Pembangunan dan demokrasi sejatinya merupakan dua matra yang tidak dapat dipisahkan ketika berbicara tentang kesejahteraan. Terkait hal ini, rezim pembangunanisme (developmentalism) yang secara historis dikukuhkan dalam pidato Truman pada tahun 1949 dan mendapat bentuknya yang paling purna dalam rezim pembangunan neoliberal, dengan jelas memisahkan antara ekonomi dan politik ketika merumuskan kesejahteraan masyarakat global. Dalam studi pembangunan dan demokrasi hal ini disebut dengan proses depolitisasi.
Artikel ini merupakan sebuah upaya refleksi atas perlawanan rakyat petani Manggarai-Flores Barat sebagai reaksi atas depolitisasi demokrasi yang bekerja melalui pembangunan. Untuk tujuan itu, tulisan ini terstruktur dalam beberapa poin: (1) bentangan sejarah pembangunan pertanian di Manggarai yang kemudian (2) menciptakan relasi kapitalis yang menjebak para petani. (3) Pada saat yang sama situasi ini memungkinkan terjadinya depolitisasi atas urusan publik petani. (4) Situasi-situasi ini lantas melahirkan perlawanan dari petani melalui pembentukan asosiasi. (5) Tulisan ini ditutup dengan sebuah catatan kritis.
Narasi Pembangunan
Masuknya pertanian modern di Manggarai-NTT, tidak bisa dipisahkan dari konteks global yang memberi arah bagi pembangunan pertanian nasional pasca Perang Dunia kedua. Bahwasannya, setelah Perang Dunia kedua negara-negara Utara menjadikan modernisasi sebagai model baru dalam menggarap pertanian di negara-negara Selatan. Karena itu, kajian-kajian ekonomi-politik pangan menempatkan 1950an hingga 1970an sebagai era rezim pangan kedua yang ditandai oleh gelombang industrialisasi pertanian di negara-negara dunia ketiga.[1]
Tergolong sebagai negara dunia ketiga, Indonesia menggarap pertanian secara modern segera setelah rezim Orde Baru mulai berkuasa. Di bawah Orde Baru, pertanian diagendakan sebagai paket utama dalam program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita I, II dan III).[2] Sebagai bagian dari Repelita, pemerintah merancang program Bimas (Bimbingan Masyarakat) dalam rupa bantuan kepada masyarakat petani seperti pestisida, insektisida, pupuk kimia, kredit dengan bunga rendah dan bibit padi unggul.[3]
Dalam bidikan Revolusi Hijau, pembangunan persawahan di Manggarai-NTT mulai digarap secara serius ketika Frans Sales Lega menjabat sebagai Bupati Manggarai yang kedua (1968-1978). Bupati Lega yang oleh orang Manggarai dikenal sebagai “Bapak Pembangunan” melanjutkan program percetakan persawahan yang telah dirintis oleh beberapa pendahulunya seperti Raja Tamoer, Raja Bagoeng (1924-1930), Raja Baroek (1931-1949) dan Raja Ngambut (1949-1960) dan Kraeng Charolus Hambur Bupati pertama Manggarai (1960-1967). Agenda utama Lega adalah mempermanenkan saluran-saluran irigasi pada beberapa lokasi persawahan di Manggarai.
Bersamaan dengan mimpi besar swasembada pangan Orde Baru, pada era 1980-an, ketika Frans Dula Burhan menjabat sebagai Bupati Manggarai (1978-1989), Lembor yang sekarang ini menjadi bagian dari Kabupaten Manggarai Barat disulap menjadi Lumbung Padi NTT. Bak gayung bersambut, proyek menjadikan Lembor sebagai lumbung padi NTT kian tidak menemui tantangan ketika pada saat yang sama Gubernur NTT Ben Mboi (1978-1988) pada saat yang sama mengagendakan program Operasi Nusa Hijau dan Operasi Nusa Makmur untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat NTT melalui sektor pertanian. Dengan demikian, jadilah Lembor sebagai area persawahan terluas di NTT dengan luas lahan sekitar 3500-an Ha. Hingga sekarang ini total jumlah lahan di Lembor mencakup 3.528 Ha yang terdiri dari irigasi teknis 3.483 Ha dan sawah tadah hujan 45 Ha.
Terjebak Perangkap Relasi Kapitalis
Gencarnya pembangunan pertanian di Lembor pada gilirannya menjebak petani dalam perangkap relasi kapitalis. Salah satu literatur babon yang secara mendalam menyingkap terbentuknya relasi kapitalis pada petani adalah penelitian yang dilakukan oleh Tania Li di pegunungan Lauje-Sulawesi Tengah yang tertuang dalam buku yang berjudul Land’s End, Capitalist Relations on an Indigenous Frontier.[4] Tania Li meringkas pengertian relasi kapitalis sebagai pola relasi yang terbentuk dalam kondisi ketidaksamaan akan akses kepemilikan atas sarana-sarana produksi (tanah dan modal). Relasi Kapitalis, demikian Li, terbentuk sebagai efek dari terkikisnya relasi non-komoditi yang sebelumnya sudah lama terawat dalam sebuah tatanan masyarakat. Karena itu, kemampuan bertahan hidup dari para petani ditentukan sepenuhnya oleh aturan-aturan persaingan dan motif mencari keuntungan.
Tesis Tania Li terkait keterjebakan petani dalam relasi kapitalis juga terkonfirmasi oleh sejumlah narasi para petani di persawahan Lembor. Mikael yang adalah seorang petani senior di Lembor, mengatakan bahwa memiliki modal yang cukup merupakan syarat utama menjadi petani di Lembor, sejak pertanian padi mulai diperkenalkan pada tahun 1980an yang kemudian berkembang begitu pesat pada tahun 1990an.[5] Senada dengan pendapat Mikael, Tadeus, seorang petani yang lain, mengungkapkan peran uang yang tidak tergantikan dalam usaha pertanian padi di Lembor.[6] Menurut Tadeus, segala sesuatu membutuhkan uang mulai dari biaya teknologi pertanian seperti traktor, mesin rontok, membayar buruh tani hingga membeli pupuk dan pestisida.
Berikut ini adalah data perkiraan biaya yang dikeluarkan oleh petani di Lembor untuk ukuran lahan seluas 1 ha.[7]
No | Jenis kegiatan | Biaya | Keterangan |
1 | Traktor | 650.000 | Biaya yang dimaksud adalah untuk penyewaan traktor belum termasuk ongkos kerja pekerja Rp 35.000, makan dan rokok |
2 | Bersih pematang | 140.000 | Biaya yang dimaksud hanya ongkos tenaga 4 orang laki-laki Rp 35.000, belum termasuk makan dan rokok |
3 | Persiapan lahan dan tanam | 1.160.000 | Biaya yang dimaksud untuk ongkos kerja tenaga kerja 24 orang perempuan Rp 25.000, 16 orang tenaga kerja laki-laki Rp 35.000, belum termasuk transportasi tenaga kerja Rp 5000/orang, makan dan rokok |
4 | Pupuk | 1.500.000 | Untuk 1 ha, biasanya membutuhkan 8 kraung pupuk, 4 karung Urea Rp 95.000/karung, 2 karung SP Rp 110.000/karung dan 2 karung KSL Rp 450.000/karung |
5 | Pestisida | 1.750.000 | Pestisida yang dimaksud adalah obat pembasmi hama sejak pembibitan hingga panen |
6 | Penyemprotan | 200.000 | Biasanya petani menyewa alat penyemprotnya saja Rp 20.000/hari selama 10 hari kerja |
7 | Penyiangan rumput | 1.000.000 | Untuk 40 orang tenaga perempuan Rp 25.000, belum termasuk biaya transportasi masing-masing tenaga kerja Rp 5000/orang |
8 | Panen | 1.160.000 | Biaya tersebut hanya untuk ongkos kerja tenaga kerja perempuan Rp 25.000, 16 orang tenaga kerja laki-laki Rp 35.000, belum termasuk biaya transportasi tenaga kerja Rp 5000/orang, makan dan rokok |
Total | 7.560.000 | Total estimasi untuk 1 ha sawah Rp 7.500.000 – 10.000.000 |
Dari mana petani memperoleh modal bertani sebanyak itu? Sebagian petani mengandalkan Bank dan Koperasi sebagai sumber modal. Hingga sekarang ini ada dua Bank dan 6 Koperasi kredit yang berlokasi di Lembor, belum terhitung koperasi yang berkedok koperasi harian yang menurut petani menjadi trend akhir-akhir ini.
Di samping mengandalkan lembaga-lembaga permodalan di atas, sebagian besar petani juga banyak tergantung kepada para peminjam uang (moneylender) yang oleh masyarakat setempat mereka ini dikenal sebagai pedagang beras. Para pedagang beras rata-rata merupakan pemilik penggilingan padi yang tersebar di banyak titik di area persawahan Lembor. Mereka inilah yang menopang kebutuhan permodalan para petani mulai dari pupuk, pestisida hingga kebutuhan yang paling kecil seperti karung. Lebih lanjut, para petani pemodal inilah yang kemudian memonopoli pasar. Ketika ditanya soal harga beras, para petani rata-rata menjawab itu menjadi urusan pasar yang selama ini menjadi kuasa penuh para pemilik penggilingan padi. Hal ini menurut sebagian petani dipicu oleh penetapan harga dolog yang sangat rendah yang berkisar hanya Rp 7000 per kg beras. Celah ini betul-betul dimanfaatkan oleh para pedagang untuk memperkaya diri, sebab mereka dengan leluasa membeli beras dengan harga yang sangat rendah dari para petani.
Efek lebih jauh dari keterjebakan petani dalam relasi kapitalis adalah krisis pangan di kalangan petani yang dibenarkan oleh informasi banyaknya petani Lembor yang justru membeli beras dari daerah lain dan terdata sebagai penerima beras miskin.[8] Di Liang sola, salah satu desa di wilayah persawahan Lembor misalnya, dari 352 kepala keluarga petani, 267 orang merupakan penerima beras raskin. Jadi ada sekitar 75,85% petani yang menerima beras miskin.[9] Dalam konteks ini, terbatasnya ketersediaan pangan dari para petani tidak dipicu oleh gagal panen, tetapi justru akibat hukum rimba pasar. Survival for the fittest, siapa yang terkuat pasti mendulang keuntungan yang besar. Terkait hal ini, seorang petani di Lembor berkisah “sekilas kami di Lembor ini kelihatan sukses sebagai petani dengan melihat tumpukan karung-karung beras pasca panen. Tetapi coba amati secara baik, dua-tiga hari pasca panen, semuanya habis dijual untuk menutup utang.”
Dua Kisah Depolitisasi
Merujuk pada pemahaman demokrasi ala Beethamian, depolitisasi demokrasi merupakan kondisi yang menggambarkan absennya kontrol popular yang efektif terhadap urusan-urusan publik.[10] Keputusan-keputusan terkait urusan publik semata lahir dari rancangan elit yang umumnya merupakan kombinasi antara aktor-institusi negara dan sektor swasta.[11] Dalam situasi ini, kepentingan-kepentingan sosial dan ekonomi tidak menjadi konsen gerakan, partai politik atau organisasi-organisasi civil society tetapi antara negara dan masyarakat terhubungkan dalam relasi yang berbasis patron-klien, jaringan-jaringan yang berbasis grup dan institusi-institusi pasar. Kondisi inilah yang disebut depolitisasi demokrasi.
Narasi para petani Lembor pun banyak mengangkat ke permukaan terkait absennya kontrol popular terhadap urusan-urusan publik yang ditandai oleh dominasi aktor-aktor pasar yang membangun relasi berbasis patron-klien dengan penguasa lokal. Dua pengisahan petani terkait pembangunan infrastruktur irigasi, bantuan pupuk dan pestisida mengonfirmasi tesis minimnya kontrol popular atas urusan publik petani.
Pertama, terkait pembangunan irigasi misalnya, para petani acap kali berujar kalau itu menjadi program tahunan yang menjadi lahan basah para kontraktor. Konon, kontraktor-kontraktor ini merupakan orang-orang kuat di balik rezim pemerintahan lokal. Seorang petani mengisahkan kekecewaannya terkait pola kontraktual dalam pengerjaan irigasi, sebab hanya menguntungkan pihak tertentu yang mempunyai akses terhadap kekuasaan.[12]
Kedua, ketika bantuan pupuk dan pestisida diserahkan kepada pihak swasta, petani seringkali menjadi pihak yang paling dirugikan. Di Lembor hingga sekarang ini, berita terkait konflik petani merebut pupuk ibarat lagu lama. Para petani seringkali harus berebut pupuk yang disuplai dari distributor ke sejumlah pengecer.[13] Di tangan para pengecer inilah harga pupuk bersubsidi pun seringkai mengalami pembengkakan. Menurut Charles, seorang petani, pengecer ini umumnya adalah pihak yang mempunyai hubungan khusus dengan penguasa lokal.[14]
Bangun Perlawanan
Krisis yang melilit petani pada titik tertentu melahirkan bentuk-bentuk strategi perlawanan. Para penstudi secara teoretik membahasakan bentuk-bentuk perlawanan petani. James Scott misalnya, menyebut hidden transcript (perlawanan tertutup) sebagai ciri perlawanan sehari-hari para petani yang dibedakan dengan public transcript (perlawanan terbuka).[15] Sementara itu perlawanan para petani di India ada yang masih mengambil bentuk pemberontakan sporadis dan ada pula yang sudah terinstitusionalisasi melalui partai politik.[16] Pemberontakan petani di Amerika Latin menggunakan identitas adat (indigenity) yang hingga sekarang ini konsisten mengusung agenda repeasantisasi dalam merespon kebijakan neoliberal melalui organisasi Via Campesina.[17]
Krisis sistemik yang sudah lama membelenggu petani Lembor, mendorong sejumlah petani membentuk semacam asosiasi pada tahun 2008 yang lalu, yang sekarang ini populer dengan sebutan Apel (Aliansi Petani Lembor). Apel, awalnya terbentuk dari 8 kelompok tani yang disatukan oleh cita-cita mencapai kedaulatan pangan bagi para petani dengan jalan membudidayakan pangan lokal. Karena itu akronim Apel oleh para anggotanya juga sering diartikan sebagai Asosiasi Pangan Lokal.
Kurang lebih tiga poin berikut merupakan sari refleksi petani Apel terhadap kerja pembangunan yang telah melahirkan banyak krisis para petani di persawahan Lembor.
Pertama, pembangunan telah menyebabkan petani Lembor kehilangan kedaulatan atas pangan. Benediktus, sebagai ketua Apel menjelaskan bahwa asosiasi ini dibentuk dalam rangka mencita-citakan kedaulatan pangan bagi para petani di Lembor.[18] Para petani Apel merasa ada sesuatu yang tidak benar dengan sebutan Lembor sebagai lumbung pangan di NTT, sementara di sana-sini terjadi terjadi krisis pangan di kalangan petani yang ditandai oleh banyaknya petani Lembor yang justru menerima beras miskin.[19] Oleh karena itu, untuk para petani Apel, pengelolaan monokultur yang sepenuhnya mengandalkan padi menjadi semakin sulit untuk dipertahankan ke depannya. Ongkos bertani padi yang sangat tinggi, mendorong petani Apel mengembangkan pangan lokal yang benihnya tidak perlu dibeli di toko, perawatannya tidak perlu menggunakan pestisida dan sistem pengerjaannya dilakukan secara bersama-sama oleh para anggota asosiasi. Pada periode 2015-2016 ini, Apel mengalokasikan lahan sekitar 50 ha untuk budidaya pangan lokal, antara lain sorgum, jagung, kacang hijau, jelai, ubi-ubian, jewawut, jahe dan wijen. Tanah ini ada yang merupakan miliki pribadi anggota Apel, ada pula lahan tidur petani lain yang tidak tergabung dalam anggota Apel.
Kedua, di samping mengupayakan kedaulatan pangan, para petani Apel sungguh menyadari ketidakdaulatan mereka secara ekonomi. Para petani tidak mempunyai posisi tawar yang cukup di tengah gempuran pasar bebas. Terkait hal ini Bertolomeus seorang anggota Apel, mengungkapkan pentingnya Apel dalam mengatasi sumber daya petani Lembor yang masih sangat rendah.[20] Sumber daya petani yang masih sangat rendah tercermin dalam ketidakcermatan petani dalam melakuan analisis hasil usaha terutama manajemen pasca panen. Dalam situasi ini, petani hanya tahu memproduksi, sedangkan urusan distribusi sepenuhnya menjadi kendali para pemilik modal. Merespon situasi petani membangun semacam pasar komunitas, di mana asosiasi Apel sendiri yang memfasilitasi seluruh pemasaran produk-produk pertanian dari para anggotanya.
Pengalaman asosiasi-asosiasi petani di negara-negara Amerika Latin yang sudah menjadi gerakan internasional seperti Vía Campesina, secara konsisten menunjukkan bertani versi bertani yang menentang efek ekspansi neoliberal dalam dunia pertanian.[21] Efek neoliberal tehadap pertanian di Amerika Latin membuat pertanian menjadi sangat berbiaya tinggi karena berbasis agrokimia dan pada saat yang sama menyusutnya bantuan dari pemerintah yang menyasar petani, karena sepenuhnya telah ditangani sektor swasta. Karena itu para petani yang tergabung dalam organisasi Via Campesina berusaha mengaktifkan kembali cara-cara produksi tradisional yang berbasis keluarga (family based) dan mengembangkan sejumlah aktivitas komunitas untuk mengelola bahan-bahan mentah. Secara sekilas, dampak ekonomi dari aktivitas mereka memang tidak terlalu tinggi, tetapi melalui cara tersebut para petani memperkuat basis solidaritas dan telah mengembangkan kesadaran sosio-ekonomi pada kelompok-kelompok pedesaan yang termarjinalisasi akibat efek individualisasi yang dikondisikan oleh rezim neoliberal.
Ketiga, selain menggarap ekonomi, Apel bagi para anggotanya merupakan wadah menyuarakan aspirasi politis. Terkait hal ini, para petani Apel seringkali merasakan perbedaan dirinya sebagai anggota dari kelompok tani bentukan pemerintah dengan dirinya sebagai anggota dari sebuah asosiasi. Menurut mereka, kelompok-kelompok tani umumnya dibentuk oleh pemerintah kerena proyek atau kepentingan politik serta terlibat dalam hubungan klientalisme dan patronase dengan elite tertentu. Dengan demikian, kelompok tani dibentuk persis hanya untuk menerima bantuan dan bukan sebagai wadah agregasi kepentingan para petani secara politis misalnya menghubungkan mereka dengan parlemen. Sebagai sebuah asosiasi, Apel tercatat beberapa kali melakukan public hearing dengan pemerintah. Pada acara panen raya yang dilakukan pada tanggal 24 Maret 2018, para petani Apel berkesempatan membangun dialog dengan Bupati dan sejumlah jajaran penting SKPD setempat.
Prospek ke Depan
Kemunculan Apel sebagai wadah perjuangan para petani Manggarai pada satu pihak memperlihatkan potensi kontrol popular atas urusan publik, tetapi pada pihak lain ada kekhawatiran bahwa alih-alih memperlihatkan perlawanan, gerakan ini lambat laun kembali terbajak rezim pembangunan arus utama. Terkait poin kedua, belakangan ini rezim neoliberal gencar mempropagandakan pengetahuan terkait resiliensi sebagai bentuk kepengaturan (governmentality) baru dalam rezim pembangunan neoliberal yang mengimpikan subjek global dengan sederetan kualifikasi seperti antisipatif, adaptif, kreatif serta berdaya tahan di tengah sistem yang sulit diprediksi.[22] Dengan demikian, jangan-jangan Apel merupakan subjek resilientif yang justru sangat diimpikan oleh rezim pembangunan neoliberal.
Tantangan untuk Apel adalah menjadikan dirinya tidak sekadar sebagai asosiasi ekonomi bagi para petani tetapi juga asosiasi yang berpengaruh secara politik yang mampu membangun kontrak politik dengan parlemen demi sebuah kebijakan pembangunan pertanian yang berpihak pada petani. Dengan demikian, sebagai sebuah asosiasi, Apel tidak saja konsen menggarap ekonomi para petani tetapi harus mampu menjadikan dirinya sebagai asosiasi politik yang mampu mempengaruhi kebijakan.
Catatan:
[1] Era food regime yang kedua (1950-1970) ditandai oleh mengalirnya surplus bantuan makanan dari negara-negara maju seperti US kepada negara-negara postkolonial. Gelontoran ini merupakan bagian dari agenda ideologis dalam rangka mendorong industrialisasi di negara-negara dunia ketiga, sembari mengamankan loyalitas untuk melawan komunisme demi ekspansi pasar. Lihat, McMichael, P. (2009). A Food Regime Genealogy. The Journal of Peasant Studies, Vol. 36, (1), (139-169), p. 141-142.
[2] Lihat, Mubyarto. (1987). Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, p. 42-44.
[3] Antlov, H. (2002). Negara dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal, Pujo Semedi (penterj.). Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama, p. 56
[4] Li, Tania Murray. (2014). Land’s End, Capitalist Relations on an Indigenous Frontier. Durham and London: Duke University Pres, p. 8.
[5] Wawancara dengan Mikael, petani Lembor.
[6] Wawancara dengan Tadeus, petani Lembor.
[7] Pesona NTT Nusa Tenun Pangan, Buletin Lintas Timur, edisi Juli-Oktober 2013. Sunspirit for Justice and Peace.
[8]http://kupang.tribunnews.com/2015/03/04/petani-lembor-beli-beras-dari-bima-karena-stok-beras-lokal-menipis
[9] Data indikator kesejahteraan diterbitkan BPS kabupaten Manggarai Barat (2014), p. 37.
[10] Menurut Beetham bahwa masyarakat disebut demokratis dapat diukur dari sejauh mana keputusan-keputusan kolektif dihasilkan berdasarkan kontrol publik yang mengutamakan prinsip kesetaraan publik. Dengan demikian, kontrol publik dan kesetaraan publik merupakan dua prinsip demokrasi yang utama. Ulasan yang lebih komprehensif terkait demokrasi sebagai kontrol publik dapat dibaca dalam Beetham, David, (1999). Democracy and Human Right. Cambridge: Politi Press.
[11] Olle Törnquist (2009), “Introduction: The Problem Is Representation! Towards an Analytical Framework”, dalam Olle Törnquist, Neil Webster, and Kristian Stokke (ed). Rethinking Popular Representation. New York: Palgrave Macmillan, p. 5
[12] Wawancara dengan Frumens, petani Lembor.
[13] http://kupang.tribunnews.com/2017/01/20/petani-lembor-rebutan-pupuk
[14] Wawancara dengan Charles, petani Lembor.
[15] Scott, James. (2000). Senjatanya Orang-Orang yang Kalah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
[16] Debal K Singharoy. (2005). Peasant Movement in Contemporary India Emerging forms of Domination and Resistance. Journal of Economic and Political Weekly, Vol. 40, (52) (5505-5513), p. 5512.
[17] McMichael, Philip. (2006). Peasant Prospects in the Neoliberal Age. New Political Economy, Vol. 11, (3), (407-418).
[18] Wawancara dengan Benediktus, ketua Asosiasi Petani Lembor (Apel).
[19]http://sunspiritforjusticeandpeace.org/2016/04/22/sorgum-alternatif-pangan-di-lumbung-padi/
[20] Wawancara dengan Bertolomeus, anggota Apel.
[21] Wald, Navé. (March 2015). In Search of Alternatives Peasant Initiatives for a Different Development in Northern Argentina. Latin American Perspectives, Issue 201, Vol. 42 (2) (90–106), p. 92.
[22] Jonathan, J. (2013). Resilience as Embedded Neoliberalism: a Governmentality Approach. Resilience, Vol. 1, (1), (38–52).
bagaimana cara pembangunan ini di lakukan?