Harita Group dan Duka Pulau Obi

355
VIEWS

Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara telah menjadi simbol tragis dari ekosida dan krisis lingkungan akibat ekspansi industri tambang nikel. Di tengah gegap gempita transisi energi, keadilan ekologis, dan ekonomi hijau, korporasi seperti Harita Group semakin memperdalam jurang ketimpangan ekologis, ekonomi, dan sosial di wilayah-wilayah periferal Indonesia, sebagaimana Pulau Obi. Wilayah yang dahulu dikenal sebagai salah satu gugusan pulau nan indah dengan hutan tropis begitu lebat dan kaya akan sumber daya laut. Namun seiring bergulirnya waktu, wajah Obi tampak berubah ekstrim. Pulau Obi kini tercabik-cabik oleh pertambangan nikel berskala besar, dengan Harita Group sebagai aktor korporasi dan pengendali utama.

Ironisnya, alih-alih menghadirkan kesejahteraan, industri ekstraktif terasa menyisakan duka ekologis teramat pelik. Berkaca dari pandangan antropolog Tania Li (2014), apa yang menjarah Pulau Obi sekarang, mencerminkan bagaimana relasi kapitalis ditanamkan secara paksa ke jantung kehidupan masyarakat lewat perampasan lahan, pemutusan hubungan ekosistem, dan transformasi “nilai guna” menuju yang disebut sebagai “nilai tukar”. Sebagaimana bukunya Land’s End, Li menjelaskan apabila kapitalisme bekerja bukan semata-mata eksploitasi tenaga kerja, daripada itu kapitalisme pub dijembatani lewat proses “penutupan akses” terhadap tanah dan sumber daya yang sebelumnya dimiliki bersama oleh masyarakat lokal.

Di Obi tambang-tambang nikel ikut menyingkirkan masyarakat dari ruang hidup dan penghidupan mereka, menghancurkan praktik ekonomi subsisten, dan menggantinya dengan ketergantungan atas struktur industri pertambangan yang rapuh dan penuh ketidakpastian. Harita Group dengan mewadahi anak perusahaannya yakni PT. Trimegah Bangun Persada (TBP) dan PT. Obi Nickel Cobalt (ONC), menjalankan operasi tambang dan smelter nikel berkapasitas besar di Pulau Obi. Tahun 2023 Harita menggunakan PT. TBP berhasil melantai di bursa efek, mencatatkannya sebagai pionir industri hilirisasi nikel di Indonesia. Meski begitu, keberhasilan korporasi ini dikembangkan di atas pengabaian serta penghancuran terhadap ekologis yang mereka timbulkan begitu masif, sistematis, hingga menciptakan traumatis bagi warga terdampak.

Banalitas Harita Group

Invasi Harita Group di Obi tak sekadar investasi sektor industri, melainkan manifestasi nyata dari model pembangunan yang menempatkan ekstraktivisme sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi negara. Melalui kedua anak perusahaan tersebut, Harita menguasai industri nikel yang lengkap dengan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) berbasis teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL)—teknologi yang dikenal sangat intensif terhadap air dan menghasilkan limbah berbahaya, termasuk residu asam dan logam berat.

Langkah di atas tidak hanya menjadikan Harita Group pionir hilirisasi nikel, sekaligus representasi dari bagaimana pasar keuangan yang turut mendukung agenda ekstraktivisme dengan konsekuensi kerusakan lingkungan yang tinggi. Walaupun di salah satu presentasi publiknya, Harita mengklaim hilirisasi nikel merupakan kontribusi kepada transisi energi hijau. Tetapi nyatanya, narasi keberlanjutan ini menyembunyikan kondisi riskan akan praktik perampasan dan pengrusakan ruang hidup dan sumber kehidupan warga setempat.

Menurut hasil investigasi Jaringan Advokasi Tambang (JATAM, 2025), jika nikel milik Harita di Pulau Obi sudah mengemisi sekitar 7,98 MtCO2e gas rumah kaca pada 2023. Artinya, Harita menyumbang 1% total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan Indonesia pada 2023 yang sebesar 733,2 MtCO2e. Emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan hanya dari smelter setara dengan emisi dari 1,8 juta kendaraan roda empat tahun 2023. Dengan kata lain, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan hanya dari smelter di Obi saja nyaris setara dengan seluruh emisi kendaraan roda empat di Jawa Timur yang berjumlah 2.076.146 unit. Perbedaannya, Obi adalah pulau dengan luas 3.048 km2 sedangkan Jawa Timur memiliki luas 48.033 km2.

Dampak ekologi dari proyek ini tidak berdiri sendiri, tetapi berjejaring dengan bentuk-bentuk kekerasan struktural. Para nelayan kehilangan akses terhadap wilayah tangkap karena laut dibatasi zona eksklusif industri. Para petani kehilangan sumber air bersih karena sungai-sungai keruh dan tercemar residu kimia. Sementara itu, ruang hidup perlahan menyempit, masyarakat dipaksa bertransisi ke ekonomi tambang yang rentan, tidak berkelanjutan, dan memaksa mereka bergantung pada sistem kerja kontrak yang eksploitatif.

Selain meninggalkan jejak kerusakan lingkungan, seluruh aktivitas industri Harita mulai dari pertambangan hingga perkebunan sawit, ikut menimbulkan daya rusak multidimensi yang tak dapat dipulihkan. Bisnis ekstraktif Harita kerap kali akrab dengan cerita perampasan ruang hidup, perampasan ruang produksi warga, perampasan ruang pangan warga, baik di daratan maupun di pesisir, perampasan hak atas air dan udara yang bersih, hingga perampasan hak atas kedamaian warga dengan menghadirkan serial konflik, adu domba antar warga, intimidasi, dan berbagai bentuk kriminalisasi.

Situasi pelik di atas, bisa diamati menggunakan pendekatan David Harvey mengenai akumulasi lewat penjarahan (accumulation by dispossession), bahwasannya kapitalisme memperluas diri bukan melalui inovasi atau produksi barang semata, sebaliknya dengan cara perampasan– lahan diklaim sebagai konsesi, akses atas sumber daya dikontrol secara ketat, dan sistem sosial-ekologis yang sebelumnya bersifat komunal dikomersialisasi untuk akumulasi keuntungan. Harita tidak sekadar “mengolah nikel”, ia pun mengambil alih sumber produksi yang selama ini merupakan basis ekonomi subsisten masyarakat di Pulau Obi.

Lebih jauh, ekspansi tersebut turut memperlihatkan watak ekstraktivisme hijau (green extractivism)–ironi proyek penghancuran biodiversitas lokal yang memboncengi slogan keberlanjutan dan transisi energi. Sejatinya narasi korporasi, nikel dari Obi disebut-sebut sebagai menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik yang lebih “ramah lingkungan”. Sebenarnya mempertontonkan kontradiksi mendasar; bilamana transisi menuju ekonomi hijau global dibangun oleh pengorbanan pulau-pulau kecil seperti Pulau Obi yang sedang disandera ekosida.

Dengan kata lain, keberhasilan Harita Group sebatas spekulasi dari batuan nikel, akan tetapi bagian dari corak pengabaian akan hak masyarakat lokal, perampasan ruang hidup, dan kerusakan kehidupan yang bergerak ke ambang keterpurukan. Kemudian, Harita pun tidak sedang menjadi aktor industri, ia bagian dari rezim kekuasaan ekstraktif yang menjadikan bumi—dan rakyat di pulau-pulau lain—sebagai kolateral dari ambisi pertumbuhan nasional dan banalitas logika pasar global.

Absennya Negara

Hakikatnya, kerusakan ekologis di Pulau Obi telah “melampaui” ambang kehancuran.  Mengutip hukum lingkungan internasional dan wacana ekokritis global, kehancuran semacam ini dikenal sebagai ekosida—yakni pengrusakan besar-besaran dan sistematis terhadap lingkungan hidup serta mengancam keberlangsungan makhluk hidup, termasuk manusia.

Gagasan ekosida pertama kali dimunculkan secara oleh salah seorang pengacara lingkungan asal Inggris, Polly Higgins (2010), yang mendefinisikannya sebagai “the extensive damage to, destruction of or loss of ecosystems of a given territory… to such an extent that peaceful enjoyment by the inhabitants of that territory has been severely diminished.” Bersamaan kerangka ini, ekosida bukan sekadar kemusnahan lingkungan, ia juga merujuk ke aspek pelanggaran atas hak asasi manusia dan hak komunitas demi mendapatkan kehidupan yang layak.

Sebagaimana keadaan di Pulau Obi, “bukti-bukti” ekosida terlihat jelas. Tumpahan limbah industri ke laut mengakibatkan matinya ekosistem pesisir, sedimentasi berat mematikan terumbu karang, sumber air bersih tercemar logam berat, wilayah tangkap nelayan hancur, dan turut memporak-poranda kawasan pertanian akibat polusi. Pengaruhnya berlapis, dari krisis pangan, hilangnya peradaban dan penghidupan tradisional, dislokasi sosial, dan beriringan meningkatnya konflik horizontal maupun vertikal.

Selain itu, menurut Richard Falk (1992), seorang pakar hukum internasional, menyatakan jika ekosida dapat dipahami sebagai bagian dari “kejahatan terhadap perdamaian,” karena menghancurkan prasyarat-prasyarat ekologis bagi kehidupan manusia secara kolektif. Maka dengan sendirinya, ekosida tidak bisa dilepaskan dari kritik terhadap sistem politik dan ekonomi global yang memungkinkan kejahatan ini terus-menerus berlangsung secara legal dan sistemik.

Harita Group bukan hanya mengendalikan sektor tambang, tapi ikut menguasai ekosistem sosial-politik di Obi. Mereka membangun jalan, fasilitas umum, bahkan mengintervensi struktur pemerintahan desa. Dalam banyak kasus, kepala desa atau tokoh masyarakat dirangkul untuk menjadi corong perusahaan. Di sinilah terletak persoalan yang lebih mendalam; ketika negara absen, kekuasaan korporasi mengambil alih fungsi-fungsi publik. Yang tersisa bagi rakyat hanyalah ruang sempit untuk bertahan hidup, melawan, atau tunduk.

Karut-marut ini berkelindan dengan pemikiran Tania Li (2014), yang menggambarkan betapa ambisinya kapitalisme bekerja dengan cara “menutup akses” komunitas masyarakat terhadap sumber daya bersama (the enclosure of the commons). Dari proses demikian, bukan hanya ekosistem yang dihancurkan, tetapi juga sistem nilai, relasi sosial, dan praktik penghidupan yang selama ini merupakan tumpuan hidup masyarakat. Di Obi, masyarakat kehilangan lebih dari sekadar alam; mereka kehilangan dimensi sosial dan kultural yang telah diwariskan lintas generasi.

Baca Juga:

Menanggapi klaim Harita Group yang menyebut perusahaannya sebagai bagian dari “transisi energi hijau”, kita perlu mencurigai wacana semacam itu sebagai bagian dari apa yang disebut greenwashing atau bahkan green extractivism—yakni perampasan sumber daya atas nama keberlanjutan dan pertumbuhan ekonomi. Menyangkut perkara ini, ekosida di Obi adalah bukti nyata di balik proyek hilirisasi nikel dan ambiguitas menjadi pusat industri baterai global, nampaknya tersimpan jejak kekerasan ekologis yang dilegalkan negara kemudian dimandatkan oleh pasar global. Satu sisi, patut diketahui bersama bahwasannya ekosida bukan soal “kerusakan lingkungan”. Ia adalah kekerasan struktural yang menyasar masyarakat marjinal, merampas hak mereka atas tanah, air, udara bersih, dan masa depan. Dan di Pulau Obi, kekerasan ini berulangkali terjadi bukan karena negara juga absen, tapi karena negara terlibat begitu aktif selayaknya arsitek kebijakan dan mitra kapital.

Di berbagai forum internasional, Indonesia bangga memamerkan keberhasilan proyek hilirisasi dan transisi energinya. Harita Group dipuji sebagai mitra strategis, dan kawasan industri Obi dipakai sebagai model percontohan. Sayangnya, dunia jarang mendengar suara-suara dari bawah; jeritan warga Kawasi, tangisan nelayan Soligi, atau kesedihan ibu-ibu yang kehilangan mata air bersih.

Persis pada situasi ini, kita diingatkan kembali bilamana pembangunan, seberapapun canggih narasinya, tetap harus bertumpu pada keadilan ekologis dan sosial. Transisi energi yang abai terhadap hak-hak masyarakat lokal hanya akan memperpanjang imperialisme dalam bentuk baru. Proyek imperialisme yang kini memakai jubah ramah lingkungan, tetapi merampas dan menghancurkan manusia dan ekosistem di sekelilingnya.

Transisi Energi atau Transisi Ketimpangan?

Argumen yang paling sering digunakan untuk melegitimasi operasi Harita Group adalah peran strategis nikel untuk mendukung transisi energi global menuju era rendah karbon. Nikel, bersama litium dan kobalt, merupakan komponen utama baterai kendaraan listrik (EV)—simbol utama ekonomi hijau abad ke-21. Indonesia, dengan cadangan nikel laterit terbesar di dunia, diposisikan sebagai pemain kunci dalam rantai pasok energi masa depan. Namun, pertanyaan krusialnya: transisi energi untuk siapa, dan dengan ongkos siapa?

Di banyak wilayah Selatan Global, termasuk Pulau Obi, transisi energi justru menampilkan wajah baru dari ketimpangan struktural. Negara-negara maju di Global North—Amerika Serikat, Uni Eropa, Tiongkok—menggembar-gemborkan komitmen terhadap dekarbonisasi. Melihat praktiknya, terdapat “eksternalisasi biaya ekologis” dari transisi itu ke negara-negara penghasil bahan baku mentah. Sementara negara-negara di Utara mengaspirasikan udara bersih dan transportasi hijau, jadi pulau-pulau kecil seperti Obi tak luput menghadapi kemiskinan struktural dan perampasan ruang hidup demi pasokan mineral strategis.

Pada kerangka ini, konsep kolonialisme hijau (green colonialism) sangat relevan. Istilah ini digunakan oleh Max Ajl, Alf Hornburg, dan gerakan keadilan iklim di Selatan Global untuk menyebut bagaimana proyek-proyek ekonomi hijau seringkali direalisasikan menggunakan eksploitasi baru terhadap wilayah-wilayah pinggiran atau daerah-daerah terisolir. Kolonialisme berselancar di atas korporasi transnasional, regulasi negara yang akomodatif, dan logika pasar bebas yang dibungkus jargon transisi energi.

Misalnya Max Ajl dengan karyanya A People’s Green New Deal (2021), mengkritik proyek transisi energi global yang didorong Utara sebagai proyek imperialisme hijau—yakni reorganisasi produksi energi yang konsisten mempertahankan relasi ketimpangan struktural antara pusat dan pinggiran. Ia menyebut jika tanpa pembongkaran atas fondasi kolonial dalam sistem ekonomi global, alhasil transisi energi hanya akan mengganti bahan bakar fosil dengan mineral “hijau” sembari mengekalkan eksploitasi atas tanah dan tenaga kerja di Selatan Global.

Hal tersebut begitu nyata di Obi. Warga-warga tidak menikmati kendaraan listrik, tidak menjadi bagian dari rantai pasok bernilai tinggi, dan bahkan tidak punya akses listrik yang memadai. Yang terjadi, mereka menanggung limbah industri, kehilangan laut dan hutan, serta terpinggirkan secara politik. Alf Hornburg (2019) dalam pendapatnya tentang ecologically unequal exchange, menjelaskan jika teknologi rendah karbon di negara maju sering dibangun dari transfer biaya ekologis yang tidak setara ke negara berkembang. Indonesia, dalam hal ini, menjadi eksportir kerusakan ekologis demi modernitas hijau global.

Selain itu, seperti dijelaskan oleh Jason Moore (2015), transisi energi ini juga menampilkan karakter “cheap nature” dari kapitalisme, di mana pelbagai elemen ekologis berupa tanah, air, mineral, dan bahkan tenaga manusia—diubah menjadi komoditas murah demi akumulasi kapital belaka. Konsep “murah” di sini bukan hanya soal harga pasar, tetapi hasil dari kekerasan sistemik yang membuat suatu ruang, sumber daya, atau komunitas dapat dieksploitasi tanpa pertanggungjawaban etis maupun ekologis.

Duka Pulau Obi bukanlah kisah yang berdiri sendiri. Ia merepresentasikan krisis yang lebih luas, antara benturan kepentingan kapital global dengan hak komunitas lokal atas ruang hidup. Apa yang terjadi di Obi juga sedang berlangsung di Wawonii, Morowali, bahkan hingga ke Pulau Seram. Semua atas nama kemajuan, pembangunan, dan hijau yang semu. Sudah waktunya kita mendengar suara dari pinggiran.

Suara mereka yang tak memiliki akses ke kanal politik formal, namun merasakan langsung dampak dari kebijakan yang dibuat jauh di pusat kekuasaan. Harita Group dan negara bisa saja membangun istana nikel di atas tanah Obi. Tapi sejarah akan mencatat siapa yang menjadi korban dalam proyek ambisius ini. Kita perlu membayangkan ulang masa depan yang tidak ditentukan oleh pasar global atau agenda transnasional, melainkan oleh komunitas-komunitas yang hidup berdampingan dengan alam. Pulau Obi tidak butuh pabrik dan relokasi. Ia butuh keadilan.

Daftar Pustaka

Ajl, M. (2021). A people’s green new deal. London: Pluto Press.

Falk, R. (1992). Revisiting the idea of ecocide: Perspectives on environmental law and policy. In R. Falk (Ed.), On humane governance (pp. 85–96). Cambridge: Polity Press.

Harvey, D. (2003). The New Imperialism. Oxford University Press.

Higgins, P. (2010). Eradicating ecocide: Laws and governance to prevent the destruction of our planet (1st ed.). London: Shepheard-Walwyn.

Hornborg, A. (2019). Nature, society, and justice in the Anthropocene: Unraveling the money-energy-technology complex. Cambridge: Cambridge University Press.

Li, T. M. (2014). Land’s end: Capitalist relations on an indigenous frontier. Durham: Duke University Press.

Moore, J. W. (2015). Capitalism in the web of life: Ecology and the accumulation of capital. London: Verso.B. Mario Yosryandi Saramerupakan Pegiat di TIKAR Institute; Gerakan Kolektif untuk Keadilan, Alam, dan Rakyat. Saat ini Ia sedang menempuh studi Magister Ilmu Politik di Universitas Nasional, Jakarta. Minat penelitiannya meliputi ekonomi politik pembangunan, agraria kritis, dan ekstraktivisme

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.