Bisnis Liberalisasi Kekerasan di Myanmar

523
VIEWS
Pembakaran rumah penduduk Rohingya secara massif di desa Chein Khar Li, Rakhine State, Myanmar. Sumber gambar: https://www.hrw.org/news/2017/09/02/burma-satellite-images-show-massive-fire-destruction

Januari 2016

Sebuah perusahaan yang tidak jelas siapa pemiliknya mengirim alat-alat berat untuk mengeksplorasi potensi tambang titanium dan aluminum di beberapa kota pesisir Arakan utara, seperti Rathedaung dan Maungdaw. Keduanya hanya berjarak selemparan batu dari Bangladesh. Penduduk setempat yang sebagian besar berasal dari etnis Rohingya menuntut bagian dan ganti rugi jika tergusur untuk kepentingan tambang.

Oktober 2016

Gerilyawan Rohingya menyerang sejumlah pos polisi di Rathedaung dan Maungdaw, menewaskan sembilan orang petugas keamanan. Militer membalas. Beberapa desa dibakar dan ribuan orang diduga tewas. Dalam operasi pembersihan itu, ratusan ribu warga mengungsi ke Bangladesh, membawa cerita tentang perkosaan massal dan beberapa anak yang dilempar ke dalam rumah yang terbakar.

Maret 2017

Para pengungsi Rohingya dari Rathedaug dan Maungdaw, yang kini berada di Bangladesh, khawatir tidak bisa kembali ke rumah. Mereka menduga pemerintah Myanmar tengah menggelar sensus khusus bagi etnis Rohingya dan mencoret nama-nama yang tengah mencari suaka di negeri sebelah. Pencatatan itu krusial karena menjadi basis data bagi mereka yang akan diberi status kewarganegaraan. Hingga saat ini para pengungsi itu belum kembali.

Agustus 2017

Gerilyawan Rohingya kembali melakukan serangan terkoordinasi yang lebih besar di dua kota yang sama, ditambah Buthidaung. Sebanyak 30 pos polisi dan sebuah pangkalan militer menjadi sasaran. Tentara membalas dengan modus yang sama dengan tahun sebelumnya: membakar desa-desa. Jumlah pengungsi di Bangladesh bertambah menjadi 200.000an ribu dengan gelombang kedatangan baru.

September 2017

Pihak militer Myanmar menyebar ranjau di dekat perbatasan, kabarnya untuk mencegah dua ratusan ribu pengungsi itu kembali ke Maungdaw dan Rathedaung.


 

Salah satu poin yang sering dilupakan dalam diskusi tentang Rohingya adalah konteks bahwa Myanmar tengah berada dalam masa transisi. Selama lebih dari lima dekade negara ini dikuasai oleh junta militer dengan sistem satu partai. Baru sejak tahun lalu kaum sipil secara resmi memimpin pemerintahan dengan konsesi politik besar mengingat tentara masih menguasai parlemen tanpa harus bersusah-payah memobilisasi suara.

Sepanjang puluhan tahun periode kekuasaan junta itu, tentara perlahan-lahan menguasai sektor ekonomi strategis Myanmar. Militer membentuk perusahaan-perusahaan yang terkonsolidasi dalam dua grup konglomerasi terbesar di Myanmar saat ini, Myanmar Economic Corporatioin (MEC) dan Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL). MEC adalah kelompok bisnis yang dimiliki oleh kementerian pertahanan dengan banyak lini usaha; dari pabrik ban, pabrik garmen, kontraktor infrastruktur seperti jalan dan pelabuhan, sampai komunikasi. Sementara itu MEHL adalah konsorsium dana pensiun para tentara yang menguasai bisnis tambang giok, perbankan, impor minyak, transportasi, sampai pariwisata. Menurut laporan dari Financial Times, kedua grup ini sangat tertutup dan jarang mau diwawancara media.

Kedua korporasi itu seringkali terlibat dalam kasus dugaan korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, konflik perebutan barang tambang, dan perampasan tanah. Tahun 2015 lalu, lembaga Global Witness merilis laporan penilitian yang menuding MEHL dan mantan diktator junta Than Shwe sebagai pihak yang diuntungkan dari bisnis tambang giok senilai 31 milyar dolar AS, angka yang jauh melampaui gabungan pendapatan industri minyak dan gas yang hanya mencapai 4,3 milyar dolar AS. Tambang batu berharga yang punya pasar besar di China itu sebagian besar berada di negara bagian Kachin, di mana miiter tengah menggelar operasi penumpasan gerilyawan separatis yang juga ingin menguasai bisnis giok.

Sementara itu MEC bersama perusahaan milik negara lain terlibat dalam perampasan tanah untuk kepentingan bisnis di sejumlah negara bagian, yang juga dilanda konflik separatis, seperti Karen, Mon, dan Rakhine. Tanah rampasan itu pada umumnya digunakan untuk lahan agro-bisnis, proyek infrastruktur, pengembangan kawasan wisata, fasilitas industri, dan pipa gas.

Posisi kelompok bisnis para tentara ini justru semakin kuat saat transisi Myanmar ke arah demokrasi liberal mulai berjalan. Pada tahun 2011 di bawah pemerintahan kuasi-sipil Presiden Thein Sein, Myanmar mulai membuka keran perekonomian mereka untuk modal asing. MEC dan MEHL merespon kebijakan itu dengan mencitrakan diri mereka sebagai mitra lokal bagi perusahaan multi nasional. Coca-cola misalnya. Baru dua tahun lalu korporasi ini mengakui punya hubungan investasi dengan perusahaan lokal yang terlibat dalam bisnis berdarah tambang giok milik serdadu.

Perkembangan penting lain terjadi pada 2016 usai partai asal Aung San Suu Kyi, penerima Hadiah Nobel Perdamaian yang kini secara de facto menjadi pemimpin Myanmar, memenangi pemilu setahun sebelumnya. Presiden Amerika Serikat pada saat itu, Barack Obama, mencabut sebagian sanksi ekonomi karena menilai Myanmar telah mencapai kemajuan pesat menuju demokrasi. Kebijakan ini berdampak besar karena para mantan jenderal dan keluarganya, seperti Than Shwe dan Stephen Law, kini bisa mendapatkan akses perbankan internasional. Pencabutan embargo batu giok juga membuat MEHL punya pasar baru selain China.

Salah satu konsekuensi penting dari perkembangan terbaru ini adalah semakin massifnya praktik perampasan tanah oleh tentara dan perusahaan yang punya koneksi dengan mereka, demikian catatan sejumlah lembaga kredibel seperti Cetri dan Human Rights Watch. Pada 2010, persis satu tahun sebelum Thein Sein berkuasa, rezim junta nampak sudah mempersiapkan liberalisasi ekonomi dengan memberi tanah, yang status kepemilikannya masih disengketakan, kepada 216 perusahaan dalam bentuk konsesi.

Lalu apa dampak dari semakin mengguritanya kompleks-bisnis serdadu ini bagi etnis Rohingya yang sekarang sedang banyak diperbincangkan?

Beberapa indikasi yang ada menunjukkan bahwa tentara selama satu tahun terakhir melakukan perampasan tanah milik warga Rohingya di kota (daerah setara kabupaten) Maungdaw dan Rathedaung, negara bagian Rakhine. Metode-metode kekerasan yang mereka gunakan sudah jelas tidak ditujukan untuk mencari buronan gerilyawan ARSA—kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas serangan terkoordinasi di sejumlah pos polisi—melainkan untuk mengusir warga Rohingya di dua kota itu. Perlu diketahui bahwa mayoritas penduduk Maungdaw dan Rathedaung adalah etnis Rohingya, bukan Arakan.

Baca Juga:

Sumber: https://www.hrw.org/news/2017/09/02/burma-satellite-images-show-massive-fire-destruction

Tentara melakukan metode yang sama dalam operasi perburuan gerilyawan ARSA tahun 2016 dan 2017. Mereka membakar semua rumah penduduk desa untuk memastikan wilayah itu sudah “dibersihkan”. Usai ratusan ribu korban mengungsi ke Bangladesh dengan berjalan kaki, militer mulai menyebar ranjau sementara pemerintah mendata penduduk untuk memastikan pemilik tanah yang sah tidak kembali. Cara yang mirip pernah digunakan oleh pemerintah saat mengusir semua penduduk di tiga desa di wilayah Sagiang untuk memberi tempat pada perusahaan tambang asal China yang bermitra dengan militer.

Beberapa peristiwa lain, yang terjadi pada waktu yang hampir bersamaan dengan operasi pembersihan pertama, turut memperkuat dugaan motif perampasan tanah ini. Pada awal 2016, perusahaan bernama Yae Myae Shin secara tiba-tiba mengirim alat pendeteksi kandungan aluminum dan titanium di sepanjang pantai Rathedaung. Direktur perusahaan ini bernama Aik Sai yang juga mengepalai perusahaan tambang lain dan merupakan 100 pembayar pajak terbesar di Myanmar. Tidak jelas apa koneksi Aik Sai ini dengan para jenderal. Namun di Maungdaw, sudah sejak lama perusahaan tambang asal China dan Luxemburg mengincar aluminum dan titanium. Mereka sudah mengetahui bahwa setiap 500 ton pasir pantai Maungdaw, mengandung sedikitnya satu ton dua bahan mineral berharga itu.

Selain itu, pemerintah Myanmar pada Agustus ini juga menetapkan Maungdaw sebagai zona ekonomi khusus yang akan menjadi tuan rumah bagi beberapa industri komoditas ekstraktif dan padat karya (seperti garmen yang salah satu pemain terbesarnya adalah anak perusahaan MEC). Pemerintah juga menetapkan target ground-breaking bulan September ini yang mustahil dicapai dalam kondisi normal.

Sampai di sini saya harus menegaskan bahwa saya tidak menarik kesimpulan yang sangat spekulatif seperti: ARSA adalah kelompok bikinan militer yang digunakan sebagai alasan untuk melakukan operasi pembersihan demi menyiapkan bisnis tentara. Saya bukan penganut teori konspirasi seperti Dina Sulaeman. Yang ingin saya katakan di sini adalah: tentara pemerintah dan unit usahanya berpotensi mendapatkan keuntungan dari tragedi kemanusiaan Rohingya.

Sama-sama korban

Selain konteks transisi demokrasi yang mempercepat konsentrasi modal ke tangan elit militer, satu hal lain yang juga sering disalah pahami publik adalah ketegangan antara minoritas Muslim Rohingya dengan mayoritas pemeluk Buddha di Myanmar. Berbagai diskusi di sosial media menunjukkan bahwa publik melihat keduanya sebagai oposisi biner utuh yang tidak terpecah. Padahal, kaum Buddha di negara ini terdiri dari berbagai macam etnis yang sering berkonflik satu sama lain.

Di Rakhine, dua etnis utama yang tinggal di sana adalah Arakan (sekitar dua juta orang) dan Rohingya (sekitar satu juta orang). Keduanya sama-sama minoritas di tengah dominasi etnis Bamar yang sejak tahun kemerdekaan 1948 selalu menguasai Myanmar. Menurut laporan panjang dari International Crisis Group (ICG), elit politik Bamar di Yangon pada masa junta menilai keragaman etnis sebagai ancaman, sehingga kelompok minoritas seperti Arakan sering tidak mendapatkan hak politik, kultural, dan sosial. Rezim militer Bamar juga tidak tertarik untuk membangun perekonomian daerah pinggiran seperti Rakhine.

Akibatnya, Rakhine menjadi salah satu daerah paling tertinggal di Myanmar dengan tingkat kemiskinan sangat tinggi, mencapai 79 persen. Tidak adanya kesempatan ekonomi juga membuat para pemuda etnis Arakan meninggalkan Rakhine untuk bekerja sebagai buruh di negara-negara Asia Tenggara lain seperti Malaysia dan Thailand. Sama seperti Rohingya, mereka juga sering menjadi korban jaringan perdagangan manusia.

Sementara itu petani Arakan yang masih bertahan malah banyak kehilangan tanah dirampas tentara. Tahun 1996, lahan pertanian seluas 13 hektar di Thadwe dirampas tentara yang 10 tahun kemudian menyerahkan tanah tersebut ke developer resor mewah seperti Hilton dan Max Myanmar.

Lalu pada tahun 2009, pemerintah pusat mulai membangun pipa yang menyalurkan gas hasil eksploitasi lepas pantai di Teluk Bengal, dari Rakhine ke China. Lagi-lagi tanah para petani kecil Arakan seluas hampir 50 hektar dirampas tanpa kompensasi apapun dari pemerintah.[1]

Pada titik ini sudah jelas etnis Arakan dan Rohingya adalah korban kebijakan elit serdadu. Saya setuju dengan kesimpulan ICG bahwa penggambaran etnis Buddha Arakan sebagai satu kesatuan seragam yang menghantam Rohingya, adalah deskripsi yang kontra produktif—meskipun kami berangkat dari pijakan analisis berbeda.

Namun, sama-sama menyandang status korban tidak serta-merta membentuk koalisi etnis Arakan dan Rohingya. Harus diakui bahwa ada ketegangan horizontal yang mengakibatkan aksi vigilantisme ekstrimis Buddha seperti yang terjadi pada 2012 dan, dalam skala yang lebih kecil, pada tahun ini.

Menurut ICG, faktor pertama penyebab tingginya tensi kedua etnis itu adalah transisi demokrasi tahun 2008 saat negara bagian mulai mendapatkan wewenang eksekutif dan yudikatif. Peluang ini memungkinkan kompetisi politik yang sebelumnya tidak pernah ada. Beberapa tokoh Rohingya yang sudah mendapatkan hak kewarganegaraan memilih untuk tidak bergabung dengan partai lokal Arakan. Sementara itu komposisi kependudukan yang relatif berimbang (dan kecurigaan soal angka kelahiran yang sangat tinggi di kalangan Rohingya) membuat etnis Arakan khawatir tidak sempat membangun kembali identitas yang direpresi puluhan tahun oleh elit Bamar.

Faktor yang kedua terkait dengan budaya. Banyak ritual agama Islam yang dijalankan Muslim Rohingya, dinilai menghina agama Buddha, seperti penyembelihan sapi kurban di hari raya Idul Adha. Masalah semakin rumit dengan semakin populernya kelompok ekstrimis Buddha MaBaTha di level nasional. Rohingya dan Arakan hampir tidak pernah bercampur tinggal dalam satu kawasan yang sama sehingga menambah prasangka—yang diperparah oleh larangan perjalanan bagi etnis Rohingya yang menyebabkan interaksi antar etnis sangat terbatas.

Situasi saling curiga ini kemudian dimanfaatkan oleh militer untuk menggalang dukungan bagi operasi pembersihan Rohingya di Maungdaw dan Rathedaung. Serdadu melenggang relatif tanpa perlawanan publik saat membakar ratusan rumah warga desa. Sementara media-media lokal pro-pemerintah lebih percaya dengan cerita versi tentara yang menyebut bahwa pelaku pembakaran rumah adalah orang-orang Rohingya sendiri.

Kesimpulan

Transisi demokrasi di Myanmar, dan respon internasional atasnya, telah membuka peluang bagi elit militer Myanmar melakukan ekspansi bisnis dengan cara-cara brutal. Di level akar rumput Rakhine, terbukanya partisipasi politik malah menambah prasangka yang diikuti oleh ujaran kebencian. Militer dengan cepat menggunakannya untuk melakukan perampasan tanah tanpa perlawanan. Demokrasi baru tidak menjamin kebebasan ekspresi, yang didapat alih-alih justru liberalisasi kekerasan bermotif bisnis.

Komunitas internasional pun tidak bisa diharapkan untuk menekan Suu Kyi. Status Myanmar sebagai the untapped market membuat negara ini masih menjadi rebutan para pemodal besar. Amerika Serikat tidak akan bersikap tegas karena tidak mau peluang bisnisnya jatuh ke tangan China. Demikian pula sebaliknya. Sementara Asean hanya menjadi organisasi pencuci mata karena punya prinsip non-intervensi. Di sisi lain, Indonesia tidak punya wewenang moral untuk mengajari Myanmar demokrasi mengingat masih banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia dalam negeri yang selesai tanpa keputusan.

Satu-satunya harapan justru muncul dari dalam, dengan bersatunya para korban penggusuran dan perampasan tanah untuk menuntut hak kepemilikan sah mereka. Tentu saja menciptakan koalisi pragmatis bagi Arakan dan Rohingya merupakan kerja jangka panjang yang tidak akan segera membuah. Bagi Rohingya, status kewarganegaraan saja tidak cukup. Larangan dan pembatasan hak perjalanan bagi mereka harus segera dicabut untuk mengintensifkan interaksi sosial dengan etnis Arakan—yang diharapkan bisa mengikis prasangka.

Sementara itu pemerintah Suu Kyi harus segera menyelamatkan demokrasi yang hendak jatuh ke lubang lama ini. Dengan segala batasan konstitusionalnya, Suu Kyi bisa mulai melemahkan konglomerasi militer dengan membangun basis usaha kecil menengah yang inklusif dan banyak menyerap tenaga kerja. Banyak instrumen yang bisa dia gunakan seperti mempermudah kredit bagi mereka yang hendak memulai usaha.

Catatan:

[1] Beberapa “analisis” menyebut pipa gas ini sebagai sumber konflik ekonomi politik Rohingya. Tetapi inrastruktur energi tersebut hanya melewati bagian selatan Rakhine, dimulai dari Kyaukpyu, yang hanya dihuni oleh orang-orang Arakan. Daerah relatif sangat jauh dari pusat populasi dan konflik Rohingya di Maungdaw. Keduanya juga tidak terhubung oleh jalan darat

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.