Sihir Negara dan Teater Magis Kapitalisme

288
VIEWS

Judul Buku: The Magic of the State
Penulis: Michael Taussig
Penerbit: Taylor & Francis
Tebal: ix +216 halaman

Ketika Michael Taussig menerbitkan The Magic of the State pada 1997, ia telah menghabiskan hampir dua dekade meneliti bagaimana masyarakat post-kolonial memahami dan bernegosiasi dengan kekuatan-kekuatan yang mengatur hidup mereka. Seperti dalam karya klasiknya The Devil and Commodity Fetishism in South America (1980), Taussig kembali mengeksplorasi bagaimana fetisisme—kali ini dalam bentuk fetisisme negara—beroperasi sebagai mekanisme yang memungkinkan dominasi sekaligus resistensi. Namun di buku ini, fokusnya bukan pada petani yang membuat pakta dengan iblis untuk meningkatkan produktivitas mereka, melainkan pada bagaimana negara modern bergantung pada kekuatan magis untuk mempertahankan legitimasinya.

Hantu-Hantu yang Bergentayangan di dalam Negara Modern

Melalui etnografi eksperimentalnya di Venezuela (yang ia sebut ‘European Elsewhere’),Taussig membongkar mitos fundamental negara modern yang dibangun di atas klaim rasionalitas Weberian. Jika Weber melihat negara modern sebagai kulminasi dari proses rasionalisasi dan “hilangnya daya pikat dunia” (disenchantment), Taussig justru menunjukkan bagaimana negara modern bergantung pada mekanisme magis untuk mempertahankan legitimasinya. “Bagaimana dapat kita membayangkan bahwa dengan melucuti pesona dunia, menghancurkan dunia yang terhitung sebagai nyata, realitas itu sendiri?” (Taussig, 1997, p. 3). Paradoks inilah yang membuat proyek modernisasi politik selalu dihantui oleh bayang-bayang irasionalitasnya sendiri.

Di Venezuela, Taussig menemukan bahwa penduduk asli tidak hanya mengalami kolonisasi fisik oleh Spanyol, tetapi juga kolonisasi imajiner yang jauh lebih mendalam. Para penjajah membawa serta aparatus fetisistik mereka—koin, medali, patung, serta ritual-ritual kenegaraan—yang kemudian direproduksi dalam bentuk-bentuk lokal melalui proses yang ia sebut sebagai mimesis kolonial. Di wilayah pegunungan tempat kultus María Lionza (Spirit Queen) berkembang, roh-roh para conquistador, birokrat kolonial, dan prajurit yang mati dalam perang kemerdekaan masih bergentayangan, merasuki tubuh-tubuh pemuja dalam drama historis yang tak pernah selesai—yang oleh Taussig disebut sebagai “ruang kematian” (space of death).

Dimensi teatrikal dari praktik-praktik spiritualitas ini menjadi penting, karena darinya terungkap bagaimana kekuasaan negara modern beroperasi melalui “teater fisiognomis” (theater of physiognomies)—permainan wajah, gestur, dan ekspresi tubuh yang mengomunikasikan relasi-relasi kekuasaan. “Spirit kerasukan (possession) pada gunung magis, seperti halnya film dan fotografi, memperbesar fisiognomi—praktik umum yang tidak jelas namun penuh keyakinan dalam menginterpretasi isi dari luar, karakter dan disposisi manusia dari wajah” (Taussig, 1997, p. 78). Dalam teater magis inilah, kekuasaan negara sekaligus dikonfirmasi dan disubversi.

Pemikiran Taussig tentang fetisisme negara ini secara fundamental memperdalam analisis Marx tentang fetisisme komoditas. Jika Marx menunjukkan bagaimana komoditas menyembunyikan relasi-relasi sosial yang mendasari produksinya, Taussig memperlihatkan bagaimana negara modern menyembunyikan kekerasan pendiriannya di balik topeng rasionalitas birokrasi. Di sinilah letak kritik tajamnya terhadap Weber: apa yang oleh Weber dilihat sebagai “rasionalisasi” sejatinya adalah bentuk baru dari daya pikat (enchantment) yang justru semakin kuat karena menyangkal dimensi magisnya sendiri.

Spirit Queen dan Politik Ketubuhan

Di dalam telaah Taussig tentang sihir negara, hadir sosok enigmatik Spirit Queen (María Lionza), figur feminin yang menjembatani dunia roh dan dunia material, masa lalu kolonial dan masa kini pasca-kolonial. Berbeda dengan figur maskulin Liberator yang menghiasi monumen-monumen resmi dan mata uang nasional, Spirit Queen hadir sebagai kekuatan “lain” yang beroperasi dari ruang imajiner negara. “Ia berada tepat di tengah Tiga Kekuatan. Ini menghentikan langkahku. Apakah di sinilah pencarianku akan keadilan ilahi akan dimulai?” (Taussig, 1997, p. 15).

Tubuh Spirit Queen dibayangkan sebagai sebuah gunung—lanskap fisik yang menjadi tempat pertemuan antara kekuatan-kekuatan kosmik dan terestrial. “Gunung Spirit Queen adalah sumber tenaga spiritual yang melepaskan surplus yang dikonsumsi oleh negara secara keseluruhan yang mencakup di antara otoritasnya pengesahan mata uang dan arus Liberator itu sendiri” (Taussig, 1997, p. 139). Metafora tubuh-gunung-negara ini menunjukkan bagaimana kekuasaan politik senantiasa memiliki dimensi organik yang jarang diakui.

Ritual kerasukan (possession) yang terjadi di gunung Spirit Queen menjadi fokus analisis kritis Taussig mengenai politik ketubuhan. Melalui kerasukan, tubuh-tubuh individual para pemuja menjadi panggung drama nasional untuk dipertontonkan kembali, tempat konflik-konflik historis dimainkan ulang, dan tempat trauma-trauma kolektif diartikulasikan. Yang menarik dari analisis Taussig adalah bagaimana ia mengidentifikasi paralel antara ritual kerasukan rakyat dengan ritual kenegaraan resmi. Keduanya sama-sama mengaktifkan kembali teater fisiognomis yang menciptakan efek ketidaknyamanan dan keganjilan (uncanny) yang menjadi ciri khas dari sihir negara.

Spirit Queen juga mewakili dimensi erotis dari kekuasaan negara yang kerap diabaikan. Taussig mencatat bagaimana tubuh perempuan yang kerasukan sering digambarkan dalam kondisi yang intens—”tubuh yang menggeliat, mata yang terbalik, nafas yang terengah-engah, suara yang berubah” (Taussig, 1997, p. 70-71). Ketika orang-orang memanjatkan doa dan memberikan persembahan pada Spirit Queen, mereka juga mengekspresikan hasrat terhadap negara yang tak dapat diartikulasikan melalui saluran formal politik.

Kerasukan roh juga beroperasi sebagai teknologi memori—cara untuk mengingat dan mengalami kembali kekerasan historis yang membentuk negara. “Tubuh yang kerasukan adalah arsip hidup yang menyimpan kenangan-kenangan traumatis yang tidak tercatat dalam sejarah resmi” (Taussig, 1997, p. 59). Melalui kerasukan, pengalaman-pengalaman yang terpinggirkan dari narasi nasional resmi—perkosaan massal dalam perang kolonial, perbudakan, genosida terhadap masyarakat adat—dapat diartikulasikan kembali, meskipun dalam bentuk yang terdistorsi. Tubuh menjadi tempat penyimpanan pengetahuan historis yang tidak diakui oleh arsip-arsip resmi negara.

Mata Uang dan Teater Krisis

Pertunjukan magis negara mencapai puncaknya dalam medium mata uang. Taussig menunjukkan bagaimana mata uang nasional tidak hanya berfungsi sebagai alat pertukaran, tetapi juga sebagai medium sakral yang mentransformasi nilai ekonomi menjadi aura spiritual. “Wajah di mata uang berlaku sebagai totem negara, mewakili konvergensi mistis antara kekuatan ekonomi dan spiritual” (Taussig, 1997, p. 131). Wajah para pahlawan nasional yang terpampang di uang kertas Bolívar di Venezuela, bukanlah sekadar simbol kedaulatan, tetapi entitas magis yang berpotensi mendatangkan berkah atau kutukan.

Fenomena krisis moneter mengungkap bagaimana nilai mata uang tidak hanya bergantung pada faktor ekonomi, tetapi juga pada kepercayaan mistis warga terhadap negara. Ketika bolívar kehilangan nilai, yang terancam bukan hanya stabilitas ekonomi, tetapi juga legitimasi spiritual negara. “Jika mereka menggunakan citra Liberator, penyembuh dengan demikian memasuki apa yang mungkin kita sebut sebagai interioritas dari perjanjian terkenal di mana masyarakat dalam satu langkah menetapkan dirinya sendiri dan negara” (Taussig, 1997, p. 127). Inilah yang membuat krisis mata uang begitu berbahaya bagi negara modern.

Karen Strassler dalam tulisannya The Face of Money: Currency, Crisis, and Remediation in Post-Suharto Indonesia (2009) memberikan perspektif kontemporer terhadap tesis Taussig. Strassler menunjukkan bagaimana wajah Suharto di uang Rp50.000 selama krisis 1998 menjadi medan pertempuran simbolik tentang legitimasi kekuasaan. Remediasi uang Rp50.000 dalam berbagai bentuk—dari lukisan hingga kostum demonstran—menciptakan apa yang Strassler sebut sebagai “teater partisipatoris yang mengganggu hubungan antara uang, otoritas, dan identitas nasional” (Strassler, 2009, p. 74). Seperti para pemuja María Lionza yang diteliti Taussig, warga Indonesia menggunakan tubuh dan media alternatif untuk mematerialisasikan kritik terhadap fetisisme negara.

Keterbatasan dan Kritik Terhadap Karya Taussig

Meskipun memberikan analisis mendalam tentang kekuatan magis negara, karya Taussig tidak terlepas dari beberapa keterbatasan. Pertama, pendekatan eksperimentalnya yang bersifat impresionistik dan fragmental terkadang menyulitkan pembaca untuk mengikuti alur argumentasinya. Taussig sering melompat antara anekdot etnografi, kutipan teoretis, dan refleksi pribadi tanpa transisi yang jelas, membuat bukunya terasa seperti montase daripada narasi koheren.

Kedua, Taussig kurang mengeksplorasi bagaimana subjek yang dikolonisasi secara aktif menegosiasikan dan memanipulasi kekuatan magis negara untuk kepentingan mereka sendiri. Meskipun ia menyebut tentang perlawanan, ia kurang memberikan perhatian pada agen historis dari masyarakat yang ia teliti. Seperti yang dicatat oleh kritikus postkolonial, pendekatan ini berisiko mereduksi subjek kolonial menjadi sekadar pembawa (carrier) dari struktur kekuasaan yang lebih besar.

Baca Juga:

Ketiga, konsep “magis” dan “spiritual” dalam karya Taussig sering kali ambigu. Meskipun ia berusaha menunjukkan bahwa “magis” di sini bukanlah lawan dari “rasional” melainkan kondisi yang memungkinkannya, Taussig tidak selalu berhasil membedakan antara “magis” sebagai analogi metaforis dan “magis” sebagai kategori fenomenologis. Ketika ia berbicara tentang “sihir negara”, apakah ia merujuk pada praktik-praktik konkret yang dianggap magis oleh masyarakat, atau ia menggunakan istilah tersebut sebagai cara untuk mengkonseptualisasikan mekanisme kekuasaan negara yang sulit dipahami?

Keempat, meskipun Taussig mengklaim melakukan etnografi di “European Elsewhere” (Venezuela), analisanya tentang hubungan antara negara dan masyarakat kadang terlalu digeneralisasi. Ia kurang memperhatikan kekhususan historis dan kultural dari konteks Venezuela, yang memiliki sejarah dan dinamika politik yang unik. Pendekatan ini berisiko menciptakan apa yang James Clifford sebut sebagai “alegori etnografis” — di mana masyarakat partikular menjadi sekadar ilustrasi dari teori umum.

Penutup: Relevansi Kontemporer Sihir Negara

Terlepas dari keterbatasan-keterbatasan tersebut, The Magic of the State tetap menjadi karya penting yang memberikan pemahaman baru tentang cara kerja kekuasaan politik kontemporer. Taussig tidak hanya mengkritik teori-teori klasik tentang sekularisasi dan rasionalisasi, tetapi juga membuka jalan baru untuk memahami bagaimana negara modern mempertahankan legitimasinya melalui kombinasi dari rasionalitas birokrasi dan daya pikat ritual.

Pengalaman Indonesia pada 1998 dan Venezuela yang dikaji Taussig memvalidasi tesis bahwa “sihir negara” adalah elemen integral dari modernitas politik. Saat The Magic of the State terbit lebih dari 20 tahun silam, ekonomi digital dan platform global belum berkembang masif. Tantangan teoretis saat ini adalah melihat bagaimana sihir negara beroperasi tidak hanya dalam materialitas konvensional (mata uang kertas, monumen, ritual fisik), tetapi juga melalui algoritma, data, dan infrastruktur digital yang tak kasat mata.

Di sinilah relevansi dari karya Taussig: dengan menunjukkan bagaimana negara modern yang paling “rasional” sekalipun selalu bergantung pada dimensi magis, ia mengembangkan perangkat konseptual yang dapat digunakan untuk memahami bagaimana sihir baru kapitalisme digital beroperasi—bukan sebagai antitesis dari rasionalitas teknologis, melainkan sebagai kondisi yang memungkinkannya. Tantangan bagi teoretikus politik kontemporer adalah mengembangkan analisis Taussig untuk memahami bagaimana fetisisme negara bermutasi di era ketika kekuasaan semakin tak kasat mata, tetapi justru semakin ‘magis’ dalam cara kerjanya.

Referensi:

Strassler, K. (2009). The Face of Money: Currency, Crisis, and Remediation in Post-Suharto Indonesia. Cultural Anthropology, 24(1), 68-103.

Taussig, M. T. (1980). The devil and commodity fetishism in South America. University of North Carolina Press.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.