(Sebuah Prolegomena)
“This is a theology which does not stop with reflecting on the world, but rather tries to be part of the process through which the world is transformed. It is theology which is open in the protest against trampled human dignity, in the struggle against the plunder of the vast majority of humankind, in liberating love, and in the building of a new, just, and comradely society—to the gift of the Kingdom of God”.—Gustavo Gutieres
When I give food to the poor they call me a saint. When I ask why the poor have no food they call me a communist.—Dom Helder Camara
Mukadimah
Di hadapan kemiskinan dan merebaknya teror kemanusiaan dalam wajah penindasan, sebagai individu beragama dan sehat dengan keberagamaannya tentu akan tergerak nurani dan rasio akal budinya untuk ikut terlibat dalam sebuah refleksi dan pilihan perjuangan membebaskan mereka yang teraniaya secara sosio-eko-pol tersebut. Dalam konteks Indonesia saat ini, kemiskinan, keterbelakangan, minimnya akses pengetahuan karena mahalnya biaya pendidikan, dan korupsi, telah menjadi halaman depan kebudayaan kita yang tak berkesudahan. Banyak pihak saling tuding, saling menyalahkan, dan saling gebuk satu sama lain sebagai biang dari kegagalan masa transisi demokrasi yang jamak disebut dengan era reformasi (oleh Cak Nun diplesetkan menjadi era Refotnasi). Namun pertanyaan mendasar kita sesungguhnya adalah dimana posisi iman dan rasa keberagamaan kita ditengah huru-hara sosial politik tersebut? Di wajah-wajah yang diseka air mata, luka yang terlanjur menganga, ratapan derita anak bangsa, dan perempuan-perempuan yang disetrika dan diperkosa di luar negeri, dimanakah agama?Apakah agama (Islam) adalah sebuah entitas yang terlahir sebagai pengalaman iman yang suci-soliter dengan Tuhan ataukah agama tersebut bagian dari dialektika-resiprokal antar bebagai pengalaman dan kepentingan dunia? Apakah teologi yang membebaskan itu ada dalam Islam?
Pertanyaan-pertanyaan di muka lah yang akan menuntun tulisan ini selanjutnya. Sesungguhnya kalau mau jujur, maka keberagamaan kita sejauh ini masih terperangkap dalam hedonisme[i] yang seringkali secara keliru diterjemahkan sebagai “ladzat al iman”atau nikmatnya iman. Manusia beragama di negeri ini masih diterangi oleh parafrase yang sering diulang-ulang/direpetisi di televisi atau dalam realitas kehidupansehari-hari: “berimanlah pada Tuhan maka Anda akan mendapatkan pelayanan dari Tuhan,” atau “berimanlah pada Tuhan maka semua urusan hidup Anda akan diselesaikan oleh Tuhan” atau “berimanlah pada Tuhan maka Anda akan mendapatkan nikmatnya iman.” Parafrase-parafrase tersebut diatas belum tentu keliru namun secara implisit justru dalam kalimat-kalimat yang terdengar kudus, luhur,dan sejuk tersebut menunjukkan gejala, dalam diri subjek beriman melekat(embeded) pada dirinya egoisme paling subtil yang pernah ada, yaitu jalan penyelamatan diri via iman ditengah merebaknya huru-hara dan linangan air mata.
Apa yang dibutuhkan dalam beragama saat ini tak lain adalah kembalinya iman yang sehat yaitu iman yang justru bermakna dalam posisi tegangannya antara kesetian pada cinta yang Ilahi, yang tak ternamai, dan keterlibatannya secara riil dalam derita dan air mata yang lain. Bukan sebentuk tubuh iman yang dingin dan soliter dengan menggenggam sebotol anggur kemabukan, sembari mengidamkan sakau dan hilang kesadaran subjeknya demi Allah yang dianggap menuntut cinta yang egois, cinta seorang pencemburu yang memblokade semua pandangan kecuali padanya, pada Allah yang menuntut segalanya. Iman semacam ini telah mewabah dalam kesadaran kita semacam air yang tiap beberapa menit kita minum dan merembes pada semua urat nadi akal pikiran.
Tentu tidak bisa dipungkiri bahwa tiap-tiap orang beragama yang masih setia pada agamanya tak akan mampu berdiri tanpa menjadikan iman sebagai aksioma yang menopang keberagamaannya. Dalam arti bahwa dalam sebuah keyakinan keberagamaan, iman adalah conditio sine qua non yang memungkinkan sebuah keyakinan beragama. Bagaimana mungkin ada sebuah ikatan cinta tanpa sebuah keyakinan sebelumnya, tanpa sebuah janji setia, sebuah kesetiaan (fidelity) yang menjadikan cinta, laku beragama, menjadi bermakna.
Seolah-olah dengan iman yang pribadi dan terisolasi yang diandaikan sebagai sebuah keintiman bersama Tuhan maka subjek akan menemukan pembebasan rohani. Namun yang menjadi ambigu, tanpa disadari apa dikatakan sebagai pembebasan tersebut tak lain adalah pelarian/alienasi yang menjauhkan subjek yang beriman berjarak dari realitas hidup yang tengah dihadapi. Semua orang beriman bak domba, digiring untuk melupakan segala prahara hidup, melupakan derita, melupakan linangan air mata akibat represi fisik atau pun jiwa. Dengan kata lain, iman semacam ini dihayati sebagai prosedur tunggal untuk berhubungan paling intim dengan Tuhan, yang tak lain adalah melupakan segala hasrat akan dunia dan mensubstitusinya dengan harapan-harapan akan surga.
Banyak dai dan penceramah yang tengah laris manis di tengah-tengah umat saat ini adalah semacam agen perjalanan wisata yang menawarkan agama sebagai citra firdaus di bumi dan tiket untuk mencapai firdaus tersebut dengan cara menghapus memori massa rakyat akan derita, tanggung jawab, perjuangan, cinta kasih dan semua tanggung jawabnya sebagai subjek sejarah di muka bumi menggantikan Allah (khalifah Allah fi al Ardl) yang harus menanggung takdir sejarahnyamenebar rahmat Tuhan bagi segenap alam. Diam-diam dalam cara yang disebutnya beragama tersebut mengeram sikap para pemuja berhala yang paling nyata. Pada titik ini manusia beragama mengalami apa yang disebut dengan “kelupaan akan tanggung jawab sejarahnya.” Tak bisa dipungkiri, sejauh ini manusia beragama telah mengalami kesilap-pandangan mengenai agama dan Tuhannya yang dianggapnya sebagai pecinta yang pencemburu dan naif semacam anak ABG yang minta ditunggui siang dan malam. Karena itu sudah semestinya cinta pada Tuhan dimaknai sebagai cinta pada kehidupan, pengabdian pada Tuhan semestinya dipahami sebagai pengabdian pada kehidupan.
Sampai disini, pertanyaan yang telah mengemuka tersebut diatas menemukan relevansinya bahwa hingga saat ini agama alih-alih hendak membebaskan malah justru terlibat dalam persekongkolan jahat penindasan. Karena itulah Marx meneriakkan perlawanannya yang paling masyhur: religion is opium! Agama semacam itulah yang mesti didekonstruksi, kita substitusi dengan agama yang lembut sekaligus garang pada tiap bentuk penindasan.Pandangan Marx ini didasarkan pada realitas pada zamannya, dimana agama tidak berbuat apa-apa persis ketika umatnya, hamba-hamba Allah tersebut mengalami kemiskinan, penderitaan, dan penindasan oleh eksploitasi para feodal-kapitalis yang mendapat dukungan dari para birokrat agama.
Apakah Islam juga mengalami hal yang sama sebagaimana agama yang disaksikan Marx? Untuk sebagian, jawabannya adalah “ya”, atau menurut Hassan Hanafi, Islam yang telah terkooptasi menjadi hanya sekedar kumpulan rirus-ritus, perayaan-perayaan, dan kepercayaan ukhrawi saja.[ii]
Setelah menjadi kekuatan besar dan mapan, Kekhilafahan Islam juga menjelma menjadi eksploitatif dan feodal.Sedangkan perumusan Hukum Islam dan teologi yang dilakukan dalam kondisi seperti itu, sebagian besar melahirkan produk hukum dan teologi yang tumpul dan kehilangan elan pembebasan.[iii]
Genesis Teologi Pembebasan
Secara etimologis, teologi berasal dari theos yang berarti Tuhan dan logos yang berarti ilmu. Teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia dan alam semesta. Sedangkan kata pembebasan merupakan istilah yang muncul sebagai reaksi atas istilah pembangunan (development) yang kemudian menjadi ideologi pengembangan ekonomi yang cenderung liberal-kapitalistik dan umum digunakan di negara dunia ketiga sejak tahun 60-an.[iv]
Ada banyak macam penamaan yang secara subtansial amat dekat dengan gagasan teologi pembebasan ini, diantaranya: dalam katolik Indonesia ada teologi pemerdekaan Romo Mangun Wijaya.Dalam gerakan pemikiran Arab Kontemporer ada teologi kiri, yaitu Kiri Islam/ al yasar al islami Hassan Hanafi. Dalam gerakan pemikiran dan perlawanan Syiah ada teologi kaum mustadh’afin Ali Syari’ati. Di Pakistan ada teologi kaum tertindas Ziaul Haque (bukan Zia-ul-Haq yang mantan Presiden) yang menulis buku yang cukup provokatif, “Revelation and Revolution in Islam”, dan harus pula disebut nama Asghar Ali Engineer di India serta Farid Esack di Afrika Selatan dengan Tafsir Pembebasannya. Masing-masing penamaan ini hendak mengartikulasikan suatu cara beragama yang otentik, yang lahir dari situasi, sejarah dan keprihatinan atas penderitaan kaum miskin dan tertindas. Bukan keberagamaan yang menarik dirinya dari situasi dan penderitaan yang melingkupinya.
Mungkin Marx dan Engels tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa agama yang dulu pada masa mereka yang dianggap sebagai candu yang melenakan manusia, opium yang membuat manusia tertindas lupa akan kesadaran kelasnya; yang lacur yang selalu mengatasnamakan Tuhan dalam tiap-tiap kedurjanaanya, yang dipakai sebagai alat penghisap kaum lemah. Pada masa yang tak pernah dibayangkan sebelumnya di belahan bumi bernama Amerika Selatan, agama berselingkuh dengan Marxisme. Cara baca Diamat dan Histomat yang ditahbiskan Marx sebagai, –tidak hanya cara memikirkan dunia tapi juga senjata utama untuk mengubah dunia tersebut– menemukan dirinya berdoa di depan altar mengikat janji dengan para gembala iman yang mengabdi pada Yang Kudus. Pada saat itulah teologi yang membebaskan dicanangkan.
Pada mulanya istilah “teologi pembebasan” atau liberation theology diperkenalkan oleh para teolog Katolik di Amerika Latin pada pertengahan abad lalu. Para teolog ini hendak membangun diferensiasi antara metode teologi pembebasan dengan teologi tradisional. Teologi tradisional adalah teologi yang hanya menyibukkan dirinya untuk membahas tentang Tuhan semata-mata, sementara teologi pembebasan adalah cara berteologi yang berasal dari refleksi iman di tengah realitas konkrit yang menyejarah. Yakni teologi yang memprihatini nasib dan solider kepada mereka yang menderita ketidakadilan, kalah, miskin, ditindas dan menjadi korban sejarah; teologi yang mau mentransformasikan dunia. Atau dalam ungkapan Gustavo Gutierrez:
“This is a theology which does not stop with reflecting on the world, but rather tries to be part of the process through which the world is transformed. It is theology which is open in the protest against trampled human dignity, in the struggle against the plunder of the vast majority of humankind, in liberating love, and in the building of a new, just, and comradely society—to the gift of the Kingdom of God”.
“Teologi pembebasan ini adalah sebuah teologi yang tidak hanya merefleksikan dunia, melainkan juga mencoba melakukan proses transformasi terhadapnya. Ia [teologi pembebasan] adalah teologi yang berupaya untuk melawan pelecehan terhadap martabat manusia, melawan perampasan oleh mayoritas, berupaya untuk membebaskan cinta dan membangun suatu masyarakat baru yang adil dan penuh persaudaraan – untuk meraih rahmat dari Kerajaan Tuhan”. (Alfred T. Hennelly, SJ, 1995: 16)
Kenapa teologi dengan corak yang tegas dan berani ini muncul di Amerika Latin? Teologi Pembebasan muncul di kawasan Amerika Latin sebagai respon atas kondisi sosial, ekonomi dan politik saat itu. Sejak tahun 1950-an negara-negara kawasan Amerika Latin ini melakukan proses industrialisasi di bawah arahan modal multinasional. Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Urbanisasi meningkat tajam. Kaum proletar, kelas buruh, tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membumbung. Ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator militer. Pada saat yang sama, otoritas gereja Katolik mulai terbuka terhadap perubahan dan pandangan-pandangan dari luar[v]
Teologi Pembebasan merupakan gerakan yang telah dilakukan oleh para Romo, Uskup, dan bagian-bagian lain gereja sejak awal tahun 60-an. Mereka ini memimpin “Gereja untuk Orang Miskin”. Akan tetapi, adalah Gustavo Gutierrez [vi] yang kemudian dianggap sebagai pastor yang menggelorakan teologi yang kemudian terkenal sebagai teolog pembebasan. Pada tahun 1971, Gutierrez menerbitkan karya monumentalnya Teologia de la Liberacion/A Theology of Liberation (terjemahan dalam bahasa Inggris tahun 1973). Sebuah buku yang menguraikan secara sistematis dan komprehensif refleksi teologisnya dalam gelora konfrontasi dengan dunia kaum miskin di Amerika Latin yang ia hidupi ketika itu.
Tokoh setelah Gustavo: Juan Louise Segundo (Uruguay), Hugo Asmann (Brazil) dan John Sabrino (El-Salvador), adalah pastor yang relatif punya otoritas dan profesional secara akademis. Karena itu Teologi Pembebasan menjadi mainstream dan paradigma yang khas Amerika Latin[vii].
Pemahaman Teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan rasional, yang berkutat dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional [viii], menurut para uskup Amerika Latin menimbulkan kemandekan berpikir, bertindak, dan menjauhkan gereja dari masalah-masalah kongkret. Teologi Barat, dianggap hanya sibuk mengkhotbahkan ajaran Yesus sejauh menyangkut hidup pribadi, mengimbau orang agar tetap bertahan dan sabar menghadapi penderitaan, menghibur kaum miskin dan tertindas dengan iming-iming surga setelah kematian.
Menurut mereka, gereja harus secara nyata melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Agama dan teologi, lanjut mereka, tak boleh melenakan umat beriman, melainkan harus memberikan dorongan kepada rakyat untuk melakukan perubahan. Rakyat harus disadarkan bahwa penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan bukan nasib turunan, bukan state of nature, bukan takdir Tuhan, melainkan buah dari struktur sosial-ekonomi-politik yang timpang.
Dalam konteks Teologi Pembebasan, Yesus adalah figur mesiah. Yesus lahir untuk mewartakan kabar gembira kepada orang miskin, dan mewartakan pembebasan bagi mereka yang terbelenggu, yang telah dengan berani menghadapi serangan para penguasa Romawi yang menindas orang Yahudi.
Pengikut Teologi Pembebasan memang tak menyangkal bahwa mereka menggunakan analisis marxian. Peranan marxisme hanyalah alat analisis yang dapat merekam dan mendeskripsikan ketidakadilan dan praktek kekerasan. Sementara pada sisi lain mereka menolak filsafat materialisme, ideologi ateis dan pengertian agama sebagai candu masyarakat.[ix]
Inti sesungguhnya dari teologi pembebasan tak lain adalah sebuah refleksi teologis yang lahir dari pengalamannya bergumul bersama orang-orang kecil yang tertindas yang kemudian mendorongnya untuk melakukan kontekstualisasi dalam berteologi. Baginya, pendekatan teologi Barat yang selama ini dipelajari oleh para pastor di Amerika Latin (khususnya Gutierrez) tidak dapat diaplikasikan dalam situasi masyarakat di Amerika Latin. Jadi, perlu adanya sebuah pendekatan khas untuk berteologi dalam situasi yang sangat memprihatinkan di Amerika Latin waktu itu. Namun, teologi pembebasan tidak selalu mendapat dukungan dari pihak Gereja sendiri. Di Amerika Latin sempat terjadi perpecahan antara kelompok yang menyatakan bahwa “Gereja harus netral terhadap pilihan politik” dengan para teolog pembebasan. Perlawanan yang muncul terhadap teologi pembebasan tidak lain menunjukkan betapa Gereja waktu itu berada dalam ketakutan terhadap suatu kekuatan politik yang menindas. Pendapat Gutierrez benar, begitupun dengan Marx dan Engels, bahwa Gereja dari dulu sampai sekarang banyak berhubungan dan bersahabat dengan mereka yang mengendalikan ekonomi dan politik. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Gereja berada di pihak golongan penindas. Memang, sekarang kondisinya sudah agak berubah, yakni ketika muncul kelompok pembaharuan dalam Gereja, khususnya para penegak teologi pembebasan. Lantas, bagaimana metode teologi pembebasan yang dianggap sebagai sebuah pendekatan baru dalam berteologi?
Teologi pembebasan adalah sebuah jalan baru dalam teologi. Jalan baru itu pertama-tama bukan terletak pada obyek kajian dan isi melainkan pada metodologinya, pada cara berteologi. Cara berteologinya adalah transformatif, bertolak dari praksis atau iman yang dialami dalam sejarah tertentu. Cara demikian berbeda dengan metode berteologi di Barat (Eropa dan Amerika Utara). Metode teologi barat, atau teologi tradisional, atau teologi dominan, bertolak dari teori, dari iman yang diajarkan dan dipikirkan. Oleh karena itu, seringkali kritik atas teologi pembebasan datang dari tradisi teologi barat. Menurut Hans Urs von Balthasar, teologi pembebasan bukan asli berasal dari Amerika Latin, melainkan masih menjadi bagian dari teologi Kerajaan Allah.
Antara teologi barat dan teologi pembebasan terdapat perbedaan-perbedaan mendasar terutama dalam hal metodologi, pelaku kegiatan berteologi, analisis, kemasyarakatannya, dan locus-theologicus-nya. Pelaku teologi pembebasan adalah rakyat yang tertindas sendiri. Para teolog (salah satunya Gutierrez) berperan mensintesakan kutipan-kutipan yang diedarkan oleh rakyat jelata di banyak umat basis, juga dari kelompok-kelompok studi Kitab Suci dan diskusi-diskusi sosial politik, bahkan dari omongan dan tindakan di perkampungan-perkampungan yang miskin dan kotor. Metodologi teologi pembebasan bertolak dari reaksi terhadap sistem masyarakat yang tidak adil. Teologi pembebasan menangani orang yang dianggap bukan orang lagi (non person). Locus theologicus teologi pembebasan adalah orang yang menghayati religiositasnya dalam tantangan konflik kelas di Dunia Ketiga. Dari segi isi dan obyeknya, tidak ada perbedaan dengan teologi Barat. Keduanya berbicara mengenai citra Allah, kedosaan manusia, Kerajaan Allah, kristologi, eklesiologi, eskatologi, dan sebagainya. Perbedaan keduanya terletak dari pendekatan yang dipakai, sebagaimana telah ditulis sebelumnya.
Pendekatan teologi pembebasan yang dipakai tentu merupakan sebuah perubahan yang radikal dalam berteologi. Dalam teologi pembebasan terjadi perubahan yang sangat mendasar mengenai metodologi, yakni berteologi dengan titik pangkal tantangan zaman. Dalam menginterpretasi Injil dan Magisterium, teologi pembebasan dipengaruhi oleh komitmen untuk pembebasan.
Bagi Gutierrez ada tiga cara berteologi. Pertama, teologi sebagai sumber hidup rohani. Kedua, teologi sebagai pengetahuan rasional. Ketiga, teologi sebagai refleksi kritis dalam terang Sabda Allah atas praksis hidup orang Kristen. Gutierrez menekankan fungsi yang ketiga, meskipun fungsi ini tidak dapat dipisahkan dari kedua fungsi lainnya. Maka, teologi pembebasan Gutierrez adalah refleksi kritis dalam terang Sabda Allah atas praktis hidup orang Kristen, yang ikut melibatkan diri dalam usaha pembebasan. Motivasi dasarnya adalah keyakinan bahwa masyarakat yang tidak adil sama sekali tidak sesuai dengan tuntutan injil. Mereka merasa tidak pantas disebut orang Kristen jika tidak ikut berjuang melakukan pembebasan, meskipun kesadaran ini masih dalam taraf intuisi serta meraba-raba. Tugas teologi adalah menunjukkan dengan jelas hubungan antara iman dan perjuangan pembebasan. Namun, bukan berarti bahwa refleksi teologi dimaksudkan sebagai justifikasi praksis yang sudah ada. Sebaliknya, refleksi teologi, menurut Gutierrez, harus menunjukkan nilai positif dan nilai negatif yang ada dalam praksis pembebasan. Bahkan, dari refleksi teologi diharapkan ada koreksi-koreksi atas kesalahan-kesalahan yang mungkin ada, misalnya ada aspek hidup Kristen yang dilupakan karena orang terlalu tergesa-gesa mengambil tindakan politik. Inilah yang dimaksud dengan teologi sebagai refleksi kritis.
Teologi pembebasan Gutierrez dapat dikatakan bukan hanya bersifat ortodoksi (memantapkan ajaran) dan bukan pula hanya ortopraksis (menuntut dijalankan dalam tindakan mendunia dan menuju Allah), tetapi bersifat heteropraksis yakniortodoksi sejauh bersumber pada ortopraksis (rumusan ajaran sejauh berpangkal dari pengalaman konkret dan kembali secara baru kepada tindakan yang dituntut oleh rumusan ajaran tersebut).
Adakah Teologi Pembebasan Dalam Islam?
Istilah teologi pembebasan tentu saja istilah baru dalam Islam. Dalam arti tidak dari zaman nabi atau zaman para sahabat. Namun dengan demikian bukan berarti Islam sejak semula tidak membebaskan. Bahkan bisa dikatakan bahwa semangat/intensi dari lahirnya Islam adalah pembebasan. Kita tahu, pada zaman nabi sistem politik ekonomi oligarki, yaitu hanya dikuasai oleh sedikit para pembesar kafir Quraisy dan pelecehan atas kemanusiaan mewabah dimana-mana dengan adanya ashabiyah. Akan tetapi, sepeninggal Nabi Muhammad, Islam kehilangan elan vitalnya. Salah satunya terlihat dalam konsep teologinya. Teologi Islam yang pada awalnya dekat dengan keadilan sosial dan ekonomi, mulai beralih ke masalah-masalah eskatologi dan masalah yang bersifat duniawi. Teologi Islam kemudian berkembang dengan metode skolastik dan spekulatif. Ini dimulai pada zaman Muawiyah. Teologi Islam mulai bergulat dengan masalah kehendak bebas vis-à-vis ketundukan pada takdir. Pandangan kehendak bebas ini kemudian dikenal sebagai pandangan kaum Qadariyah. Sedangkan pandangan ketundukan pada takdir adalah pandangan kaum jabbariyah. Dalam pandangan Asghar, pandangan jabbariyah ini sengaja diintrodusir oleh penguasa karena lebih cenderung mendukung status quo. Menurutnya, kaum Sunni banyak menganut faham jabbariyah ini. Sedangkan kaum Khawarij, Syi’ah dan Mu’tazilah yang oposan terhadap Dinasti Umayyah memilih faham Qadariyah.
Teologi Islam kemudian menjadi sebatas Ilmu Kalam yang skolastik dan spekulatif. Tema kehendak bebas dan ketundukan pada takdir, menjadi dominan terkait dengan upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul akibat persoalan politik. Kekacauan politik yang melanda umat Islam menimbulkan pertanyaan tentang dosa besar, mukmin dan kafir.Inilah yang ingin diselesaikan secara intelektual oleh Teologi Islam saat itu. Bahkan hingga saat ini teologi tradisional yang hanya sibuk dengan spekulasi tentang Tuhan dan cara memahami keadaan sosial,eko-pol yang terjadi di tengah-tengah kehidupan manusia modern yang terasing dari faktisitasnya, kita lihat sebagai takdir sejarah manusia yang telah digariskan Tuhan dan tak bisa ditolak. Kita bisa lihat, banyak masyarakat bahkan dai-dai yang menganggap bahwa kemalangan hidup yang menimpa rakyat Indonesia saat ini adalah kehendak Tuhan dan kita mesti menerimanya sebagai sebuah state of nature yang tak perlu diributkan.
Kita tahu Islam yang dekat dengan penguasa ini kemudian kehilangan aspek pembebasan. Para Khalifah Umayyah lebih sering bersama para penguasa yang tiran, sekaligus menindas siapa yang menentang. Jumlah budak berlipat ganda. Harem menjadi budaya istana Khalifah. Sedangkan orang non-Arab diperlakukan secara diskriminatif.
Dari konteks inilah, maka Teologi Islam, semakin jauh dari perhatian kepada masyarakat lemah. Teologi Islam hanya berbicara tentang keesaan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, ketidakmungkinan adanya Tuhan selain Allah, tentang polemik kehendak bebas dan takdir, dan masalah-masalah eskatologis.Teologi Islam tidak lagi berbicara tentang bagaimana membantu fakir miskin, memelihara anak yatim, bersikap kritis terhadap kekuasaan, membebaskan budak dan orang tertindas, mempromosikan kesetaraan jender, dan tema-tema pembebasan lainnya. Selain itu, keberpihakannya juga cenderung kepada penguasa. Maka, dalam kondisi demikian, kita akan bisa memahami kritik Marx bahwa agama adalah candu masyarakat.
Bagaimana Dengan Cara Berteologi Kita…
Pertanyaan tersebut diatas hanyalah kita sendiri yang mampu menjawabnya. Bagaimana agama selama ini kita hayati. Apakah agama hanya bisa dimaknai sebagai agama sejauh ia memikirkan Tuhannya ataukah dalam tegangan antara ketergantungan akan Tuhan dan keberjangkarannya pada kehidupan? Bagi saya sendiri, kita masih belum beranjak jauh dari cara berteologi yang lama. Yang hanya mengharu biru dengan Tuhan dan surga. What is to be Done?— meminjam gugatan Lenin—Tugas kita saat ini tak lain adalah menggelar teologi yang membumi, yang berjangkar pada kehidupan riil yang tengah kita hadapi sebagai masyarakat dunia ketiga. Kita bisa melihat pada struktur ekonomi yang timpang antara Negara Utara dan Negara Selatan, aturan-aturan perdagangan seperti WTO, atau aturan bantuan oleh World Bank dan IMF yang menciptakan ketergatungan negara miskin dan menguntungkan Negara kaya. Dominasi Multinational Corporation (MNC) dan Transnational Corporation (TNC) yang banyak mengeksploitasi buruh dan sumberdaya alam di negara dunia ketiga. Kondisi eksploitatif, kalau kita mau jujur menilai, tanpa pura-pura, ini sampai sekarang belum ada tanda-tanda akan mereda, bahkan seiring dengan menguatnya madzhab ekonomi neo-liberal, negara-negara kuat semakin kuat untuk mengekspresikan naluri-naluri eksploitatifnya dengan menekan negara-negara lemah agar membuat kebijakan yang menguntungkan mereka.
Kondisi riil yang tengah kita hadapi sebagai sebuah bangsalah yang menguji karakter keras kepala dan kebengalan cara berteologi kita. Apakah membebaskan atau malah sebaliknya menenggelamkan manusia-manusia beragama pada ritus-ritus pemujaan surga yang melupakan dunia.
Wallahua’alam***
[i]Di dalam terminologi filsafat, mengasosiasikan kebahagiaan dengan kenikmatan disebut dengan hedonisme. Hedonisme adalah filsafat etika yang bertitik tolak dari pemikiran filsuf Epikuros.Maka kaum hedonis atau orang yang mengikuti pendapat Epikuros disebut juga dengan Epikurean. Bagi kaum hedonis manusia akan bahagia semakin ia berhasil menghindar dari pengalaman-pengalaman yang menyakitkan dan mencapai pengalaman-pengalaman yang menyenangkan.
Hedonisme awal sebagaimana ajaran-ajaran Epikuros tidaklah sama dengan hedonisme sebagaimana disalahpahami saat ini sebagai sebuah sikap memperturutkan kesenangan, akan tetapi hedonisme yang canggih. Kesenangan yang mantap tidak tercapai dengan mencari pengalaman nikmat sebanyak mungkin, melainkan dengan menjaga kesehatan dan berusaha hidup sedemikian rupa hingga jiwa bebas dari keresahan. Maka manusia yang mau bahagia justru harus membatasi diri. Ia harus dapat senang dengan yang sederhana.
Maka menurut Epikuros kita perlu berusaha ke dua arah. Di satu pihak, kita harus belajar untuk hidup dengan sederhana, untuk puas dengan seadanya. Dan di lain pihak ia harus memakai pemikirannya untuk membebaskan diri dari ketakutan-ketakutan yang tidak perlu (misalnya takut terhadap kematian atau terhadap dewa-dewi).
Kalau kita bertitik tolak dari hedonisme Epikurean maka akan kita temukan sebuah kritik yang sangat mendasar pada hedonisme saat ini (atau jangan-jangan penyebutan sikap mengumbar hasrat sebagai hedonisme, akibat dari ketidaktahuan kita akan hedonism?). Dan kalau kita mau menilai secara jujur, sikap menyamakan kebahagiaan sebagai kenikmatan dan menjadikan kenikmatan sebagai tujuan hidup, hampir-hampir tak ada orang yang bisa mengelak bahwa diam-diam ia juga seperti itu. Sebagai kritik, sekarang banyak orang yang beribadah sesungguhnya untuk mencapai kenikmatan dirinya. Sering kita dengar ungkapan: “Nikmat sekali ketika haji dan bisa melihat ka’bah yang sebelumnya hanya bisa dilihat lewat gambar. Nikmat sekali bisa berkali-kali bisa beribadah umroh” disitu kita bisa lihat kalau orang tersebut tidak bisa dengan benar menata hati. Akhirnya ibadah-ibadah tersebut terjatuh hanya sebatas kenikmatan yang tak jauh beda dengan rekreasi. Rekreasi melihat hewan-hewan liar, atau rekreasi ke pantai dan bermain-main dengan ombaknya.Lebih lanjut Lih. Roy Murtadho, Hidup Bahagia Bersama Aristoteles, Reflkesi. Majalah Tebuireng edisi 26.
[ii]Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Posmodernisme, Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, terj. Imam Aziz dan Jadul Maula, (Yogjakarta: LKIS, cet. VII 2007), hlm.116.
[iii]Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, terj. Hairus Salim dan Imam Baehaqy, (Yogjakarta: LKiS, cet. VII, 2007), hlm. 16.
[iv]Francis Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya, (Yogjakarta: LKiS, cet. II, 2008), hlm. 8-9.
[v]Ibid., hlm. 40
[vi]Gustavo Gutierrez Merino adalah pastor yang dikemudian hari menjadi penanda baru sejarah teologi Katolik dengan terbitnya karyanya Liberation Theology. Ia Lahir pada tanggal 8 Juni 1928 di Monserat, sebuah kawasan miskin di Lima, Ibu kota Peru. Ia berasal dari keluarga sederhana yang berdarah Mestizo, keturunan campuran Hispanic (Spanyol) dan Indian. Gutierrez adalah satu-satunya anak laki-laki dari tiga bersaudara. Meskipun ada kesulitan-kesulitan ekonomi, ia tidak mengalami kekurangan cinta dari keluarganya.
Ketika berada di bangku sekolah menengah, Gutierrez diserang penyakit Osteomiletis.Penyakit ini menyebabkan kepincangan permanen pada kakinya.Penyakit ini pulalah yang menuntun dia memilih jurusan farmasi pada Universitas San Marcos, Lima. Tetapi, kemudian ia memutuskan untuk masuk seminari dan belajar filsafat-teologi di Seminari Santiago de Chile.
Pada tahun 1951-1955, ia melakukan tugas belajar pada Universitas Katolik Louvain, Belgia. Ia memperoleh gelar master dalam bidang filsafat dan psikologi dengan tesis Konflik Psikis dalam Freud. Di Louvain, ia bersahabat baik dngan Francois Houtart, yang kelak menjadi teolog sosial garda depan Gereja Katolik. Ia juga bersahabat baik dengan Camilo Torres, yang kelak menjadi Pastor gerilyawan di Amerika Latin. Pada tahun 1955-1959, ia melanjutkan kuliah teologi di Universitas Katolik Lyon, Prancis, dan memperoleh master Teologi dengan tesis Kebebasan Religius. Di Lyon, ia diperkenalkan dengan “la nouvelle theologie”, yakni upaya beberapa pemikir Katolik Prancis menghubungkan secara nyata iman dengan masalah-masalah abad ke-20, di antaranya Henri de Lubac, Jean Daniellou, Yves Congar. Mereka adalah teolog-teolog barat yang cukup berpengaruh dalam pemikiran Gutierrez selain Karl Rahner dan G. von Rad.
Gutierrez sempat belajar teologi di Universitas Katolik Gregoriana, Roma pada tahun 1959-1960. Di Roma pula, ia ditahbiskan imam pada tanggal 6 Januari 1959. Setelah itu pada tahun 1960, ia kembali ke Amerika Latin dan mengajar di Universitas Katolik Lima, Peru. Namun, tugas utama yang dilakukan Gutierrez adalah menjadi pastor yang hidup dan berkarya di antara kaum miskin di Rimac, Lima. Di sini, ia memperoleh landasan dan arah baru dalam pemikiran teologinya.
Dalam keterlibatannya di tengah-tengah kaum miskin, Gutierrez merasakan bahwa perjalanan studi di Eropa selama ini tidak memberikan dasar kokoh baginya untuk memahami dan menghayati situasi Amerika Latin. Ia menemukan ketidakcocokkan antara teologi Barat yang dipelajari dengan kenyataan konkret yang ada. Karena itu, ia mulai mempelajari dengan serius sejarah bangsanya sendiri. Ia membaca lagi Injil dan Teologi dalam konteks Amerika Latin, yakni situasi kaum miskin dan tertindas.
Hal ini memperkenalkan ia dengan pemikir-pemikir besar Amerika Latin. Salah satu tokoh yang berpengaruh besar terhadap Gutierrez adalah Bartolome de Las Casas (1474-1566). Las Casas adalah imam Dominikan yang menjadi pembela orang-orang Indian Amerika terhadap penjajahan Spanyol. Gutierrez melihat kesamaan besar antar apa yang ditemukan oleh de Las Casas pada abad ke-16 dan kenyataan Amerika Latin pada abad ke-20 ini: kenyataan orang-orang mati sebelum waktunya (people died before their time). Penjajahan Spanyol mengakibatkan begitu banyak orang Indian mati secara prematur dan tidak adil. Karena itu, evangelisasi gereja di Amerika Latin menurut de Las Casas bukan terutama menginisasi orang kafir masuk ke dalam kebudayaan Kristiani Barat, tetapi melakukan advokasi terhadap kaum miskin yang tertindas
Selain de Las Casas, pemikir Amerika Latin yang memberikan banyak inspirasi kepada Gutierrez adalah Jose Carlos Mariategui (1895-1930). Ia adalah seorang pemikir marxis dari Peru. Menurut Michael Candelaria, Mariategui memberikan tiga sumbangan penting bagi pemikiran Gutierrez. Tokoh lainnya adalah Jose Maria Arguedas (1911-1969). Ia adalah seorang antropolog, penyair dan Novelis. Arguedas sungguh menyadari situasi konflik sosial di Peru antara golongan kaya dan golongan miskin. Hal ini yang mempertalikan mereka secara pribadi, yakni dalam keprihatinan dasar yang sama untuk memahami dan bersuara bagi kaum miskin
Pada tahun 1971, Gutierrez menerbitkan karya monumentalnya A Theology of Liberation (terjemahan dalam bahasa Inggris tahun 1973). Sebuah buku yang menguraikan secara sistematis dan komprehensif refleksi teologis Gutierrez dalam konfrontasi dengan dunia kaum miskin di Amerika Latin yang ia hidupi selama ini. Dalam tahun-tahun berikutnya terbit beberapa buku lainnya dari Gutierrez yang bertolak dari keprihatinan dasar yang sama, yaitu bagaimana menyuarakan jeritan kaum miskin Amerika Latin dalam bahasa Teologis. Lebih lanjut Bdk. Michel Lowly, Teologi Pembebasan, Kritik Marxisme & Marxisme Kritis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
[vii]Ibid., hlm. 26
[viii]Francis Wahono, Teologi…, hlm. 37
[ix]Op.cit., Teologi pembebasan…, hlm. 156