Mengungsi, bagi warga Kampung Pulo, memang perkara biasa yang rutin mereka lakukan hampir setiap tahun, meski hanya ke atap rumah saat banjir hadir. Mungkin pengalaman itu mengajari mereka untuk tetap tangguh walau tembok rumah rubuh kena gusur.
Sabtu malam itu, ratusan pengungsi Kampung Pulo berjalan kaki sekira satu kilometer untuk memindahkan barang-barang rumah tangga dari kasur sampai peralatan dapur, dari rumah mereka yang tergusur ke rumah susun.
Tidak nampak raut kusut di wajah mereka. Sebagian malah tertawa-tawa meskipun kini menjadi bagian dari 31.000-an warga Indonesia lain yang menjadi pengungsi di negeri sendiri (internally displaced persons–IDP). Status warga Kampung Pulo yang tergusur memang merupakan pengungsi internal karena mereka terpaksa pindah dari tempat yang ditinggali secara sah, tanpa ganti rugi tanpa kompensasi.
Sekali lagi, tanpa kompensasi. Untuk keluarga korban gusuran Kampung Pulo, pemerintah Provinsi Jakarta hanya memberikan hak tinggal di satu unit rumah susun yang terletak sekitar satu kilometer dari Kampung Pulo. Persis di pinggir Jalan Jatinegara Barat.
Ya, hak tinggal. Bukan hak milik, sehingga pengungsi korban gusuran itu bisa terusir kapan saja dengan tanda tangan di atas surat keputusan satu dua pejabat. Tanpa hak milik dan relokasi tetap, selamanya status mereka akan tetap menjadi pengungsi dengan masa depan yang tidak pasti.
Penggusuran rumah-rumah di Kampung Pulo adalah bagian dari proyek besar pemerintah Provinsi Jakarta untuk menormalisasi Sungai Ciliwung yang dianggap sudah terlalu dangkal dan kurang lebar hingga tidak bisa lagi menampung volume air yang membesar saat musim hujan datang.
Pemerintah provinsi rencananya akan melebarkan Sungai Ciliwung dari Depok hingga Pintu Air Manggarai menjadi 35-50 meter, atau dua kali lipat lebih dari sebelumnya. Menurut perkiraan harian Kompas, proyek ini akan menggusur setidaknya 47.500an warga yang tinggal di bantaran sungai.
Kampung Pulo menjadi sasaran pertama pelebaran sungai karena kawasan padat padat penduduk inilah yang seringkali menjadi korban pertama dan terparah saat banjir datang. Di wilayah ini, ketinggian air saat banjir bisa mencapai dua meter di beberapa titik.
Proyek normalisasi sungai Ciliwung di Kampung Pulo akan menggusur setidaknya 533 rumah yang ditinggali 1.090 keluarga atau lebih dari seperempat jumlah keseluruhan keluarga di tempat yang sama.
Selain program normalisasi sungai, Kampung Pulo juga menjadi target dari sub zona sempadan yang akan memotong aliran Sungai Ciliwung tepat di tengah-tengah pemukiman penduduk. Hingga kini belum diketahui berapa rumah yang akan kembali tergusur oleh proyek tersebut—Yayasan Ciliwung Merdeka memperkirakan semua rumah.
POLEMIK TANAH
Menurut keterangan tokoh Kampung Pulo, Habib Soleh bin Husin al Idrus, warga setempat mendukung sepenuhnya program normalisasi sungai dari pemerintah provinsi. Mereka juga berkomitmen untuk tidak melakukan perlawanan fisik.
Hanya saja, habib yang mengaku mendukung sepenuhnya konsep Islam Nusantara itu, meminta agar pemerintah provinsi menawakan relokasi yang menghargai surat-surat kepemilikan tanah yang mereka punya.
Bebeda dengan keterangan Gubernuh Basuki Tjahaja Purnama yang menganggap warga bantara sungai Ciliwung di Kampung Pulo tidak mempunyai bukti kepemilikan tanah, data dari Ciliwung Merdeka menunjukkan bahwa sebagian besar dari rumah yang yang terkena dampak penggusuran ternyata memiliki surat yang sah.
“Kami adalah warga yang patuh hukum. Sikap sementara kami saat ini adalah menerima relokasi di rumah susun Jatinegara, dengan syarat hanya sementara sampai tawaran relokasi permanen,” tutur Habib Soleh kepada Islam Bergerak pada Sabtu malam (22/8).
Saat menyambangi kediaman Habib Soleh, Islam Bergerak melihat sendiri sebagian dari bukti-bukti kepemilikan tanah itu, meski belum bisa memverifikasi keasliannya. Beberapa di antaranya adalah kertas-kertas Verponding yang sudah menguning bertanggal 20 Oktober 1927, zaman Indonesia belum merdeka.
Oleh generasi berikutnya, sebagian tanah itu kemudian diperjual-belikan dengan tanda bukti perjanjian dengan keterangan kepala bertuliskan “Surat Keterangan Jual Beli Rumah di Atas Tanah Verponding” tahun 1978 bertanda-tangan lurah setempat.
Tahun 2007, atau 29 tahun kemudian, tanah yang sama kembali diperjual-belikan namun dengan keterangan kepala yang berbeda, yaitu “Surat Perjanjian Jual Beli Bangunan Rumah Tinggal yang Dibangun di Atas Tanah Negara,” lagi-lagi dengan tanda tangan lurah setempat.
Keterangan kepala bertulis “di Atas Tanah Negara” itulah yang ditengarai warga membuat Gubernur Ahok murka dan bersikeras tidak menyediakan relokasi permanen ataupun ganti rugi uang. Dengan keterangan itu tangan Ahok tercekal. Sekalipun dia berniat memberi ganti rugi, peraturan Kementerian Keuangan menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh memberi santunan kepada penggarap tanah negara.
“Lurah Kampung Melayu dan Camat Jatinegara hanya menyerahkan surat-surat keterangan yang salah soal jual beli tanah negara ini kepada Ahok. Sejak saat itu komunikasi kami terputus dengan gubernur. Dia lebih mempercayai pembatunya daripada kami, anak-anaknya sendiri,” kata Habib Soleh.
Islam Bergerak kemudian menanyakan, kenapa setelah 90 tahun lebih menempati Kampung Pulo, para warga tidak mencoba mengubah status Verponding menjadi surat hak milik agar memperoleh kedudukan hukum yang lebih kuat—meski sama-sama diakui negara.
Habib Soleh menjelaskan, kesadaran hukum warganya memang masih rendah. Mereka menganggap bahwa tanda-tangan lurah di atas surat jual beli tanah sudah cukup membuktikan hak mereka.
“Selain itu, beberapa warga yang mencoba mendaftarkan tanahnya di Badan Pertahanan Nasional harus menghadapi persoalan lain yang tak-kalah besar, yaitu biaya. Untuk mengubah Verponding atau bukti lain menjadi surat hak milik, warga harus mengeluarkan uang 30 juta rupiah. Jelas tidak semua warga mampu,” demikian keterangan Habib Soleh.
Keterangan mengenai biaya 30 juta rupiah itu dibenarkan secara terpisah oleh Direktur Ciliwung Merdeka, Sandyawan Soemardi.
Dengan bukti-bukti yang dimiliki, Habib Soleh meminta agar pemerintah provinsi menyediakan program relokasi yang sesuai. Bukan hanya hak tinggal di satu unit rumah susun yang selama ini ditawarkan kepada warga korban gusuran.
Tanpa status kepemilikan dan hanya bermodal hak tinggal, Habib Soleh berpendapat bahwa warga akan sangat rentan terhadap perubahan kebijakan dan pergantian kepemimpinan yang berbeda visi. Sederhananya, mereka bisa terusir kapan saja.
PROBLEM AKSES EKONOMI
Selain tidak dihargainya bukti kepemilikan tanah milik warga, persoalan lain dari relokasi korban gusuran ke rumah susun adalah tertutupnya akses ekonomi. Setidaknya, itulah pendapat dari Sandyawan Sunardi yang sudah satu setengah dekade membantu mengembangkan perekonomian serta pendidikan warga Kampung Pulo dan Bukit Duri.
Rumah, bagi warga Kampung Pulo, bukan sekedar tempat tidur. Tapi juga area produksi yang menjamin keberlangsungan ekonomi mereka.
Menurut keterangan Sandyawan, sebanyak 90 persen warga secara informal menyelenggarakan kegiatan ekonomi di rumah-rumah sendiri. Di antaranya adalah pemotongan ayam, pabrik tahu, bakwan malang, cincau, roti, toko kelontong, dan bengkel motor.
Kegiatan ekonomi yang menopang kebutuhan sehari-hari itulah yang tidak bisa mereka lakukan jika harus berpindah ke rumah susun—yang menurut sebagian media sudah sekelas apartemen mewah dan jauh dari stigma kumuh.
Sejauh pengamatan Islam Bergerak, rumah susun di Jalan Jatinegara Barat memang tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan kegiatan ekonomi informal seperti di atas. Lantai dasar—yang di apartemen lain biasanya digunakan untuk toko-toko kelontong atau rumah makan—diperuntukkan untuk tempat tinggal keluarga difabel, ruang administrasi, dan fasilitas kesehatan.
Memang ada ruang publik di lantai dua yang rencananya akan menjadi pusat jajanan serba ada dan rumah makan. Namun hingga kini belum diketahui siapa yang berhak berjualan di tempat ini. Dengan demikian, relokasi ke rumah susun membawa masalah lain, yakni keberlanjutan mata pencaharian.
Kekhawatiran mengenai hilangnya penghidupan inilah yang dirasakan oleh Usman dan Ahmad yang sehari-harinya bekerja sebagai pedagang.
“Mayoritas masyarakat Kampung Pulo kan pedagang, kalau kerja kantoran sih tidak masalah pindah ke rumah susun ini,” kata Usman, saat ditemui Islam Bergerak di lobi rumah susun Jatinegara.
Keterangan Usman itu kemudian ditimpali oleh Ahmad yang menjelaskan bahwa karena modelnya seperti apartemen, “akan sulit berdagang di sini.”
Setelah digusur, dua pria paruh baya itu terancam tidak bisa lagi mencari nafkah. Padahal, mereka masih harus membayar uang perawatan rumah susun 300.000 rupiah setiap bulannya. Belum lagi biaya-biaya lain seperti listrik dan gas yang katanya bisa mencapai 400.000-600.000 rupiah.
Yayasan Ciliwung Merdeka sebenarnya sudah mengusulkan model relokasi lain yang mempertimbangkan aspek kegiatan ekonomi informal warga Kampung Pulo, yaitu kampung susun (berbeda dengan rumah susun).
Dalam model usulan Ciliwung Merdeka, yang sempat disetujui oleh Ahok ini, keseluruhan Kampung Pulo akan dirombak sehingga memungkinkan “parkir air” saat musim hujan, memungkinkan warga melanjutkan aktifitas ekonomi harian mereka, sekaligus mencegah tumbuhnya kawasan kumuh baru akibat penggusuran.
Dalam kampung susus, sisa lahan yang tak-terpakai akan menjadi tempat penampungan air saat musim hujan dan kebun warga saat musim kemarau. Jenis tanaman di kebun itu adalah tanaman usia pendek seperti singkong, jagung, dan tomat.
Sementara itu bangunan kampung susun sendiri akan terdiri dari 16 lantai. Ruang-ruang usaha informal warga akan berada di lantai pertama sementara lantai selanjutnya adalah unit hunian sebanyak 2.719 unit bertipe 24 meter persegi sampai 42 meter persegi.
“Kami sangat mengharapkan agar pemerintah Provinsi Jakarta bersedia menimbang kembali usulan kampung susun yang sebenarnya sudah disetujui oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam audiensi 24 Juli lalu,” kata Sandyawan saat ditemui Islam Bergerak di kantornya.
…..
Secara umum, relokasi bagi warga Kampung Pulo punya dua cacat yang membuat warga tidak mudah mengikhlaskan rumah “kumuh” untuk rumah susun yang katanya presitisius. Cacat yang pertama, hilangnya masa depan kependudukan dan kepemilikan tanah. Karena hanya mengantungi hak tinggal, mereka yang tergusur akan rentan terhadap pengusiran-pengusiran selanjutnya.
Cacat kedua lebih problematis, relokasi ke rumah susun akan memutus habis mata pencaharian sebagian warga yang biasa menggunakan rumah untuk mencari nafkah. “Kemewahan” à la apartemen tidak memungkinkan mereka untuk melakukan pekerjaan seperti memotong ayam, membuat roti, atau membuka bengkel motor.
Penyediaan rumah susun Jatinegara memang setidaknya bisa memberi tempat teduh yang layak bagi warga korban penggusuran program normalisasi sungai—meski tidak menghargai hak kepemilikan warga atas tanah dan juga memotong mata pencaharian warga.
Namun demikian masalah yang jauh lebih besar masih menunggu untuk diselesaikan, yaitu rencana perubahan zonasi sebagaimana nampak dalam “Gambar 3” yang mungkin akan mengusir seluruh warga Kampung Pulo.
Masih ada waktu bagi pemerintah Provinsi Jakarta untuk menimbang ulang rencana itu dan bagaimana merelokasi dengan cara selayaknya memperlakukan manusia. Masih ada waktu bagi Gubernur Ahok untuk memilih model relokasi yang tidak menghapus aktifitas ekonomi informal warga.
Lebih dari itu, kebijakan normalisasi Sungai Ciliwung di Kampung Pulo hanyalah awal yang akan menjadi barometer bagi wilayah-wilayah lain yang juga akan terkena dampak program yang sama. Lebih dari 40.000 warga yang akan menjadi korban gusuran berikutnya menunggu langkah Ahok yang lebih bijak.
Pertanyaan saya:
1. Kalau misalnya usulan kampung susun itu diterima, Warga yg terkena gusuran akan dipindahkan kemana dulu sementara menunggu kampung susun dibangun?
2. Mohon diperjelas apa yg dimaksud dgn “surat perjanjian kepemilikan”, “surat perjanjian jual beli”, “lain-lain”, dan “hibah” pada tabel 1.
3. Mengenai tanah yg memiliki “verbonding”, apakah status tanah tersebut menurut hukum agraria yang berlaku?
baik sy akan coba bantu jawab dan jelaskan.
jadi begini….
Ini sebenarnya bukan relokasi tapi, ini bisnis perumahan kayak nya ini, karena masyarakat di paksa untuk tinggal di apartemen yang setiap bulannya mereka harus membayar Rp 300.000/bulan,, ini sama seperti mahasiswa yang di usir oleh orang tuanya Di kampung dan merantau dikota, di kota dia tinggal di kos kosan yg harus dia bayar sendiri uang bulanan nya
Gila ini namanya