Dosen saya, seorang guru besar ilmu politik ternama yang malang melintang di kancah perpolitikan nusantara, bukan sekali dua kali melontarkan wacana politis yang nyeleneh. “Saya ingin bikin partai Islam”, ujarnya pada kami, “tapi Islam-nya yang sosialis”.
“Maksudnya pak?”
“Yaaa, Partai Sosialis Islam!”
“Partai Sosis kali pak!”, celetuk teman saya dengan kurang ajar, diikuti dengan tawa kami sekelas. Seperti biasa, beliau tertawa terkekeh-kekeh, membuai kami dengan cerita nostalgia: Soeharto, Islam, Reformasi dan segala diantaranya. Umur, nampaknya, membuat seorang insan lebih santai menanggapi problematika dunia.
Tapi saya rasa ada kegetiran yang terselip di antara tawa. Gagasan Partai Islam sendiri sudah bangkit, dikritisi, dicaci, dibunuh, dikubur, dan kini dibangkitkan kembali. Carut-marut politik Islam kontemporer menyulut sumbu nostalgia – kala Islam, nampaknya, sudah sedemikian dekat mewujudkan mimpi umat.
Sarekat Islam, Politik Islam
Hampir seabad lalu, Raden Mas Hadji Oemar Tjokroaminoto menerbitkan “Islam dan Sosialisme”. Tahun itu – 1924 – adalah kala bumi meronta, menggigil dan membara, kala revolusi memutus belenggu para raja dan membidani lahirnya bangsa-bangsa. Sejarah mencatat bahwa kaum Bolshevik di Russia telah menggilas bala tentara putih di Siberia; Jerman, yang baru saja kalah perang, harus menanggung pemberontakan rakyat pekerja, sebagaimana pula Hungaria. Dunia Islam diguncang dengan keruntuhan sisa-sisa Kekhalifahan Usmaniyah dan pengukuhan rezim republiken yang sekuler tanah Turki. India dan segenap Timur Jauh masih terbaring di dipan, belum menggeliat, meliuk, menyongsong terbitnya khitah kemerdekaan.
Situasi negeri sendiri sarat darah dan amarah. Lima tahun sebelumnya, kegagalan panen dan penyitaan tanah oleh pemerintah kolonial berpucuk pada pemberontakan Haji Hasan di Cimareme, Garut. “Peristiwa Afdeling B”, begitu nama pembantaian ini, mengantarkan Raden Mas Hadji Oemar Tjokroaminoto ke penjara. Kesatuan Sarekat Islam sendiri terancam oleh penyusupan Sneevliet dan antek-antek ISDV ke tubuh SI, yang akhirnya menyempal sebagai SI Merah, dan kemudian Sarekat Rakyat, di tahun 1921. Tanpa Tjokroaminoto, pengurus Central Sarekat Islam kalang kabut menekan agitasi kiri tanpa kehilangan muka di depan penguasa Belanda.
Dengan ini kita memperoleh cerminan buram latar sejarah yang menelurkan Sosialisme Islam: situasi umat Islam, atau tepatnya situasi politik umat Islam, berada di titik nadir. Di Turki sana, harapan meneruskan negara Islam ditumpas oleh kemenangan Mustafa Kemal, sementara komunisme menggerogoti barisan umat di Indonesia. Kemenangan kaum Bolshevik di Eropa memodali lakunya Marxisme di kalangan cendekia, yang kian nekat mengimpor ilmu untuk mempelopori agitasi militan di Indonesia. Didesak dari Kiri dan ditekan pemerintah kolonial, Tjokroaminoto berpaling pada sosialisme.
Politik Islam, Sosialisme Islam
Namun beralihnya Sarekat Islam ke sosialisme merupakan perkembangan yang, sesungguhnya, sulit diterka. Tirto Adhi Soerjo sendiri mencita-citakan Sarekat Dagang Islam sebagai koperasi yang mengajak pada swakelola, di mana “Islam” dan kaum pedagang batik Surakarta bahu-membahu menghempang pedagang Cina yang berhimpun di Siang Hwee. Haji Samanhoedi, yang tercantum dalam buku sejarah sebagai pendiri SDI, adalah pedagang batik sukses yang tidak pernah mengenyam pendidikan Belanda. Anggota-anggota SDI sendiri berlatar sama: borjuasi muslim “pribumi” yang (mencoba) mengejar ketertinggalan dari komprador Cina dan Eropa di perempat pertama abad dua puluh.
Hubertus Van Mook, dalam suatu studi mengenai masyarakat Kotagede, mencatat bahwa para pedagang ini telah menghayati etika Weberian dengan kentara: swadaya, rasional dan mahir berdagang[1]. Berbalik dengan masyarakat Jawa pada umumnya, yang mengagumi dan meniti karir di birokrasi kolonial, para pedagang ini tidak mencari pendidikan formal Barat di ELS, MULO atau OSVIA. Karakter borjuis ini pula yang mendominasi agenda Sarekat Islam pada masa-masa kelahirannya: memboikot pengusaha Cina, membentuk koperasi dagang, dan menjalankan syi’ar agama. SI dan Sosialisme Islam, tidak bisa dipisahkan dari rasionale anti-Cina.
“Sosialisme Islam” bikinan Tjokroaminoto menimba pokok-pokok ajarannya dari Al Quran dan hadits, namun juga pengalaman praktis SI di bidang swakelola ekonomi ala koperasi. Tapi Sosialisme Islam juga dirancang untuk membendung perjuangan kelas dan mengukuhkan kuasa kasta cendekia dalam SI. Militansi buruh tani dikekang demi kepentingan cendekia dan priyai, yang bersyahwat pada kursi Volksraad. Keputusan Central Sarekat Islam untuk mempartaikan diri berarti bahwa ia harus bersaing dengan PKI/Sarekat Rakyat, menggelar rapat umum, menggalang dana dan menyediakan pelbagai amal untuk umat. Pengelolaan Sarekat beralih sepenuhnya pada sarjana-sarjana didikan Belanda, yang cukup lama mengenyam pendidikan (sekuler) hingga mahir mengurus tata administrasi.
“Kemodernan” organisasi ini pula yang menggerus dukungan pedagang-pedagang “pribumi” di Laweyan, Kauman, Pekajangan dan Kotagede[2]. Apabila kontradiksi proletar-borjuasi dalam tubuh SI berimbas pada konflik di kongres keenam dan tindakan “displiner” terhadap anggota-anggota ISDV, maka takluknya para pedagang di bawah “Sosialisme Islam”-nya Tjokroaminoto malah tidak menimbulkan letupan apa-apa. Abdul Muis dan Agus Salim, yang turut menjadi pejabat Central Sarekat Islam bersama Tjokroaminoto, malah dikenal sebagai tokoh “kanan” dengan sikap anti-komunis yang kentara – walaupun per tahun 1927 “santri menengah” dan “santri pengusaha” meninggalkan Sarekat Islam[3] bersamaan dengan hengkangnya Muhammadiyah.
Maka Mas Marco Kartodikromo tiada salah ketika mengemukakan rasa sesal terhadap naiknya Tjokroaminoto[4]. Tentu, Haji Samanhoedi bukan “wong cilik” – toh beliau seorang kaya yang punya alat produksi – namun dalam hirarki kolonial Hindia Belanda Tjokroaminoto yang lulusan OSVIA yang tidak beda jauh dengan pemangku kuasa di Jawa, yaitu para pamong praja. Kendali perjuangan kembali lagi ke kelas priyai, kaum terpelajar yang dilatih untuk menjalankan pemerintahan. Surutnya suara pedagang dalam SI berarti bahwa aspirasi-aspirasi borjuasi Indonesia yang baru berkecambah itu terbenam dibawah keserakahan birokrasi dan. janji manis “sosialis”.
Menjelang tahun 1929, Tjokroaminoto masih punya daya pikat terhadap massa muslim papa, namun keretakan antar faksi-faksi cendekia mulai nampak dalam tubuh Sarekat Islam. Jalur politik kooperasi yang diambil partai melancarkan jalan Tjokroaminoto dan Agus Salim menduduki kursi Volksraad[5], namun massa SI sendiri yang lebih militan dan radikal mulai melirik aliran-aliran nasionalis yang kian gencar menggelar aksi-aksi militan melawan pemerintah kolonial. Pengejawantahan “Sosialisme Islam”, selain daripada promosi etika ekonomi yang Islami, tidak mengajukan reforma agraria[6] atau restrukturisasi ekonomi, terkecuali pembentengan usaha pribumi dari si Cina.
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) sendiri gagal mempertahankan kepeloporan anti-kolonial, yang berakibat pada terbengkalainya struktur dan basis massa. Pada 1955, ia hanya meraih 8 kursi, sementara pada pemilu 1971 ia terhempas jadi penggembira Golongan Karya. Sarekat Islam – organisasi besar yang pernah merebut hati dan pikiran masyarakat Indonesia sebagai garda depan perjuangan – akhirnya lebur ditelan zaman. Ia kalah massa dengan Masyumi, partai besar umat Islam ketika itu, dan NU, yang mengakar pada santri dan ulama. Menjelang mati suri, PSII masih sempat diwarnai dengan penyelewengan wewenang dan perpecahan partai[7].
Tiga masalah sosialisme Islam: kelemahan program ekonomi-politik, raibnya dukungan pengusaha dan kelas menengah Islam, dan dominasi kepentingan kelas priyai-cendekia. Masalah-masalah ini bukannya tidak mungkin mengemuka pada Islam Progresif-nya kita.
Sosialisme Islam, Islam Progresif
Buku-buku sejarah menggambarkan sejarah Sarekat Islam sebagai kisah kegegabahan komunisme yang menyabotase perjuangan kemerdekaan, sementara opini-opini yang lebih kiri menunjuk politik kooperasi sebagai bukti impotensi Islam dalam melawan imperialisme. Walau begitu, yang luput dari narasi perjuangan kelas maupun perjuangan umat adalah muslihat para cendekia, dengan mengusung pelbagai warna ideologi dan partai, untuk mengukuhkan kepentingan kelasnya sendiri lewat birokrasi dan meraup pundi-pundi kemerdekaan Indonesia.
Pemilihan Umum 1955 memenangkan partai dan tokoh yang setidak-tidaknya mendambakan Indonesia yang “berkeluargaan”, dimana ekonomi ditata dan diatur abdi negara. Panteon republik: Tan Malaka, Sjahrir, Hatta, Natsir, dan tentu saja Soekarno adalah priyai-priyai yang membungkus keberlangsungan kasta birokrasi dengan panji suci nasionalisme ekonomi. Dekrit 5 Juli dan Manipol/USDEK sama-sama mewarisi semangat Sosialisme Islam-nya Tjokroaminoto; secara politik, ia memadu tradisi sinkretik dengan saintisme ideologi Barat, sementara tugas manajerial abdi negara disejajarkan dengan keutuhan suci bangsa dan negara. Soekarno sendiri pandai meramu pelbagai mazhab dan ideologi dalam suatu agama negara yang sarat pemujaan padanya, sebagaimana Tjokroaminoto tiga puluh tahun sebelumnya.
Tentu, kita tidak sedang mengungkit (kegagalan) Sosialisme Islam di masa lalu untuk menyerang wacana Islam Progresif kala ini. Islam Progresif mengurut tradisi perjuangan dari musuh Tjokroaminoto, H. Misbach[8], sementara nasab keilmuannya, antara lain, menilik pada Hassan Hanafi, Hussein Murwah, dan Ali Shariati[9]. Walau demikian, banyak pelajaran yang dapat dipetik dari eksperimen keberIslaman khas Indonesia dan sosialisme sebagai wacana mewujudkan masyarakat yang berkeadilan. Insyaallah, ada sepercik manfaat dari tulisan ini.
Program Ekonomi Islam Progresif
“Islam dan Sosialisme” bukanlah suatu traktat ekopol yang matang. Tjokroaminoto tidak menganjurkan cara-cara jitu mengelola sumber daya, kebijakan publik, ataupun industri. Arah politik SI sendiri ditentukan oleh kelas-kelas yang berkuasa di dalamnya: priyai-cendekia, pedagang, dan massa jelata. Namun watak birokratik-priyai pimpinan-pimpinan Sarekat Islam pasca 1924 bukan berarti bahwa “ekonomi terpimpin” atau “ekonomi berkekeluargaan” dapat diwujudkan di masyarakat kolonial. Lagipula, “Sosialisme Islam” ketika itu tidak perlu menjawab persoalan “peran negara”, karena kontradiksi inheren kolonialisme hanya bisa diselesaikan lewat kemerdekaan.
Program ekonomi Sarekat Islam, tanpa akses ke institusi-institusi negara kolonial, membangun layanan sosial paralel terkhusus umat Islam. Bentuknya, antara lain, saham koperasi SI, zakat, pendirian masjid dan pagelaran budaya yang dibiayai pedagang muslim pribumi dan iuran anggota[10]. Praktek ekonomi ala SI bertumpu pada agen-agen swasta, di mana alat produksi dipegang para pedagang dan urusan distribusi diserahkan ke Sarekat Islam. Tradisi ini tidak jauh berbeda dengan gerakan-gerakan Islam kontemporer macam Ikhwanul Muslimin, AKP-nya Turki[11], hingga wacana koperasi 212[12].
Masalah klasik “ekopol Islam” ini bukannya tidak ditanggapi barisan Islam Progresif. Al-Fayyadl[13] secara akurat menggambarkan kebuntuan ekopol Islam, yang begitu terpaku pada distribusi dan mengabaikan pelbagai permasalahan produksi. Keterbatasan “ekopol Islam” pula yang membuat sebagian massa Sarekat Islam berpaling pada komunisme, yang berani menduduki pabrik, perkebunan dan stasiun[14]. Obatnya, bagi Al-Fayyadl, adalah “keberIslaman yang materialis”, yang “didasarkan pada kritik atas ekopol yang ada, sekaligus membangun ekopol baru yang memberi pendasaran materialis atas ajaran ekonomi Islam”[15].
Namun ini tidak berarti bahwa Islam Progresif telah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang membelenggu Sosialisme Islam. Apabila Islam Progresif patuh pada nasab aksiologisnya, yaitu marxisme, maka kita dapat berasumsi bahwa “perebutan alat produksi” dan komandoisme ekonomi terpimpin adalah keseluruhan dari program ekopol barisan Islam Progresif. Dengan kata lain, negara (lagi-lagi) dijunjung sebagai agen pelaksana produksi dan distribusi, (lagi-lagi) atas nama rakyat. Saya tidak tahu posisi Islam Progresif terhadap hak milik pribadi dan pasar, walaupun pada umumnya ia teramat kritis terhadap mazhab neoklasik dan agenda neoliberal[16], pun pula simpatik terhadap visi keIslamannya H. Misbach dengan “kepemilikan alat-alat produksi bersama dan kondisi kerja yang adil”.
Yang menjadi masalah di sini bukan khitah yang sebegitu mulia, melainkan lingkup dari misi tersebut yang, secara bersamaan, terlalu luas dan terlalu sempit. “Pengelolaan alat-alat produksi secara bersama” bisa merujuk pada koperasi (ala Sosialisme Islam), komune otonom (ala aliran-aliran anarko) hingga negara-partai Leninis yang memegang kendali kapital dan buruh atas nama kemaslahatan umum. Di lain pihak, kerancuan dari cita-cita itu sendiri menjadi bumerang yang menjebak Islam Progresif sebagai objek penderita dari inisiatif pasar bebas, sebagai arus balik terhadap privatisasi tanpa program yang mandiri.
Mudahnya, substansi ekopol menentukan strategi politik Islam Progresif. Strategi politik sendiri pada hakikatnya adalah pemerjelasan soal hubungan; hubungan Islam Progresif dengan negara, dengan kelas, dengan umat, dengan agama. Melampaui pertanyaan-pertanyaan “mengapa” Islam itu progresif sudah tentu merupakan kewajiban.
Kapitalisme Islam vs Islam Progresif
Kritik sejenis juga bisa dilayangkan dari kanan; borjuasi muslim yang bersandar pada penguasaan alat produksi dan iklim usaha yang kondusif. Dalam hal ini, terminologi Kanan mencakup para pemimpin, pengusaha, dan cendekia muslim yang menggantungkan keselamatan duniawi umat pada kapitalisme dan keberlangsungan sistem pasar. Jaringan Islam Liberal, misalnya, menggolongkan kebebasan ekonomi sebagai isu prinsipil, sementara kaum tradisionalis mensejajarkan pasar dengan pemberdayaan “pengusaha muslim pribumi” dan mobilitas sosial umat. Perkawinan kapitalisme dan wacana Islam ini membentuk iklim yang dominan atas kelimuan “ekonomi Islam” di Indonesia, yang secara brilian dikritisi Al-Fayyadl[17].
Namun kemunculan wacana kapitalisme Islam sendiri tidak bisa dipisahkan dari kondisi sosial-politik yang menjangkiti republik muda. Umat Islam tidak bisa melupakan kekalahan-kekalahan di kotak suara: 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992[18]. Kekalahan di kontestasi politik berimbas pada kemandekan karir di institusi-institusi pemerintahan, termasuk ABRI dan birokrasi sipil. Oleh karena negara yang lalim, umat harus mengais kesejahteraan sendiri, tanpa akses ke kredit, pendidikan dan penguasa. Sebaliknya, rezim juga membatasi daya ekonomi umat dengan nasionalisasi, monopoli, dan rintangan-rintangan birokrasi. Kelas pengusaha-santri yang sudah mapan sebelum kemerdekaan harus bersaing (lagi) dengan pengusaha-pengusaha Cina yang diberi perlindungan negara. Pun kala jalur politik nyaris dimenangkan umat, penguasa berpaling ke moncong senjata: 1959, 1960, 1973, 1984 dan 1985[19].
Maka tidaklah mengagetkan bahwa “Sosialisme Islam”-nya Tjokroaminoto adalah reiterasi terakhir Islam politik yang “dekat” atau “menyerupai” wacana sosialis. Pasca 1955, jelaslah sudah bahwa para cendekia di PSII, Masyumi, dan partai-partai Islam tidak akan mendapat porsi, apalagi kendali, atas aparatur negara. Negara “kekeluargaan” kita mempekerjakan priyai kebarat-baratan yang berhimpun di partai-partai nasionalis dan sosialis. Musuh lama Sarekat Islam, PKI, malah mendapat posisi empat. Sarekat Islam dengan “Sosialisme Islam”-nya juga mulai gelagapan setelah ditinggalkan pengusaha-pengusaha muslim, yang memicu alur pikir yang ingin SI kembali ke khitah organisasi dakwah dan dagang. Politik, lagi-lagi, mengecewakan umat.
Setelah saat itu, gagasan pengelolaan ekonomi oleh negara dipandang umat dengan penuh curiga. Akarnya dua: pertama, para santri-pengusaha (dan kaum santri pada umumnya) sedari dulu memusuhi priyai[20], bahkan dalam tubuh organisasi Islam sendiri. Kedua, umat Islam dihadapkan dengan kenyataan bahwa kuasa negara malah memberdayakan yang “bukan Islam”, atau yang keber-Islamannya patut dipertanyakan. Kondisi-kondisi ini menyuburkan anggapan bahwa kapitalisme yang Islami (dan tentunya tidak Cina) adalah satu-satunya jalan menyejahterakan umat. Mereka yang memanggul panji sosialisme menjelma jadi musuh umat, disembelih di tahun 1965.
PR keber-Islaman yang progresif adalah menjawab kegelisahan umat, sekaligus mempersiapkan diri terhadap kritik-kritik substantif dari Kanan. Islam Progresif biasanya mengandalkan koefisien GINI dan buruknya taraf hidup lapisan termiskin masyarakat Indonesia sebagai amunisi retoris melawan ekspansi neoliberalisme[21]. Aksi-aksi yang direstui Islam Progresif, seperti penolakan pembangunan di Kendeng dan desa Temon[22] berangkat dari iman bahwa kemaslahatan umum dirugikan proyeknya para pemodal. Namun di luar itu sedikit upaya memerinci tatanan ekonomi yang kita kehendaki[23].
Ini berarti bahwa Islam Progresif wajib mengejawantahkan visi ekonomi Islami yang tanpa pasar maupun pengusaha muslim, yang memunculkan masalah tersendiri. Bagaimanapun juga, sulit menyangkal data bahwa terbukanya banyak kesempatan ekonomi pasca reformasi memicu pertumbuhan kelas menengah muslim yang, terlepas dari keterikatannya dengan oligarki, mampu membentuk sektor UKM yang dinamis dan mampu bersaing. Dalam jangka pendek, sulit menggantikan daya ekonomi umat yang bertumpu pada pedagang dan pengusaha muslim. Keberhasilan (relatif sebagian) umat di bawah sistem pasar pula yang menjadi strategi mewujudkan aspirasi politik Islam, sebagaimana yang menjadi anjuran para cendekia[24].
Maka proyek politik Islam Progresif sendiri bergantung pada mekanisme yang diajukan untuk mengangkat derajat kesejahteraan umat sebagai ganti kapitalisme. Ini membawa kita ke poin sebelumnya, yaitu soal substansi program ekonomi dan politik Islam Progresif. Lagi-lagi timbul pertanyaan soal peran negara, remeh temeh ekopol manajerial yang masih harus dijawab barisan Islam Progresif. Tanpa alternatif yang riil, Islam lagi-lagi terkungkung pada khitah perlawanan yang menyiratkan reaksi daripada aksi. Melampaui kapitalisme butuh rencana matang yang berdasar fakta.
Islam Progresif Butuh Elaborasi
Keberhasilan kaum cendekia dan priyai “membajak” Sarekat Islam sebagiannya bertumpu pada daya pikat ideologi. Tradisi sinkretik khas Jawa tentu berperan besar dalam meramu pemikiran hibrida “Sosialisme Islam” yang efektif memikat massa dan menjalankan roda organisasi. Lagipula, status elit dan literasi melengkapi sarjana-sarjana OSVIA dengan otoritas keilmuan yang memfasilitasi reproduksi ideologi dalam tubuh Sarekat Islam yang mengukuhkan subordinasi buruh, tani dan pedagang terhadap kepentingan kelas para priyai.
Berkebalikan dengan Islam Progresif, Sosialisme Islam era Tjokroaminoto secara eksplisit menentang wacana kelas. Tidak ada upaya menyelesaikan kontradiksi inheren dalam kelas-kelas yang berhimpun di Sarekat Islam, yang akhirnya berbuah pada “tindakan disipliner” dan menyempalnya SI Merah dari tubuh partai. Selain itu, Tjokroaminoto diuntungkan dengan semangat zaman pra-kemerdekaan yang mengkhususkan tempat tersendiri buat kaum terpelajar dan calon abdi negara. Alhasil, semasa jayanya pun Sosialisme Islam jadi kendaraan priyai menuntut sekaligus mengeruk untung dari jabatan-jabatan Belanda[25].
Kerancuan dan ketidaktahuan adalah senjata utama intelektual picik pengabdi modal dan jabatan. Elaborasi ekopol dan penyelesaian pertanyaan kepentingan kelas akan mendatangkan faedah pada proyek Islam Progresif. Selain daripada tanggapan dan analisa terhadap isu-isu mendesak, ada baiknya substansi perjuangan ekonomi digodok kembali.
Insyaallah
Catatan:
[1] Hubertus Van Mook, “Kuta Gede”, h. 313
[2] Kuntowijyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Mizan 1991, h. 144
[3] Kuntowijyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Mizan 1991, h. 152
[4] Kuntowijyo, Muslim Tanpa Masjid: Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, Mizan 2001, h. 245
[5] Volksraad adalah Dewan Rakyat yang dibentuk pemerintah kolonial di tahun 1918, dengan kapasitas sebagai penasihat Gubernur-Jenderal
[6] Misi reforma agraria kelak diemban Partai Komunis Indonesia, yang sukses memobilisasi wong cilik desa – satu hal yang nyaris tidak bisa dilakukan partai-partai lain pada zamannya
[7] Valina Singka Subeki. Partai Syarikat Islam Indonesia: Konstestasi Politik hingga Konflik Kekuasaan Elite. Yayasan Pustaka Obor Indonesia 2014.
[8] Muhammad Al-Fayyadl, “Dua “Islam Bergerak””, islambergerak.com, 22/10/2015
[9] Muhammad Al-Fayyadl, “Membangun Keberislaman yang Materialis: Arah Perjuangan Ekonomi-Politik Islam Progresif*”, islambergerak.com, 07/10/2016
[10] Kuntowijyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Mizan 1991, h. 146.
[11] Balkan, Neşecan, Erol Balkan, dan Ahmet Öncü, eds.,The Neoliberal Landscape and the Rise of Islamist Capital in Turkey. Vol. 14. Berghahn Books 2015.
[12] Muhammad Al-Fayyadl, “Membangun Keberislaman yang Materialis: Arah Perjuangan Ekonomi-Politik Islam Progresif*”, islambergerak.com, 07/10/2016
[13] Muhammad Al-Fayyadl, “Membangun Keberislaman yang Materialis: Arah Perjuangan Ekonomi-Politik Islam Progresif*”, islambergerak.com, 07/10/2016
[14] Merebut Alat Produksi
[15] Muhammad Al-Fayyadl, “Membangun Keberislaman yang Materialis: Arah Perjuangan Ekonomi-Politik Islam Progresif*”, islambergerak.com, 07/10/2016
[16] Muhammad Al-Fayyadl, “Membangun Keberislaman yang Materialis: Arah Perjuangan Ekonomi-Politik Islam Progresif*”, islambergerak.com, 07/10/2016
[17] Muhammad Al-Fayyadl, “Membangun Keberislaman yang Materialis: Arah Perjuangan Ekonomi-Politik Islam Progresif*”, islambergerak.com, 07/10/2016
[18] Pemilu Legislatif yang tidak pernah dimenangkan Partai Islam
[19] Dekrit 5 Juli, pembubaran Masyumi, penggabungan seluruh partai dan golongan Islam dalam PPP, pembantaian Tanjung Priok, Asas Tunggal
[20] Kuntowijyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Mizan 1991, h. 188. 189
[21] Fazar Ramdhana Sargani, “Wacana Kapitalisme Digital dan Kemungkinan Antisipasinya”, 28/03/2016
[22] “Santri Nahdliyin Menyikapi Rencana Pembangunan Bandara Internasional Baru Yogyakarta (NYIA) Kulonprogo (Rilis Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam – FNKSDA)”, daulathijau.org. 08/12/2017
[23] Muhammad Nashirulhaq, “Menuju Bela Islam yang Hakiki”, islambergerak.com, 02/12/2016
Esei ini sekilas menggambarkan visi ekonomi Islami nan Progresif “penghapusan upah murah bagi kalangan pekerja; redistribusi lahan bagi petani; pembentukan koperasi-koperasi, syirkah-syirkah, dan lembaga keuangan & pendanaan, yang bukan hanya sesuai dengan hukum Islam, tapi juga sesuai dengan nilai Islam yang berupaya menciptakan keadilan ekonomi”
[24] Antara lain, Dawam Rahardjo dan Kuntowijoyo
[25] Iskandar Tedjasukmana, The Political Character of the Indonesian Trade Union Movement. Cornell University 1958, h. 51
bagus sekali artikelnya, thanks..
Saya berpendapat bahwa Islam sekarang harus diperkuatkan dengan Marxisme-Leninisme (yang betul, yang asli, bukan yang palsu, bukan imperialisme Rusia dan Cina yang berkedok “Marxis-Leninis” semisal Stalinisme, Trotskyisme, Maoisme, PKI Musso-Aidit dan lain-lain) untuk mencocokkan (menyesuaikan) Islam dengan zaman sekarang, dengan ilmu pengetahuan sekarang. Dengan kata lain, Islam harus dicocokkan dengan Marxisme-Leninisme untuk pembersihan Islam dari unsur-unsur mistik, sedangkan Marxisme-Leninisme harus dicocokkan dengan Islam untuk pembersihan Marxisme-Leninisme dari unsur-unsur “Euro-centrism” (pemusatan pada Eropa). Marxisme-Leninisme harus dijadikan sebagai alat untuk mendirikan Negara Islam Khilafah.
https://gachikus.blogspot.com/
tengok bapak ini sbg contoh. seorang marxis rusia berusaha jadi islamis dan menyapa indonesia terlepas tujuan khilafah nya itu dari interpretasi sendiri dari sudut pandang seorang marxian atau utk menarik simpati kaum yg “terzalimi” oleh rejim saat ini.
aku kira islam progresif ya tetap marxis-leninis minus “agama itu candu”. ekopolnya tetap merebut alat produksi. politiknya perjuangan kelas, estetiknya khilafatullah fil ardh.
aku pikir gk usahlah meledek islam dan sosialisme nya tjokro. beliau sdh berbuat, sdh mencetuskan ide pemrentahan sendiri yg demokratis 1916, sblm naar republiek, indonesia menggugat dan indonesia vriij. “dimensi kiri” islam yg pro kaum mustadhafin sangat dihayati muridnya semaun yg kemudian mendapat bahan bakar dan daya dorong nya dari sneevliet.
dlm konteks indonesia, kaum marxis leninis wajib seorang islamis. meski non muslim atau ateis, dia hrs islamis dlm artian punya perhatian thd muslim khususan yg tertindas. sebab tarohlah 100% non muslim membelot jadi marxian, baru 20% penduduk wak. itu yg diejawantah semaun, alimin, darsono, tan malaka. misbach dst selain musso yg kelamaan nongkrong di soviet sampai lupa dari mana ia berasal.
Salam, Usman!
Saya mengira bahwa Anda memahami saya tidak benar. “Islamisme” saya bukan sesuatu “muslihat” untuk menarik orang2 Muslim. Sebaliknya, saya mulai menyapa orang2 Muslim karena orang-orang Eropa (orang-orang Rusia pada khususnya), kaum buruh pun, kaum “Marxis-Leninis” pun membuktikan diri sebagai “buta tuli” tentang perjuangan Islam melawan imperialisme dan memandangan perjuangan itu sebagai “fanatisme agama”, sedangkan Marxisme-Leninisme asli mengajarkan untuk mendukung gerakan anti-imperialis (walau yang agama pun) dari bangsa2 tertindas. Kebanyakan besar kaum “Marxis-Leninis” membuktikan diri sebagai pengkhianat2 Marxisme-Leninisme yang (kaum “Marxis-Leninis” itu) suka bukan sosialisme melainkan keuntungan bangsa imperialis sendiri.
Dan saya tidak menyapa orang2 Muslim menuju khilafah “dari interpretasi sendiri” secara utopis. Saya cuma hendak meneguhkan gerakan khilafah nyata yang ada sekarang di bangsa2 tertindas Asia, Afrika dan Timur Tengah (dan yang dicapkan oleh kaum burjuis sedunia sebagai “terorisme”) dengan ajaran Marxisme-Leninisme saja.
Adapun kata-kata Marx “Agama [religion] adalah candu dari rakyat”, Marx menulis itu tentang kepercayaan rakyat jelata Eropa Nasrani abad 19, bukan tentang ajaran Nabi Muhammad. Kepercayaan itu ada lebih mirip kepercayaan kaum kafir yang dikecam oleh Rasulullah daripada ajaran Rasulullah. Memangnya, kepercayaan begitu (yaitu kepercayaan rakyat jelata Eropa Nasrani abad 19) berarti “sabarlah kezaliman di dunia ini, maka kemudian di akhirat kamu akan masuk ke sorga”, sedangkan Islam mengajarkan “sabarlah kesulitan di perjuangan melawan kezaliman di dunia ini, maka kemudian di akhirat kamu akan masuk ke sorga”. Sudah tentu, Marx tidak menulis di catatan itu agama apa dia memaksudkan. Tetapi harus diperhatikan bahwa dia ada muda sekali ketika menulis itu (lebih kurang 23-24 tahun). Pada umur yang lebih tua dia agaknya ada lebih cermat dalam kata-katanya.
Tetapi kata-katanya itu tidak bisa ditolak saja sebagai “kesalahan”, karena kata-katanya itu benar tentang “Islam” yang terbengkok (yang resmi, yang tradisional) juga. Misalnya, kata-kata yang mirip Taqyuddin an Nabhani menulis pada tahun 1964 (karyanya itu berjudul “Dusiya”) tentang “Islam” pada zaman kemundurannya:
“Al Qadariya al ghaybiya adalah sebagai candu bagi rakyat2 [bangsa2], karena pikiran itu mengakibatkan [seseorang] didasarkan pada qadar dan jadi abai, [pikiran itu] menghilangkan usaha apa pun dan kemauan apa pun. Tetapi kepercayaan yang benar akan qadar mengakibatkan keberanian dan keteduhan tekad, ketidakadaan ketakutan kepada kesulitan dan bahaya yang dijumpai di jalan seorang Muslim”
Misalnya yang lain. Abul A’la Al Maududi dalam muqadimah dari karyanya “Empat istilah dalam al Qur’an” menulis bahwa selama sejarah Islam bahasa Arab berubah maka
“Kata “al-Ilah” disenyawakan dengan kata “berhala” dan sebagainya… Kata “ad-Din” disenyawakan dengan kata “religion”…”
Jadi kita harus memandang istilah2 “Tuhan”, “agama” dsb. secara dialektis, karena makna istilah2 itu mengubah selama abad-abad, maka maknanya sekarang berbeda sekali daripada maknanya asli. Sebagaimana Engels menulis dalam karyanya “Tentang sejarah agama Kristen asli”, banyak gerakan agama dan gerakan revolusioner yang lampau pada umumnya di perjalanan perkembangannya datang ke titik yang bertentangan secara langsung dengan titik awalnya. Hal itu ada benar baik tentang agama Kristen, maupun agama Islam (tetapi selama abad-abad 17-20 dunia Islam ada dibangunkan dari “tidur” berabad-abad itu oleh kaum kolonialis secara keras dan sekarang kita melihat kebangkitannya – “tentara2 yang dikalahkan belajar baik sekali”, sebagaimana Marx mengata). Hal itu ada benar tentang Marxisme-Leninisme pula (yang dari ajaran anti-imperialis menjelma menjadi imperialisme yang malah lebih keras dan kotor daripada imperialisme Eropa Barat dan AS).
Cocok dengan perjalanan perkembangannya begitu bahasa gerakan2 itu berubah pula. Misalnya, di Marxisme-Leninisme asli istilah “proletar” bermakna “buruh miskin”, “tidak berpunya”, sedangkan sekarang kaum “Marxis-Leninis” memahami istilah itu sebagai “buruh dengan keahlian tinggi”, “labor aristocrat”, “buruh terdidik secara Eropa”, “kelas menengah” dsb.
Misal yang ketiga ialah pengikut2 Kartosoewiryo yang sekarang (http://empiris-online.blogspot.com/2008/02/manifesto-perjuangan.html ):
“…Hatta Privatisasi Agama pun–(sama bahayanya dengan Privatisasi BUMN)–tak lepas dari sepenggal upaya guna mereduksi dan mengisolasi ‘POTENSI REVOLUSIONER AGAMA’ agar tidak tampil membongkar HEGEMONI dan DOMINASI yang mereka bangun. Itulah relevansi mengapa ISLAM, dan Agama-agama lainnya dijinakkan agar semata menjadi candu bagi para penganutnya. Agar semata menjadi obat penawar ‘penyakit jiwa’ dan etika individual, bukan sebagai ‘LIBERATING FORCE’…”
Jadi kata-katanya “anti-agama” (anti-religion, bukan anti-ad-Din) Marx itu tidak menentang Islam yang tulen, yang revolusioner.
Adapun kata-katanya Anda bahwa “dlm konteks indonesia, kaum marxis leninis wajib seorang islamis. meski non muslim atau ateis, dia hrs islamis dlm artian punya perhatian thd muslim khususan yg tertindas”, saya berpendapat bahwa Anda mengacaukan (mencampur-baurkan) di sini kaum imperialis “marxis leninis” (Rusia, Cina dll. atau antek2-nya) yang bijaksana, yang cerdik yang “punya perhatian thd muslim khususan yg tertindas”, yang memakai pengetahuan Islam untuk mengalahkan gerakan Islam Khilafah (misalnya seorang “Islamis” Belanda Snouck Hurgronje di Indonesia pada awal abad 20 yang memakai pengetahuan Islam bagi kepentingan imperialisme Belanda) dengan orang-orang (bangsa apa pun) yang sudah membaca Marx dan Lenin dan hendak memakainya bagi kemenangan Negara Islam Khilafah. Bahkan, kata-kata “Marxisme-Leninisme”, “agama”, “ateisme”, “Muslim” dsb. adalah kata-kata yang bermakna ganda, berarti yang dua rupa sekarang (misalnya, ada orang2 “Muslim” yang burjuis, munafiq, “tradisional”, yang melakukan perundigan dengan kaum imperialis (sebagai Taliban yang sekarang melakukan perundigan dengan imperialisme Rusia) dan ada orang2 Muslim yang proletar, revolusioner, yang melakukan perjuangan melawan imperialisme). Di sini yang diperlukan ialah dialektika.