Penulis: Agus Japar Sidik, Atip Kusnadi, Budiman, Dayat Hidayat, Gito Margono, Hermawan, Lami, Fresly Manulang, Salsabila (nama samaran), Nuzulun Ni’mah, Sri Jumiati, Sugiyono, Supartono, Samsuri, Muryati.
Editor: Bambang Dahana, Syarif Arifin, Abu Mufakhir, Dina Septi, Azhar Irfansyah, Alfian Al-Ayubby Pelu.
Penerbit: Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) bekerjasama dengan Tanah Air Beta, 2015. 400 halaman +xviii
Kemunculan organisasi-organisasi buruh di Indonesia –terutama berakar pada sektor transportasi dan perkebunan- yang dimulai pada tahun 1910-an memainkan peran penting dalam serangkaian perjuangan kemerdekaan. Politik aksi dan mogok mulai digunakan untuk menekan pemerintah kolonial agar memenuhi perbaikan hidup mereka hingga berujung pada tujuan kemerdekaan Indonesia. Setelah era kemerdekaan, melalui SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), gerakan buruh terlibat aktif dalam upaya menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda serta perjuangan menuntaskan “revolusi nasional Indonesia”. Namun, peristiwa 1965 dan lahirnya rezim Orde Baru membuat tradisi buruh berserikat dihancurkan dengan politik “masa mengambang” (floating mass). Pemerintah menerapkan politik serikat buruh tunggal yang dikontrol penguasa.
Lahirnya era reformasi pada 1998 telah membuka kran demokratisasi, walaupun dalam sektor ekonomi dan politik kroni-kroni rezim Orba masih menguasai tempat-tempat pengambilan keputusan di pemerintahan. Di sektor perburuhan demokratisasi itu ditunjukan dengan pengesahan tiga undang-undang terkait ketenagakerjaan[1]. Hal tersebut kemudian yang membuat mulai menjamurnya serikat-serikat buruh di Indonesia setelah selama periode Orba dimonopoli SPSI yang dikontrol oleh pemerintah. Gerakan buruh melalui berbagai serikat buruh mulai menjadi pendorong perubahan perbaikan dengan menentang ketidakadilan yang dijalankan oleh para pengusaha yang difasilitasi pemerintah.
Buku “Buruh Menuliskan Perlawanannya” berada di tengah-tengah pembaca dengan menghadirkan tulisan ringan tentang pengalaman 15 buruh Indonesia yang bekerja di area industri penting di Indonesia, yaitu: Jakarta, Tangerang, Bekasi dan Bandung. Para buruh ini adalah generasi buruh yang tumbuh di akhir era kepemimpinan Soeharto sampai era reformasi sekarang ini. Mereka dihadapkan pada politik upah murah warisan orde baru dan pasar tenaga kerja fleksibel yang membuat mereka tidak memiliki kepastian kerja. Tenaga murah buruh ini digunakan oleh pemerintah untuk menarik para investor kapitalis masuk. Sedangkan kondisi buruh harus bergulat dengan harga-harga barang yang terus melonjak, upah rendah, tidak adanya jaminan kesehatan, kebutuhan keluarga yang semakin meningkat dan juga yang lainnya. Keadaan tersebut membuat buruh tereksploitasi dan melalui mekanisme kerja kontrak telah membuat mereka terus tertekan karena setelah kontraknya habis harus kerja apa.
Para buruh dalam buku ini menuliskan pengalaman mereka, dari keadaan keluarga mereka, awal mereka mulai bekerja, hingga menemui keadaan serba susah karena gaji rendah, hingga akhirnya tumbuh kesadaran untuk berserikat dan berjuang menuntut hak-hak mereka. Para penulis seperti Budiman, Hidayat, Manulang, Lami dan Sugiono sebenarnya terlahir dari keluarga yang bekerja disektor pertanian, namun karena semakin sempitnya lahan garapan yang membuat hasil panen selalu tidak mencukupi kebutuhan dan juga proses industrialisasi yang turut menggusur sumber kehidupan mereka, telah memaksa mereka mengadu nasib ke kota besar untuk menjual tenaga mereka ke kantong-kantong industrialisasi. Tuntutan hidup adalah faktor pendorong mereka harus menjadi buruh di kota besar yang sangat tidak akrab dengan mereka.
Budiman (salah satu penulis) menuliskan kebahagiannya ketika ia diterima di PT Rapipack sebagai buruh borongan (hal. 19-20). Tapi ia kemudian tersadar bahwa bekerja sebagai buruh borongan dengan status kerja kontrak membuatnya tidak memiliki kepastian kerja sama sekali. Dia hanya dipanggil ketika dibutuhkan, dan bisa dibuang kapan saja saat tidak lagi dibutuhkan. Budiman mencoba menemui kepala perusahaannya untuk menyampaikan keberatan dan tuntutan perbaikan, namun yang didapat malahan marahan dengan kata-kata kasar “Apa-apaan kamu? Kamu dipekerjakan di sini seharusnya kamu bersyukur, bukan malah minta yang aneh-aneh!” (hal, 22). Bukan hanya Budiman, penulis lain juga mengalami hal yang sama. Dari sana kemudian muncullah kesadaran untuk mengadukan keadaan yang menimpa mereka ke serikat-serikat buruh.
Namun tak semua pimpinan serikat buruh akan memperjuangkan ketidakadilan yang mereka terima. Agus Japar Sidik mengalami keadaan seperti itu, ketika situasi kerja semakin sulit, upah rendah dan inflasi yang meninggi membuat tekanan psikologis terhadap buruh, perusahaan juga semakin sewenang-wenang menjatuhkan kesalahan pada para buruh dan tak jarang mem-PHK mereka, akan tetapi ketika ia mengadukan situasi seperti itu kepada serikat buruh perusahaan PT Toyobo tempat ia bekerja, ketua serikat buruh hanya menanggapi dengan diam dan cenderung menyalahkan buruh (hal. 5-8). Berbagai keadaan kehidupan yang sulit telah membuat Sidik bersama kawan-kawannya melakukan tekanan pada serikat yang ada dan memasuki serikat buruh untuk memperjuangkan kehidupan mereka. Sebelumnya Sidik telah mendapatkan pendidikan tentang politik perburuhan dari federasi serikat buruh, itulah yang membuatnya menjadi berani dan paham tentang apa yang harus dilakukan.
Dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana pengalaman pertama para penulis melakukan aksi demo dan mogok. Selain itu juga ketika mereka mulai mengenal serikat buruh dan kemudian bergabung dan aktif disana. Di sana juga dijelaskan bagaimana sikap dari perusahaan yang mem-PHK para buruh-buruh yang kritis dan melarang buruh untuk mendirikan serikat yang berafiliasi dengan Federasi dari luar pabrik serta dengan akal bulus berupaya menggembosi serikat buruh. Politik adu domba juga kerap mereka terima bahkan tindakan represif yang dilakukan oleh aparat, preman dan ormas-ormas juga harus mereka hadapi ketika sedang melakukan aksi menuntut perjuangan hidup mereka. Tantangan untuk berserikat dan aktif dalam gerakan juga datang dari keluarga, terutama istri mereka. Hal tersebut dialami oleh Budiono dan Sugiono (hal. 21 & 305). Istri mereka takut mereka akan kehilangan kerja mereka karena di-PHK dan akan menjadi jarang dirumah ketika harus terlibat dalam organisasi serikat buruh. Namun mereka akhirnya berhasil meyakinkan istri mereka, karena perjuangan di organisasi bagi mereka juga pasti akan bermanfaat bagi keluarga, sesama buruh dan masyarakat.
Berdasarkan pergulatan pengalaman yang telah diterima oleh para buruh dalam buku ini, memunculkan kesadaran bahwa hanya melalui Serikat Buruh perjuangan menentang ketidak-adilan yang dilakukan oleh perusahaan dan pemerintah menjadi mungkin. Dengan berserikat, mereka belajar tentang politik perburuhan, peraturan perburuhan, belajar mengambil keputusan bersama, dan solidaritas kebersamaan. Hal tersebut membuat mereka mengikuti program pendidikan dan pembelajaran yang dilakukan oleh serikat. Dalam serikat buruh ini jugalah mereka berjuang bersama untuk dipekerjakan sebagai buruh tetap setelah sebelumnya hanya sebagai buruh kontrak dan menentang kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh perusahaan, seperti keputusan PHK yang harus diterimanya atau diterima kawan mereka.
Para buruh ini menjadi akrab dengan diskusi, pendidikan, perundingan, aksi, mogok, pengadilan, berhadapan dengan polisi dan preman serta yang lainnya. Strategi “grebek pabrik” (seperti yang dilakukan di bekasi) dan mogok menghentikan arus ekonomi (seperti mogok nasional 1 dan 2) digunakan karena hanya dengan cara itulah tuntutan mereka dapat benar-benar menjadi kenyataan. Radikalisasi gerakan tersebut karena pengalaman yang telah mereka terima bahwa perundingan dan tuntutan tanpa adanya tekanan hanya menghasilkan janji-janji manis dari perusahaan dan pemerintah. Mereka berjuang bersama atas kesamaan nasib sepenanggungan dibawah sistem kapitalisme yang bersifat kanibalitik ini.
Pentingnya serikat buruh sebagai penopang gerakan buruh ini ternyata keadaan tersebut tidak lantas membuat para buruh berbondong-bondong berserikat. Menurut data dari Kemenakertrans di tahun 2013 hanya sekitar 3,5 juta buruh yang berserikat dari sekitar 15 juta buruh yang ada. Data tersebut menunjukan masih terjerembabnya buruh pada kesadaran palsu mereka. Tanpa mengikuti serikat buruh, maka perjuangan untuk menuntut hak dan menentang ketidakadilan yang mereka terima pasti akan sulit terjadi. Tidak adanya kesadaran dan sikap represi yang dilakukan oleh perusahaan menjadi faktor utama yang menyebabkan para buruh ini tidak berserikat.
Oleh karena itu menjadi sangat penting bagi para aktivis dan mahasiswa terjun ke kantong-kantong perburuhan untuk memberikan penjelasan tentang keadaan yang mereka hadapi dan memperluas keanggotaan serikat-serikat buruh. Itu karena kenyataan bahwa jutaan buruh menunggu di pabrik-pabrik mereka untuk diselamatkan. Pengorganisasian harus dilakukan untuk mengeluarkan buruh dari cengkeraman “masa mengambang” ciptaan rezim Orba. Para buruh harus terjun dalam dunia politik untuk menentang eksploitasi yang mereka alami, baik berupa upah murah, kerja kontrak, tidak adanya jaminan sosial, dan represi dari perusahaan. Mereka juga harus memperluas gerakan untuk dapat mandiri dan juga mengganti sistem kapitalisme yang selama ini menghisap mereka serta menciptakan tatanan dunia yang berkeadilan.
1Berturut-turut adalah undang-undang no:21/2000 tentang Seri-kat Pekerja/Serikat Buruh, undang-undang no:3/2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Undang-undang Undang-undang nomor 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.