Divestasi Freeport: Untuk Kepentingan Nasional atau Elit Semata?

685
VIEWS
Sumber: https://cdns.klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2017/02/28/817316/670×335/masyarakat-papua-minta-20-persen-divestasi-saham-freeport.jpg

Usai pemerintah dan PT. Freeport Mc-MoRan mencapai kesepakatan divestasi 51 persen saham perusahaan tersebut di PT. Freeport Indonesia (PTFI), pada 27 Agustus 2017, banyak pihak bersorak-sorai seperti menyambut kemenangan.

Namun, tidak sedikit juga yang merasa terkejut dengan sikap Freepot Mc-MoRan yang bersedia menyerahkan 51 persen sahamnya kepada Indonesia. Sebab perusahaan tersebut selama ini diketahui bersikeras enggan melepas kontrolnya terhadap salah satu tambang emas dan tembaga terbesar di dunia tersebut.

Sumber: Freeport McMoran

Pertanyaan tersebut muncul usai terjadi perbedaan tafsir antara pemerintah dan Freeport Mc-Mo-Ran atas empat point kesepakatan yang dicapai pada tanggal 27 Agustus 2017 lalu. Pemerintah beranggapan bahwa kesepakatan yang dibuat pada tanggal 27 Agutus tersebut bersifat final, sementara Freeport McMoran Inc. menganggap empat poin kesepakatan dengan pemerintah hanya sebagai kerangka kerja mengenai hak-hak operasi jangka panjang.[1] Disamping itu Menteri ESDM, Ignasius Jonan mengaku masih perlu ada perundingan lebih lanjut untuk membahas divestasi tersebut secara lebih rinci. “Nanti akan dimasukkan jadi bagian dari lampiran pada IUPK yang tidak akan bisa diubah sampai konsesi atau kontraknya selesai,” kata Jonan seperti dikutif Tirto.id.[2]

Sumber: monitor.co.id

Mereka yang terkejut atas kesepakatan divestasi 51 persen saham Freeport Mc-MoRan menyimpan sejumlah catatan kritis, di antaranya:

  1. Dihitung darimana besaran saham 51 persen yang di-divestasikan?
  2. Berapa harga 51% saham divestasi?
  3. Apakah pemerintah akan mengeksekusi hak pembelian saham divestasi atau menyerahkan opsi pembeli kepada pihak lain?

Sampai saat ini, pemerintah dan Freeport-McMoRan tidak merinci kesepakatan yang telah dicapai terkait divestasi 51 persen saham perusahaan tersebut. Ketiadaan rincian ini menimbulkan pertanyaan berasal dari manakah 51 persen saham yang di-divestasikan:

  1. Apakah 51% saham yang di-divestasikan berasal dari 90,64 persen saham yang saat ini dikuasai Freeport-McMoRan? Jika demikian, maka porsi kepemilikan Freeport-McMoRan di PTFI tinggal 39,64 persen  (bukan sebagai pemegang saham mayoritas lagi).
  2. Apakah divestasi 51% menyertakan divestasi tahap pertama yang telah dilakukan Freeport Mc-MoRan pada tahun 1991 sebesar 9,36%?[3] Bila demikian divestasi sesungguhnya bukanlah berjumlah 51%, tetapi sebesar 41,64%. Namun demikian Indonesia tetaplah menjadi pemegang saham mayoritas karena sebelumnya pemerintah telah memiliki saham sebesar 9,36% di PTFI,[4] sehingga total kepemilikan saham Indonesia sebesar 51 persen.
  3. Apakah 51% saham yang didivestasikan menyertakan kepemilikan saham pemerintah saat ini (9,36%) dan divestasi tahap pertama tahun 1991 sebesar 9,36%? Jika menyertakan kepemilikan saham pemerintah dan divestasi tahap pertama, maka jumlah saham yang di-divestasikan sebesar 32,28%. Dengan demikian maka Freeport Mc-MoRan tetap sebagai pemegang saham mayoritas dengan penguasaan saham sebanyak 57,72 persen. Artinya klaim 51% sebenarnya hanya akal-akalan belaka.

Point kedua dalam catatan mereka yang kritis terhadap kesepakatan divestasi adalah berapa harga 51 persen saham Freeport? Sampai detik ini, tidak ada penjelasan, baik dari pemerintah maupun Freeport Mc-MoRan dalam perhitungan harga 51% saham divestasi. Serta bagaimana cara menghitung harga saham tersebut, apakah menggunakan metode penggantian biaya yang dikeluarkan (replacement cost)[5], atau menggunakan metode harga pasar yang wajar (fair market value).[6] Pengunaan kedua metode perhitungan akan sangat menentukan besaran biaya yang akan dikeluarkan untuk mengambil alih 51 persen saham Freepor Mc-MoRan di PTFI.[7]

Pertanyaan terakhir. Setelah pemerintah dan Freeport Mc-MoRan mencapai kesepakatan divestasi 51 persen saham, apakah pemerintah akan menggunakan haknya untuk mengambil alih saham divestasi tersebut, atau mengalihkan haknya kepada pihak lain?

Sebagai pihak pertama yang berhak mengambilalih 41,64 persen saham PTFI, pemerintah seperti diketahui jauh-jauh hari telah menyatakan tidak memiliki dana untuk mengambilalih saham PTFI.[8] Demikian, kemungkinan pemerintah akan menyerahkan opsi (hak) pembelian kepada pihak dalam negeri (Swasta maupun BUMN) yang dinilai memiliki kemampuan financial.

Namun, keenggan pemerintah mengambil alih 51% saham divestasi karena alasan ketiadaan dana, dan mengalihkannya hak pembelian kepada pihak lain dalam negeri (Swasta maupun BUMN) yang dinilai memiliki kemampuan financial, dikhawatirkan akan membuka cela bagi keterlibatan elit-elit politik dan bisnis dalam divestasi saham PTFI.  Kecenderungan ini, terasa dalam kasus “papa minta saham”.[9]

Jika pemerintah pusat menyerahkan hak pembelian saham divestasi PTFI kepada pihak lain, tidak tertutup kemungkinan divestasi PTFI akhirnya berhenti pada bagi-bagi jatah, bukan bertujuan meningkatkan kepentingan nasional (promotion of national interest).[10]

Sumber: katadata.co.id

Belajar Dari Newmont

Meskipun pemerintah berhasil memaksa Freeport Mc-MoRan melakukan divestasi 41,64 persen sahamnya sehingga kepemilikan Indonesia mencapai 51 persen, namun itu tidak menjamin bahwa kepemilikan nasional akan lebih besar daripada asing. Pengalaman divestasi saham PT. Newmont Nusa Tenggara (NTT) dapat menjadi  cermin bagi proses divestasi saham PTFI.

Setelah mengalami tarik-ulur yang panjang, NNT akhirnya menyepakati divestasi 31% sahamnya kepada Indonesia, sesuai dengan Kontrak Karya NNT tahun 1986, melalui lima tahap, dimulai tahun 2006 hingga 2010.[11]

Dengan alasan tidak memiliki dana, pemerintah pusat kemudian menyerahkan hak pembelian jatah saham divestasi tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009 sebanyak 24% kepada pemerintah provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), pemerintah kabupaten Sumbawa, serta kabupaten Sumbawa Barat. Ketiga pemerintah daerah lalu membentuk perusahaan patungan yakni PT. Daerah Maju Bersaing (DMB).

Karena tak juga memiliki cukup dana, PT. DMB mengandeng PT. Multicapital—anak perusahaan PT. Bumi Resources milik Grup Bakrie—untuk kemudian membentuk perusahaan patungan PT. Multi Daerah Bersaing (MDB) yang bertujuan mengeksekusi 24% saham NNT senilai sebesar US$ 1,165 miliar. Guna memuluskan eksekusi saham NNT tersebut, Bumi Resources mengajukan pinjaman kepada China Investment Corporation (CIC) senilai US$1,9 miliar. Pinjaman PT.Bumi Resources kepada CIC menggunakan skema debt to equity swap (mengubah utang menjadi penyertaan modal/saham, ketika debitur gagal bayar/default).[12]

Eksekusi 24% saham NNT oleh PT. MDB selesai dilakukan tahun 2009, dengan komposisi kepemilikan 18% dikuasai PT. Multicapital, dan 6% dimiliki PT. DMB. Demikian proses divestasi saham NNT masih menyisakan jatah tahun 2010 sebesar 7%. Sementara komposisi kepemilikan NNT setelah divestasi menjadi NTP-BV sebesar 56%, PT. MDB 24% dan PT. Pukuafu Indah sebesar 20%.

Sumber: katadata.co.id

Namun setahun setelah divestasi, PT. Bumi Resources bermanuver dengan melakukan transaksi tukar guling (reverse take over) dengan Vallar Plc, perusahaan investasi pertambangan yang berbasis di London, milik Nathaniel Rothschild, anak keempat millioner Jacob Rothschild. Bumi Resources menyerahkan 25% saham kepada Vallar Plc, sementara Vallar menyerahkan 43% saham kepada Bakrie Group.

Pada pertengahan Juni 2011,  Vallar Plc melanjutkan aksinya dengan mengumumkan pengambil alihan (akusisi) 75% saham Bumi Resources di Bumi Resources Mineral (induk PT. Multicapital), sehingga Vallar.Plc menjadi pemilik tidak langsung  atas 18% saham Bumi Resources Mineral di NNT.

Namun hubungan mesra Grup Bakrie dengan Nathaniel Rothschild tidak berlangsung lama. Satu tahun kemudian Nathaniel Rothschild berpisah dengan Grup Bakrie dan melepas kepemilikan atas Bumi Resources.

Belum reda berita manuver Bumi Resources dan Vallar Plc., Pada 25 Juni 2011, PT. Pukuafu Indah menghentak publik Indonesia dengan aksinya melepas 2,2% sahamnya di NNT kepada PT Indonesia Masbaga Investama (PT. IMI).

Baca Juga:

Dana pembeliaan 2,2% saham yang digunakan PT. IMI bersumber dari Newmont Ventures Limited (NVL)—anak perusahaan Newmont Mining Corpporation. Celakanya, dalam perjanjian antara NVL dengan PT. IMI, dinyatakan bahwa NVL dapat menggunakan paket agunan standar yang berlaku di Indonesia, termasuk agunan saham berikut pengalihan dividen dan kuasa untuk menjual saham PT. IMI, serta memberikan hak suara atas saham milik PT IMI. Dengan demikian Newmont Mining Corpporation menjadi pengendali dan pemilik tidak langsung 2,2% saham PT.IMI di NNT.

Langkah IMI tersebut sesungguhnya bertujuan untuk mengamankan posisi NTP-BV tetap sebagai pemegang saham pengendali, jika jatah divestasi saham terakhir tahun 2010 sebesar 7% selesai dieksekusi oleh Indonesia. Melalui IMI maka total saham yang dikendalikan oleh NTP-BV sebesar 51,2% (terdiri dari 49% saham NTP-BV plus 2,2% saham IMI).

Usai berbagai manuver perusahaan-perusahaan tersebut, komposisi kepemilikan saham NNT mengalami perubahan menjadi; Newmont Mining Corp 31,5%, Sumitomo Corp  24,5% (NTP-BV)[13], PT. DMB 6%, PT.Multicapital 18%, PT. Pukuafu Indah 17,8%, dan PT. Indonesia Masbaga Investama sebesar 2,2%.

Pada akhirnya proses divestasi NNT tidak mencapai tujuan divestasi itu sendiri yakni meningkatkan kepentingan nasional (promotion of national interest), agar pemerintah dan pihak-pihak di dalam negeri memiliki ruang melakukan kontrol langsung atas aktivitas perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.

Sampai proses divestasi saham NNT tuntas dilakukan (termasuk jatah saham tahun 2010), Asing tetap akan menempati posisi sebagai pemegang saham mayoritas (51,2%),  karena PT. IMI yang menguasai 2,2% saham NNT, terafiliasi tidak langsung dengan Newmont Mining Corp.[14] Sementara itu pemegang saham dalam negeri tidak terafiliasi satu sama lain, sehingga sulit mengkonsolidasikan suara dalam pengambilan keputusan dalam perusahaan.

Sementara itu, di tengah berlarut-larutnya divestasi 7% saham NNT jatah terakhir (2010), secara mengejutkan pada Juli 2016, Newmont Mining Corp dan Sumitomo Corp mengumumkan kesepakatan menjual sahamnya kepada PT Amman Mineral International (PT. AMI), perusahaan yang sahamnya dikuasai oleh AP Investment dan Medco Energi, milik konglomerat Arifin Panigoro.

Dalam perkembanganya, PT. AMI juga mengakusisi seluruh saham pemilik lainya (6% saham PT. DMB, 18% PT. Multicapital  dan 2,2% saham PT. IMI). Demikian PT. AMI menguasai 82,2% saham NNT. PT. AMI  hanya menyisahkan 17,8% saham milik PT. Pukuafu Indah.

Transaksi akuisisi 82,2% NNT senilai US$ 2,6 miliar (Rp 34,5 triliun), didukung oleh konsorsium tiga bank BUMN, yaitu PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI). Ketiga Bank memberikan pinjaman sebesar US$ 750 juta dengan masa pengembalian 18 bulan.

Setelah menyelesaikan seluruh proses transaksi pada November 2016, NNT berganti nama menjadi PT Amman Mineral Nusa Tenggara (PT. AMNT), dan guna melunasi utang berdenominasi dolar, PT.AMNT berencana menerbitkan obligasi global dan lokal senilai US$ 750 juta pada tahun 2017. Perseroan itu juga berencana melakukan penawaran saham kepada publik (initial public offering/IPO) pada rentang waktu tahun 2017-2018.

Proses penjualan 56% saham NNT oleh NTP-BV (Newmont Mining  Corp dan Sumitomo Corp) kepada PT. AMI dinilai banyak kalangan cennderung melanggar aturan karena transaksi dilakukan di tengah proses divestasi belum selesai sepenuhnya—masih menyisahkan divestasi 7% jatah saham terakhir (2010) yang harus ditawarkan NNT kepada pemerintah Indonesia.

Hak Pembelian Pemerintah Pusat

Berangkat dari pengalaman terdahulu (divestasi NNT dan divestasi saham Freeport tahun 1991), demi mencapai tujuan divestasi, maka pemerintah pusat harus mampu mengeksekusi hak pembelian saham PTFI yang dimiliki. Tidak ada alasan bagi pemerintah pusat untuk melepas hak pembelian saham PTFI kepada pihak manapun. Menyerahkan hak pembelian saham kepada pihak lain (Swasta maupun BUMN) membuat saham hasil divestasi akan tersebar pada banyak pihak.[15]

Tersebarnya saham divestasi kepada banyak pihak membuat Freeport Mc-MoRan tetap menjadi memegang saham terbesar di PTFI dengan kepemilikan sebanyak 49%.  Sementara para pemegang saham PTFI dalam negeri yang tersebar pada banyak pihak kesulitan mengkonsolidasikan suara dalam pengambilan keputusan dalam perusahaan, karena masing-masing pihak memiliki kepentingan berbeda-beda satu sama lain (terlebih bila beberapa persen saham divestasi dimiliki oleh pihak swasta).

Demikian, eksekusi hak pembelian oleh pemerintah pusat adalah sebuah keharusan. Sementara terkait masalah ketiadaan dana, maka pemerintah diatasi dengan menghimpun dana melalui pasar modal, melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Penerbitan SBN dengan maksud untuk mengeksekusi 41,64 % saham divestasi akan jauh lebih bisa diterima masyarakat ketimbang penerbitan-penerbitan SBN yang dilakukan pemerintah selama ini yang tidak jelas penggunaanya.[16]

Penggunaan hak pembelian 41,64 persen saham divestasi oleh pemerintah pusat, akan membuat proses divestasi dapat terhindar dari tekanan para elit politik dan bisnis  “papa minta saham”. Di samping itu eksekusi hak pembelian 41,64 persen saham divestasi oleh pemerintah pusat juga akan menempatkan pemerintah pusat sebagai pemegang saham mayoritas/pengendali, yang akan menentukan operasional dan arah jalannya perusahaan.

Hanya dengan eksekusi hak pembelian 41,64 persen saham divestasi oleh pemerintah pusat, maka tujuan utama dari divestasi yaitu meningkatkan kepentingan nasional (promotion of national interest), dapat tercapai.

Catatan:

[1] Empat point kesepakatan pemerintah dengan Freeport Mc-MoRan adalah (1) PTFI akan mengubah bentuk Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang memberikan hak operasi hingga 2041, (2) Pemerintah akan memberikan jaminan kepastian hukum dan fiskal, (3) PTFI berkomitmen akan membangun smelter baru di Indonesia dalam 5 tahun, (4) Freeport Mc-MoRan akan mendivestasikan kepemilikannya di PTFI hingga kepemilikan Indonesia atas saham PTFI menjadi 51%.

[2] https://tirto.id/beda-pemerintah-dan-freeport-soal-poin-kesepakatan-cvzZ

[3] Sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Kontrak Karya generasi kedua (1991) Freeport Mc-Moran berkewajiban melakukan divestasi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah melepas saham ke pihak nasional sebesar 9,36% dalam 10 tahun terhitung sejak 1991. Tahap kedua dimulai tahun 2001, dimana Freeport Mc-MoRan harus menjual sahamnya sebesar 2% per tahun sampai kepemilikan nasional mencapai 51%. Beberapa hari setelah KK generasi kedua ditandatangani, pada Desember tahun 1991, Mc-MoRan melepas 9,36% saham divestasi tahap pertamanya kepada PT Indocopper Investasma, anak perusahaan Bakrie Brothers senilai US$ 213 juta. Namun, pembelian ini ternyata menggunakan dana pinjaman dari Freeport Mc-MoRan sebesar US$ 173 juta sementara sisa sebesar US$ 40 juta berasal dari kantong Bakrie Brothers sendiri. Setahun kemudian, Bakrie Brothers  melepas 49% sahamnya di Indocopper Investama kepada Mc-MoRan senilai US$ 211,9 juta. Enam tahun kemudian tepatnya tahun 1997, Bakrie Brothers melepas 51% saham yang tersisa di Indocopper Investama senilai US$ 315 juta kepada PT Nusamba Mineral Industri—perusahaan yang  80% sahamnya dimiliki oleh yayasan-yayasan Soeharto, 10% dikuasai putra sulung Soeharto, Sigit Harjojudanto, dan 10% lagi dimiliki oleh Bob Hasan. Seperti juga transaksi Bakrie Brothers, pembelian 51% saham Indocopper Investama ini. PT Nusamba Mineral Industri  juga mengandalkan dana pinjaman dari Mc-MoRan sebesar US$ 254 juta, sedangkan Nusamba Mineral hanya menyetorkan dana sebesar US$ 61 juta. Pada tahun 2002 Nusamba Mineral melepas seluruh kepemilikan saham di Indocopper Investama kepada Freeport Mc-MoRan. Dengan demikian kepemilikan Freeport Mc-MoRan di PTFI kembali utuh menjadi 90,64%, sedangkan pemerintah Indonesia tetap menguasai saham sebanyak 9,36%.

[4] Sejak Kontrak Karya (KK) generasi pertama pada tahun 1967, pemerintah memperoleh saham sebesar 9,36%.

[5] Penggunaan metode replacement cost (nilai buku) mengacu pada pasal 22 kontrak karya Freeport tahun 1991.

[6] Freeport menggunakan metode market value mengacu pada Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 27 Tahun 2013

[7] Seperti diketahui di masa-masa akhir masa jabatannya, Presiden Suslio Bambang Yudhoyono (SBY) pada 14 Oktober 2014 menandatangani PP No.77 Tahun 2014 yang merupakan perubahan ketiga atas PP No. 23/2010. Berdasarkan PP tersebut, hingga tahun 2019 Freeport Mc-MoRan diharuskan melakukan divestasi saham sebesar 30%. Dan penawaran saham kepada pemerintah harus dilaksanakan setahun setelah PP diterbitkan yakni mulai 14 Oktober 2015. Namun dalam prakteknya pemerintah memberikan kelonggaran waktu 90 hari bagi Freeport Mc-MoRan untuk mengajukan penawaran saham atau berakhir pada 14 Januari 2016. Tepat pada batas waktu hari terakhir atau 14 Januari 2016, Freeport Mc-MoRan mengajukan penawaran resmi divestasi saham sebesar 10,64% kepada pemerintah Indonesia. Dan sesuai PP No.77/2014 pemerintah diberikan batas waktu 60 hari untuk memberikan jawaban atas penawaran Freeport tersebut. Terhadap 10,64% saham yang ditawarkan, terdapat perbedaan perhitungan niai valuasi saham antara pemerintah dengan Freeport Mc-MoRan. Pemerintah menggunakan metode penggantian biaya yang dikeluarkan (replacement cost), sementara Freeport Mc-MoRan menggunakan metode harga pasar yang wajar (fair market value). Menggunakan metode fair market value, Freeport Mc-MoRan menawarkan harga 10,64% saham divestasi sebesar US$ 1,7 miliar. Sedangkan pemerintah menganggap harga tersebut masih terlalu mahal, karena dengan perhitungan menggunakan metode replacement cost, harga 10,64% saham hanya sekitar US$ 630 juta. Dalam hitungan Tim Divestasi Pemerintah, nilai US$ 1,7 miliar tersebut tidak wajar karena memperhitungkan umur tambang hingga tahun 2041, bukan sampai tahun 2021 merujuk  pada berakhirnya masa kontrak PTFI sesuai dengan kontrak karya generasi kedua. Disamping itu, apakah perhitungan yang dibuat Freeport benar-benar sudah mengunakan dengan nilai pasar, dan apakah nilai yang ditawarkan tersebut telah memperhitungan discount rate. Sementara itu, Freeport Mc-MoRan sendiri menolak penggunaan metode replacement cost yang digunakan pemerintah karena merujuk pada revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 27 Tahun 2013 tentang Tata Cara dan Penerapan Harga Divestasi Saham, serta perubahan penanaman modal di bidang usaha pertambangan Mineral dan Batubara, yang telah mengubah metode perhitungan dari replacement cost menjadi fair market value. Di samping itu metode replacement cost menurut Freeport Mc-MoRan hanya memperhitungkan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk menemukan cadangan, namun tidak mengganti ekspektasi alasan berinvestasi. Demikian Freepot Mc-MoRan menilai metode tersebut tidak fair. Setelah dua kali bernegosiasi, pemerintah dan Freeport Mc-MoRan tidak juga mencapai titik temu. Polemik divestasi 10,64% saham Freeport Mc-MoRan berhenti setelah pada 11 Januari 2017, Presiden  Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan Keempat  atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal 97 ayat (2) PP tersebut, memerintahkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang dimiliki oleh asing untuk melakukan divestasi saham sampai 51% secara bertahap.

[8] Jauh-jauh hari pemerintah telah menyatakan tidak berminat menambah kepemilikan sahamnya di PTFI. Bahkan terhadap tawaran 10,64% saham PTFI saja pemerintah menunjuk empat perusahaan BUMN terdiri dari PT. Inalum (Indonesia Asahan Alumunium), PT. Antam (Aneka Tambang), PT. Timah dan PT. Bukit Asam untuk membentuk konsorsium mengeksekusi  saham PTFI. Belakangan pemerintah juga menyatakan akan memberikan 2,5% saham divestasi kepada pemerintah daerah Papua dan Papua Barat.

[9] “Papa minta saham” merujuk pada praktek bagi-bagi jatah saham oleh elit politik dan bisnis dalam negeri terhadap saham divestasi perusahaan asing tertentu yang beroperasi di Indonesia. Ada beberapa modus yang digunakan, di antaranya pihak yang diberikan hak pembelian oleh pemerintah pusat, menggunakan dana pembelian saham yang bersumber dari pinjaman kepada perusahaan yang didivestasikan sahamnya. Selanjutnya setelah saham berhasil dibeli, kemudian saham  tersebut dijual kembali kepada pemilik semula (perusahaan yang memberikan pinjaman). Praktek ini terjadi pada divestasi 9,3% saham PTFI tahap pertama tahun 1991 yang dibeli oleh Bakrie Brothers. Sumber dana yang digunakan Bakrie Brothers sebagian besar dari pinjaman Freeport Mc-MoRan. Setelah saham berhasil dibeli, Bakrie Brothers  melepas kepemilikannya kepada Mc-MoRan  dan PT. Nusamba Mineral. Celakanya, sumber dana Nusamba Mineral membeli saham PTFI milik  Bakrie Brothers juga berasal dari pijaman  Mc-MoRan. Kemudian setelah selesai membeli saham PTFI, Nusamba menjual kembali sahamnya kepada Mc-MoRan. Pada akhir saham divestasi tahap pertama kembali lagi kepada Freeport Mc-MoRan.

[10] Tujuan divestasi yaitu meningkatkan kepentingan nasional, dimana negara memiliki ruang melakukan kontrol langsung atas aktivitas perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.

[11] Sebelum divestasi, pemegang saham mayoritas NNT adalah Nusa Tenggara Partnership BV (NTP BV) yang memiliki saham 80%. NTP-BV dimiliki oleh Newmont Mining Corpporation dan Sumitomo Corporation. Sementara 20% saham NNT lainnya dikuasai oleh PT.Pukuafu Indah.

[12] Pada tahun 2013 Bursa Efek Indonesia sempat melakukan mensuspensi (penghentian sementara) perdagangan saham PT. Bumi Resources, karena perusahaan tersebut mengalami gagal bayar utang kepada CIC.

[13] Jumlah sama NTP-BV (Newmont Mining  Corp dan Sumitomo Corp) sebesar 56% karena divestasi saham jatah terakhir (2010) sebesar 7% belum dieksekusi oleh pemerintah.

[14] IMI terikat perjanjian pinjaman dana dengan Newmont Ventures Limited, yang mengagunkan saham yang dibeli di NNT.

[15] Seperti dikabarkan mekanisme divestasi atas 41,64 persen saham PTFI akan dilakukan secara bertahap. Divestasi bertahap ini akan membuka cela bagi terdistribusinya saham divestasi kepada banyak pihak. Alasan ketiadaan dana akan memdorong pemerintah menyerahkan hak pembeliannya kepada pihak lain (Swasta maupun BUMN dan Pemerintah daerah). Terdistribusinya saham PTFI kebanyak pihak akan menyulitkan konsolidasi suara dalam pengambil keputusan di perusahaan. Demikian Freepor Mc-MoRan yang merupakan pemegang saham terbesar (49%) akan menjadi pihak yang mengendalikan PTFI.

[16] Menteri keuangan Sri Mulyani  tidak dapat menjelaskan penggunaan dana hasil penerbitan SBN ketika ditanya oleh Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat kerja pembahasan APBN-P 2017 , digedung Parlemen Senayan (24/7/2017); http://katadata.co.id/berita/2017/07/24/dpr-minta-rincian-penggunaan-utang-sri-mulyani-sulit-diidentifikasi

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.