Apa yang Akan Dilakukan Nabi Muhammad? Pertanyaan Terlarang di Masa Gaza

410
VIEWS

Ada masa ketika ungkapan (“What would Muhammad do?”) ini menjadi slogan kesayangan kaum Muslim liberal di Barat. Ia jadi semacam jimat untuk menepis kecurigaan terhadap mereka atau kartu truf untuk lolos dari Guantánamo. Di bawah bayang-bayang tragedi 11 September, ketika umat Islam diperiksa telanjang di bandara, diinterogasi di perbatasan, bahkan ditangkap di lingkungannya sendiri, para pemimpin Muslim Barat terus-menerus mengulang pertanyaan itu.

Bagaikan tameng atau mantra, pertanyaan ini menjadi usaha terakhir mereka untuk meyakinkan negara-negara “maju” bahwa mereka bukanlah monster haus darah. Nabi Muhammad, kata mereka, penuh kasih sayang, sabar, pemaaf, penuh welas asih—lebih mirip instruktur yoga ketimbang panglima, lebih serupa rahib daripada negarawan. Maka khutbah Jumat, jamuan lintas iman, atau diskusi publik dipenuhi kalimat manis itu: “Apa yang akan dilakukan Sang Nabi?”

Namun, hari ini sunyi. Gaza terbakar, rakyat Palestina lapar dan dibantai dalam jumlah yang mengingatkan kita pada babak paling gelap abad ke-20. Para “Muslim yang baik” (good muslims)—kaum liberal, moderat, para duta tak kenal lelah persaudaraan lintas iman—mendadak lupa pertanyaan itu. Tak seorang pun ingin bertanya apa yang akan dilakukan Nabi Muhammad ketika berhadapan dengan genosida. Mengapa? Karena jawabannya terlalu jelas dan mengganggu kenyamanan.

Nabi Muhammad Pasca-9/11: Perlambang Kesabaran

Mari kita ingat kembali. Pasca 9/11, pemimpin Muslim di Barat sibuk melakukan apa yang bisa disebut “penjinakan besar-besaran terhadap sosok Nabi.” Tak lagi digambarkan sebagai pemimpin yang mengatur pasukan, merundingkan perjanjian, melindungi umat, dan menghadapi serangan dengan kekuatan, Sang Nabi dipoles ulang menjadi santo penuh damai. Kesabarannya saat dihina diagungkan. Kisah pengampunannya kepada musuh diulang tanpa henti. Tekanannya pada perjuangan batin (jihad al-nafs) dipromosikan seakan-akan itu satu-satunya jihad yang patut disebut.

Tujuannya jelas: meyakinkan publik Barat yang curiga bahwa Muslim bukanlah bom waktu berjalan. “Lihatlah,” kata mereka, “Nabi kami sama seperti Yesus kalian—cinta damai, pemaaf, tanpa kekerasan.” Pertanyaan “Apa yang akan dilakukan Nabi Muhammad?” pun menjadi padanan dari “What would Jesus do?”—slogan manis yang cocok ditempel di mobil atau dicetak di kaos remaja gereja.

Tentu, ini tidak sepenuhnya keliru. Nabi Muhammad memang sabar, pemaaf, dan menekankan perubahan diri. Namun, cerita itu sangatlah selektif dan politis. Dalam iklim Perang Terhap Teror yang digemakan Amerika, umat Islam dipaksa membuktikan kesetiaan, memutihkan agamanya, dan menyajikan Islam hanya sebagai olah spiritual jinak, bukan kekuatan politik.

Pertanyaan yang Lenyap

Dua puluh tahun berlalu. Bom berjatuhan di Gaza. Rumah sakit, sekolah, dan tenda-tenda pengungsi rata dengan tanah. Satu populasi dikerangkeng seperti ternak: lapar, haus, tanpa obat. Kata “genosida” mula-mula berbisik, lalu diteriakkan lantang. Umat Muslim di seluruh dunia menyaksikan dengan ngeri, marah, bahkan nyaris putus asa.

Namun, Muslim liberal yang dulu begitu fasih mengulang, “Apa yang akan dilakukan Nabi Muhammad?” kini lidahnya kelu. Di mana forum lintas iman itu? Di mana khutbah yang teratur rapi, artikel opini di media besar, atau tagar yang dulu riuh?

Kebungkaman ini bukan kebetulan. Kebungkaman ini penuh perhitungan. Karena semua tahu apa yang akan dilakukan Nabi Muhammad ketika berhadapan dengan genosida, dan itu tidak sesuai dengan citra Nabi yang hendak mereka jinakkan.

Jawaban yang Mengganggu Kenyamanan

Nabi Muhammad, ketika menghadapi ancaman pemusnahan kaumnya, tidak menyuruh sabar sambil berkicau di media sosial. Beliau tidak berdiam di sajadah sambil menunggu keadilan turun dari langit. Ia mengorganisir. Ia membela. Ia menjadikan perlawanan sebagai kewajiban umatnya. Al-Qur’an sendiri menegaskan: “Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela orang-orang lemah, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak yang berseru, ‘Ya Tuhan, keluarkan kami dari negeri yang penduduknya zalim ini!’” (QS. An-Nisa: 75).

Ini bukan tafsir pinggiran. Ini arus utama tradisi Islam: jihad defensif adalah kewajiban ketika umat diancam pemusnahan. Bagi Nabi Muhammad, membela yang tertindas bukan pilihan, bukan kiasan, dan bukan sekadar wacana membius tentang “melawan hawa nafsu.” Ia nyata. Ia bersenjata. Ia tak bisa ditawar.

Maka, bila ada yang jujur bertanya, “Apa yang akan dilakukan Nabi Muhammad?” di hadapan Gaza, jawabannya amat jelas: beliau akan mengorganisir kekuatan pelindung dan menjadikan perlawanan sebagai kewajiban. Ia tidak akan sibuk mengeluh soal “narasi” atau gelisah memikirkan pandangan kaum liberal kulit putih. Ia tidak akan menyerahkan moralitas pada Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat. Ia akan berdiri di antara algojo dan korban.

Inilah alasan mengapa pertanyaan itu kini tak berani diucapkan sekarang.

Dilema Muslim Liberal

Di sinilah letak dilema para “Muslim yang Baik” di Barat. Dua puluh tahun lamanya, mereka berinvestasi pada narasi Nabi Muhammad yang pasifis. Mereka menenangkan pemerintah, kolega, dan tetangga bahwa Islam adalah perdamaian, bahwa jihad hanyalah semacam retret penyucian diri, bahwa Nabi sejatinya hanyalah motivator berjanggut.

Kini, bila mereka berkata, “Sebenarnya, Nabi Muhammad akan menyerukan pembelaan bersenjata bagi Palestina,” maka seluruh bangunan narasi itu runtuh. Mereka bisa kehilangan penerimaan dari masyarakat Barat yang selama ini secara mati-matian hendak mereka bahagiakan. Mereka bisa dianggap sama dengan “Muslim yang Buruk” (Bad Muslims)—para militan, radikal, yang dicap biadab.

Maka bagi mereka, lebih aman diam; lebih nyaman melontarkan kalimat hampa tentang perdamaian sambil mengutuk “kekerasan dari kedua pihak,” lalu kembali ke jamuan lintas iman. Lebih aman mengejek atau menyingkirkan imam-imam yang berani menyuarakan kebenaran yang terasa mengganggu. Lebih aman tetap terhormat, meski Gaza terbakar.

Politik Kesalehan Selektif

Ironi ini sangat gamblang. Saat kartun Nabi muncul di Denmark atau Prancis, para “Muslim yang Baik” cepat-cepat mengingatkan: Muhammad mengabaikan hinaan, beliau memaafkan musuh, beliau tidak membenarkan kerusuhan massa.

Itu benar, tetapi bagaimana jika Baginda berhadapan dengan genosida? Ketika anak-anak diangkat dari reruntuhan, ketika keluarga musnah di rumahnya sendiri, ketika satu bangsa yang terkepung berteriak meminta tolong, tiba-tiba Nabi menghilang dari retorika mereka. Kesalehan selektif yang dulu menghiasi konferensi dan siaran pers lenyap. Nabi, yang dulu dijadikan maskot moderasi, kini disembunyikan di loteng, karena dipandang terlalu memalukan untuk ditampilkan.

Ini bukan sekadar kepengecutan. Ini keterlibatan mereka dalam hegemoni Barat yang begitu dalam. Bagi mereka, tradisi agama sendiri harus diamputasi agar muat di kerangka “kehormatan” Barat. Nabi direduksi menjadi karikatur; kadang santo pasifis, kadang tabu yang membungkam, alih-alih dipahami dengan warisan beliau yang penuh dan kompleks.

Tabu yang Sebenarnya

Maka inilah pertanyaan tabu yang sesungguhnya: bukan “Apa yang akan dilakukan Nabi Muhammad?” tetapi “Mengapa Muslim liberal takut menanyakannya?”

Baca Juga:

Jawabannya tidak akan menyenangkan mereka. Mereka takut karena mereka tahu kebenarannya: Nabi Muhammad tidak akan tinggal diam menghadapi genosida. Ia akan bertindak. Ia akan berperang. Ia akan mewajibkan umatnya membela yang tertindas.

Jawaban semacam itu tidak cocok di jamuan lintas iman. Tidak menenangkan badan intelijen. Tidak menyenangkan tatanan liberal. Maka pertanyaan itu dikubur. Nabi, yang dulu dijadikan alat untuk diterima Barat, kini justru dibungkam oleh umatnya sendiri yang dulu tak henti mengutip beliau.

Kesimpulan: Nabi yang Tak Berani Mereka Sebut

“Apa yang akan dilakukan Nabi Muhammad?” sejatinya sejak awal bukan soal sosok Sang Nabi, melainkan soal politik. Setelah 9/11, pertanyaan itu adalah soal bertahan hidup: Muslim liberal perlu membuktikan bahwa mereka aman, lalu memoles sosok Nabi menjadi sepenuhnya tanpa kekerasan.

Hari ini, di Gaza, pertanyaan yang sama akan menyingkap kenyataan yang terlalu berbahaya untuk diucapkan: Nabi mereka bukan hanya penuh kasih, tetapi juga militan ketika keadilan harus tegak.

Maka, sikap diam para Muslim liberal justru berbicara dengan lantang tentang bagaimana mereka terperangkap dalam narasi yang mereka ciptakan. Mereka begitu larut dalam citra Nabi pasifis, hingga kini tak mampu menyeru Nabi yang sesungguhnya. Mereka memilih penerimaan Barat daripada ketakwaan; memilih kehormatan semu daripada tanggung jawab. Namun, sejarah tidak mengenal belas kasihan. Ketika generasi mendatang bertanya, “Apa yang kalian lakukan saat genosida di Gaza?” para Muslim liberal itu tidak akan bisa menjawab, “Kami bertanya apa yang akan dilakukan Nabi Muhammad.” Mereka tak berani. Mungkin, kebungkaman itulah satu-satuanya jawaban lantang mereka.[]

Artikel ini terbit pertama kali dalam Middle East Monitor dengan judul What would Muhammad do? The taboo question in the time of Gaza, lalu diterjemahkan Ismail Al-‘Alam (IndoProgress) untuk Islam Bergerak dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad S.A.W.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.