Sudah saatnya menceraikan liberalisme Islam dari kata “progresif”. Kelemahan utama studi yang dilakukan oleh Martin van Bruinessen dkk dalam Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme (2014) adalah masih mempertahankan istilah ini untuk menggambarkan dinamika keterbukaan pada kelas menengah Muslim terdidik Indonesia terhadap ide-ide pembaruan Islam. Suatu kelemahan yang juga diulangi oleh Laode Ida baru-baru ini, yang melihat kebangkitan kaum moderat Nahdliyin sebagai produk dari “liberalisme politik” pasca-Reformasi.
Dengan pemetaannya yang sangat problematis, Martin van Bruinessen dkk meletakkan “Islam Indonesia” secara diametral dengan tren konservatif pada sebagian umat Muslim, yang disebutnya dengan “Islam radikal”. Dan “Islam liberal dan progresif” dilihat sebagai antitesis bagi “Islam radikal” tersebut, sekaligus sebagai instansi paling legitim dari “Islam Indonesia” yang sedang berada dalam ancaman kelompok-kelompok konservatif.
Dalam prakatanya, Bruinessen menulis: “Saya menyebut ‘liberal dan progresif’ untuk mengacu kepada semua pemikir dan aktivis yang mengemukakan penafsiran nonliteral atas konsep-konsep Islam” (h. 48). Dengan konsepsi ini, ia memasukkan berbagai faksi pemikiran keislaman dari Jaringan Islam Liberal (JIL), “neomodernisme Islam”-nya Cak Nur, “tradisionalisme” Gus Dur, hingga “Islam emansipatoris”-nya mereka yang concern pada “hak asasi manusia” dan “pemberdayaan kaum lemah dan tertindas”. Dengan kata lain, ia memasukkan apa yang dulu disebut Hassan Hanafi sebagai “Kiri Islam”bersama-sama lawannya, para liberal modernis, dalam satu kategori yang sama. Latar belakang bagi keperluan kategoris ini, sebutnya, adalah absennya “istilah yang lebih baik”. Dengan kata lain, kegagalan menemukan satu istilah yang memuaskan untuk membedakan dan memilah berbagai tendensi di dalam “Islam liberal dan progresif” sendiri.
Kita patut mempertanyakan, apakah kegagalan ini bukan karena semata-mata persoalan teknis-ilmiah mencari kata yang ekonomis dan efisien untuk meringkas (dan meringkus) berbagai tendensi tersebut, tetapi juga karena ketidakberhasilannya menemukan kriteria-kriteria yang memadai, kuat, dan konsisten untuk memahami “progresivitas” itu. Kegagalan menemukan kriteria semacam ini, dalam konteks lain, juga tak kalah bermasalah, seperti kegagalan membedakan dan memilah di antara berbagai tendensi gerakan kiri dengan menyebut mereka secara keseluruhan dengan “marxisme”, atau “komunisme”. Suatu kebingungan yang justru dimanfaatkan dengan baik oleh kekuatan-kekuatan status quo untuk mendiskreditkan gerakan kiri dan kerakyatan dan menutup imajinasi kita akan tatanan alternatif, dengan menyamaratakan “’komunisme’ totaliter ala Korea Utara” dengan “komunisme popular-demokratik Venezuela”.
Kriteria yang telah menjadi common place bagi konvensi para penstudi Indonesia adalah bahwa “progresivitas” itu diukur setidaknya dari dua parameter, yang juga digunakan oleh Bruinessen: kesesuaian dan kesejalanan kelompok atau kalangan tersebut dengan demokrasi dan sekularisasi. Dengan kata lain, pada wacana “demokrasi” dan “sekularisasi”, yang dipahami sebagai terbukanya ruang bagi berbagai pihak (baca: individu) untuk menyuarakan kepentingannya (baca: kepentingan individual atau komunalnya) dan terbukanya ruang toleransi yang dimungkinkan oleh pemisahan antara agama dan negara, dan pemisahan, sebagai turunannya, antara peran negara dan kebebasan masyarakat (baca: individu-individu) mengelola kepentingannya sendiri. Penolakan atas kedua kriteria inidengan segera menempatkan para penolaknya sebagai kelompok anti-progresif, dengan demikian “konservatif”. Tingkat penolakan itu menentukan tingkat konservatisme yang dianut, sehingga semakin keras penolakan yang dipertontonkan, maka semakin konservatif kelompok tersebut untuk, pada gilirannya,mendapatkan sebutan “radikal”.
Tanpa mengesampingkan signifikansi politis dari “demokrasi”, pada kenyataannya wacana “demokrasi” yang dikonstruksi oleh parameter tersebut adalah cita-cita demokrasi kelas menengah terdidik. Artinya, suatu tipe demokrasi yang memungkinkan berkembangnya aspirasi-aspirasi individual yang cocok dengan kepentingan ekonomi mereka yang tidak dapat leluasa tersalurkan di bawah rezim otoritarian, seperti rezim Soeharto yang menganut kapitalisme negara dengan oligarki terbatasnya. Cita-cita demokrasi itu niscaya bersifat borjuistis, karena berorientasi pada penguatan kepentingan individu dan kelompok, yang di bawah rezim otoritarian, baik “sekuler” maupun “agamis”, tidak dapat berkembang secara bebas. Di sini klaim kalangan liberal modernis bahwa kebebasan (freedom) merupakan produk yang sah dari liberalisme mendapatkan konteksnya, karena kebebasan itu terlebih didefinisikan pertama-tama sebagai kebebasan bagi pemenuhan, pelepasan, dan pengorganisasian kepentingan privat (swasta) yang kompatibel dengancita-cita kesejahteraan dan kemapanan kelas menengah.
Tesis sekularisasi terkait erat dengan cita-cita demokrasi ini. Keperluan sekularisasi negara teokratis dan keperluan mencari dasar sekuler bagi suatu teori demokrasi, yang walau demikian, oleh para Muslim liberal tersebut, berusaha dicari juga “fondasi teologis”-nya (meminjam istilah Nader Hashemi), berhubungan dengan keniscayaan terpisahnya Pasar dari Negara, atau terpisahnya kepentingan swasta dari kepentingan organik masyarakat itu sendiri sebagai suatu totalitas, dan dengan demikian, terpisahnya borjuasi dari pemangku kekuasaan politis. Keperluan ini memiliki pola yang serupa dengan pengalaman sekularisasi di Eropa sendiri pasca-Revolusi Prancis, yang oleh Marx, dalam Kritik Doktrin Hegel tentang Negara (1843), dianalisis sebagai keperluan kelas borjuis untuk membentuk “masyarakat sipil”, dengan kepentingan-kepentingan swastanya, sebagai elemen terpisah dari tubuh politis Negara.
Ketertarikan para intelektual Muslim kelas menengah terhadap tesis sekularisasi itu tidak dapat dibaca hanya sebagai aspirasi untuk membuka ruang kebebasan di dalam agama dan melalui agama, dengan demikian, suatu aspirasi “religius”, melainkan mesti juga dibaca sebagai aspirasi politis dan ekonomis untuk membuka ruang kebebasan individual bagi pemenuhan kepentingan-kepentingan privat dan kelompoknya. Yang dilakukan oleh para intelektual liberal ini adalah, katakanlah, suatu “swastanisasi Islam”, suatu upaya menyelaraskan Islam dengan kebutuhan kelas yang paling maju dan berkepentingan dengan perkembangan materialnya—kelas borjuasi. Kebutuhan itu adalah keperluan untuk menjadikan Islam sarana bagi pembangunan kapitalisme yang terukur di Indonesia, dengan infrastruktur-infrastruktur sosial-politisnya yang kondusif, sehingga Pasar tidak mendapat gangguan dari birokrasi yang tak efisien dan dapat berkembang sebagaimana mestinya, sejalan dengan dogma bahwa kapitalisme adalah tatanan terbaik yang paling cocok bagi masyarakat “akhir sejarah”.
Di sini, kita patut memberi catatan kaki: mereka layak disebut “progresif”, sejauh “progresif” bagi kepentingan kelasnya sendiri (meski dengan bumbu “untuk negara dan bangsa”), namun persis pada titik itu kita dapat membalik logika “progresivitas” itu: bila progresif semata bagi kepentingan kelasnya sendiri, bagaimana mereka dapat disebut “progresif” dalam arti sesungguhnya?
Test-case bagi klaim “progresif” liberalisme Islam adalah kasus-kasus yang melibatkan konflik antara massa rakyat dan pemodal maupun aparatus negara. Sepanjang rezim Soeharto, sebagian kasus ini mendapat sorotan luas dari media-media yang dimiliki oleh kelas menengah ini, namun sangat sedikit, jika nyaris tak terdengar, suara para Muslim liberal tersebut, baik dalam bentukpemihakan maupun advokasi langsung, terhadap korban konflik tersebut. Bisa dicatat seberapa banyak suara Muslim terdidik itu terhadap kasus-kasus agraria, atau represi politik atas korban-korban kekerasan negara dari kalangan buruh atau kelompok marjinal. Sangat sedikit, jika bukannya nyaris tak ada. Entah atas motif kebungkaman (deliberate silence), ketakutan, komunistofobia, atau mencari posisi aman, nyaris tak tercatatnya suara-suara Muslim liberal terhadap penindasan struktural yang terjadi sepanjang rezim otoritarian mengisyaratkan bahwa “progresivitas” itu tidak teruji di dalam kenyataan.
Peta intelektual Muslim modernis memang mencatat adanya sejumlah nama yang mengusung gagasan-gagasan Islam “transformatif” dan “emansipatoris”, seperti Moeslim Abdurrahman, Adi Sasono, Dawam Raharjo (sebelum pasca-Reformasi secara blak-blakan beralih ke liberalisme), dan Kuntowijoyo. Namun para intelektual tersebut ibarat berteriak di dalam ruang kedap suara, karena, selain tidak punya basis massa, atau tidak memiliki kontak politik dengan jaringan massa yang tiarap karena represi politik rezim, mereka juga tidak memiliki kapasitas politik untuk mendorong gagasan-gagasan mereka menjadi faktor determinan dalam membentuk segmentasi yang lebih kuat bagi lapisan-lapisan masyarakat yang tertindas.
Keterputusan antara wacana dan orientasi kelas yang dibangun, sengaja atau tidak, langsung maupun tak langsung, oleh diskursus liberalisme Islam itulah yang tidak dilihat oleh kajian Islam Indonesia semacam ini, yang mencukupkan diri melihat dampak-dampak “liberasi” pada perubahan konstelasi wacana yang dibangun dan diperkenalkan, seperti dengan diperkenalkannya wacana baru seputar Islam dan demokrasi, pemberdayaan wanita, hak asasi manusia, toleransi dan pluralisme agama, dan lain-lain, tanpa melihat bagaimana wacana tersebut benar-benar mampu memajukan agenda-agenda pembebasan dari lapisan masyarakat yang paling menderita dan kelas sosial yang paling dirugikan oleh proses-proses sosial dan ekonomi-politik yang terjadi. “Liberasi” itu lebih berupa “progresivitas” pada ruang media, yang saat itu tak lain adalah ruang publik ideal dari kelas menengah sendiri.
Dalam apropriasinya atas wacana-wacana modern, seperti wacana hak asasi manusia, feminisme, dan lain-lain, para Muslim liberal memang mampu tampil sebagai kelompok yang paling maju dan tanggap, karena mereka diuntungkan oleh iklim pendidikan dan intelektualisme yang disyaratkan oleh kemajuan materiil kapitalisme itu sendiri, sebagai sistem yang mendukung hierarki pengetahuan di dalam masyarakat yang berkelas. Namun, kelemahan studi Islam yang melihat geliat apropriasi wacana-wacana itu sebagai tanda “progresivitas” intelektual Muslim, adalah ketidakmampuannya untuk melihat kepada siapa wacana-wacana itu bertuan, siapa yang diuntungkan oleh wacana-wacana itu, dan benarkah wacana-wacana itu memiliki dampak struktural yang menyeluruh terhadap pembebasan sosial. Meski feminisme dan “emansipasi gender” telah menjadi agenda para intelektual liberal sejak rezim Soeharto, namun angka tenaga kerja perempuan dengan upah murah terus meningkat, demikian juga angka buta aksara pada para buruh perempuan formal maupun informal.
Pertanyaan tentang kepada siapa wacana-wacana itu “bertuan”, tentu akan lebih sulit dijawab, karena melibatkan relasi kuasa yang kompleks antara liberalisme Islam, lembaga-lembaga funding, serta agenda-agenda global yang tetap mempertahankan watak kolonial dan imperialistiknya terhadap Dunia Ketiga. Tetapi, liberalisme ini, meski menyuntikkan gagasan-gagasan yang cukup segar dan “modern” bagi umat Muslim, tetap tidak dapat dibilang liberatif (membebaskan), selama pendekatan yang dipakai tetap top-down, hierarkis, dan memanfaatkan sentimen ketakberdayaan kelas sosial untuk kepentingan-kepentingan humanitariannya. Bila liberalisme Islam benar-benar ingin dapat liberatif, dan karenanya progresif dalam pengertian yang substansial, bukan artifisial, maka tiada jalan lain kecuali mengaliansikan diri dengan lapisan masyarakat yang paling dirugikan oleh kepentingan-kepentingan privat dan mengorganisasikan diri menuju pelenyapan hierarki dan kelas-kelas sosial — sesuatu yang niscaya kontradiktif dengan prasyarat liberalisme sendiri.
Setidaknya, sejak saat ini kita dapat melepaskan asosiasi antara liberalisme Islam dan Islam “progresif”. Namun kita belum menjawab secara positif apa itu Islam “progresif”. Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa Islam “progresif” bukanlah suatu kubu yang terpisah dari masyarakatnya, atau menempatkan diri sebagai kelas menengah yang berdiri di atas pundak masyarakatnya, dengan atribut-atribut dan keistimewaan-keistimewaan intelektualnya sendiri. Ia adalah persenyawaan antara pengalaman-pengalamanrakyat yang tertindas, ajaran-ajaran religius tentang pembebasan, yang digali dari kearifan lokal, doktrin Islam, ataupun kebijaksanaan-kebijaksanaan universal, dan teori sosial-kritis yang berwawasan struktural dan emansipatif, serta komitmen etis dan moral yang diasah terus-menerus dalam wujud keberpihakan dan aksi nyata membumikan wacana pembebasan yang dibawanya hingga taraf yang paling utopis dan “mustahil”. Dan, yang sudah pasti, ia bersifat “radikal”, dalam arti menghendaki perubahan sosial yang substansial, tanpa mengorbankan kepentingan kalangan yang dibelanya. Dalam arti tertentu, Islam “progresif” adalah Islam yang, dilihat dari komitmen sosialnya, bersifat “radikal”, sehingga sebutan “radikal” sebenarnya paling layak dialamatkan bagi Islam ini, dan bukan kalangan reaksioner Islam “garis kanan” yang lebih layak disebut “ekstremis” atau “religius fasis”. Berbeda dengan liberalisme Islam, Islam ini tidak asing dengan analisis kelas, namun ia tidak menjadikan analisis kelas satu-satunya referensinya. Keterbukaan metode dan inspirasi moral menggerakkannya. Namun demikian, militansi dan keberpihakan merupakan ciri perjuangannya. Keduanya tidak saling menegasikan, karena prinsip-prinsip tersebut dibangun di atas prinsip demokratis yang terbuka dan kepercayaan akan proses emansipasi yang tidak pernah final.
Dan berbeda dari liberalisme Islam, Islam “progresif” tidak tertarik semata-mata pada ide-ide pembaruan Islam, tetapi pada penerjemahannya dalam laku konkret, dan konsistensi laku itu dengan tuntutan masyarakat, atau problem-problem konkret yang tengah dihadapi masyarakat. Ia tidak semata-mata memikirkan penyegaran wacana dan pencerahan intelektual, tetapi juga pencerahan kondisi-kondisi kehidupan. Dalam arti itu, secara ideologis, Islam “progresif” melakukan kritik dan otokritik, tidak sebagaimana liberalisme Islam yang cenderung mempercayai bahwa gagasan-gagasan pembaruan Islam yang diusungnya saja sudah cukup untuk menjelaskan keterpurukan dan krisis yang dihadapi oleh umat Muslim.[]
Problim pokoknya adalah karena sesudah Rasulullah Muhammad saw wafat, Dinul Islam dibingkai atau dimengerti, difahami, sebagai Agama Islam sebagaimana Agama Yahudi, Agama Kristen, Agama Majusi, Agama Budha, Agama Hindu, dengan seluruh struktur institusionalnya dll, Sedangkan wahyu yang diterima Rasulullah Muhammad saw dengan TEGAS melawan pandangan dan narasi keagamaan yang sudah ada dan mapan. Perdebatan itu sedemikian sengit yang pada ahirnya ditutup dengan firman Surah Al-Kafirun. Islam itu adalah Din yang paling progresif dan dapat dibuktikan dengan menggunakan pandangan ilmiah. Karenanya cara pandang keagamaan terhadal Al-Dinu al-Islam harus ditinggalkan dan diganti dengan cara pandang ilmiah. Jika cara pandang terhadap Dinul Islam (Islam) digunakan cara pandaang ilmiah maka akan terbuka suatu vistas yang selebar Alam Semesta dalam memecahkan kontradiksi yang dihadapi kaum Muslimin dan para ‘Ulama-nya.
Islam hanya ada satu saja y.i. Islam yang disebarkan oleh para rasulullah, nabiyullah dan kaum bijaksana. Semua wahyu yang pernah diwahyukan kepada para rasukullah adalah wahyu Islam yang mengajak ke suasana kehidupan damai, aman, tenteram. Hal ini jelas jemelas didakwahkan oleh Al-Qur’anu al-Karim. Dan Islam itu sendiri adalah suatu konsep pandangan hidup (jalan hidup) PROGRESIF . Jadi istilah, label, progresif itu tidak diperlukan untuk membedakan dari yang menurut anggapan orang konservatif, liberal ataupun ortodox. Istilah, yargon, label ataupun trademark yang dianggit dan disebrkan disemua mimbar akademis sesungguhnya suatu pencerminan KEBINGUNGAN para ahli keagamaan, agama, dalam memahami Islam. Sebab mereka melakukan pendekatan terhadap Islam tidak dari cara berfikir ILMIAH tetapi dari cara berfikir AGAMA. Maka sebaiknya istilah Progresif itu dihapus saja. Pakailah ISLAM yang didefinisikan oleh Al-Qur’anu al-Karim.: Rahmatan bagi Alam Semesta atau Hukum Alam Semesta.
Dalam beberapa hal kami kira kami sepakat bahwa Islam pada dirinya mengandung progresifitas; mengandung keberpihakan pada yang lemah. Namun bagi kami, sebagai sebuah diskursus, tidak ada yang keliru dengan terminologi Islam Progresif. Terlebih, terminologi ini sebelumnya telah dibajak oleh intelektual muslim yang lebih condong berpihak pada pemikiran liberal yang jauh dari problem material umat Islam. Dari sana, kami kira, suka tidak suka, kita hindari atau tidak, terminologi ini akan tetap dipakai. Ketimbang menjadi bengkok dan salah kaprah, penting meluruskan kembali. Meskipun demikian, kami berterima kasih atas pendapatnya. Salam.
JIka islam progresif mencirikan dirinya menjadi kesatuan dengan ummat yang tertindas, maka akan menjadi lebih menarik lagi apabila pembaca diberikan pemahaman mengenai jaringan-jaringan yang terafiliasi dengan ide ini. Sehingga, kami yang tertarik dapat ikut langsung dalam jaringan-jaringan tersebut. Sejauh ini kami hanya memahami imanifestasi slam progresif yang dibawa oleh islam bergerak di tataran media, tanpa tahu gerakan pengorganisasian massa akar rumputnya secara langsung. Jika berkenan mohon pencerahannya.