanan. Sebagai aktivis, mereka mereklaim nilai intelektual atas karya dan perjuangan mereka, sementara sebagai akademisi, mereka memberikan legitimasi konseptual atas aktivisme mereka. Mereka melampaui dikotomi ini dengan berbagi pengetahuan, berimajinasi dan berkarya bersama, dan melakukan penerjemahan.

Ita Fatia Nadia: Bagi saya, karena sudah terhubung dengan jaringan internasional lewat aktivisme, misalnya di APWLD [Asia Pacific Women in Law and Development], saat terlibat dalam penelitian ini, saya langsung berkata, “Inilah saya, inilah aktivisme saya, inilah pekerjaan saya; inilah keterhubungan saya dengan Afro-Asia, seperti halnya Francisca dan Setiati dan keterhubungan mereka dengan gerakan perempuan lainnya.” Saya jadi sadar bahwa saya sedang melanjutkan pekerjaan, sejarah, dan aktivisme mereka. Melalui aktivisme saya sendiri, saya terhubung dengan jaringan dan perjuangan antikolonial dan antiimperialisme mereka, meneruskan semua gerakan ‘anti-’ ini seolah-olah saya masuk dalam pergerakan mereka. Saya seperti masuk ke dalam dunia yang mereka kerjakan, tetapi dengan aktivisme saya di masa kini. Aktivisme baru dari generasi muda pun terus hidup dalam keseharian saya. Ada benang merah yang tak putus, sebuah warisan yang terus mengalir dari masa ke masa.[17]

***

Fadiah Nadwa Fikri adalah pengacara HAM yang saat ini tengah menyelesaikan riset doktoralnya di Universitas Nasional Singapura mengenai perlawanan antikolonial atas proyek rasialisasi Inggris di Malaya.

Sandev Handy adalah kurator senior di Museum Seni Modern dan Kontemporer Sri Lanka di Kolombo. Pada 2022, ia mengkurasi pameran tentang Biro Pengarang Asia–Afrika.

Agnes Khoo adalah akademisi dan aktivis internasional, salah satu karyanya berjudul Life as the River Flows: Women in the Anti-Colonial Struggle (2007). Agnes meraih gelar PhD dan menjabat sebagai dosen senior di School of Foreign Languages, Shenzhen Technology University, Republik Rakyat Tiongkok.

Su Lin Lewis adalah profesor sejarah global dan Asia di University of Bristol. Saat ini ia tengah meneliti evolusi gerakan sosialis-demokrat dan warisan aktivisme di Asia Tenggara.

Ita Fatia Nadia adalah akademisi dan aktivis yang menulis tentang sejarah perempuan dan gerakan Kiri di Indonesia. Karyanya antara lain Suara Perempuan: Korban Tragedi ’65 (2007), dengan pengantar oleh Saskia Wierenga.

Carlos Quijon Jr. adalah kurator dan peneliti yang menetap di Manila.

Kathleen Ditzig adalah kurator dan kandidat PhD di Universitas Nasional Singapura yang meneliti sejarah visual Afro-Asianisme. Bersama Carlos, ia mengkurasi Afro-Southeast Asian Affinities, sebuah pameran multi-lokasi yang berlokasi di Singapura, Manila, dan Seoul (http://afrosoutheastasia.com/).

Wildan Sena Utama adalah dosen jurusan Sejarah, Universitas Gadjah Mada, Indonesia. Ia meraih gelar PhD dari University of Bristol pada 2023, disertasinya membahas partisipasi Indonesia dalam gerakan solidaritas Afro-Asia.

***

CATATAN PENERJEMAHAN:

Artikel ini diterjemahkan oleh kolektif Islam Bergerak dari naskah asli berjudul “Dissenting Histories: A Dialogue on Activism and the Left in Decolonizing Asia”, yang terbit di Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East (2025). Islam Bergerak menerbitkan artikel ini berdasarkan izin resmi dari Duke University Press selaku pemegang hak cipta pada tanggal 15 September 2025. Hak cipta asli tetap berada pada penulis dan penerbit. Terjemahan ini disajikan untuk memperluas akses pembaca Indonesia terhadap diskusi akademik seputar aktivisme dan dekolonisasi.

***

REFERENSI

Amoroso, Donna J. Traditionalism and the Ascendancy of the Malay Ruling Class in Colonial Malaya. National University of Singapore Press, 2014.

Ananta Toer, Pramoedya. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995). Diterjemahkan dan dicetak ulang dengan judul The Mute’s Soliloquy. Penguin, 2000.

Anderson, Benedict. The Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia, and the World. Verso Books, 1998.

Arifin, Azmi. “Local Historians and the Historiography of Malay Nationalism 1945–57: The British, The United Malay National Organization (UMNO) and the Malay Left.” Kajian Malaysia 32, no. 1 (2014): 1–35.

Burton, Antoinette. Africa in the Indian Imagination: Race and the Politics of Postcolonial Citation. Duke University Press, 2016.

Chakrabarty, Dipesh. “The Legacies of Bandung: Decolonization and the Politics of Culture.” Dalam Making a World After Empire: The Bandung Moment and Its Political Afterlives. Ohio University Press, 2010.

Chin Peng. Alias Chin Peng: My Side of History. Media Masters, 2003.

Ewing, Cindy. “The Colombo Powers: Crafting Diplomacy in the Third World and Launching Afro-Asia at Bandung.” Cold War History 19, no. 1 (2019): 1–19.

Fadiah Nadia, Ita. Suara Perempuan: Korban Tragedi ’65 (The Voice of Women: Victims of the Tragedy of ’65). Galang, 2007.

Fakeh, Shamsiah. Memoir Shamsiah Fakeh: Dari AWAS ke Rejimen ke-10 (The Memoir of Shamsiah Fakeh: From AWAS to the Tenth Regiment). Strategic Information and Research Development Centre, 2007.

Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci. Disunting oleh Quintin Hoare dan Geoffrey Nowell-Smith. Lawrence and Wishart, 1971.

Hearman, Vannessa. “The Uses of Memoirs and Oral History Works in Researching the 1965–1966 Political Violence in Indonesia.” International Journal of Asia-Pacific Studies 5, no. 2 (2009): 21–42.

Khoo, Agnes. Life as the River Flows: Women in the Malayan AntiColonial Struggle. Merlin Press, 2007.

Kluge, Emma. “West Papua and the International History of Decolonization, 1961–69.” International History Review 42, no. 6 (2019): 1155–172.

Lee, Christopher J. “Decolonizing ‘China–Africa Relations’: Toward a New Ethos of Afro-Asianism.” Journal of African Cultural Studies 33, no. 2 (2022): 230–37.

Lewis, Su Lin. “Decolonising the History of Internationalism: Transnational Activism across the South.” Transactions of the Royal Historical Society, no. 2 (2023): 1–25. https://doi:10.1017 /S0080440123000233.

Lewis, Su Lin, and Carolien Stolte, “Introduction: The Lives of Cold War Afro-Asianism.” Dalam The Lives of Cold War Afro-Asianism. Leiden, 2022.

Lewis, Su Lin, and Wildan Sena Utama. “The Politics of Development at Afro-Asian Women’s Conferences.” Dalam Socialism, Internationalism, and Development, disunting oleh Su Lin Lewis dan Nana Osei-Opare. Bloomsbury, 2024.

Lim Hong Bee. Born into War: Autobiography of a Barefoot Colonial Boy Who Grew Up to Face the Challenge of the Modern World. Excalibur Press, 1994.

Mamdani, Mahmood. “Beyond Settler and Native as Political Identities: Overcoming the Political Legacy of Colonialism.” Comparative Studies in Society and History 43, no. 4 (2001): 651–64.

McCann, Gerard. “Where Was the Afro in Afro-Asian Solidarity? Africa’s ‘Bandung Moment’ in 1950s Asia.” Journal of World History 30, no. 1/2 (2019): 89–124.

McVey, Ruth. “Change and Continuity in Southeast Asian Studies.” Journal of Southeast Asian Studies 26, no. 1 (1995): 1–9.

Nadwa Fikri, Fadiah. “Independence with Blood: The Decolonial Vision of the Malayan Conscious Youth Movement’s Political Testament.” Dalam Liberated Texts: Collected Review, disunting oleh Louis Allday dan Mahmoud Najib. Ebb Books, 2022.

Nadwa Fikri, Fadiah. “Subverting the British Racialising Project: The Construction of Malayness under the 1947 People’s Constitutional Proposals for Malaya.” Disertasi PhD, National University of Singapore.

Poh Soo Kai. Living in a Time of Deception. Function 8 Ltd. and Pusat Sejarah Rakyat, 2016.

Puthucheary, James. No Cowardly Past: James J. Puthucheary: Writings, Poems, Commentaries, disunting oleh Dominic Puthucheary dan Jomo K. S. Strategic Information and Research Development Centre, 2010.

Roff, William. The Origins of Malay Nationalism. Yale University Press, 1967. Sena Utama, Wildan. “Engineering Solidarity: Indonesia, Afro-Asian Networks, and Third World Anti-Imperialism 1950s-1960s,” Disertasi PhD., University of Bristol, 2023.

Sena Utama, Wildan. “A Forgotten Bandung? The Afro-Asian Students Conference.” Dalam The Lives of Cold War Afro-Asianism, disunting oleh Carolien Stolte dan Su Lin Lewis. University of Leiden Press, 2022.

Setiawan, Hersri, dan Jennifer Lindsay. Buru Island: A Prison Memoir. Monash, 2020.

Singh, Julietta. Unthinking Mastery: Dehumanism and Decolonial Enlightenment. Duke University Press, 2017.

Swan, Quito. “Blinded by Bandung? Illumining West Papua, Senegal, and the Black Pacific.” Radical History Review, no. 131 (2018): 58–81.

Wickramasinghe, Nira. Sri Lanka in the Modern Age: A History. Oxford University Press, 2014.

Yoon, Duncan M. “‘Our Forces Have Redoubled’: World Literature, Postcolonialism, and the Afro-Asian Writers’ Bureau.” Cambridge Journal of Postcolonial Literary Inquiry 2, no. 2 (2015): 233–52.

CATATAN KAKI:

[1] Lihat, misalnya, Mamdani, “Beyond Settler and Native,” hlm. 651–64; Roff, Origins of Malay Nationalism; Amoroso, Traditionalism; dan Wickramasinghe, Sri Lanka in the Modern Age.

[2] Dalam konteks Asia Tenggara, lihat, misalnya, memoar karya Pramoedya Ananta Toer (Nyanyi Sunyi Seorang Bisu), Chin Peng (Alias Chin Peng), Poh Soo Kai (Living in a Time of Deception), Lim Hong Bee (Born into War), Shamsiah Fakeh (Memoir Shamsiah Fakeh), dan James Puthucheary (No Cowardly Past). Untuk refleksi mengenai memoar dan sejarah lokal sebagai intervensi historiografis, lihat Hearman, “Uses of Memoirs”; dan Arifin, “Local Historians.”

[3] Khoo, Life as the River Flows; Nadwa Fikri, “Independence with Blood”; Fadiah Nadia, Suara Perempuan.

[4] Lihat Khoo, Life as the River Flows, hlm. 25.

[5] Nadwa Fikri, “Subverting the British Racialising Project.”

[6] Lihat Anderson, Spectre of Comparisons; dan McVey, “Change and Continuity.”

[7] Lihat Ewing, “Colombo Powers”; Lewis dan Sena Utama, “Politics of Development”; dan Yoon, “‘Our Forces Have Redoubled.’”

[8] Sena Utama, “Forgotten Bandung?,” hlm. 213–40.

[9] Lee, “Decolonizing ‘China–Africa Relations’”; Burton, Africa in the Indian Imagination.

[10] Swan, “Blinded by Bandung?”; Kluge, “West Papua.”

[11] McCann, “Where Was the Afro in Afro-Asian Solidarity?”; Chakrabarty, “Legacies of Bandung.”

[12] Proyek ini didanai oleh Arts and Humanities Research Council Inggris AH/V001205/1.

[13] Lihat Lewis dan Stolte, “Introduction” dan situs web Afro-Asian Networks Project di http://afroasiannetworks.com.

[14] Singh, Unthinking Mastery, hlm. 30.

[15] Seperti yang ditegaskan dalam disertasi doktornya baru-baru ini, partisipasi aktivis Indonesia dalam jaringan Afro-Asia pada periode ini mendapat dukungan dari pemerintah pascakolonial Indonesia, khususnya dari Sukarno. Lihat Sena Utama, “Engineering Solidarity.”

[16] Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, hlm. 324.

[17] Ita kemudian membahas dua kontribusi terakhirnya dalam wawancara sejarah lisan melalui Zoom pada 5 September 2023. Lebih banyak tentang keterlibatannya dalam aktivisme transnasional dibahas dan ditranskrip dalam Lewis, “Decolonising the History of Internationalism.”

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.