Pengantar Redaksi
Nama John Bellamy Foster dalam tradisi pemikiran ekologi/ekonomi-politik Marxian tentu tidak asing. Penulis buku Marx’s Ecology: Materialism and Nature (2000) ini dikenal berkat analisis mendalamnya terhadap sistem kapitalisme sebagai akar masalah ekologi. Foster (begitu ia kerap disapa) juga kerap menuangkan analisisnya dalam bentuk esai kritis ataupun publikasi jurnal ilmiah. Dalam kesempatan kali ini, Islam Bergerak menghadirkan salah satu esai kritis yang ditulis Foster bertajuk Marx, Nilai, dan Alam. Esai pertama kali dimuat di Monthly Reviiew dengan tajuk Marx, Value, and Nature pada 1 Juli 2018. Esai ini diterjemahkan secara apik oleh kawan Arlandy Ghiffari. Dalam esai ini Foster mengulas beberapa konsep dasar Marxian demi membedah dinamika kapitalisme dalam memproduksi nilai melalui ekspropriasi (yang kemudian akan ia bedakan dengan apropriasi) terhadap alam dan kerja manusia. Foster juga membubuhkan beberapa kritik terhadap beberapa pemikir, termasuk pada Jason Moore dan Raj Patel. Foster mengkritik konsep Moore & Patel yang cenderung misantropis dan menyimpang dari kaidah-kaidah mendasar Marxisme. Esai Fotser ini dapat menjadi asupan yang baik demi mempertajam analisis kita terhadap fenomena hari ini.
***
Film The Young Karl Marx besutan Raoul Peck yang rilis tahun 2017 dibuka dengan adegan “petani-proletar”—laki-laki, perempuan, dan anak-anak dengan pakaian lusuh dan compang-camping sedang mengumpulkan kayu mati di hutan. Tiba-tiba mereka diserang oleh sepasukan polisi berkuda bersenjata pentung dan pedang. Beberapa di antara mereka mati, sisanya ditangkap. Adegan selanjutnya kemudian beralih menyorot Karl Marx, saat itu berusia 24 tahun, di kantor Rheinische Zeitung, tempat ia menjadi editor, di Cologne menulis artikel “The Debates on the Law on the Theft Wood.” Ia membuat lima tulisan bersambung dengan judul ini dari Oktober sampai November 1842. Tapi justru tulisan inilah yang membawa pemerintah Prusia menutup Rheinische Zeitung dan menangkap penyunting serta penulis muda ini.[1] Dalam The Young Karl Marx, kita melihat Marx muda dan kamerad-kameradnya saling berdebat, yang akhirnya membawa mereka menentang baik pemerintah Prusia maupun industrialis liberal yang menggaji mereka. Marx bersikukuh bahwa memang tidak ada jalan lain. Preface to a Critique of Political Economy yang rilis tahun 1859 ditulisnya untuk menjelaskan bahwa perampasan hak ulayat atas hutanlah yang pertama kali mendorongnya untuk mempelajari ekonomi politik secara sistematis.[2]
Kriminalisasi atas pemanfaatan hasil hutan (forest usufruct[3]) adalah isu penting di Jerman saat itu. Pada 1836, sekurangnya 150.000 dari total 207.478 orang dituntut di Prusia dengan dalih “pencurian kayu” dan dalih pelanggaran lain. Di Rhineland, jumlahnya lebih tinggi lagi. Penuntutan-penuntutan ini mengakibatkan denda yang besar serta pemenjaraan. Bahkan di Baden, pada 1842, satu dari empat penduduknya dihukum dengan dalih pencurian kayu. Inti dari argumen Marx adalah gugatannya pada “kategori pencurian yang seharusnya tidak diterapkan”: tidak hanya pengumpulan kayu yang sudah mati, tapi juga pengumpulan daun-daun mati dan pemetikkan buah beri (hak yang diberikan pada anak-anak) juga dikategorikan sebagai pencurian, meski ada apropriasi tradisional bagi kaum miskin yang sudah lama ada. Namun “hak ulayat” bagi kaum miskin untuk mengambil secara bebas kayu yang sudah mati, Marx menegaskan, tidak diterapkan pada pohon “organik” yang masih hidup atau “kayu potongan”—yang bisa dilihat sebagai kepemilikan pribadi. Hak mengambil hasil hutan bagi kaum miskin berubah “menjadi monopoli kaum kaya” melalui proses ekspropriasi oleh “keserakahan para pedagang kecil…dan kepentingan tuan tanah Teutonik [istilah yang digunakan Marx untuk orang Jerman, peny.].” Argumen Marx mengenai “sifat elementer” sistem hutan—dan juga ditunjukkan oleh Peter Linebaugh—berakar pada argumennya tentang “bioekologi hutan” dan “masyarakat kompleks” yang mendukungnya, dan hak kaum miskin untuk mengambil kayu mati mencerminkan posisi mereka yang begitu dimiskinkan dan relasinya dengan alam.[4]
Permasalahan tentang ekspropriasi terhadap tanah/alam dan terhadap manusia tetap menjadi perhatian Marx dalam karya-karya selanjutnya, yakni dalam Economic and Philosophical Manuscripts dan dua kajiannya mengenai “akumulasi primitif” dalam Grundrisse dan Capital. Dalam The Young Karl Marx, penyerangan polisi hutan terhadap kaum miskin adalah mimpi buruk yang terus berulang, di mana Marx melihat dirinya berada dalam situasi di mana pekerja yang tak bertanah di pedesaan terus diburu penguasa.
Apropriasi dan Ekspropriasi terhadap Alam
Pembedaan krusial yang diberikan Marx antara apropriasi dan ekspropriasi—di mana kritik ekologi maupun ekonominya atas kapitalisme berkisar—tampak jelas dalam responnya terhadap Pierre-Joseph Proudhon yang digambarkan secara dramatis dalam The Young Karl Marx. Proudhon diperlihatkan sedang memberikan pidato di mana muncul ungkapan terkenalnya: “kepemilikan adalah pencurian.”[5]. Dari sisi penonton, Marx menginterupsi dan bertanya, “Jenis kepemilikan macam apa? Kepemilikan borjuis?” Proudhon menjawab, “kepemilikan secara umum.” Marx mengatakan bahwa itu adalah “abstraksi.”[6]
Bagi Marx, seperti ditunjukkan nanti dalam pertemuannya dengan Proudhon, ungkapan “kepemilikan secara umum” tadi secara logika tidak bisa dipertahankan, karena jika kepemilikan secara umum adalah pencurian dan seluruh klaim atas hak milik tidak valid, maka muncul pertanyaan: apa itu pencurian? Jelas bagi Marx bahwa dibutuhkan pembedaan antara apropriasi atau kepemilikan dalam bentuk historisnya yang beragam dengan ekspropriasi, yakni apropriasi tanpa sebuah kesepadanan (equivalent)—dalam istilah Marx, juga tanpa pertukaran dan timbal balik.[7] Teori politik klasik, mulai dari John Locke, G.W.F. Hegel, sampai Marx, menempatkan basis masyarakat sipil dan negara dalam apropriasi—terma aktif bagi kepemilikan atau hak untuk memiliki melalui kerja.[8]
Seperti dinyatakannya dalam The Poverty of Philosophy dan Grundrisse, semua masyarakat manusia bersandar pada apropriasi bebas terhadap alam yang merupakan basis materiil bagi kerja dan produksi. Ini adalah cara lain untuk mengatakan bahwa semua masyarakat bergantung pada kepemilikan. Tidak mungkin ada manusia yang hidup tanpa apropriasi terhadap alam, tanpa produksi, dan tanpa kepemilikan dalam berbagai bentuknya. “Seluruh produksi merupakan apropriasi terhadap alam yang dilakukan individu di dalamnya dan melalui suatu bentuk spesifik masyarakat. Maka, adalah tautologi untuk mengatakan bahwa kepemilikan (apropriasi) adalah prasyarat bagi produksi.” Menurut Marx, ungkapan Proudhon bahwa “kepemilikan pribadi adalah pencurian” justru menyingkirkan masalah yang fundamental, yakni perkembangan berbagai bentuk apropriasi dalam sejarah manusia, dari komunal sampai bentuk yang lebih ekstrim dari komodifikasi pribadi.[9] Pendekatan ini memungkinkan Marx mengembangkan kritik tajam atas masyarakat kapitalis baik secara ekonomis maupun ekologis.[10] Konsepsi Proudhon tidak menunjukkan jalan keluar bagi kemanusiaan; karena apropriasi dalam beberapa bentuknya merupakan basis universal bagi masyarakat dan kehidupan itu sendiri, maka mengatakan kepemilikan secara umum adalah pencurian—terlepas dari bentuk kepemilikan partikular—adalah jalan buntu bagi gerakan revolusioner.[11]
Kesamaan dengan gagasan Hegel mengenai alienasi sebagai objektifikasi dapat ditarik di sini—yang mana di dalam filsafatnya alienasi tersebut dapat dilampaui (transcend) melalui penyatuan antara subjek dan objek, meski penyatuan tersebut berada hanya di dalam pikiran—yakni di dalam pengetahuan absolut para filsuf Hegelian. Bagi Marx, yang menolak solusi idealis, objektifikasi inheren dalam eksistensi manusia karena manusia merupakan mahluk objektif, sensorik, dan materiil, yang memperoleh kebutuhan hidupnya dari luar dirinya. Namun, dalam pandangan Marx, itu bukanlah objektifikasi, melainkan “perantaraan yang teralienasi (alienated mediation)” yang intrinsik pada produksi komoditas kapitalis yang harus dilampaui. Dan pelampauan ini hanya bisa dilakukan dalam realitas materiil, bukan dalam pikiran.[12] Demikian pula halnya dengan manusia sebagai makhluk materiil dan objektif tidak dapat melepaskan dirinya dari apropriasi terhadap alam, yakni dari kepemilikan segala macam bentuknya, yang merupakan kondisi objektif atas eksistensinya. Maka, yang mungkin dilakukan adalah pembebasan revolusioner kemanusiaan dari bentuk metabolisme sosial manusia dengan alam yang lebih teralienasi dan ekspropriatif.
Isu yang sama telah muncul kembali hari ini dalam perdebatan mengenai pemaknaan dan metode ekososialisme. Bagi Raj Patel dan Jason W. Moore, dalam A History of the World in Seven Cheap Things, “apropriasi” secara umum, seperti dinyatakan Proudhon, adalah “sejenis pencurian yang masih berlangsung.”[13] Baik dalam A History of the World in Seven Cheap Things maupun karya awal Moore, Capitalism in the Web of Life, fokusnya adalah mengenai “apropriasi kerja” dalam segala bentuknya—yang mana “kerja” dimaksudkan dalam arti fisik (yakni, tindakan mentransfer energi yang terjadi ketika kekuatan eksternal diletakkan pada sebuah objek dan menggerakkannya). Dalam artian naturalistik ini, kita dapat berkata bahwa “kerja” sebuah sungai atau sumur minyak memiliki makna yang sama seperti kerja bagi manusia. Apropriasi atau kepemilikan yang dipahami Patel dan Moore sebagai pencurian “kerja” adalah universal, tidak terelakkan, dan berkaitan dengan gerak fisik itu sendiri.[14] Apropriasi alam eksternal (external nature)[15] seperti itu, bagi Moore, melebihi eksploitasi kerja dalam ranah produksi.[16]
Tak seorang pun, tentu, yang meragukan apropriasi terhadap alam mendasari seluruh produksi manusia karena manusia adalah makhluk yang materiil dan objektif. Seperti juga diketahui setiap anak kecil bahwa kita, seperti seluruh makhluk hidup lain, tidak dapat eksis tanpa apropriasi bebas terhadap alam. Memang, seluruh produksi materiil manusia, seperti ditekankan Marx, tidak lain merupakan perubahan bentuk dari apa yang sudah diciptakan alam.[17] Namun, menurut Patel dan Moore, apropriasi manusia terhadap alam secara umum (yakni, “kerja” atau energi) adalah “sejenis pencurian yang masih berlangsung”, dan inilah inti dari krisis ekologis. Secara implisit mereka melekatkan keseluruhan masalah pada eksistensi manusia itu sendiri—sebuah posisi misantropis.
Perspektif demikian, yang umum di antara pemikiran lingkungan hidup paling mainstream, selalu mengalihkan perhatian dari perantaraan teralienasi dari relasi metabolis manusia-sosial dengan alam, dan dari bentuk spesifik kapitalisme mengenai ekspropriasi terhadap alam dan dampaknya pada ekosistem. Dalam perspektif Marxian klasik, hal ini dikarenakan sejarah manusia telah menciptakan mode produksi (kapitalisme) yang mengalienasi relasi metabolis antara manusia dengan alam, dan karenanya menciptakan patahan metabolis (metabolic rift) dan menghancurkan kondisi reproduksi ekologis. Kita berharap dapat memulihkan metabolisme esensial melalui pembalikkan revolusioner lapisan kapitalis dan penciptaan realitas materiil ko-evolusioner yang baru. Inilah inti dari pesan ekologi Marx.
Dalam pandangan materialis historis klasik, apropriasi bebas terhadap alam oleh manusia (penggunaan hadiah gratis dari alam) tidak harus dikutuk sebagai pencurian. Memang, “kerja-aktual” bagi Marx, “[tidak lain] merupakan apropriasi terhadap alam untuk pemenuhan kebutuhan manusia, yakni aktivitas yang melaluinya metabolisme antara manusia dan alam diperantarai.”[18] Namun tidak bisa juga masalah utamanya terletak pada, seperti dalam masyarakat borjuis, sekadar “murahnya” alam (cheapness of nature).[19] Justru, adalah ekspropriasi terhadap alam dalam artian apropriasi terhadap tanah atau sumberdaya tanpa timbal-balik (perawatan “kondisi reproduksi”) oleh kapitallah yang membenarkan pencurian.[20] Dalam pandangan Marx, “hukum ‘ekspropriasilah’, bukan ‘apropriasi’” yang menjadi fondasi kapitalisme.[21] Hal ini berkaitan dengan pelanggaran sistematis alam oleh kapitalisme, yang disebut ahli kimia Jerman abad 19, Justus von Liebig, sebagai “hukum penggantian” (atau “hukum kompensasi”) materi-alamiah yang dibutuhkan bagi reproduksi ekologis.[22]
Relasi destruktif kapitalisme terhadap lapangan ekologis bergantung pada sebuah perampokan yang disebut Marx sebagai “kekuatan-kekuatan dasariah alam”—perampokan bukan berarti elemen ini tidak “dibayar”, seperti dikatakan Moore, melainkan terkait pelanggaran hukum kompensasi.[23] Layaknya Erysichthon dalam mitologi Yunani, kapital mensyaratkan putaran ekspropriasi yang lebih banyak hanya untuk tetap berjalan, meski harus memakan seluruh yang ada—termasuk, akhirnya, dirinya sendiri.[24] Dialektika eksproriasi dan apropriasi, yang berakhir pada pemusnahan, bersandar pada inti kritik materialis-historis klasik atas kapital. Bagi Marx, bukanlah apropriasi kayu mati oleh petani-proletar, melainkan ekspropriasi-teralienasi kapital atas semua kayu (dan semua tanah) untuk akumulasi tak terhinggalah yang membentuk realitas esensial perampasan dunia materiil: sebuah “tragedi komoditas”, bukan tragedi komunal (tragedy of the commons).[25]
Jika eksploitasi kerja adalah kekuatan dibalik valorisasi dan akumulasi kapitalis, maka ia tidak dapat melanjutkan proses kontradiktif ini untuk skala yang kian lama kian besar tanpa adanya putaran baru dari destruksi kreatif di batasan sistem—ekspropriasi lingkungan bersamaan dengan ekspropriasi kerja reproduktif sosial, komunikasi manusia, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.[26] Dalam Capital dan tulisan-tulisan akhirnya, Marx menunjukkan bahwa upaya kapitalisme untuk meningkatkan kecepatan perputaran produksi kayu potong yang mengandalkan pepohonan yang bisa tumbuh lebih cepat dan produksi daging melalui pengembangbiakan ternak adalah sesuatu yang berlawanan dengan hukum alam (dalam hal peternakan ada kekejaman terhadap binatang).[27]
Bagi Marx, patahan metabolis—perantaraan yang teralienasi antara manusia dengan alam—adalah produk dari “perampokan” atau ekspropriasi terhadap tanah dan alam yang menghalangi “operasi kondisi alamiah yang abadi bagi kesuburan tanah.” Hal ini, pada gilirannya, memerlukan “pemulihan sistematis” atas metabolisme masyarakat masa depan yang terdiri dari produsen-produsen terasosiasi yang mampu mengatur “metabolisme manusia dan alam dengan cara yang rasional…mencapainya dengan mengeluarkan sedikit energi” dan mengembangkan sepenuh-penuhnya kekuatan individu dan kolektif manusia.[28]
Nilai dan Alam
Dengan kebangkitan ekososialisme, yang kemunculannya dikarenakan masalah retakan berskala planet, kritik-kritik ekologis atas sistem kapitalisme telah semakin dalam dan berlipatganda. Namun, seperti dalam periode kemajuan teoritis lain, hal ini menghasilkan perspektif, posisi yang berbeda-beda, dan perdebatan-perdebatan baru di sekitar konsepsi, lingkup, dan tujuan dari kritik nilainya Marx. Kaum enviromentalis Kiri dan ekologis politis seperti Stephen Bunker, Alf Hornborg, Zehra Taşdemir Yaşin, dan Giorgos Kallis telah mendekonstruksi teori nilai-kerja. Mereka berpendapat bahwa alam secara umum, energi, dan individu menciptakan nilai abstrak, yang tidak terbatas pada kerja manusia saja—atau, dalam kasus Hornorg, nilai ekonomis adalah nilai normatif belaka.[29] Analisis seperti demikian kerap datang dari teoritisi-teoritisi yang bekerja di luar lapangan ekonomi-politik yang kritis. Mereka cenderung merancukan konsep penggunaan energi (energy use), nilai-guna (use value), nilai instrinsik (intrinsic value) dan nilai normative (normative value) dengan sistem ekonomi nilai komoditas yang didasarkan pada kerja-abstrak di bawah kapitalisme.
Dalam kritik Marx atas proses valorisasi kapitalis yang spesifik secara historis, nilai adalah kristalisasi dari kerja-abstrak yang dibutuhkan secara sosial—“kerja sebagai penghabisan tenaga-kerja (labour power).”[30] Yang penting dari kritik ini adalah penyadaran bahwa nilai-guna materiil-alamiah, yang menjadi dasar dari setiap orang dan setiap komoditas sebagai kekayaan sejati, dieksklusikan dari perhitungan penciptaan nilai kapitalisme, sejauh tidak ada pekerja yang tergabung dalam produksinya. Seperti Marx nyatakan dalam Grundrisse, “materiil-alamiah yang murni sejauh tidak ada pekerja yang diobjektifikasi di dalamnya…tidak memiliki nilai [ekonomis] di bawah kapitalisme.”[31] Kontradiksi yang mencirikan produksi komoditas kapitalis ini termanifestasikan dalam oposisi antara nilai-guna dan nilai-tukar dengan menempatkan bentuk sempit perhitungan nilai kapitalis terutama pada kekayaan sejati, yang sebenarnya sumber dayanya ada dalam nilai-guna materiil-alamiah dan kerja-konkret manusia.[32]
Karena nilai-guna tidak memainkan peran langsung dalam logika internal valorisasi di bawah kapitalisme, maka hal ini membangkitkan gagasan ekonomi neoklasik dan klasik tentang “hadiah gratis dari Alam untuk kapital.”[33] Akumulasi dan eksploitasi kapitalis, seperti dijelaskan Marx, sangat bergantung pada perampasan kapital atas hadiah alam untuk kapital itu sendiri dan dengan memonopolisasi sarana produksi dan seluruh kekayaannya.[34] Aleniasi alam ini memiliki padanannya dalam aleniasi kerja—yakni, dalam kemunculan kelas tanpa landasan eksistensi kecuali penjualan tenaga kerjanya sendiri.
Dipahami dengan cara demikian, maka nilai komoditas yang dikonstruksi secara historis di bawah kapitalisme bukanlah di mana energi atau orang-orang terlibat langsung, melainkan produk relasi kelas-sosial manusia.[35] Untuk melihat alam atau energi—tidak hanya kerja-abstrak yang dibutuhkan secara sosial—sebagai pembentuk nilai komoditas yang hanya melayani pengalamiahan dan universalisasi proses nilai kapitalis, mengabaikan ciri historis dan sosial yang spesifik dan relasinya pada alienasi dan eksploitasi pekerja. Bahkan ekonomi neoklasik—bersama dengan ekonomi ekologisnya Nicholas Georgescu-Roegen—melekatkan semua nilai-tambah di dalam ekonomi pada kerja atau pelayanan manusia, dan bukan kepada alam atau energi.[36] Kapitalisme, maka, mengecualikan alam, (termasuk sifat badaniah manusia) dari bentuk nilainya—sebuah kontradiksi fundamental dan, dalam banyak segi, kontradiksi fatal pada sistem.
Berkebalikan dengan serangan frontal terhadap teori nilai Marx yang dijelaskan sebelumnya, pendekatan Moore yang lebih halus pertama-tama mencoba selaras dengan teori nilai Marxian, yakni melekatkan nilai pada kerja. Tapi jika ditinjau lebih dekat, analisisnya justru menyimpang dari pendekatan Marx dari segala sisi dan merusak setiap kritik ekologis (atau ekonomis) atas kapitalisme. Sebagaimana dikatakan Moore, bahwa argumen Marx “dihasilkan dari destabilisasi tertentu atas nilai sebagai sebuah ‘kategori ekonomis.’”[37] Tidak seperti kritik Marx atas valorisasi kapitalis yang mengenali bahwa di bawah kapitalisme semua nilai merupakan kristalisasi kerja sosial yang dibutuhkan dan membedakan secara tegas antara nilai dan kekayaan, Patel dan Moore, dalam A History of the World in Seven Cheap Things, justru ingin melenyapkan pembedaan ini. Mereka menyatakan bahwa “nilai adalah sebuah kristalisasi spesifik dari ‘sumber kekayaan sejati’: kerja manusia dan ekstra-manusia.”[38] Di sini Marx justru dikutip untuk melawan dirinya sendiri dengan menghadirkan definisi terkenalnya tentang kekayaan sebagai basis bagi nilai, yakni sebuah inti kritik Marxian yang bersandar pada pembedaan antara nilai-guna dengan nilai-tukar dan antara kekayaan dengan nilai.
Demikian pula halnya di dalam Capitalism in the Web of Life, di mana Moore mencoba mengubah gagasan Marx mengenai “hukum nilai” yang berfokus pada quid pro quo sebagai basis pertukaran komoditas kapitalis dalam relasinya kepada “dunia ekologi” sebagai keseluruhan.[39] Bagi Moore, “hukum nilai” berpusat pada ketiadaan quid pro quo (dalam arti pertukaran) antara kapital dan Alam Murah (Cheap Nature)—sebuah ketiadaan yang nantinya menjadi basis akhir, dalam analisis “nilai ekspansifnya”, dari valorisasi kapitalis—yang sangat berlawanan dengan analisis Marx sendiri.[40] Ia, kemudian, membantah bahwa nilai dalam bentuk ekspansif yang mencakup seluruhnya (termasuk nilai non-kerja) diperoleh, utamanya, dari apropriasi kerja/energi secara umum, yang mana eksploitasi kerja hanya epifenomena semata.
Maka, bagi Moore, rahasia dari akumulasi adalah “logika kesatuan kapitalis yang mengapropriasi ‘kerja’ manusia dan ekstra-manusia yang bertransformasi menjadi nilai.” Dalam terang ini, dunia ekologi/ekonomi kapitalis dan seluruh interaksi manusia dengan alam sama dengan apropriasi atas “empat hal yang murah”: tenaga-kerja, makanan, energi, dan bahan baku.[41] Tenaga-kerja ditampilkan tidak lebih signifikan berkenaan dengan hukum nilai dibanding dengan makanan, energi, dan sumber daya alamiah. (Dalam karya belakangan dengan Patel, Moore meluaskan kerangkanya dari empat menjadi tujuh, yakni menambah alam, kerja, uang, kehidupan, dan kerja perawatan, sementara menghapus tenaga-kerja dan bahan baku.) Formulasi yang berbelit ini menghambat setiap kritik yang koheren atas produksi nilai kapitalis dan pemahaman yang berarti atas krisis ekologis yang disebabkan sistem kapitalis.[42]
Argumen Moore tentang empat (atau tujuh) hal murah berakar dalam konsepsinya yang lebih elastis dari apa yang membentuk nilai di bawah sistem kapitalisme dan dalam peradaban secara umum, di mana tujuannya adalah menghadirkan tidak lebih dari sekadar “hukum nilai yang baru” yang mencakup eksploitasi kerja dan apropriasi alam/energi secara fisik.[43] “Hukum nilai”, ia menulis, adalah fenomena “yang membentuk dan memadukan sebuah peradaban.” Keduanya adalah produk dari bagian besar apropriasi “kerja” fisik, yakni energi alam semesta. “Relasi alam yang ekspansif”, seperti disebutnya, “membawa kita ke kehidupan ganda” yang melampaui proses kerja dan produksi nilai yang layak—seperti melampaui fenomena kerja tak dibayar—untuk mencakup semua “kerja ekstra-manusia” di dalam ekologi dunia kapitalis. Kenyataan yang lebih luas dari “kerja/energi yang tak dibayar” berkaitan dengan “zona apropriasi” yang jauh melebihi eksploitasi kerja dalam determinasinya atas dimensi nilai yang ekspansif dari peradaban tertentu.[44]
“Hukum nilai”, menurut Moore, “ketimbang mereduksinya pada kerja sosial yang abstrak, justru merupakan prasyarat yang dibutuhkan bagi ekspansi-diri melalui apropriasi Alam Murah yang diciptakan dan diteruskan”, yakni apropriasi jejaring kehidupan secara umum.[45] Lagi-lagi, kita berada pada kerancuan yang sama seperti “kepemilikan pribadi adalah pencurian”-nya Proudhon. “Hukum nilai” pada akhirnya didasarkan pada “apropriasi ‘kerja alam’ yang tak dibayar” (bersama dengan kerja perempuan tak dibayar di dalam rumah tangga dan bentuk-bentuk kerja tak dibayar lainnya). Baik “kerja/energi formasi bahan bakar fosil yang diakumulasi” dan eksploitasi tenaga-kerja di dalam pabrik, keduanya merupakan “momen-momen yang dituliskan di dalam hukum nilai.” Atmosfer “bekerja” dalam menyerap gas-gas rumah kaca, yang juga merupakan kerja “tidak dibayar”, sehingga berkontribusi bagi valorisasi kapitalis.[46] Hukum nilai ekspansifnya Moore yang didasarkan pada “dunia kerja tak dibayar” yang di dalamnya “hukum nilai dalam kapitalisme adalah hukum Alam Murah” berubah menjadi masalah yang tidak terpecahkan karena konsep tersebut sejatinya tidak berbatas, mencakup tidak hanya lingkungan bumi tapi keseluruhan alam semesta. Sebagaimana ia terpaksa mengakui bahwa “dunia kerja tak dibayar” dalam artian ini “tidak bisa dikuantifikasi.”[47] Meskipun ia menyatakan bahwa “nilai tidak akan bekerja kecuali kebanyakan kerja tidak diberi nilai.” Hal ini merupakan tautologi karena “kerja” mengacu pada segala yang tunduk pada hukum gerak secara fisik, sejauh ia berkaitan dengan ekonomi—dari subsistensi agrikultur, sarang lebah, air terjun, isotop radioaktif, sampai reaksi nuklir.[48] “Batu bara dan minyak”, tulisnya, “adalah contoh yang baik dari proses apropriasi kerja tak dibayar.”[49]
Apropriasi kerja/energi “tak dibayar” di bumi inilah yang merupakan kondisi abadi eksistensi manusia, yang digambarkan Patel dan Moore sebagai “pencurian yang sedang berlangsung”, yang mengarah pada akhir dari “murah-murah lain” yang lebih mahal.[50] Meski kapital akan berhenti menguasai kekuatan alamiah yang tidak dibayarnya—seperti kapital tidak membayar pekerja untuk kemampuan berpikirnya—hanya kekacauanlah yang menjadi hasil dari upaya mengapropriasi kapasitas alam untuk bekerja—dalam arti fisik—secara terukur dan entah bagaimana hal itu sepadan dengan produksi nilai ekonomis dalam relasi sosial kapitalis.[51] Hal itu tidak banyak membantu menjelaskan sebuah air terjun sebagai kerja “tidak dibayar”, meski air terjun itu digunakan untuk menghasilkan listrik.
Dalam “hukum nilai yang baru”-nya Moore, seluruh eksistensi materiil, baik kerja-sosial dibayar, kerja-sosial tak dibayar, atau kerja/energi alam semesta tak dibayar, semua itu dimanfaatkan untuk proses valorisasi kapitalis. Kerja/energi yang dihasilkan matahari dan Sistem Bumi (Earth System) yang sudah berjalan jutaan tahun dengan menghasilkan simpanan batu bara dan minyak—ditambah kerja fisik yang dihasilkan batu bara dan minyak pada produksi hari ini sebagai sumber energi entropi-rendah—masuk ke dalam determinasi hukum nilai komoditas-nya Moore yang diperluas, di mana ia menyatakan dapat menghitung “perubahan kerja alam ke dalam nilai [ekonomis] borjuasi.” Fisika, ekologi, dan ekonomi semuanya digabung menjadi satu dengan menghapus distingsi fundamentalnya yang krusial bagi kritik ekologis (dan ekonomis) Marx. “Relasi capital”, bagi Moore, “mengubah kerja/energi alam menjadi…nilai.”[52]
Pandangan-pandangan di atas mengabaikan teori-nilai kerja di bawah kapitalisme (dalam pandangan Bunker, Hornborg, Yaşin, dan Kallis) dan menyeretnya ke titik absurditas dalam pencarian “logika tunggal tentang kekayaan, kekuatan, dan alam” di bawah kapitalisme (dalam pandangan Moore). Justru sebaliknya, relasi metabolis antara manusia dan alam adalah relasi yang teralienasi dan kontradiktif dengan membuat irisan antara hukum gerak (dan hukum nilai) antagonistik kapitalisme dan Sistem Bumi.[53] Krisis ekologis tidak semata muncul karena ekonomi dunia (atau ekologi dunia) mengapropriasi kerja alam-eksternal tanpa pembayaran, tidak juga karena Alam Murah menjadi Alam Mahal yang merusak inti dari kapitalisme. Suatu krisis ekologis atau krisis perkembangan manusia yang berkelanjutan tidak dapat dikuantifikasikan dalam bentuk dolar atau sen, atau dalam istilah Alam Murah: “alam yang tidak dibayar.”
Justru, di jantung patahan metabolis hari ini, Marx berpendapat bahwa logika sistem kapitalis akumulasi yang teralienasi, di mana semua batasan alamiah diperlakukan seperti hambatan yang harus diatasi, membuka celah antropogenik dalam siklus biogeokimia yang membentuk seluruh Sistem Bumi.[54] Krisis ekologis yang wajar bukanlah krisis nilai ekonomis, melainkan disrupsi dan destruksi dari kondisi reproduksi ekologis dan perkembangan manusia demi generasi manusia di masa depan dan spesies hidup lainnya secara umum.[55] Dengan pembacaan ini, kontradiksi ekologis yang utama menetap di dalam ekspropriasi terhadap alam sebagai hadiah gratis untuk kapital, yang mengarah kepada “pemborosan tenaga bumi.” Inilah yang dimaksudkan Marx ketika ia berkata bahwa tanah telah “dirampas” oleh kondisi reproduksinya yang menciptakan keterpatahan metabolisme antara manusia dan bumi.[56]
Bukan apropriasi terhadap kerja/energi alam yang merupakan kondisi inheren masyarakat dan produksi manusia, atau kehidupan itu sendiri, yang harus kita utamakan—meski meningkatnya keluaran lingkungan itu penting—melainkan keretakan ekologis yang terus berkembang di atas Sistem Bumi oleh logika antagonistik kapital. Bukanlah apropriasi bebas terhadap kerja/energi fisik oleh manusia (sebuah kondisi objektif bagi eksistensi) yang merupakan sumber utama kontradiksi ekologis kita, melainkan ekspropriasi rakus terhadap alam oleh kapital dan patahan metabolis itu sendiri—yakni, disrupsi spesifik sistem komoditas secara historis atas kondisi elementer dan siklus biogeokimia reproduksi alamiah yang mana eksistensi manusia dan spesies lainnya harus bergantung.
Melawan Ekspropriasi Terhadap Bumi
Salah satu pembacaan Marx yang paling penting adalah bahwa “daya produktif” di bawah kapitalisme berubah menjadi “daya destruktif”. “Produktivitas kerja” di bawah kapitalisme menyebabkan “kemajuan di satu sisi, dan kemunduran di sisi lain”. Ia mengaitkan kemunduran ini secara spesifik pada degradasi “kondisi alamiah” dengan “habisnya hutan, batu bara, tambang besi, dan lain-lain”—bahkan sampai berdampak pada perubahan iklim suatu wilayah.[57] Dalam karya terawalnya, ia membayangkan bahwa ekspropriasi dan alienasi tanah/alam merupakan pasangan—bahkan kondisi utama—bagi ekspropriasi dan alienasi pekerja. Dalam Economic and Philosophical Manuscripts, ia mengamati bahwa kapitalisme, bahkan lebih dari feodalisme, berakar pada “dominasi atas bumi sebagai kekuatan yang asing di atas manusia.”[58] Ekspropriasi dan penghilangan manusia dari kondisi alamiah produksi melalui penguasaan kapitalis atas bumi menciptakan kondisi yang teralienasi bagi eksploitasi pekerja. Melalui jalur yang sama, orang kaya ada di mana-mana dengan meningkatnya penghancuran kekayaan publik (Paradoks Lauderdale).[59]
“Akumulasi primitif”, ungkap Marx dalam Capital, “adalah ekspropriasi terhadap produsen langsung” dengan melibatkan ekspropriasi ganda terhadap produsen langsung dan terhadap bumi.[60] Pemagaran historis atas tanah komunal, pertumbuhan kaum proletar, dan alienasi atas kerja dan tanah menciptakan pondasi penghancuran yang dibawa sistem kapitalisme. Seperti diamati Max Weber dalam perjalanannya pada 1905 menuju Teritori Indian (sekarang Oklahoma), “semua yang berdiri di sepanjang jalan kapitalis dihancurkan dengan kecepatan hampir seperti kecepatan cahaya.” Seperti Liebig dan Marx, Weber menunjukkan bahwa kultur kapitalis adalah perampasan—Raubbau (or Raubsystem)—yang menghancurkan bumi dan sumber daya alam bersama dengan formasi ekonomi pra-kapitalis.[61] Namun, raubsystem ini tidak dikaitkan dengan gagasan bahwa kepemilikan (apropriasi) adalah pencurian, melainkan bentuk historis spesifik dari ekspropriasi kapitalis terhadap manusia dan alam.
Ekspropriasi terhadap alam selalu diiringi oleh ekspropriasi terhadap manusia sebagai makhluk jasmani melalui bentuk perbudakan dan perhambaan yang tak terhitung banyaknya yang selalu ada pada batasan logis dan historis sistem, agar kapitalisme menjadi mungkin. Ekspropriasi selalu menjadi bagian penting dengan parameter-parameternya. Sistem kapital, ujar Marx, “menetes dari kepala sampai kaki, dari setiap pori-pori, dengan darah dan lumpur.”[62] Perbudakan, genosida, dan setiap jenis perhambaan manusia lain, termasuk perampasan terhadap bumi itu sendiri, merupakan asal-usul kapitalisme dan reproduksi antagonistiknya yang terus berlanjut. Hari ini, eksploitasi yang kasar (atau supereksploitasi) melalui kerja global massa pekerja di belahan bumi Selatan menciptakan “daerah-daerah kumuh” dan perang imperialis yang dijalankan di daerah pinggiran bersamaan dengan ekspropriasi kerja perempuan tak dibayar yang terus berlanjut.[63]
Selama “Era Kapital”—yang disebut Eric Hobsbawm, yakni sebuah periode dimana vitalitas terbesar datang dari Revolusi Industri—adalah mungkin untuk memusatkan masalah pada ciri progresif kapitalisme dengan mangabstrasikan ekspropriasi.[64] Kritik Marx tidak berpusat pada ekspropriasi demikian, melainkan pada eksploitasi pekerja. Dan pada pekerja yang telah terproletarianisasilah ia menempatkan harapannya pada transisi revolusioner. Hari ini, terlepas dari perkembangan teknologi yang luar biasa—hanya sebagian yang dihasilkan oleh sistem—kita melihat gangguan pada mekanisme utama akumulasi kapitalis. Semua yang padat, sekali lagi, kini mulai mencair. Hari ini, tingkat eksploitasi sangat meningkat untuk mengatasi masalah surplus penyerapan yang berkenaan dengan “overproduksi sarana produksi,”[65] Karenanya, dalam era neoliberal, kapitalisme, dalam upayanya mengatasi kondisi materiil eksistensinya, telah membawa seluruh realitas ke dalam logika valorisasi melalui finansialisasi—yang disebut Karl Polanyi sebagai konsep “utopis” masyarakat pasar.[66]
Dalam era baru penjarahan dan penguasan global hari ini, perjuangan kapitalis telah beralih kepada profit atas ekspropriasi, penguasaan semua arus moneter, aset, dan kepemilikan individu di manapun berada. Perampasan lahan menjadi faktor dominan dalam banyak belahan bumi Selatan.[67] Perdagangan karbon diperkenalkan dengan dalih mengatasi masalah perubahan iklim, padahal ia menciptakan pasar untuk meraih profit. Sistem Bumi untuk tempat hidup manusia telah hancur. Kerja mulai didekonstruksi untuk menciptakan kerentanan dan ketidakkokohan yang lebih besar lagi. Dalam kondisi seperti ini, diktum Marx yang tajam: “Accumulate, accumulate! That is Moses and the Prophets!” menjadi tujuan sistem lebih dari sebelumnya, dengan seluruh aspek kehidupan yang semakin terancam.[68]
Maka, mereduksi masalah ekologis kapital hanya kepada permasalahan Alam Murah, yakni seolah-olah hanya masalah kontribusi alam ke dalam pasar—sebuah pandangan ideologis yang dijustifikasi oleh berbagai teoritisi kapital alamiah dan ekologis—akan menjadi kesalahan besar.[69] Justru akar dari kegentingan lingkungan hidup kontemporer adalah ketidakcocokan sistem akumulasi kapital bagi eksistensi manusia dan Sistem Bumi. Saat kapital mencapai sukses besar dalam mengeksploitasi kerja manusia, krisis overakumulasi dan surplus penyerapan akan memiliki ekses berupa dekonstruksi planet bumi dengan lautan yang dipenuhi plastik dan atmosfir yang dipenuhi karbon. Desakan pembaruan bagi ekspropriasi terhadap alam bukanlah tanda kejayaan, melainkan ancaman kehancuran kapitalisme.
Gerakan ekologi dunia muncul dari yang kita sebut sekarang sebagai epos Antroposen di dalam sejarah geologi yang dibawa oleh Akselerasi Besar—periode meningkatnya keretakan antropogenik dalam siklus biogeokimia yang ditandai dengan terciptanya bom atom pada 1945, atau pada 1950-an dengan pengujian nuklir di atas tanah dengan bom hidrogen yang menyebabkan hujan radioaktif.[70] Namun, jawaban dari krisis Antroposen ini jauh lebih revolusioner dibanding gerakan Hijau yang muncul pada 1960-an yang hanya mengajukan perlindungan lingkungan dan perlawanan terhadap polusi, namun hampir tidak pernah mempertanyakan sistem sosial. Hari ini tidak bisa lagi diabaikan bahwa valorisasi kapitalis adalah proses destruktif yang inheren, sebagai musuh tidak hanya bagi kerja kreatif dan kerja bebas manusia, melainkan juga bagi bumi sebagai habitat manusia dan spesies lainnya. Ungkapan terkenal kapitalisme, “destruksi kreatif”, jika diteruskan, akan menuju pada pemusnahan “generasi umat manusia.”[71]
Di abad ini, pertarungan melawan ekspropriasi terhadap bumi harus menyatu dengan pertarungan melawan ekspropriasi terhadap manusia, yang pada akhirnya akan menantang dialektika ekspropriasi dan eksploitasi dan “jantung barbar” kapital.[72] Masa depan bergantung pada perkembangan gerakan sosialis/ekososialis abad 21 yang berakar pada kelas pekerja yang beragam dan inklusif. Yang dibutuhkan adalah rekonstitusi revolusioner atas kesalingbergantungan metabolisme sosial dengan alam—dengan tujuan tidak hanya keberlanjutan ekologis dan konservasi energi, tapi juga perkembangan dan kekuatan manusia di dalam dan melalui masyarakat. Kitalah yang harus melakukannya.
*diterjemahkan oleh Arlandy Ghiffari dari artikel John Bellamy Foster dalam Jurnal Monthly Review: Marx, Value, and Nature (https://monthlyreview.org/2018/07/01/marx-value-and-nature/#endnote-70-backlink)
[1] Karl Marx and Frederick Engels, Collected Works, vol. 1 (New York: International Publishers, 1975), 224–63. On the term “peasant proletariat,” see V. I. Lenin, Collected Works, vol. 20 (Moscow: Progress Publishers, 1972), 132–35.
[2] Karl Marx, Contribution to a Critique of Political Economy (Moscow: Progress Publishers, 1970), 19–20.
[3] Istilah usufruct mengacu pada konseps dalam sistem hukum Kerajaan Romawi tentang pengaturan hak pemanfaatan property orang lain tanpa mengubah karakteristik property tersebut. Sistem ini muncul dalam konteks penggunaan property milik tuan oleh budak secara sementara selama hubungan tuan-budak masih terjadi. Lihat lebih lanjut dalam The Editors of Encyclopaedia Britannica (2020): Usufruct. Law. Encyclopedia Britannica. Tersedia daring dalam https://www.britannica.com/topic/usufruct. Diakses pada 9/8/2020. (peny.)-
[4] Marx and Engels, Collected Works, vol. 1, 225, 233–35; Peter Linebaugh, Stop Thief! (Oakland: PM, 2014), 43–60; T. C. Banfield, Industry of the Rhine, Series I (London: Knight, 1846), 111; John Bellamy Foster, Marx’s Ecology (New York: Monthly Review Press, 2000), 66–68; David McLellan, Karl Marx (New York: Harper and Row, 1973), 56.
[5] Joseph-Pierre Proudhon, What Is Property? (Cambridge: Cambridge University Press, 1993),13–16, 70. Marx pertama kali merujuk Proudhon pada Oktober 1842, ketika ia menulis bagian pertama tulisannya mengenai pencurian kayu. Marx and Engels, Collected Works, vol. 1, 220. Dalam The Holy Family, Marx dan Engels berpendapat bahwa kritik ekonomi politik Proudhon dalam What is Property? adalah “kritisisme atas ekonomi politik dari titik pijak ekonomi politik,” yang mana Proudhon mengambil kriteria borjuasi mengenai pertukaran yang setara sebagai basis satu-satunya dalam kritiknya. Marx and Engels, Collected Works, vol. 4, 31–32; David McNally, Against the Market (London: Verso, 1993), 141–45.
[6] Pertemuan Proudhon dan Marx dalam film ini tentu saja sekadar imajinasi, tapi cukup untuk mengetahui fakta-fakta yang ada. See J. Hampden Jackson, Marx, Proudhon and European Socialism (London: English Universities Press, 1957), 50–70. Bahwa kepemilikan secara umum sebagai “abstraksi” diambil dari karya Karl Marx, Grundrisse (London: Penguin, 1973), 85. Marx sangat terilhami dari kritik atas kepemilikan pribadi dalam What Is Property? tapi ia mengkritik Proudhon karena lemahnya analisis mengenai bentuk-bentuk kepemilikan. Marx and Engels, Collected Works, vol. 4 (New York: International Publishers, 1975), 31–32.
[7] Mengenai pembedaan Marx antara apropriasi dan ekspropriasi, lihat John Bellamy Foster and Brett Clark, “The Expropriation of Nature,” Monthly Review 69, no. 10 (2018): 1–27.
[8] C. B. Macpherson, The Political Theory of Possessive Individualism (Oxford: Oxford University Press, 1962), 194–62; John Locke, Two Treatises on Government (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 297–301; G. W. F. Hegel, The Philosophy of Right (Oxford: Oxford University Press, 952), 41–45. Dalam kasus Locke, konsep borjuasi mengenai apropriasi digunakan untuk menjustifikasi ekspropriasi, contohnya Pribumi Amerika yang keliru karena mereka tidak mentransformasikan tanahnya melalui kerja. Locke, seorang investor dalam Perusahaan Kerajaan Afrika (, juga menjustifikasi ekspropriasi fisik atas manusia dalam kasus perbudakan bangsa Afrika. Lihat Barbara Arneil, John Locke and America: The Defense of English Colonialism (Oxford: Oxford University Press, 1996), 168–200; Peter Olsen, “John Locke’s Liberty Was for Whites Only,” New York Times, December 25, 1984.
[9] Karl Marx, The Poverty of Philosophy (New York: International Publishers, 1963), Grundrisse, 87–88, 488–49. Lihat juga rujukan Engels pada “Proudhon’s theft thesis” in Marx and Engels, Collected Works, vol. 6 (New York: International Publishers, 1976), 260.
[10] Karl Polanyi, Primitive, Archaic, and Modern Economies (Boston: Beacon, 1968), 8–93, 106–07, 149–56.
[11] Marx and Engels, Collected Works, vol. 1, 228.
[12] Karl Marx, Early Writings (London: Penguin, 1970), 389–92; Georg Lukács, History and Class Consciousness (London: Merlin, 1971), xxiii–xxiv; István Mészáros, Marx’s Theory of Alienation (London: Merlin, 1975); John Bellamy Foster and Brett Clark, “Marxism and the Dialectics of Ecology,” Monthly Review 68, no. 5 (October 2016): 1–17.
[13] Raj Patel and Jason W. Moore, A History of the World in Seven Cheap Things (Berkeley: University of California Press, 2017), 81, 95. Di tempat lain, Moore mendefinisikan apropriasi sebagai identifikasi, penyaluran, dan pengamanan “kerja tak dibayar” di luar sistem komoditas dan mempertahankan segala yang ada di alam sebagai yang “tak dibayar”. Tapi karena alam tidak pernah “dibayar”, hal ini sama seperti gagasan dalam karyanya mengenai apropriasi kerja ekstra-manusia yang meliputi seluruh kekuatan fisik, yakni apropriasi dalam artian terluasnya (meski terlepas dari ekonomi-politik klasik dan filsafat mengenai apropriasi sebagai kepemilikan).
[14] Untuk kajian ringkas mengenai hubungan fisika, kapitalisme, dan krisis ekologis, lihat Erald Kolasi, “The Physics of Capitalism,” Monthly Review 70, no. 1 (May 2018): 29–43.
[15] Para pemikir ekologi membedakan realitas alam menjadi dua, yakni alam internal dan alam eksternal. Neil Smith misalnya mendefinisikan alam internal sebagai diri manusia itu sendiri di mana segala hasrat ekspansif bersemayam, sementara alam eksternal adalah realitas meliputi lingkungan sosial dan fisik tempat manusia hidup (1984, 12), peny.
[16] Dalam The Condition of the Working Class in England, Engels mendefinisikan “kerja” sebagai “keluaran dari tenaga.” Lihat Marx and Engels, Collected Works, vol. 4, 431. Lancelot Hogben berpendapat bahwa Engels kemudian menyambut perkembangan baru dalam termodinamika dan teori umum kerja yang muncul di fisika melalui James Prescott Joule dan yang lain sebagai, dalam kata-kata Hogben, “permulaan dari bab baru dalam sejarah ilmu pengetahuan.” Tapi tidak seorang pun dapat memandang bahwa analisis Marx dan Engels merancukan spesifisitas kerja manusia dengan “kerja” dalam artian fisik. Lancelot Hogben, Science for the Citizen (New York: Knopf, 1938), 65; Marx and Engels, Collected Works, vol. 25 (New York: International Publishers, 1987), 370, 505.
[17] Karl Marx, Capital, vol. 1 (London: Penguin, 1976), 133–34.
[18] Marx and Engels, Collected Works, vol. 30 (New York: International Publishers, 1988), 40.
[19] Marx hanya bisa dikatakan ironis ketika menyasar permintaan untuk “Pangan Murah” melalui pedagang-pedagang borjuasi yang bebeas saat ia hidup. Lihat See Marx, The Poverty of Philosophy, 207.
[20] Paul Burkett, “Nature’s Free Gifts and the Ecological Significance of Value,” Capital and Class 68 (1999): 89–110; Foster and Clark, “The Expropriation of Nature.”
[21] Marx and Engels, Collected Works, vol. 33, 301.
[22] Justus von Liebig, Letters on Modern Agriculture (London: Walton and Maberly, 1859), 254–55; Kohei Saito, Karl Marx’s Ecosocialism (New York: Monthly Review Press, 2017), 197. Hukum kompensasi, yang berkaitan dengan penggantian dari sumber daya terbarukan, harus dilengkapi dengan apa yang disebut Herman Daly sebagai aturan lebih luas mengenai keberlanjutan: (1) Sumber daya terbarukan harus digunakan tidak lebih cepat ketimbang regenerasinya; (2) Sumber daya tidak terbarukan harus digunakan tidak lebih cepat ketimbang sumber daya terbarukan yang akan menggantikannya; (3) Polusi dan limbah harus dikeluarkan tidak lebih cepat sebelum keduanya dapat diserap, didaur ulang, atau dibuat tidak berbahaya. Lihat the Sustainable Water Resources Roundtable, “What Is Sustainability?” http://acwi.gov.
[23] Marx and Engels, Collected Works, vol. 1, 234.
[24] Ovid, Metamorphoses (New York: Norton, 2004), 298; Richard Seaford, Ancient Greece and Global Warming (London: Classical Association, 2009).
[25] Lihat Stefano B. Longo, Rebecca Clausen, and Brett Clark, The Tragedy of the Commodity (New Brunswick, NJ: Rutgers University Press, 2015).
[26] Mengenai kebutuhan kapitalisme untuk ekspansi lingkungan yang tanpa batas, lihat John Bellamy Foster, Brett Clark, and Richard York, The Ecological Rift (New York: Monthly Review Press, 2010), 207–11. Nancy Fraser, “Behind Marx’s Hidden Abode: For an Expanded Conception of Capitalism,” New Left Review 86 (2014): 55–72, and “Expropriation and Exploitation in Racialized Capitalism,” Critical Historical Studies 3, no. 1 (2016): 163–78; Michael C. Dawson, “Hidden in Plain Sight: A Note on Legitimation Crises and the Racial Order,” Critical Historical Studies 3, no. 1 (2016): 143–61; John Bellamy Foster and Brett Clark, “Women, Nature, and Capital in the Industrial Revolution,” Monthly Review 69, no. 8 (2018): 1–24.
[27] Karl Marx, Capital, vol. 2 (London: Penguin, 1978), 321–22; John Bellamy Foster, “Marx as a Food Theorist,” Monthly Review 68, no. 7 (December 2016): 14–15.
[28] Marx, Capital, vol. 1, 637–38; Capital, vol. 3 (London: Penguin, 1981), 959.
[29] Lihat, misalnya, Stephen Bunker, Underdeveloping the Amazon (Chicago: University of Chicago Press, 1985), 31–36, 44–45; Alf Hornborg, “Towards an Ecological Theory of Unequal Exchange,” Ecological Economics 25, no. 1 (1998): 130, and Global Ecology and Unequal Exchange (London: Routledge, 2011), 104; Zehra Taşdemir Yaşin, “The Adventure of Capital with Nature: From the Metabolic Rift to the Value of Nature,” Journal of Peasant Studies 44, no. 3 (2017): 391–93; Giorgos Kallis and Erik Swyngedouw, “Do Bees Produce Value?” Capitalism Nature Socialism 28, no. 3 (2017): 1–15. For critiques of such views, see Matthew T. Huber, “Value, Nature, and Labor: A Defense of Marx,” Capitalism Nature Socialism 28, no. 1 (2017): 39–52, and Paul Burkett, Marx and Nature (Chicago: Haymarket, 2014).
[30] Karl Marx, Texts on Method (Oxford: Basil Blackwell, 1975), 200.
[31] Marx, Grundrisse, 366. Dalam ekonomi politik klasik, sewa, didefinisikan sebagai pengurangan dari jumlah nilai-lebih yang membentuk nilai tukar sumber daya alam tertentu tanpa membentuk nilai komoditas–karena komoditas memiliki sumber dayanya secara eksklusif dalam kerja-abstrak.
[32] Karl Marx, Critique of the Gotha Programme (New York: International Publishers, 1938), 3–4.
[33] Marx and Engels, Collected Works, vol. 37 (New York: International Publishers, 1998), 732–33. Gagasan mengenai “hadiah gratis dari alam” kepada kapital tidak ditemukan oleh Marx namun ia adalah aksioma dalam kerja seluruh tokoh ekonomi-politik klasik, termasuk Thomas Robert Malthus dan Adam Smith. Aksioma ini diwariskan kepada Marx, bagaimanapun, untuk memberikan konsep ini sebuah pembacaan kritis dengan menjelaskan bahwa hadiah gratis ini dimonopolisasi oleh kapital dalam konteks alienasi atas alam dan manusia.
[34] Tidak satu pun dari masalah ini, dalam konsepsi Marx, berarti bahwa bahan baku yang digunakan dalam produksi kekurangan nilai komoditasnya. Nilai dari bahan baku didapatkan sebagai hasil dari tenaga-kerja yang dicurahkan untuk memperoleh dan memprosesnya. Sebagai tambahan, sewa tanah adalah pengurangan dari jumlah nilai-lebih yang masuk ke dalam biaya industri. Benar bahwa, sementara bahan baku dan nilai guna materiil-alamiah lain yang digunakan dalam produksi (sebagai kapital konstan) mendapatkan nilainya, namun mereka tidak menghasilkan nilai seperti yang dihasilkan kerja-abstrak yang dibutuhkan secara sosial. Lebih jauh, monopoli kapital atas tenaga produktif yang disediakan oleh alam–yang dipandang sebagai “hadiah gratis dari alam untuk kapital”–membentuk sumber pokok atas dominasi kelas dan tendensi destruktif yang lebih luas. Karl Marx, Theories of Surplus Value, Part Two (Moscow: Progress Publishers, 1968), 45–46.
[35] Lihat Foster and Burkett, Marx and the Earth, 107–10.
[36] Untuk deskripsi kritis mengenai bagaimana standar perhitungan ekonomi kapitalis gagal menggabungkan kerja rumah tangga dan subsistensi (yang kebanyakan dilakukan perempuan) dan alam ke dalam perhitungan nilai-tambah, lihat Marilyn Waring, Counting for Nothing (Toronto: University of Toronto Press, 2009). Mengenai posisi Georgescu-Roegen, lihat John Bellamy Foster dan Paul Burkett, Marx and the Earth (Chicago: Haymarket, 2016), 135.
[37] Jason W. Moore, “The Capitalocene, Part II: Abstract Social Nature and the Limits to Capital” (June 2014): 29, http://researchgate.net; diakses 13 April, 2018.
[38] Patel and Moore, A History of the World in Seven Cheap Things, 101.
[39] Seperti ditulis Paul Baran: “hukum nilai [dapat dilihat] sebagai sekumpulan proposisi yang menggambarkan ciri-ciri ekonomi dan organisasi sosial dari epos sejarah tertentu yang bernama kapitalisme. Organisasi ini dicirikan dengan kelaziman prinsip quid pro quo dalam relasi ekonomi (dan bukan hanya ekonomi) di antara anggota masyarakat; melalui produksi (dan distribusi) barang-barang dan jasa sebagai komoditas; melalui produksi dan distribusi mereka pada sebagian produsen independen dengan bantuan tenaga kerja yang direkrut untuk pasar anonim untuk menciptakan profit… Dengan dominasi hukum nilai, tatanan kapitalis berbeda dari yang lainnya: dari zaman kuno di mana perbudakan didominasi oleh kondisi produksi dan distribusi; dari feodalisme dengan sistemnya yang didasarkan pada jejaring hak, kewajiban, dan tradisi yang komprehensif; dari sosialisme dengan perencanaan yang menjadi prinsip utama” (Paul A. Baran to Stanley Moore, August 5, 1960, in Paul. A. Baran and Paul M. Sweeezy, The Age of Monopoly Capital [New York: Monthly Review Press, 2017], 253).
[40] Moore, Capitalism in the Web of Life, 14, 191. Fakta bahwa alam atau Sistem Bumi semestinya berada di luar sirkuit nilai kapital membangkitkan Paradoks Lauderdale, yang mana berkata bahwa kekayaan publik (khususnya kekayaan alam di luar ekonomi) dihancurkan oleh peningkatan kekayaan pribadi dalam ekonomi pertukaran komoditas. Kekayaan pribadi bergantung pada kelangkaan sebagai prasyaratnya, dan dengan destruksi keberlimpahan alam, seperti ketercukupan air bersih, udara bersih, dan lain-lain. Menggabungkan kekayaan pribadi dan publik di dalam “hukum nilai” seperti dalam analisis Moore hanya akan merancukan masalah dengan mengabaikan kontradiksi antara produksi komoditas kapitalis dan alam sebagai satu kesatuan–yakni, antara pencuri dengan yang dicuri. Lihat Foster, Clark, dan York, The Ecological Rift, 53–72.
[41] Moore, Capitalism in the Web of Life, 14, 17.
[42] Moore berpendapat bahwa kapitalisme memproduksi (atau “bersama-sama memproduksi”) dunia alamiah dengan, secara efektif, menempatkan aktivitas alam semesta dan masyarakat pada perahu yang sama. Sebaliknya, seperti dijelaskan Marx, yang dapat dilakukan dari kebanyakan bentuk produksi sosial adalah mengubah bentuk yang di dalamnya proses-proses biogeokimia terjadi dan berubah di sekelilingnya, yang seringkali mendisrupsi dan membawa pada konsekuensi-konsekuensi yang belum diprediksi dan seringkali berbahaya. Untuk berbicara mengenai produksi antropogenik alam adalah melekatkan kekuatan supranatural kepada masyarakat manusia. Karl Marx, Letters to Kugelmann (New York: International Publishers, 1934), 73; Marx, Capital, vol. 1, 133–34; Foster, Marx’s Ecology; Brett Clark dan Richard York, “Rifts and Shifts: Getting to the Root of Environmental Crises,” Monthly Review 60, no. 6 (2008): 13–24.
[43] Moore, Capitalism in the Web of Life, 69–70.
[44] Jason W. Moore, “Value in the Web of Life, or, Why World History Matters to Geography,” Dialogues in Human Geography 7, no. 3 (2017): 327–28, Capitalism in the Web of Life, 53–54, 65–66, 73, and “The Rise of Cheap Labor,” in Moore, ed., Anthropocene or Capitalocene (Oakland: PM, 2016), 98. Kritik atas analisis relasi-nilai ekspansif dipengaruhi oleh karya Kamran Nayeri, “Capitalism in the Web of Life—A Critique,” Climate and Capitalism, July 19, 2016, http://climateandcapitalism.com; Jean Parker, “Ecology and Value Theory,” International Socialism 153 (2017); Ian Angus, “Do Seven Cheap Things Explain the History of Capitalism?” Climate and Capitalism, January 10, 2018; Andreas Malm, The Progress of this Storm (London: Verso, 2018), 178–96.
[45] Moore, Capitalism in the Web of Life, 67.
[46] Moore, Capitalism in the Web of Life, 101–02. Dengan mendefinisikan apropriasi sebagai gambaran “kerja” alam secara umum, dan dengan mengklaim bahwa apropriasi semacam itu adalah pencurian, Moore secara implisit mengkategorisasikan seluruh kepemilikan dan produksi manusia sebagai pencurian. Tidak ada dasar untuk membedakan apropriasi borjuasi (kepemilikan) dari bentuk apropriasi yang lain (kepemilikan), sebagaimana pembedaan ini menjadi inti analisis Marx.
[47] Moore merujuk tidak hanya kepada kerja manusia di luar ekonomi formal, tapi lebih penting, kepada seluruh “kerja” yang dilakukan dalam dunia fisik di alam. Moore, Capitalism in the Web of Life, 95.
[48] Moore, Capitalism in the Web of Life, 54. Hornborg berpendapat bahwa “Upaya Moore untuk menteorisasi apropriasi kerangka ekologis menghasilkan idiom yang berlebihan dan kabur” yang Hornborg timpakan kesalahannya pada”dogma Marxian.” Namun pendekatan Moore tidak mencerminkan kecacatan inheren apapun dalam teori Marxian, justru itu adalah pengabaian Moore sendiri mengenai pembedaan teoritis yang krusial dalam mode Marxian klasik. Hal ini dapat dilihat dengan sangat nyata dalam upayanya menggunakan idiom Marxian tanpa kerangka konsep untuk mengembangkan sebuah teori yang menghapus perbedaan antara apropriasi borjuasi dengan seluruh bentuk kepemilikan lain (dengan menyandarkan konsep apropriasi secara umum), dan antara kerja sosial manusia dengan keluaran kerja/energi dalam alam semesta. Tidak satu pun dari semua ini dapat disalahkan kepada Marx atau teori Marxian. Alf Hornborg, Global Magic (London: Palgrave Macmillan, 2016), 169.
[49] Moore, Capitalism in the Web of Life, 71. Tidak diragukan lagi bahwa kapitalisme bergantung pada apropriasi fisik alam secara umum dengan kuantitas yang bahkan jauh lebih besar. Karenanya, Moore menulis bahwa “Pandangan Foster adalah untuk menempatkan kapitalisme sebagai sebuah metabolisme dengan alur terbuka yang membutuhkan lebih banyak Alam Murah hanya agar ia berada di tempatnya”.
[50] Patel and Moore, A History of the World in Seven Cheap Things, 81, 95.
[51] Marx, Grundrisse, 357–58. Untuk kajian yang bagus tentang isu-isu ini, lihat Ali Douai, “Value Theory in Ecological Economics,” Environmental Values 18 (2009): 257–84.
[52] Moore, Capitalism in the Web of Life, 71, 101–02, “Value in the Web of Life,” 328, and “The Rise of Cheap Labor,” 89. Harap dicatat bahwa teori sewa klasik yang mengutamakan penggabungan sumber daya alam dalam ekonomi kapitalis dan yang menjadi kunci dari analisis ekonomi Marx adalah sepenuhnya diabaikan dalam Capitalism in the Web of Life. Mengenai aspek ekologis dari teori sewa Marx, lihat Burkett, Marx and Nature, 74–75, 90–103.
[53] Moore, “Value in the Web of Life,” 327, Capitalism in the Web of Life, 85, 137, 236. Mengenai monisme sosial Moore, lihat Moore, Capitalism in the Web of Life, 85. Untuk kritik, lihat John Bellamy Foster, “Marxism in the Anthropocene: Dialectical Rifts on the Left,” International Critical Thought 6, no. 3 (2016): 393–421; John Bellamy Foster and Brett Clark, “Marx’s Ecology and the Left,” Monthly Review 68, no. 2 (2016): 1–25.
[54] Mengenai dialektika hambatan dan batasan, lihat Marx, Grundrisse, 334–35, 409–10, 539; Foster, Clark, dan York, The Ecological Rift, 53–72, 284–86.
[55] Kontradiksi yang mencuat ketika terjadi krisis ekologis dilihat sebagian besar sebagai permasalahan krisis ekonomi karena meningkatnya biaya sumber daya alam, dan bukan dalam artian degradasi alam itu sendiri, lihat John Bellamy Foster, “Capitalism and Ecology: The Nature of the Contradiction,” Monthly Review 54, no. 4 (September 2002): 6–16.
[56] Marx, Capital, vol. 1, 637–38, vol. 3 949.
[57] Marx, Capital, vol. 3, 369; Marx and Engels, Collected Works, vol. 5 (New York: International Publishers, 1975), 52; John Bellamy Foster, “Capitalism and the Accumulation of Catastrophe,” Monthly Review 63, no. 7 (December 2011): 1–17; Saito, Karl Marx’s Ecosocialism, 239–55.
[58] Marx, Early Writings, 318.
[59] Foster, Clark, and York, The Ecological Rift, 53–72.
[60] Marx, Capital, vol. 1, 871, 927.
[61] John Bellamy Foster and Hannah Holleman, “Weber and the Environment,” American Journal of Sociology 117, no. 6 (2012): 1650–55.
[62] Marx, Capital, vol. 1, 926.
[63] Sven Beckert, Empire of Cotton (New York: Vintage, 2014); Fraser, “Behind Marx’s Hidden Abode”; Fraser, “Expropriation and Exploitation in Racialized Capitalism”; Dawson, “Hidden in Plain Sight”; Foster and Clark, “The Expropriation of Nature”; John Smith, Imperialism in the Twenty-First Century (New York: Monthly Review Press, 2016); Mike Davis, Planet of the Slums (London: Verso, 2007).
[64] Eric Hobsbawm, The Age of Capital (New York: Vintage, 1996).
[65] Paul M. Sweezy, “The Communist Manifesto Today,” Monthly Review 50, no. 1 (May 1998): 8–10.
[66] Karl Polanyi, The Great Transformation (Boston: Beacon, 1944), 178.
[67] Costas Lapavitsas, Profiting without Producing (London: Verso, 2013), 141–46.
[68] Marx, Capital, vol. 1, 742.
[69] Kerangka Moore tentang Alam Murah sangat bersandar pada estimasi moneter atas jasa lingkungan atau jasa ekosistem yang dikembangkan oleh ekonomi lingkungan neoklasik. Moore, Capitalism in the Web of Life, 64. Lihat juga kritk atas teori kapital-alamiah dalam John Bellamy Foster, “The Ecological Tyranny of the Bottom Line,” in Richard Hofrichter, ed., Reclaiming the Environmental Debate (Cambridge, MA: MIT Press, 2000): 135–53.
[70] Curtis White, The Barbaric Heart (Sausalito: PoliPoint, 2009).
[71] Karl Marx, Capital, vol. 3 (London: Penguin, 1981), 754.
[72] Curtis White, The Barbaric Heart (Sausalito: PoliPoint, 2009).