
Marinaleda adalah sebuah kota kecil di Spanyol yang dianggap contoh keberhasilan sebuah masyarakat sosialis utopia. Tahun 2013 lalu, The Guardian menyiarkan sebuah artikel menarik mengenai keberhasilan komunitas lokal membangun Marinaleda dari kota miskin menjadi berdikari. Keberhasilan itu kemudian ditulis kembali oleh Mirror dalam artikel: Marinaleda, the town with few police, full employment and free housing – would you live here?
Tata ruang adalah prestasi terbesar Marinaleda. Mereka mengelola lahan ribuan hektar secara bersama untuk mengembangkan ekonomi pertanian yang produktif sekaligus mampu mempekerjakan seluruh warganya. Hasilnya, kota ini imun terhadap krisis harga properti di Spanyol yang naik tiga kali lipat dalam 12 tahun terakhir. Selain itu, kota ini juga tidak pernah menggusur warganya—kontras dengan daerah Spanyol lain yang telah menggusur 400.000 keluarga.
Model tata ruang di Marinaleda memang tampak jauh berbeda dengan Jakarta. Contoh spesifiknya dapat kita refleksikan dari kasus Kampung Pulo dan komuter Jakarta: ini soal ruang tinggal dan ruang gerak.
Persoalan ruang tinggal ini tercermin dalam penggusuran warga miskin di Kampung Pulo untuk mengatasi problem banjir. Dalam kasus ini, pemerintah provinsi abai terhadap menjamurnya perumahan mewah dan pusat perbelanjaan besar yang mengikis habis daerah resapan air. Kampung Pulo dengan demikian, adalah contoh dari persoalan tata ruang yang berimbas pada warga nir-daya ekonomi dan politik.
Sementara itu, di dalam ruang gerak, manusia perkotaan seperti di Jakarta hidup dalam tenggat waktu. Ia bangun di pagi hari hanya untuk mengejar jam kerja di kusutnya jalanan dan pulang di penghujung sore untuk berkejaran dengan penumpang kendaraan umum lainnya. Jalanan adalah kompetisi untuk pergi dan pulang, tapi tanpa hadiah dan pencapaian.
Perjalanan juga pertarungan tersendiri: Sebagian memilih bersepeda di tengah buas kendaraan bermesin. Sebagian mengendarai mobil pribadi untuk sebuah pelarian dari ganasnya jalanan atau gaya hidup yang terpaksa berdampingan dengan bus butut dan angkot reyot. Tak jarang bus kota berlomba zig zag di jalan demi setoran, dengan wajah-wajah letih para penumpang yang bertumpuk, tertampang dari kaca jendelanya. Seorang pengendara motor akan terbawa massa ketika ada tuntutan untuk cepat dengan menyalip ataupun melawan arah. Begitu juga para penumpang KRL di gerbong perempuan: ruang yang diharapkan bisa bebas dari para peleceh seksual justru juga mengubah mereka menjadi buas terhadap sesamanya demi masuk (dan keluar) gerbong.
Jakarta sudah berada dalam titik nadir. Ruang tinggal dan ruang gerak yang merdeka dan setara bagi publik semakin terhimpit.
Antara kepungan kapital dan komuter
Menurut data yang dirilis Transformasi, Jakarta menduduki peringkat pertama di dunia dalam kemacetan lalu lintas terburuk dan kelima dalam sistem transportasi terburuk. Titik nadir ini bisa digambarkan melalui infografis berikut;
Data di atas menunjukkan dengan jelas bahwa jalan sebagai ruang gerak telah dikuasai oleh kendaraan pribadi sehingga hanya menyisakan dua persen dari ruang yang sama untuk transportasi umum. Sementara di saat bersamaan, 350ribuan komuter pengguna kendaraan umum dari penggiran Jakarta harus berjejalan mengisi ruang sempit yang hanya dua persen itu. Belum lagi ditambah pengguna kendaraan umum dari dalam kota Jakarta yang penduduknya hampir 10 juta.
Kekuasaan kendaraan pribadi atas ruang gerak itu hingga kini masih belum menunjukkan trend penurunan. Meski daya beli konsumen mobil tahun ini lesu, warga sekitar Jakarta masih tetap antusias membeli mobil dengan cara mengangsur. Tercatat selama Januari-Juli 2015 porsi pembelian mobil kredit meningkat menjadi 83-85 persen dari tahun lalu sekitar 75 persen. Perilaku konsumtif ini ditambah dengan rata-rata usia kendaraan yang hanya 5 tahun, artinya setiap 5 tahun masyarakat Indonesia mengganti kendaraannya dengan membeli yang baru. Industri otomotif terus merangsek, meningkatkan volume kendaraan pribadi di tengah minimnya transportasi publik.
Krisis ruang gerak itu berjalan beriringan dengan krisis ruang tinggal. Di tengah urat nadi jalanan yang nyaris putus, bisnis properti dan mal berjejalan mengambil puluhan ribu meter persegi lahan dengan menjual mimpi hunian dan pusat belanja eksklusif dan lengkap. Selain itu, pemerintah juga menggulirkan wacana warga asing yang bisa memiliki properti di Indonesia (foreign ownership), yang dianggap sebagai tuntutan kebutuhan dan pasar properti, terutama dengan populasi ekspatriat di Indonesia yang tumbuh sekitar 1,35 persen per tahun selama 2010-2014. Dengan begini, ada kemungkinan bahwa warga asing bisa memliki hak pakai atas tanah yang bisa dijaminkan, dialihkan, diagunkan, diwariskan dan berlaku seumur hidup. Alasannya, untuk menghormati kehadiran orang asing dan membantu pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pertanyaannya, bagaimana dengan menghormati kehadiran hak masyarakat Indonesia atas tanahnya sendiri?
Bagaimana dengan penghormatan terhadap hak warga Kampung Pulo misalnya? Persoalan mendasar dalam kasus ini bukan soal ganti rugi dan alokasi pemukiman, namun realita bahwa penguasa hanya berdaya berhadapan dengan warga kecil yang jelas tidak termasuk dalam konstelasi pembangunan berorientasi pasar.
Sementara di saat bersamaan, pengusaha properti berlomba membangun superblok dengan konsep hunian terpadu untuk apartemen, hotel, kantor, sarana pendidikan, dan pusat perbelanjaan dalam satu lokasi—yang hanya menyasar segmen pasar kelas menengah dan menengah atas. Fasilitas ini gagal mencipta ruang publik untuk semua karena konsep komersilnya. Artinya, ruang gerak dan ruang tinggal menjadi kapling untuk diperjualbelikan.
Ketika kapital korporasi mengisi nadi pembangunan, definisi kenyamanan dan fasilitas publik pun bermutasi. Imaji kemajuan dan modern dipaksa tampil dalam ruang hiperrealitas: papan reklame apartemen mewah berdiri di tengah gedung perkotaan bercampur permukiman kumuh. Wajah-wajah kulit putih berambut lurus mendominasi citra soal kesuksesan dan keindahan dalam iklan.
Simbol-simbol kemajuan kota ini tak dimiliki oleh pedagang asongan di tepian papan reklame, para satpam dan tukang parkir di garda depan apartemen mewah, serta ribuan orang lalu lalang yang hanya bisa numpang lewat. Warteg, tukang jual makanan keliling, dan pemulung terpaksa bertarung sendirian dengan musuhnya sendiri yang tak terlihat: minimnya kualitas kebersihan, buruknya sanitasi dan udara ruang terbuka di pojok-pojok kota yang tersisa; di terminal, pasar, dan sempilan gedung-gedung tinggi.
Kenyamanan kota tak lagi bicara soal penduduk (kuantitas) dan publik (kualitas) sebagai suatu entitas. Saat ini, pemaknaan terhadap publik adalah mereka yang bisa bercuit: kelas menengah dan kelas atas. Dua kelas inilah yang menentukan seperti apa standar kenyamanan kota. Akibatnya, “kenyamanan kelas menengah dan atas” kemudian menjadi alasan penggusuran. Tidak heran pula jika kemudian kenyamanan kota diartikan dengan banyaknya mal, pemukiman cluster, dan apartemen yang tak terjangkau oleh kelas bawah.
Kenyamanan yang demikian hanya berarti dua hal: membangun batasan antara orang-orang kelas menengah dengan kaum miskin yang menganggu pemandangan kota, atau menyingkirkan kelas bawah ke suatu tempat antah berantah.
Pada situasi ini, wajah krisis ruang gerak dan ruang tinggal semakin jelas. Ia mencerminkan karakter manusia kota yang bercampur namun tidak berbaur, konstan hilir mudik antara rumah dan kantor namun tanpa bisa menikmati perjalanan. Keramahtamahan penduduk kota kerap terpaksa berubah menjadi kemarahan, ketidaksabaran, dan individualisme. Di dalam ketegangan dan kesenjangan ini, kenyamanan – dalam segala rupa – lebih dilirik sebagai peluang bisnis ketimbang pembelajaran atas kegagalan mencipta tempat yang layak dan setara bagi semua warga.
Ruang dan partikularisme militan
Dalam krisis ruang gerak dan ruang tinggal ini, transportasi menjadi entitas penting karena salah satu kebutuhan dan insting dasar manusia adalah bergerak. Sistem dan pola hidup masyarakat mengorbit di seputar hak atas ruang: teritori dan tempat tinggal kolektif, sehingga keleluasaan gerak menjadi hak utama. Hak ini menyoal daya jangkau manusia untuk mencari penghidupan, memindahkan sumber daya material, sosialisasi, menuntut ilmu, aktualisasi diri, dan menginternalisasi realitas di luar dirinya. Secara lebih luas, ruang komunitas dan transportasi penting untuk proses kohesivitas sosial di dalam gerak masyarakat yang semakin dinamis.
Pemahaman atas relasi ruang tinggal dan ruang gerak penting untuk kesadaran kelas dan perubahan.
‘Kesadaran kelas’ dalam ruang gerak dan ruang tinggal berguna bukan hanya untuk identifikasi kolektif persoalan kehidupan sehari-hari, namun juga kapasitas untuk membangun interaksi manusiawi yang lebih luas. Gagasan yang keluar dari pengalaman solidaritas di satu tempat dapat digeneralisasi dan menjadi universal sebagai sebuah bentuk baru masyarakat yang memiliki nilai kemanusiaan. David Harvey menyebutnya dengan ‘partikularisme militan’. Secara sederhana, Harvey menjelaskannya dengan, “You start with a militant idea in a particular place, and then it gets translated into a much more global political movement.”
Term partikularisme militan ini bisa dijelaskan dengan menilik kembali model tata ruang di kota Marinaleda.
Keberhasilan kota Marinaleda tak semata pada jumlahnya yang kecil dan lahannya yang luas, namun pada kemampuan mengidentifikasi dan membangun kebutuhan dan hak dasar bersama. Protes sosial yang dilakukan secara konsisten, sukarela, kolektif diikuti oleh kebijakan yang setara dan komunal. Proses pengambilan kebijakan dilakukan dengan pertemuan-pertemuan warga. Pembangunan tidak diserahkan membabi buta pada developer dan pemodal besar demi ‘kemajuan’ dan ‘pembukaan lapangan kerja’. Pemerintah membeli ribuan meter persegi tanah dan menyediakan bahan bangunan untuk dikelola dengan sistem yang adil. Pertanian digarap berkelompok secara bergantian. Militansi semacam ini berhasil diterjemahkan menjadi bahasa universal yang merespon persoalan riil masyarakat: tempat tinggal dan pekerjaan. Sederhananya, inilah bahasa ‘perlawanan’ dan ‘solidaritas’ yang disepakati bersama antara pemimpin dengan masyarakatnya.
Di Indonesia, partikularisme militan sebenarnya sudah dilakukan oleh Komunitas Ciliwung Merdeka. Salah satu strategi perlawanan yang mereka gunakan adalah pendekatan budaya dan sejarah, yaitu menyodorkan konsep rumah susun berbasis komunitas. Ini dilakukan sebagai upaya pengakuan akan keberadaan warga Kampung Pulo yang sudah menduduki lokasi sejak tahun 1930an dan layak menjadi situs keanekaragaman budaya.
Penutup
Partikularisme militan adalah tawaran strategi untuk menciptakan ruang gerak dan ruang tinggal yang nyaman bagi semua kelas.
Dengan strategi ini, transportasi publik sebagai aplikasi ruang gerak bukan hanya persoalan mengangkut manusia, tetapi juga menjadi pengikat dan penghubung geografis lintas kota dan desa, memampukan informasi dan transfer sumber daya. Nasib kaum di seberang menjadi terdengar dan tak lagi asing.
Transportasi publik sebagai ruang gerak mencipta ruang tatap muka dan interaksi sosial. Ia tidak memisahkan individu dan propertinya seperti kendaraan pribadi. Para penumpang ‘dipaksa’ berhadapan satu sama lain sebagai realitas yang jamak, oleh kebutuhan dan kepentingan bersama. Mereka dipaksa bertoleransi satu sama lain dan dididik untuk bergerak dalam ruang bersama sebagai “publik” dengan seperangkat etika dan aturan.
Partikularisme militan juga dapat menjadi alternatif ruang tinggal. Misalnya saja dalam usulan Komunitas Ciliwung Merdeka. Ruang interaksi sosial yang muncul dari perkampungan dan pemukiman kecil memungkinkan warga membangun komunikasi dan komunitas bersama yang bersifat gotong royong dan sukarela untuk kepentingan bersama. Ini berbeda dengan karakter yang dibangun oleh apartemen dan pemukiman mewah berpagar tinggi, di mana setiap warga terisolasi satu sama lain.
Saat ini publik tak lagi memiliki kota. Mereka tersingkir ke periferi. Mereka hanya menjadi komuter untuk sebuah perjalanan yang tak hendak mereka tempuh dan menempati ruang tak mereka miliki. Militansi kaum perkotaan bersua sayup-sayup dalam pertarungan membangun interaksi manusiawi yang timbul tenggelam dalam riuhnya pembangunan, kemiskinan, dan hiruk pikuk.
Partikularisme militan di perkotaan adalah bentuk perlawanan terhadap kapitalisasi ini dengan membalikkan kembali hak dasar sebagai nilai universal. Apa yang terjadi di Kampung Pulo dan apa yang dialami para komuter Jabodetabek hanya bisa dipahami jika dibenturkan oleh dominasi logika pasar dan seberondong beton-beton yang terus dibangun dengan mengabaikan masyarakat yang memiliki sejarah, budaya, dan alam di tanah yang mereka pijak. Padahal, masyarakat inilah yang merajut penghuni kota sebagai ‘publik’. Jika gagal, ruang-ruang partikular ini hanya akan hidup dalam kesenyapan di tengah bisingnya deru pembangunan.
Terimakasih atas Tulisan-tulisan Kerennya Mbak ..
Keren, kekurangan ruang gerak akan mengurangi silaturrahmi antar sesama, hingga akan menimbulkan dis presepsi, terhadap apapun.
Sudut pandang kritis seperti ini harus terus dipupuk dan disebarluaskan…semoga di kemudian hari generasi baru di Indonesia memiliki sudut pandang semacam itu dalam mengambil kebijakan untuk khalayak…