Islam Bergerak

Hancurkan Menara Gading: Pandangan Islam Progresif atas Komersialisasi Pendidikan Tinggi

2.2k
VIEWS

Pada 24 April lalu, puluhan mahasiswa Universitas Airlangga mengadakan aksi protes di dalam Gedung Rektorat. Aksi protes ditujukan untuk kebijakan Rektor Universitas Airlangga (UNAIR) yang melakukan ‘penyesuaian’ atas nominal Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang harus dibayarkan oleh calon mahasiswa baru yang diterima oleh UNAIR (jatimpos.id, 2019). Tentu saja, kata ‘penyesuaian’ yang dimaksud merupakan bualan a la birokrat semata, karena yang terjadi adalah meningkatnya biaya yang harus dibayar oleh peserta didik. Fakta lain menunjukan bahwa UNAIR tidak mematuhi Peraturan Menteri Ristekdikti yang melarang universitas untuk menarik uang pangkal dari calon mahasiswa baru.

Situasi yang telah terjadi di UNAIR merupakan salah satu faktor endemik yang terjadi saat pendidikan tidak lagi dimaknai sebagai barang publik, yakni sebagai hak rakyat dan menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakannya. Pemberlakuan UU no. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, menjadi legitimasi bagi Negara untuk kian menarik tanggung jawabnya dari cita-cita luhur bangsa “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Melalui cara penyematan status Perguruan Tinggi Negeri ber-Badan Hukum (PTNBH), universitas-universitas di Indonesia dianggap telah mandiri oleh pemerintah. Akan tetapi, status ‘mandiri’ ini diemban dengan memikul konsekuensi bagi universitas. Pemerintah bukan hanya menganggap bahwa kampus menjadi mandiri secara kebijakan dan kurikulum (akademik), melainkan juga mandiri secara keuangan (non-akademik). Alhasil, subsidi yang seharusnya dialirkan kepada universitas, secara gradual menurun dengan dalih bahwa universitas telah ‘mandiri.’

Dengan berkurangnya subsidi dari pemerintah, UNAIR harus melakukan berbagai cara untuk mendapatkan biaya selain dari pemerintah. Adalah Satrio Brodjonegoro, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi tahun 2003, yang menyatakan bahwa tidak ada sumber pendanaan lain yang lebih mudah selain dengan meningkatkan tarif untuk peserta didik (Brodjonegoro, 2002). Apa yang dilakukan oleh UNAIR merupakan konsekuensi logis dari sebuah tatanan sistem yang ada. Liberalisasi pendidikan telah menyuburkan spirit kapitalisme di dalam (inherently) tubuh Perguruan Tinggi itu sendiri.  Kampus telah menjadi layaknya pabrik intelektual yang hanya mementingkan ranking dan profit. Komersialisasi atas jasa pendidikan merupakan cara yang umum terjadi saat pendidikan terombang-ambing di tengah mekanisme pasar. Jangan tanya apakah pendidikan hari ini memihak kepada rakyat atau tidak, karena kebermanfaatan dari ilmu telah dibawa setinggi langit oleh institusi-institusi ‘Menara Gading’ demi kepentingan pasar.

Institusi pendidikan yang mengedepankan profit dan mengesampingkan produksi ilmu pengetahuan berubah menjadi predator bagi peserta didik—dengan menguras nilai lebih dari peserta didik. Sayangnya bukan hanya peserta didik yang menjadi korban, masyarakat sekitar harus menanggung akibat dari akumulasi kapital yang dilakukan oleh universitas. Pada tahun 2018 silam, UIN Jakarta bersama-sama dengan Kementerian Agama (Kemenag) melakukan penggusuran rumah warga yang terletak di Jalan Juanda, Ciputat. UIN dan Kemenag menyatakan bahwa tanah yang ditinggali oleh warga, merupakan tanah milik negara dan harus dikembalikan kepada negara. Klaim tersebut merupakan klaim yang sepihak karena, sengketa atas tanah tersebut belumlah selesai diadili di pengadilan. Penelusuran lebih lanjut oleh Arlandy Ghiffari menyatakan bahwa UIN telah memasukan wilayah hunian warga ke dalam Master Plan pembangunan dan perluasan kampus demi mendapatkan status World Class University (WCU). Atas nama ‘pembangunan,’ warga harus beranjak dari tempat tinggalnya yang telah dihuni selama puluhan tahun tanpa biaya ganti rugi dan tanpa cukup waktu untuk mengosongkan rumah. Atas nama ‘pembangunan,’ nilai kemanusiaan dapat dikesampingkan.

Pemaparan di atas merupakan wajah kapitalisme yang sesungguhnya, di mana kapitalisme akan sangat bengis guna mempertahankan keberlangsungan akumulasi. Pada umumnya, penggusuran warga dilakukan atas nama pembangunan pabrik, hotel, tambang, dan sarana-sarana industri yang lainnya. Akan tetapi, dalam kasus UIN Jakarta menjadi sebuah ironi lantaran pelakunya merupakan institusi pendidikan. Institusi yang seharusnya menumbuh-suburkan rasa kemanusiaan justru menjadi garda terdepan dalam melakukan penggusuran—yang sudah tentu tidak manusiawi. Pendidikan yang berada di bawah ketiak kapitalisme, telah terbukti gagal dalam menghasilkan pendidikan yang dapat memanusiakan manusia.

Karut-marutnya, situasi pendidikan tinggi di Indonesia tentu menimbulkan sebuah pertanyaan; langkah apa yang harus ditempuh? Sistem yang menindas ini bukannya tanpa perlawanan. Berbagai perlawanan untuk melawan komersialisasi pendidikan tinggi telah dilakukan dari level nasional hingga level yang lebih lokal di tingkat universitas. Hal penting yang harus dilakukan adalah, pembangunan gerakan yang solid/mengkristal di level nasional. Sampai saat ini, gerakan mahasiswa—yang seharusnya berada di barisan depan untuk melawan komersialisasi pendidikan—masih tercerai-berai (disorganized) di level nasional. Akan tetapi, bukan hanya metode yang kita semua butuhkan, melainkan refleksi kritis sebagai bahan bakar untuk terus mengobarkan api perlawanan. Tulisan ini bertujuan untuk mengukuhkan bahwa semangat melawan komersialisasi pendidikan telah terkandung dalam agama Islam sebagai rahamatan lil ‘alamin.

Hamzah Djunaid, dalam jurnal yang berjudul “Konsep Pendidikan dalam Al-Quran: Sebuah Kajian Tematik” menjelaskan tentang bagaimana Islam memandang pendidikan. Djunaid menjelaskan secara runut tugas manusia yang telah dibekali akal untuk menjadi khalifah di muka bumi. Akan tetapi, kekhalifahan manusia di muka bumi harus berpijak pada ilmu pengetahuan. Akal atau nalar yang dimiliki oleh manusia harus dibarengi dengan ilmu pengetahuan agar dapat memilah mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang membawa manfaat dan membawa mudarat. Oleh karenanya, institusi pendidikan—beserta tiga metode yang dijabarkan oleh Djunaid—menjadi penting agar ilmu pengetahuan dapat tersosialisasikan dengan baik (Djunaid, 2014).

Menyoal mengenai institusi pendidikan dan ilmu pengetahuan, Djunaid mengutip surat Al-Mujadilah Ayat 11 yang terjemahannya berbunyi:

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”

Penggalan surat ini, digunakan oleh Djunaid untuk menunjukan bahwa orang yang berilmu akan ditinggikan derajatnya oleh Allah swt. Sementara derajat yang dimaksud dapat berupa kedudukan, kelebihan, atau keutamaan lainnya. Djunaid berfokus pada privilege yang dimiliki oleh orang yang memiliki pengetahuan (Djunaid, 2014). Sayangnya institusi pendidikan sebagai penyalur ilmu pengetahuan luput dari analisisnya.

Dalam tafsir Al-Mukhtashar, penggalan kalimat “berlapang-lapanglah dalam majelis” merupakan seruan untuk menyediakan tempat bagi yang lain dalam sebuah majelis. Dahulu orang-orang saling berlomba untuk dapat mengikuti majelis Rasulullah, sehingga mereka diperintahkan untuk saling melapangkan tempat bagi orang lain. Tafsir tersebut perlu untuk di re-kontekstualisasi agar menemukan poin relevansinya dengan kondisi yang kita hadapi hari ini. Majelis rasulullah merupakan sebuah forum pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai agama dan ilmu pengetahuan. Sementara kendala yang dihadapi untuk dapat mengikuti pengajian di majelis pada waktu itu adalah kendala tempat untuk menampung sebanyak mungkin orang.

Seiring dengan berkembangnya zaman, manusia dapat mengorganisir diri mereka. Indonesia di dalam konstitusinya menyatakan bahwa pendidikan merupakan hak seluruh warga negaranya. Itu artinya, setiap warga negara berhak untuk mendapatkan ilmu. Itu artinya, setiap warga negara berhak untuk pintar. Negara menjadi pihak yang bertanggung jawab atas penyediaan layanan pendidikan bagi rakyatnya. Tempat, tenaga pengajar, dan sarana-prasarana lainnya menjadi tanggung jawab negara untuk mengatur dan menyediakannya secara adil dan merata. Akan tetapi, segera muncul suatu pertanyaan: apa yang menghalangi seseorang untuk dapat mengakses institusi pendidikan (majelis) hari ini?

Tentu saja, ilustrasi tentang apa yang terjadi di UNAIR telah menjawab pertanyaan ini. Peserta didik harus mengumpulkan pundi-pundi uang ‘wall of cash’ agar dapat mengakses satu kursi tempat duduk di Perguruan Tinggi. Hambatan teknis yang dulu berupa tempat, kini berubah menjadi ‘biaya kuliah.’ Tentu saja hambatan ini merupakan karakteristik yang menubuh (embedded) di dalam sistem kapitalisme. Pendidikan serta ilmu pengetahuan yang mulanya merupakan hak milik publik (public rights) disulap sedemikian rupa menjadi barang privat (private property). Setan-setan global seperti World Bank, International Monetary Fund (IMF), dan World Trade Organization (WTO) merupakan aktor yang paling bertanggung jawab akan hal ini.

Ketiga organisasi internasional tersebut, dalam kacamata Robert Cox, mempengaruhi elit lokal dengan berbagai cara (Cox, 1983). World Bank mempengaruhi teknokrat pembuat kebijakan melalui serangkaian proyek-proyek liberalisasi seperti Development of Undergraduate Education (DUE) dan Higher Education for Relenace and Efficiency (HERE). WTO menjadikan pendidikan sebagai sektor jasa yang harus diliberalisasi bersama dengan 12 sektor jasa yang lain, melalui perjanjian General Agreement on Trade and Services (GATS). Sementara IMF, menyediakan prakondisi kebijakan fiskal bersamaan dengan reformasi guna menekan pengeluaran untuk subsidi bagi masyarakat. Dalam logika liberal, subsidi merupakan langkah kebijakan yang salah dan dianggap sebagai pemborosan. Melalui serangkaian mekanisme komodifikasinya, masyarakat semakin dijauhkan dengan apa yang seharusnya menjadi haknya. Mantra yang mengatakan ‘semakin mahal, maka semakin bermutu,’ kian merasuk ke dalam logika masyarakat. Sehingga, dengan sukarela (perceiving) masyarakat mengeluarkan dana yang sangat banyak demi pendidikan, tanpa mereka sadar bahwa pendidikan merupakan hak yang seharusnya dapat dengan mudah dan murah mereka dapatkan.

Kisah lain yang menyinggung tentang pentingnya pendidikan dari perspektif Islam, telah dikutip oleh M. Shiddiq Al-Jawi dalam makalahnya yang berjudul “Pendidikan Indonesia: Masalah dan Solusinya.” Dalam makalah tersebut, Shiddiq mengutip sebuah kisah tentang ketetapan Rasulullah saw. kepada para tahanan Perang Badar. Rasulullah ingin agar tahanan Perang Badar mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah, jika mereka ingin dibebaskan. Tenaga atas upaya untuk mendidik menjadi tebusan yang menjadi hak Baitul Mal (Kas Negara). Rasulullah telah menjadikan biaya pendidikan setara dengan barang tebusan yang seharusnya menjadi aset negara. Dengan kata lain, negara menyediakan sarana pendidikan bagi masyarakatnya. Lebih jauh Shiddiq menyatakan bahwa (khalifah) kepala negara bertanggung jawab penuh atas setiap kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan (Shiddiq, 2006).

Pentingnya pendidikan, tak dapat dipungkiri, tak pernah lekang oleh waktu. Pendidikan tetap menjadi causa prima atas maju mundurnya sebuah peradaban. Seruan untuk “Berlapang-lapang di dalam majelis,” tidak dapat lagi dimaknai dengan sekadar masalah tempat duduk. Akan tetapi, tempat duduk yang bernama ‘bangku kuliah’ tersebut memiliki pra-kondisi yang bernama ‘biaya kuliah.’ Seruan untuk melapangkan majelis seharusnya dimaknai sebagai semangat untuk mengganyang komersialisasi pendidikan. Memperlebar akses akan pendidikan yang berkualitas tanpa harus membebani masyarakat dengan segudang biaya. Meruntuhkan tembok uang (wall of cash) yang selama ini menjadi penghalang kemajuan bangsa. Universitas tidak boleh lagi menjadi Menara gading yang manfaatnya hampir sama sekali tidak bisa dinikmati oleh masyarakat. Semoga perjuangan kita diridhoi oleh Yang Maha Kuasa, Allah swt. Wallahu a’lam bish-shawabi.

Sampai jumpa di kemenangan yang abadi!

 

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jawi, M. S. (2006, May 6). Pendidikan di Indonesia: Masalah dan Solusinya.

Baca Juga:

http://blog.ub.ac.id/irfan11/files/2013/02/Pendidikan-Di-Indonesia-oleh-M.-Shiddiq.pdf pada 10 Agustus 2019.

Brodjonegoro, S. S. (2002). Higher Education Reform in Indonesia.

http://www.tfhe.net/resources/satryo_soemantri_brodjonegoro2.htm pada 10 Agustus 2019.

Cox, Robert. (1983). Gramsci, Hegemony and International Relations: An Essay in Method.

Millenium:Journal of International Studies, 12 (2), 162-175.

Djunaid, H. (2014). Konsep Pendidikan dalam Alquran (Sebuah Kajian Tematik). Lentera Pendidikan17 (4), 139–150.

http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/lentera_pendidikan/article/view/521/496 pada 10 Agustus 2019.

Ghiffari, A. (2018, August 30). Demi Hasrat Universitas Kelas Dunia, Rakyat Harus Menderita.

https://islambergerak.com/2018/08/demi-hasrat-universitas-kelas-dunia-rakyat-harus-menderita/ pada 10 Agustus 2019.

Kesuma, Ratna., et. al. (2015, June 18). Project Performance Assessment Report: Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency Project. https://ieg.worldbankgroup.org/sites/default/files/Data/reports/Indonesia_Higher_Education_PPAR.pdf pada tanggal 10 Agustus 2019.

Rasi, F. (2019, April 24). Demo, BEM Unair Tolak Kenaikan Uang Kuliah. Jatimpos.id.

https://www.jatimpos.id/kabar/demo-bem-unair-tolak-kenaikan-uang-kuliah-b1Xe89bnA pada 10 Agustus 2019.

Related Posts

Comments 1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.