Seperti jutaan lainnya, saya menjadi pengikut dari akun instagram Dian Pelangi, Maudy Ayunda, dan Nicholas Saputra. Secara visual tentu saja foto-foto mereka menghibur dan menyejukkan mata. Melihat koleksi rancangan ready-to-wear dan “semi” houte-couture Dian Pelangi, kehidupan harian Maudy Ayunda di Oxford, dan jepretan travel kelilingnya Nicholas Saputra setidaknya memberi mata kita sekelumit referensi dari gambaran dunia penuh privilise di luar sana yang dinikmati oleh selebritis tanah air.
Beberapa bulan lalu saya memutuskan menjadi pengikut akun freepalestine.syria, dan sejak saat itu laman instagram saya berubah. Lokasi foto-foto dari tiga selebritis dengan dominasi latar Eropa yang “membuai impian kolonial” dan Asia yang “eksotis dan dinamis” berbalapan dengan berbagai foto-foto dan video tragis (maupun heroik) tentang Palestina dan Suriah. Namun, satu video menyentak saya.
Seorang bayi di Suriah, usianya sekitar 2-3 tahun, tampak terkubur puing-puing bangunan dari serangan yang diluncurkan Rusia. Kita bisa melihat tubuh mungilnya yang penuh debu tertelungkup, kecuali kepalanya yang tertimbun. Video itu, dengan jarak dekat, menampilkan bagaimana seorang pria menarik keluar sang bayi dengan menggenggam kedua kaki kecilnya yang menyembul dari reruntuhan. Persis seperti mengangkat boneka, mayat sang bayi terayun keluar, terangkat tinggi, penuh luka. Tubuhnya ringan tanpa nyawa. Ia seolah melambai dingin pada kita dari alam baka. Menyapa kita tanpa emosi.
Tepatnya seperti yin dan yang – video itu menjadi sebuah disrupsi dari realita yang terkoyak, menyeruak dari mimpi suram yang berbeda dunia. Tapi, apakah patut jika perasaan ketidakberdayaan untuk melakukan apapun, kemarahan atas ketidakadilan global, serta terganggunya wisata visual kita di Instagram –yang tampak seperti pelarian singkat dari rutinitas pribadi– membuat saya berhenti menjadi pengikut akun Instagram freepalestine.syria? Tidak, saya memutuskan tetap mengikut akunnya.
Ekstremisme agama
Perang tak henti di Suriah. Lantas teror dan serangan di Paris dan Lebanon, menyusul Istanbul dan Jakarta. Seolah tragedi ini memang dirancang-paksa menjadi prolog di Indonesia memasuki 2016. Opini yang kuat dalam rangkaian serangan ini adalah narasi soal ISIS, yang lantas menjadi dalih untuk keberlanjutan beragam program global soal ancaman ekstrimisme agama [Islam] bertajuk CVE (“Countering Violent Extremism”).
Berbeda dengan pasca serangan WTC 11 September 2001 yang secara demonstratif ditunjukkan dengan invasi militer AS ke Afganistan dan Irak, pendekatan CVE kali ini juga dilakukan dengan kampanye, pertemuan tingkat tinggi, seminar, dan beragam pendekatan ke organisasi-organisasi, kelompok militer, dan tokoh agama yang berpengaruh di tingkat lokal, nasional, dan internasional. Tak jarang pendekatan seperti ini dilakukan di berbagai lini. Baik melalui seminar di hotel-hotel hingga ke lingkungan pesantren. Upaya ini dilakukan seiring dengan perang yang tak hendak usai di Suriah, gelombang pengungsi ke Eropa, dan ‘hit and run’ soal aksi terorisme di beberapa negara.
Di sebuah konferensi internasional di Jakarta tentang kekerasan ekstremisme agama pada awal tahun ini, secara spontan saya menyampaikan sebuah sanggahan dan kritik terhadap dokumen bertajuk ‘Pernyataan Abu Dhabi: Menolak Kekerasan Ekstremisme Agama dan Mendorong Kesejahteraan Bersama’[i] yang menjadi salah satu kerangka berpikir dari acara tersebut. Deklarasi ini telah dikumandangkan lebih dari setahun lalu, tepatnya pada 13 Desember 2014 oleh para tokoh pemimpin, cendikia dan organisasi berbasis agama dari berbagai negara. Ringkasnya, deklarasi ini menyatakan ada 3 pendorong munculnya kekerasan ekstremisme agama:
Pertama, ideologi agama dan spiritual. Ini dimaknai sebagai salah tafsir atas agama untuk membenarkan kekerasan. Narasi ini dianggap harus dibongkar dan diganti dengan ‘kontra-narasi’ (counter-narratives) yang otentik untuk memunculkan aspek kemanusiaan dalam agama dan menghilangkan budaya kekerasan. Kedua, sosio-ekonomi. Termasuk diantaranya pelanggaran hak fundamental yang berakibat pada kemiskinan, kurangnya kesempatan untuk mobilitas vertikal, dan kegagalan pemerintah menyediakan layanan dasar termasuk pendidikan. Ketiga, psikologis. Ini dimaknai sebagai kegagalan memiliki kehidupan yang bermakna, adanya ketidakadilan, dan perasaan ingin dimiliki/memiliki martabat secara kolektif.
Dokumen ini juga menyertakan berbagai rekomendasi untuk pemerintah, PBB, dan komunitas agama. Secara khusus, saya menyampaikan kritik yang saling terkait antara faktor pendorong dan rekomendasi yang disebutkan di dalam deklarasi sebagai berikut.
Ketiga pendorong tersebut mereduksi akar persoalan dengan membatasi penyebab hanya pada kurangnya pemahaman agama, akses ekonomi, dan permasalahan psikologis individu. Apakah terorisme – dalam artian luas – bisa dihilangkan hanya dengan mengatasi ketidakadilan dan kesenjangan itu? Selain itu, ketiga pendorong itu seolah memisahkan kekerasan agama dan terorisme dari aspek kekerasan ideologi politik dan etnisitas sehingga tereduksi menjadi isu ketidakadilan yang terisolir. Ini membuat analisis permasalahan menjadi terfragmentasi dan terburai dari konstelasi global beserta problematika multidimensi yang luas dari globalisasi, kekerasan negara, terorisme sokongan negara, bisnis militer, neoliberalisme, dan relasi serta interaksinya yang kompleks.
Jika kita hendak memutus siklus jahat dari peningkatan permusuhan global, gagasan pendekatan multiagama yang harus dilakukan adalah membangun kerangka analisis bersama untuk mengatasi kompleksitas persoalan tersebut, dan pada saat yang sama meninjau kembali serta menguji secara kritis sejauh mana pendekatan multiagama telah dilakukan dalam skala lokal, nasional, dan internasional. Ada urgensi kebutuhan untuk menganalisis partikularitas budaya dan geopolitik atau kontrol atas wilayah, untuk kemudian memaknai ulang dan mendekonstruksi narasi atau gagasan yang bias pada term “ekstremisme agama” dan “deradikalisasi”. Langkah etis berikutnya adalah penguatan pada partikularitas konteks dan merajut semangat solidaritas dengan cara melahirkan sikap moral bersama.
Sikap moral bersama yang bertujuan untuk mengatasi ‘kekerasan ekstremisme agama’ terutama adalah melakukan pengujian kritis atas ‘narasi dominan’ (misal: “agama menjadi alat kekerasan”, “Islam adalah agama kekerasan”, “kaum Muslim banyak yang teroris”) maupun ‘kontra-narasi’ (misal: “Islam adalah agama damai”, pemahaman yang baik atas agama mencegah terorisme”, “deradikalisasi penting mencegah bibit terorisme”). Kewaspadaan terhadap ‘kontra-narasi’ ini dibutuhkan karena ‘kontra-narasi’, ironisnya, kerap dikoptasi atau justru memang merupakan bagian dari ‘narasi besar’.
Contoh paling nyata adalah deklarasi Abu Dhabi itu sendiri, yang menitikberatkan faktor pendorong kekerasan ekstrimisme agama hanya pada elemen-elemen yang terisolasi satu sama lain. Analisis ini menganggap kekerasan agama dapat diselesaikan melalui pendekatan multiagama dan multibangsa, namun secara kontradiktif tampak tergantung pada kebaikan negara mengatasi problem sosial dan layanan publik, serta para pendidik agama dan komunitas untuk meredam potensinya di tahap lokal.
Tentu saja penting melakukan dialog perdamaian dan membangun jembatan jejaring lintas-agama, lintas-wilayah, dan lintas-pihak, menuntut pemerintah untuk mengurangi kemiskinan dan memenuhi hak-hak dasar warga, serta mendukung inklusivitas masyarakat. Namun, ini jelas tidak cukup. Dibutuhkan suatu ketelanjangan – kejujuran yang brutal – untuk menembus lapisan yang kompleks dan realita multidimensi dalam relasi kita dengan kerja kekuasaan dan pengetahuan (termasuk di bagian mana kita berada), bahkan kejujuran pada keterbatasan dan kegagalan masa lampau dalam kerja-kerja bersama. Dari analisis itulah, kekuatan partikular di tiap komunitas dibangun dengan tetap menumbuhkan semangat kolektif.
Berangkat dari kritik terhadap deklarasi itu, ekstremisme agama yang patut kita sorot perlu juga digeser lebih luas tanpa mengurangi makna bagi implikasi lokalnya. Ekspresi kekerasan agama tidak hanya pada hingar bingar serangan para ‘teroris’ atau kelompok ‘intoleran’. Penyelewengan atas agama yang dilembagakan juga berimbas di tingkat paling personal dalam harga diri manusia: fisik dan seksualitasnya. Di beberapa wilayah di Indonesia yang masih menyokong perda atau ‘sanksi sosial’ atas nama Syariah Islam, ‘ekstremisme agama’ justru muncul dalam bentuk hukuman cambuk pada perempuan yang dianggap khalwat di Aceh, mengarak bugil anak gadis karena dianggap tidak senonoh di Sragen, pemenjaraan anak dari seorang akademisi terhormat di Aceh karena dianggap masuk aliran sesat meskipun tidak terbukti sehingga sekarang, hingga cara penanganan yang tidak manusiawi terhadap seseorang terduga teroris yang ditangkap Densus 88 dianggap tewas secara tidak wajar di dalam tahanan dalam proses penyidikan baru-baru ini[ii].
Seketika, legitimasi atas nama “moral” kolektif/massa/penguasa menjadi alat ekstremisme yang sama brutalnya dengan bom dan senjata, menyasar mereka yang lemah: perempuan dari kelas bukan penguasa, kalangan ekonomi lemah, komunitas agama minoritas atau dianggap berpaham sesat, hingga kaum LGBT. Agama yang sejatinya menjadi jalan pembebasan manusia berubah menjadi alat politik untuk menghancurkan dan menindas sesama atas nama simbol kesucian. Demi obsesi kolektif untuk ‘mencegah kemungkaran’, penguasa memberi legitimasi untuk masyarakat memuaskan libido kekerasan dan ketakutan mereka pada yang Liyan. Jika ditautkan lagi pada konstelasi yang lebih luas, ekstremisme agama berkelindan erat dengan ekstremisme politik. Inilah persekongkolan dan reaksi timbal balik yang paling fatal.
Ekstremisme Politik
Sebagai respon atas tragedi serangan di Paris bulan November tahun lalu, Alain Badiou menyampaikan sebuah naskah pidato bertajuk Our Wound is Not So Recent. Sebagaimana judulnya, Badiou mencoba mengingatkan kita bahwa gegap gempita duka serangan teror itu bukanlah kisah baru – bukan tragedi menohok yang seolah muncul dari antah berantah atau sekadar sambungan dari rangkaian teror abad 20 yang didahului oleh tragedi WTC atau anggukan atas Clash of Civilization-nya Samuel Huntington. Apa yang terjadi di Paris menurutnya adalah tanda dari kapitalisme global yang saat ini telah menguasai struktur dunia kontemporer. Kekuasaannya ini berimplikasi pada dimusnahkannya kemungkinan munculnya cara pandang atau ideologi alternatif lain.
Menyoal aksi teror dan kekerasan berbasis agama, Badiou mengatakan bahwa agama selalu bisa menjadi bumbu identitas dan selubung penyebab, namun bukan faktor mendasar. Ia bahkan menganggap penggunaan istilah yang tepat untuk aksi tersebut adalah fascization (proses menjadi ‘fasis’) sebagai bentuk heroisme kriminal, dan menganggap penggunaan istilah radicalization, atau yang sering latah digaungkan sebagai ‘radikalisme agama’ adalah suatu kebodohan. Ia menyerukan perlunya suatu politik emansipasi yang melepaskan diri dari skema dunia kontemporer dan menggalang kembali solidaritas internasional dari aliansi kaum proletar yang tersebar di berbagai belahan dunia dalam semangat egaliter beserta kaum muda dan intelektual yang memiliki kesadaran pemikiran yang baru. Ia tampak membangkitkan kembali prediksi dan himbauan Lenin soal keutamaan persatuan internasional kaum proletar menghadapi ancaman nyata dari kapitalisme/imperialisme global melebihi kebutuhan nasionalisme yang dianggap juga merupakan bentuk kapitalisme baru.
Kekhawatiran Badiou ini tercermin pada gagapnya negara-negara Eropa menghadapi gelombang massal pengungsi dari Suriah yang menyebrangi Laut Mediterania. Satu foto fenomenal mengguncang dunia tahun lalu: Alan Kurdi, seorang balita dari suku Kurdi di Suriah, yang pada September 2015 mayatnya ditemukan tersapu gelombang laut ke tepian pantai Turki. Seyla Benhabib, di sebuah wawancara bertajuk ‘Nobody wants to be a refugee’[iii], terdapat ambiguitas dari definisi ‘pengungsi’ dan ‘imigran’ di dalam hukum internasional sehingga kerancuan ini dimanfaatkan oleh para elit dan politisi, termasuk munculnya kelompok-kelompok sayap kanan di Eropa yang anti imigran.
Namun, sebagaimana kritik yang lazim dilontarkan kaum post-Marxist dan post-modernis terhadap aspek idealisme kaum Marxist, seruan Badiou akan berhadapan dengan pluralitas dan multi-identitas kaum proletar dan intelektual. Identitas adalah relasional. Ia selalu muncul dalam relasi dengan ikatan-ikatan lain yang dimiliki seseorang: agama, gender, suku, bangsa, profesi, ideologi. Begitupun jika kita hendak berbicara agama dan radikalisme. Kedua term ini (‘agama’ dan’radikalisme’) tak hanya bagian proses dialektika seorang individu dalam pembentukan identitas, melainkan juga membawa suatu beban sosial politik. Konstruksi atas ‘radikalisme’ diasosiasikan pada ‘kekerasan’, ‘intoleransi’, dan ‘antimodern’. Lebih jauh lagi, ia dipersempit lagi pada imaji-imaji orang Arab, atau menggunakan simbol Islam, dengan rentetan ekspose media yang seolah menampilkan segerombolan teroris/ekstremis menyembul secara kurang ajar – memberi distorsi barbar pada peradaban modern yang damai dan bebas.
Seperti halnya kolonialisme, ambivalensi pada hubungan antara penguasa dengan yang menguasai (paradigma, bahasa, identifikasi kolektif, dan geopolitik) menyimbolkan kerumitan yang tidak bisa dipilah dalam kerangka hitam-putih atau fragmen yang saling terpisah. Narasi besar soal ‘kelompok radikal/ekstremisme agama’ pada awal abad 20 ini seolah terbingkai pada cara kerja kapitalisme global. Hal ini secara serupa tapi tak sama, terjadi pada bagaimana kritik feminisme awal – yang semula muncul menggugat kapitalisme negara – terkoptasi ke dalam mekanisme neoliberalisme[iv].
Tarikan dari kondisi ini berdampak pada beragam krisis: praktek-praktek baru imperialisme, ancaman runtuhnya negara melalui konflik dan penguasaan sumber daya alam, ketimpangan global antara minoritas penduduk kaya di negara maju dan penduduk miskin di negara berkembang, hingga fasisme kontemporer yang merupakan bagian internal dari struktur kapitalisme global. Saat ini, Indonesia tercatat memiliki laju tertinggi untuk kesenjangan antara orang kaya dan miskin.[v] Hal ini tampak semakin kuat oleh penggusuran pemukiman rakyat kecil atas nama ‘ketertiban’ seiring dengan semakin maraknya bisnis properti di Jakarta, hingga kaum seniman dan budayawan yang tidak malu berkampanye untuk Freeport yang telah menyengsarakan rakyat Papua. Jika kita terpaksa bicara statistik, berapa banyak kah sudah orang yang tewas dan sengsara oleh tempat tinggal yang terampas, represi aparat, alam yang rusak, nilai-nilai komunal yang hancur, bisnis perang, dan kemiskinan struktural? Dan jika semua aspek itu dikaitkan pada kegilaan kelompok teroris atas nama agama, maka berapa proporsi tanggung jawab sosial, politik, dan budaya – jika kita tak hendak bicara tanggung jawab moral – yang harus dibayar negara dan korporasi besar? Dan sejauh mana keuntungan yang di dapat negara dalam siklus menyokong kelompok terorisme di satu sisi tapi juga membangun narasi anti-terorisme di sisi lain?
Oleh karena itu, skala ekstremisme agama membesar, dan dibesar-besarkan, terutama oleh ekstremisme politik yang bercokol pada interseksi antara kepentingan pasar dan nasionalisme semu (dengan bungkusan fasisme atau justru kapitalisme). Program deradikalisasi di Indonesia, misalnya, yang anggarannya per tahun saat ini sejumlah Rp 300 miliar direncanakan akan mengalami peningkatan anggaran[vi] termasuk untuk lembaga dan organisasi keagamaan. Upaya ini tampak seiring sejalan dengan kucuran dana untuk agenda global CVE berbasis komunitas yang juga digelontorkan salah satunya oleh Pemerintah Amerika Serikat, baik melalui Department of Homeland Security dalam ranah domestik maupun kebijakan luar negerinya[vii]. Pada hingar bingar kampanye inilah konsepsi atas radikalisme, ekstremisme, dan kekerasan agama dibangun dengan sekat-sekat yang membuat kita sibuk berargumentasi dan menumbuhkan narasi ‘Islam agama damai’ sebagai bagian dari metanarasi deradikalisasi.
Epilog
Aspek perlawanan sebagai elemen kunci yang menjadi bahan bakar gerakan pembebasan yang kental dalam sejarah politik negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, kini menjadi tercerai-berai. Kita malu ketika ditelanjangi oleh statistik soal kemiskinan, perampasan lahan, kekerasan seksual, dan kekerasan berbasis komunitas karena kita menolak untuk jujur pada aspek-aspek realitas yang tak bisa usai hanya dengan argumen ‘Islam agama damai’ sehingga alur logikanya adalah mengurangi elemen ‘radikal’.
Di dunia yang kini berdesakkan oleh tumpukan realitas di media massa dan dunia maya, tragedi dan hiburan muncul bersahutan di depan layar TV, laptop dan gadget kita. Instagram memberi polesan artistik pada foto-foto yang diunggah cepat dari kamera ponsel kita. Namun, akun freepalestine.syria adalah satu dari sekian akun yang tampil tanpa polesan artistik. Ia menyajikan kekejian ekstremisme agama dan politik dengan telanjang. Seketika, foto-foto jepretan selebritis dan teman-teman bersanding dengan mayat, reruntuhan, dan para penyintas perang.
Kejujuran yang brutal adalah menerima ironi bahwa ketelanjangan yang paling nyata berada di hadapan kita semua, meski ia hanya muncul dalam foto dari nyawa-nyawa di nun jauh di sebrang sana atau justru di sekitar kita. Kesadaran akan realitas ini kemudian membutuhkan pijakan yang membumi, sebuah basis teori, diskursus, dan ada banyak upaya untuk terjun membangun dari bawah dan melihat akar persoalan dan potensi perlawanan. Mungkin sulit, butuh waktu lama, dan tidak ada sokongan dana besar-besaran, tapi tanpa jiwa radikal, kita takkan pernah kembali akar: komunitas dan rumah tempat membangun peradaban, alih-alih justru tercerabut. Untuk melawan ketidakdilan, kita tidak butuh deradikalisasi.
[i] ‘The Abu Dhabi Statement: Rejecting Violent Religious Extremism and Advancing Shared Well-being’. Dokumen bisa diakses di http://www.unaoc.org/wp-content/uploads/Statement-of-Multi-Religious-Action-English-13-December.pdf. Untuk liputannya lihat http://www.unaoc.org/2014/12/rejecting-violent-extremism-and-advancing-shared-well-being/
[ii] http://www.rappler.com/indonesia/125644-terduga-teroris-meninggal-saat-diperiksa-densus-88
[iii] http://politicalcritique.org/world/eu/2015/benhabib-nobody-wants-to-be-a-refugee/
[iv] Baca artikel Nancy Fraser, http://www.theguardian.com/commentisfree/2013/oct/14/feminism-capitalist-handmaiden-neoliberal
[v] http://katadata.co.id/telaah/2015/12/10/laju-ketimpangan-orang-kaya-miskin-indonesia-tercepat-di-asia
[vi] http://www.antaranews.com/berita/542355/pemerintah-tambah-anggaran-untuk-deradikalisasi-terorisme dan http://www.harnas.co/2016/02/03/program-deradikalisasi-kurang-dana
[vii] https://blogs.state.gov/stories/2013/09/27/new-global-fund-supports-local-efforts-counter-violent-extremism dan http://www.state.gov/r/pa/prs/ps/2013/09/214853.htm
Saya tidak sependapat dengan anda sebagai penulis, saya yakin anda telah termakan media mainstream/media barat, dalam hal ini pemberitaan pesawat rusia membom penduduk sipil dalam hal ini korban adalah seorang bayi di suriah?? Apakah anda paham betul situasi disana?? Dan anda mengatakan baru berapa bulan mengikuti pemberitaan media palestine yg tentunya belum pasti benar. Padahal jika anda mau tahu rakyat Suriah di bantu oleh Rusia dalam segi peralatan persenjataan dan militer, yg ke dua mengapa anda tidak membaca berita yaman yg di serang oleh Arab Saudi?? Sudahkan anda tahu berapa korban rakyat sipil dan anak”?? Menurut laporan jumlah korban tiap harinya melebihi warga palestina yg di bunuh oleh tentara zionis israel. Jadi tindakan Saudi lebih kejam dari pada israel!! Kenapa mata anda tidak melihat itu???
Saya paham, tapi artikel saya tidak fokus pada titik persoalan yang Anda sampaikan, dan tampaknya Anda juga perlu membaca lagi artikel di atas dengan tenang, sebagaimana saya juga harus selalu terus membaca. Terima kasih.