Pandemi Covid-19 telah menyisakan beragam persoalan yang bersilangan satu sama lain: krisis ekonomi, tingkat kemiskinan dan PHK massal, disrupsi rantai pasokan global, krisis pangan, dan problem iklim. Bahkan, dalam situasi pandemi kemarin kita juga dihadapkan pada berbagai gelombang protes massa di banyak negara yang menuntut kebijakan dan pemerintahan yang lebih adil dan demokratis.
Protes-protes yang bermunculan di begitu banyak tempat dan disrupsi pada level global tersebut tidak lain merupakan wajah dari krisis reproduksi sosial. Itulah argumentasi penting untuk menggambarkan bagaimana rumah tangga dan keluarga memainkan peranan sentral dalam menanggung peran dan beban selama masa kuncitara (lockdown). Pertanyaannya kemudian, sejauh mana reproduksi sosial ini berkontribusi pada masalah yang kita hadapi sekarang ini, utamanya saat kapitalisme terdisrupsi dan terbukti gagal dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat tetapi tampak masih bertahan dan beradaptasi dengan krisis?
Rizki Amalia Affiat, Redaktur Islam Bergerak, mewawancarai Dr. Alessandra Mezzadri, akademisi yang kerap menggunakan lensa reproduksi sosial dalam mengungkap problem-problem kontemporer pembangunan global. Ia adalah dosen senior di Departmen Studi Pembangunan, SOAS, Universitas London yang menulis dan mengajar berbagai isu dan topik, mulai dari ketidakadilan, rantai pasok komoditas global, informalitas buruh, pengumpulan dan pengaturan tenaga kerja (labor regimes), perbudakan modern, feminisme dalam pembangunan, gender dan globalisasi, reproduksi sosial, dan juga ekonomi politik India. Ia telah menulis banyak artikel dan jurnal, dan ia baru saja mempublikasikan, sekaligus mengeditori buku berjudul ‘Marx in the Field’ yang diterbitkan oleh Anthem Press (2021).
Untuk rekaman wawancaranya bisa langsung dilihat di akun YouTube Islam Bergerak.
Rizki Amalia Affiat (RAF): Saya ingin memulainya dengan India sebagai fokus kajian Anda, karena saya percaya isu ini sangat relevan dalam konteks Indonesia. Anda melakukan penelitian terhadap rezim ‘sweatshops’ di India. Anda menyoroti bahwa ini merupakan sebuah rezim di mana tubuh perempuan dan buruh dieksploitasi dan ditindas sedemikian rupa melalui cara-cara yang kompleks dan tak terpisah antara kapitalisme lokal, nasional maupun global, dan bahkan lintas pabrik itu sendiri. Bisakah Anda gambarkan sedikit tentang bagaimana Anda sampai pada isu ini dan apa yang membuat Anda tertarik melakukan penelitian tentang perempuan di pabrik-pabrik di seluruh dunia.
Alessandra Mezzadri (AM): Ya, saya mengawali riset saya di Italia dalam konteks Eropa Mediterania. Ketertarikan saya berfokus pada isu-isu tentang daerah-daerah miskin dan ekonomi informal atau sebaliknya, di blok-blok negara maju dan saya akhirnya mengembangkan minat ini dengan melihat ekonomi dunia dan menyoroti, mengidentifikasi ekonomi mana yang menyajikan tingkat informalitas tertinggi, dalam hal ini adalah India. Jika melihat perkiraan terbaru ILO—tetapi ini telah terjadi selama bertahun-tahun setidaknya sejak saya memulai perjalanan saya meneliti ekonomi India – pada tingkat global, pekerjaan informal menunjukkan peningkatan yang signifikan. Secara umum berkisar di atas 60% dari total lapangan kerja dalam skala dunia. Bagian paling penting dari ini adalah karena Asia Selatan demikian menonjol dengan India sebagai negara yang berada pada posisi tertinggi tingkat pekerjaan informal. Hal ini menjadi sangat menarik untuk dieksplorasi, sehingga saya memutuskan berpindah dari salah satu negara yang memiliki ekonomi informal tercepat di Eropa yaitu Italia ke salah satu yang memiliki ekonomi informal tercepat di dunia yaitu India.
Saya memilih industri garmen karena sebenarnya ketika saya memulai penyelidikan saya, industri ini sangat mengglobal dalam istilah kontemporer, jadi ini adalah satu set yang merupakan bagian dari rantai komoditas global tetapi pada saat yang sama, ia merupakan industri dengan sejarah yang sangat kompleks dan lama dalam konteks kapitalisme global, yang menghubungkannya dengan penjajahan dan imperialisme. Jadi ini adalah industri yang memungkinkan untuk benar-benar mengungkap sejumlah masalah perburuhan di masa lalu dan masa kini. Atas dasar itulah, saya memusatkan perhatian pada industri garmen yang segera saya namakan kembali sebagai rezim sweatshop, karena ia menawarkan kondisi kerja mirip-sweatshop kepada para pekerja di dalamnya dan kondisi ini sebenarnya dapat terjadi di ruang produksi yang sangat luas. Ketika Menggunakan kata sweatshop, saya tidak benar-benar berbicara tentang ruang atau tempat tertentu, misalnya sebagai pengaturan berbasis rumahan yang berbeda spesifik dengan pabrik tetapi berbicara tentang rangkaian hubungan kerja khusus yang sangat rentan dan dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk, tempat dan wilayah sebagaimana terjadi di India di mana Anda memiliki pekerja garmen yang sangat terinformalkan di berbagai tempat kerja, bisa di pabrik-pabrik berskala besar, mungkin ada di bengkel-bengkel, di industri skala rumahan, atau rumah-rumah di mana individu bekerja untuk pasar ekspor. Itu alasan di balik proyek berusia 15 tahun yang mengarah pada kesimpulan dari buku pertama saya, The Sweatshop Regime.
RAF: Sangat menarik ketika Anda menyebutkan India memiliki angka tertinggi informalitas, pekerja informal, dan bahwa terjadi fenomena ‘pengiburumahtanggaan’ (housewifisation), Saya pikir itu adalah istilah untuk mengatakan bahwa bahkan ibu-ibu kita di rumah bekerja untuk kapitalisme global, rantai pasok global. Jadi bagaimana kemudian rezim eksploitasi ini mengungkapkan kehidupan modern kita?
AM: Ini adalah industri yang melambangkan banyak hal tentang modernitas yang kita alami hari ini dan bagaimana ia dibangun di dalam sejarah penindasan sosial yang telah bertahan melampaui ujian waktu. Anda melihat kehadiran konglomerat bisnis atau para pebisnis ritel raksasa dan bahkan Anda melihat produksi yang berlangsung di pabrik-pabrik besar, mungkin tidak sebesar di Cina, tetapi Anda masih menemukan eksportir dalam ukuran yang cukup besar. Pada saat bersamaan, Anda melihat jenis industri berskala bengkel yang lentur dan jenis produksi berbasis perkakas dan terdapat kompleksitas geografi gender yang sesuai dengan geografi yang mencirikan India sebagai sub-benua dengan rezim produksi maskulin di utara yang didominasi oleh buruh migran laki-laki. Berkebalikan dengan selatan, yang dicirikan dengan feminisasi pekerjaan sejalan dengan pengalaman negara-negara lain di Asia dan di tempat lainnya.
Perempuan cenderung mendominasi dalam pengaturan kerja berbasis-rumah dan hal ini menentukan kekhasan industri. Artinya ia [kapitalisme] menghadirkan kedua bentuk eksploitasi lama yang menolak melampaui ‘ujian waktu’, yang tidak memudar sama sekali dan kemudian memunculkan suatu jenis hubungan baru mirip-pabrik dan melambangkan modernitas karena secara efektif melambangkan semua bentuk yang berbeda dari eksploitasi yang dapat memanifestasikan dirinya. Untuk waktu yang lama visi euro-sentris kapitalisme global telah lebih menekankan peran tenaga kerja upahan sebagai indikator dari ada atau tidak adanya cara produksi kapitalis, tetapi hal tersebut merupakan representasi yang keliru tentang apa itu kapitalisme—yang selalu menjadi cara bagi produksi global dalam menopang dirinya sendiri dengan berbagai cara untuk menyesuaikan surplus tenaga kerja, sehingga orang selalu mengalami kapitalisme dalam suatu cara eksploitatif yang berbeda berdasarkan posisi mereka dalam ekonomi dunia. Studi tentang industri global seperti garmen di tempat seperti India, saya pikir membawa pandangan tersebut, karena tidak satu pun dari hubungan kerja yang saya pelajari dapat didefinisikan sebagai residu dari masa lalu, semuanya dalam bentuk yang sangat modern dan kontemporer di mana eksploitasi terjadi.
RAF: Berbicara tentang modernitas saat ini, orang-orang dipaksa masuk ke dalam ‘keharusan pasar’ atau ‘ketergantungan pasar’. Mereka ditempatkan dalam sistem kapitalisme global. Sekarang, kita memiliki berbagai organisasi yang fokus pada hak-hak pekerja. Anda terlibat secara aktif di berbagai organisasi seperti ILO, ActionAid, War on Want. Dalam amatan Anda, apa kekuatan yang mereka bawa dalam memberi tekanan yang lebih radikal dalam arena internasional?
AM: Saya telah mencoba terlibat sebagai seorang pengungsi migran, dan seseorang yang juga berasal dari tempat tinggal di tempat lain yang pekerjaannya sangat berfokus pada ‘dunia ketiga’. Saya telah mencoba untuk terlibat dengan berbagai jenis arena politik di berbagai tingkatan. Karena menurut saya jika Anda mempelajari fenomena seperti yang saya pelajari, transnasional dan lintas ekonomi, selalu baik untuk terlibat dengan berbagai kelompok politik yang berbeda.
Saya telah terlibat dengan beberapa organisasi, misalnya keterlibatan saya dengan ILO yang lebih banyak berlokasi di India sehingga berada dalam perdebatan di India dan kantor regional ILO, saya juga terlibat dengan organisasi lain seperti Labour Behind Label atau lainnya di London. Oleh karenanya, perdebatannya sedikit berbeda dan keterlibatan saya juga cukup berbeda. Misalnya di sini [Inggris] jika Anda terlibat dengan jejaring terkait konsumsi etis atau bentuk-bentuk global dari aktivisme buruh maka ada beberapa perdebatan atau isu yang bisa Anda tekan, misalnya lobi untuk para retailer, transparansi dalam operasi bisnis mereka atau lobi untuk para retailer agar mendukung upah hidup untuk para pemasok, atau bahkan lebih, dan saya harap kita akan segera mengarah kesana, menyediakan aturan internasional bergigi yang bertujuan untuk mengatur tanggung jawab korporasi karena (aturan yang ada) saat ini ompong.
Kita telah mengesahkan undang-undang perbudakan modern tapi undang-undang tersebut memiliki porsi yang sangat terbatas terkait pengawasan dan implementasi. Jadi itu adalah jenis perdebatan yang bisa Anda lakukan di sini dan tentu Anda bisa benar-benar terlibat dalam perdebatan seputar konsumerisme etis meski ini telah menjadi sedikit terlepas dari politik buruh yang menjadi titik permulaan mereka jika Anda melihat ke pengalaman awal di Inggris dan Amerika Serikat tahun 1960-an dan 1970-an, sehingga menjadi makin sulit untuk membuatnya relevan.
Ada juga perpecahan di kalangan kelas menengah, bahkan kelas pekerja, mengenai penggalangan dana dan advokasi dengan kondisi aktual di negara-negara yang menjadi sumber (produksi) barang-barang. Ini situasi yang rumit, saya kira politik ‘penerjemahan’ sampai titik tertentu bermanfaat. Namun, ada yang bisa kita lakukan di sana. Kita bisa melobi undang-undang yang lebih baik, transparansi, dan pengakuan. Dalam konteks ekonomi nasional, isunya berbeda.
Kerja saya secara umum telah meluas menjadi dua hal: di satu sisi menunjukkan aspek-aspek dari rezim perburuhan lokal di India, dan alasan kenapa ada keterbatasan undang-undang nasional tentang standar perburuhan dan norma-norma Corporate Social Responsibility (Tanggung Jawab Sosial Perusahaan). Kenapa norma-norma global dan nasional telah gagal di beberapa sektor untuk benar-benar melindungi hak-hak pekerja di India? Ini porsi perdebatan cukup besar yang saya geluti tentang India dan juga terkait jenis aktivitas pengorganisiran yang bisa dibayangkan dalam jenis tenaga kerja yang saya dan banyak orang lainnya telah geluti.
Saya pikir semua yang benar-benar bekerja pada isu rantai komoditas global harus punya pemahaman jelas bahwa ketika Anda berpikir tentang keterlibatan politik Anda sebagai seorang akademisi, peneliti, yang diharapkan punya kepedulian terhadap hak-hak buruh, Anda harus bisa menavigasi berbagai jenis kebijakan dan ruang-ruang politik karena isunya cukup rumit dan tanggung jawabnya berbeda di setiap tingkat analisis.
RAF: Anda menyebutkan bagaimana Anda bekerja di Selatan Global dan Utara Global. Saya tertarik ketika Anda menyebut ‘politik penerjemahan’ dan bahwa ada jenis perbedaan antara konsumerisme etis yang sebagian besar merupakan urusan kelas menengah dan kemudian politik perburuhan yang sepertinya terpisah di antara keduanya. Di beberapa negara di mana COVID-19 memaksa pemerintah untuk melindungi kepentingan nasional untuk meningkatkan ekonomi, narasi nasionalisme semacam gagasan melindungi rakyat dan mendongkrak ekonomi. Apakah Anda melihat dilema kelas dalam narasi etika Anda menyoroti perbedaan antara masalah kelas menengah dan politik perburuhan dalam hal masalah hak-hak buruh ini?
AM: Saya kira ketika Anda memperhatikan pengalaman platform global semacam ini, banyak di antaranya bermaksud baik.
Namun, jika Anda melihat revolusi, Anda bisa melihat bahwa ada keterputusan hubungan yang progresif antara gerakan buruh, politik perburuhan atau gerakan hak-hak sipil, dan jenis aktivisme kelas menengah yang hari ini mereka rangkul. Saya tidak mengatakan tidak ada ruang bagi aktivisme kelas menengah di negara-negara pembeli, tapi tentu ada makna yang sangat terbatas jika hal tersebut tidak mempertimbangkan realitas di setiap negara dan para pekerja yang mereka harapkan bisa mereka wakili dalam setiap pembicaraan.
Misalnya, tahun 1960-an ketika jenis aktivisme ini menjadi sentral mereka merangkul politik boikot yang sangat problematik. Sekarang Anda bisa memboikot apapun jika para pekerja sendiri di wilayah tertentu memintanya. Ini adalah basis internasionalisme. Hal ini dimungkinkan tapi yang harus digemakan adalah suara dari kaum pekerja. Saya tidak begitu yakin hal ini selalu mendapatkan tempat dalam konteks dan tuntutan yang diadopsi di sini, meskipun saya kira sekarang, berkat hubungan transnasional, terdapat peningkatan upaya untuk menggemakan suara-suara tersebut. Jika Anda melihat Labour Behind The Labels atau Clean Clothes dan lainnya, mereka bekerja secara sistematis untuk menggemakan dampak dari inisiatif-inisiatif di kawasan.
Saya lebih familiar dengan Asia Selatan misalnya kampanye Asia Wage Floor yang bertujuan untuk meletakkan upah hidup yang bisa diperbandingkan dengan para pekerja di kawasan. Inisiatif semacam ini bisa tetap bermakna tapi mereka harus terus bercermin pada posisi mereka dan di saat yang sama harus memberdayakan kelompok dan para aktor di bawah dengan menyediakan mereka suara ekstra ketika dibutuhkan. Namun, ini tidak berarti menjadi pengganti dari suara-suara ini karena utamanya adalah perjuangan para pekerja di negara-negara di mana produksi berlangsung, yang bisa memimpin ke arah perubahan bermakna. Kita lihat di Cina, Kamboja, India, di mana tidak ada tingkat protes terorganisir yang sama, tapi Anda melihat ragam bentuk daya lenting atau sabotase yang dilakukan oleh kaum pekerja.
Isu sesungguhnya adalah bagaimana Anda berpikir tentang peran Anda di dalam rantai pasokan yang sangat rumit, melalui jalan yang bisa menggemakan tuntutan dan kebutuhan mereka yang ada di bawah. Ketimbang berbicara untuk mewakili sesuatu [kelompok], kita bisa berbicara beriringan dengan mereka dan menyediakan mekanisme untuk membuat suara mereka terdengar.
RAF: Seperti yang sudah banyak ditekankan di banyak karya sarjana feminis, buruh perempuan – formal dan informal – di seluruh dunia direndahkan, dieksploitasi, dan tidak dibayar layak, dan sistem juga mencakup norma patriarki untuk mengontrol mereka agar patuh. Ada perdebatan antara teori sistem ganda (dual-system theory) dan teori kesatuan (unitary theory), karena teori sistem ganda menganggap bahwa ada analisis ekonomi politik Marxis tapi Anda juga harus memasukkan analisis feminis, sehingga keduanya adalah dua hal yang terpisah, tapi ada juga seperti Lise Vogel yang mengatakan bahwa teori kesatuan itu dimungkinkan karena Anda bisa benar-benar bergelut dengan teori reproduksi sosial dalam perspektif feminis di dalam literatur-literatur Marxis. Di mana posisi Anda di perdebatan ini?
AM: Saya pikir teori sistem ganda, sebagai hasil dari keterlibatan para kamerad feminis dari berbagai belahan dunia, saya lebih familiar dengan tradisi Perancis dari feminisme material. Itu adalah buah dari jaman mereka, dalam artian mereka bangkit sebagai respons terhadap tipe teoritisasi yang sangat patriarkal tentang kapitalisme dan perjuangan potensial yang selalu berpusat di subjek laki-laki sebagai protagonis dari sebuah kisah. Namun, saya sepenuhnya setuju dengan Lise Vogel dan yang lebih baru dengan Cinzia Arruzza. Saya pikir mereka mengajukan kritik yang sangat meyakinkan tentang tipe teoritisasi semacam ini, bahwa mereka [teori sistem ganda] sangat terbatas dalam menyajikan kapitalisme dan patriarki sebagai dua hal berbeda yang jika tentunya diartikulasikan oleh moda produksi. Hal tersebut tidak terlalu membantu karena mengisolasi perkembangan relasi kapitalis dari perkembangan relasi patriarki di mana ada banyak studi sejarah tak hanya dari Eropa tapi juga ada trayektori yang kaya dalam studi feminis di seluruh dunia yang menekankan keterhubungan dan saling penetrasi ini antara bentuk-bentuk spesifik dari trayektori kapitalis dan aspek gender atau pola dari penindasan gender yang terbentuk. Dalam hal ini saya setuju dengan Lise Vogel dan Cinzia Arruzza. Namun, saya tidak setuju dengan dampaknya karena mereka mengambil risiko teori sistem ganda atau sistem rangkap tiga (triple-system)—jika seseorang memasukkan isu ras—ke teori kesatuan tentang kapitalisme, yang justru akan meletakkan relasi gender di posisi lebih bawah di dalam payung kapitalisme yang lebih besar ketika hanya dua kemungkinan yang bisa dimiliki.
Saya pikir lensa penafsiran dari reproduksi sosial memberi kemungkinan lain, karena Anda tidak ingin jatuh ke perangkap dari sistem ganda atau sistem rangkap tiga tapi Anda juga tidak ingin jatuh ke perangkap untuk membangun dualisme baru.
Misalnya, jika Anda menguatkan kembali pandangan dari analisis reproduksi sosial di awal-awal seperti Silvia Federici, Maria Mies – yang teori housewifisation mereka Anda sebut sebelumnya – atau para sarjana lainnya, Leopoldina Fortunati dari Itali, Selma James dari Inggris, Rohini Hensman dari India, mereka menekankan peran bahwa kerja reproduktif tak berbayar menopang, mempercepat, dan memperluas laju eksploitasi, sehingga Anda memperoleh teori kesatuan dari kapitalisme tanpa harus berteori bahwa kapitalisme-patriarki adalah hal terpisah. Saya setuju dengan mereka tentang risiko yang perlu dihindari, tapi saya tidak setuju dengan mereka dalam hal strategi yang mereka rangkul untuk menghindari risiko tersebut. Mereka tidak sendiri.
RAF: Di artikel ‘Hidden Abodes in Plain Sight: The Social Reproduction of Households and Labor in The COVID-19 Pandemic’, Anda menulis tentang bagaimana krisis Covid-19 memusatkan rumah tangga sebagai sentral perjuangan karena disrupsi kapitalisme global telah mempengaruhi reorganisasi kerja. Bagaimana para sarjana-aktivis membentuk agenda masa depan dari titik tolak ini, dalam reproduksi sosial?
AM: Pertanyaan tersebut menakutkan. Kami mengajukan pertanyaan itu dalam artikel yang terbit di Feminist Economics. Artikel tersebut digawangi oleh rekan saya Sara Stevano, yang menulis bersama dengan kamerad-kamerad lainnya Hannah Bargawi, Lorena Lombardozzi. Apa yang kami sedang upayakan adalah untuk menunjukkan bagaimana Covid-19 mereorganisasi kosa kata ‘kerja’ dengan cara yang mengungkap sentralitas tenaga kerja informal untuk kelangsungan sistem kapitalis, serta tenaga kerja yang umumnya lebih tidak terlihat di dalam rumah tangga. Jika melihat laporan tersebut, ada beberapa contoh yang ditampilkan, misalnya dari Janine Berg dan yang lainnya, yang menyoroti tingkat kenaikan pekerjaan rumah sebagai respons dari krisis Covid-19 terutama di Utara Global. Hal tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan mendasar tentang politik redistribusi mana yang ingin kita lihat atau libatkan di dunia pasca-pandemi, dan krisis ini, makin hari, semakin mengerikan. Satu-satunya manfaat yang tersisa dari semua ini, adalah kita dipertontonkan dengan jelas bagaimana fitur utama kapitalisme yang selama ini sebenarnya sudah terlihat, akan tetapi Ia semakin mudah untuk diidentifikasi pada momen disrupsi yang demikian telanjang seperti ini. Keeanga-Yamahtta Taylor, aktivis dari gerakan Black Lives Matter dan seorang akademisi AS yang dikutip dengan sangat baik di New Yorker, ketika mengatakan, “saat dunia ditempatkan terbalik, bagian bawahnya terbuka untuk dilihat semua orang”. Dan saat itu juga kita semua benar-benar mengamati aspek paling vulgar dari semua proses, dan persis inilah yang terjadi selama pandemi Covid-19.
Kita harus memusatkan politik redistribusi pada pengakuan atas kerja perawatan di semua perdagangan esensial dan semua ruang di mana hal itu dapat terjadi. Kita memusatkan perdebatan pada rumah tangga dalam rangka menekankan relevansi dari aktivitas rumah tangga yang menopang kehidupan, baik yang terjadi di rumah tangga maupun di luarnya, dan untuk mempolitisasi kembali ruang tersebut, juga dengan cara menempatkan tuntutan yang masuk akal dalam konteks ini. Misalnya, boleh saja memiliki tuntutan klasik perburuhan, seperti pembayaran cuti, dukungan upah, reintegrasi pasca-PHK.
Saya pikir relevansi kegiatan dan kerja perawatan telah ditunjukkan secara dramatis sehingga bagi perempuan dan semua yang terlibat di dalamnya di seluruh dunia, ini merupakan kesempatan yang tidak dapat dilewatkan untuk mendapatkan kembali posisi mereka, kerja keras mereka yang telah dirampas dalam bentuk yang tidak dibayar selama berabad-abad.
Pada tahun 1970-an para aktivis, sarjana-aktivis seperti Silvia Frederici, Leopoldina Fortunati, dan banyak lainnya telah mengobarkan kampanye yang dikenal dengan kampanye ‘upah untuk pekerjaan rumah tangga’ (Wages of Housework) dan kami menemukan diri kami dalam kondisi harus merangkul kembali beberapa tuntutan-tuntutan yang dilontarkan oleh kampanye tersebut, memperluas konsep lebih lanjut untuk mencakup hak-hak kerja perawatan kehidupan kerja, benar-benar menuntut upah kerja seumur hidup dalam semua cara yang berbeda di mana kehidupan ini muncul sebagai sesuatu yang fundamental selama krisis terjadi.
RAF: Salah satu masalah yang paling umum sekarang di Utara Global selama Covid-19 adalah pekerja rumah tangga yang umumnya berasal dari Selatan Global, dikurung di rumah majikan dan melakukan pekerjaan reproduksi sosial. Negara-negara di belahan Selatan Global, termasuk Indonesia, memiliki arus masuk pekerja migran perempuan yang cukup tinggi ke luar negeri dan ke negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Timur Tengah. Para pekerja migran perempuan ini tampaknya melambangkan etos neoliberal ‘mobilitas modal—kebebasan modal untuk bergerak—tetapi tidak dengan mobilitas pekerja itu sendiri’: para pekerja ini melakukan perjalanan melintasi batas-batas transnasional, namun mereka terikat dalam hubungan kapitalis dengan hak-hak dan perlindungan yang minimum. Apa pendapat Anda tentang pola atau karakteristik arus migrasi dan pembagian kerja internasional saat ini?
AM: Masalah pengalihdayaan kerja reproduksi sama tuanya dengan sejarah kapitalisme dan juga memanifestasikan dirinya dalam spatial-fixes yang sangat berbeda dalam konteks yang berbeda. Misalnya di India, negara yang menjadi fokus saya di Asia saat ini, memiliki problem desentralisasi reproduktif kepada perempuan kasta bawah dan kelas bawah, sesuatu yang melibatkan sejumlah besar keluarga termasuk keluarga dari kelas menengah ke bawah, juga sesuatu yang saya pikir mencirikan Indonesia secara umum. Hal ini juga yang mendominasi seluruh Amerika Latin berdasarkan kombinasi kelas, jenis kelamin dan etnis, yang mencirikan sebagian besar wilayah selatan Eropa juga di mana terdapat perempuan pedesaan dari daerah tertinggal di Selatan yang benar-benar melakukan peran tersebut.
Tidak ada yang baru di bawah matahari, tetapi ini tidak berlaku dengan munculnya neoliberalisme, karena apa yang terjadi adalah elaborasi pakta sosial baru di mana perempuan sekarang bergabung di jutaan pasar tenaga kerja di AS, Inggris, di Eropa bagian selatan dan barat juga di banyak negara di Selatan Global yang mengalami peningkatan tingkat feminisasi pekerjaan tanpa negara mensosialisasikan kesenjangan kerja pengasuhan, yang mana semua ini merupakan residu dari terinkorporasinya perempuan ke ruang publik.
Apa yang terjadi dengan neoliberalisme, bahwa proses ini tidak hanya meningkat dan dengan jelas menunjukkan kesenjangan dalam kerja-kerja pengasuhan, tetapi juga mulai dipenuhi dengan berbagai hal, seperti migrasi internasional, serta adanya kecenderungan ‘tergenderkan, di mana perempuan kelas atas dari Utara Global mengalami tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi seperti negara-negara Teluk Timur Tengah. Para perempuan ini sekarang juga dapat mengalihdayakan problem-problem reproduksi secara internasional. Semua rangkaian tersebut mengarah pada pembentukan apa yang disebut Barbara Ehrenreich dan Arlie Russel Hochschild sebagai rantai perawatan global.
Apa yang terjadi pada tahun 1980-an, telah digandakan secara progresif dalam hal rantai perawatan global menjadi lebih kompleks, dan negara terlibat dalam berbagai skema. Mereka memiliki spasialitas yang sangat kompleks, yang menggabungkan ketidaksetaraan global antar wilayah dengan pola ketidaksetaraan gender, yang juga sangat rasial, tetapi mereka juga berbicara tentang sejarah kolonialisasi masa lampau. Misalnya, di Mediterania Anda akan menemukan banyak pekerjaan reproduksi atau pekerjaan rumah tangga di rumah tangga yang dilakukan, tidak hanya oleh perempuan dari wilayah Tanduk Afrika (antara lain, Somalia, Ethiopia, Kenya. ed), tetapi juga makin banyak oleh perempuan dari Eropa Timur. Hal ini tentu mencerminkan secara kompleks sejarah rezim kolonial di bawah diaspora yang telah dilalui oleh negara-negara ini. Jika Anda pindah ke Inggris, Anda akan memiliki tenaga kerja India, tenaga kerja Amerika Latin, dan sekali lagi ini mencerminkan pandangan spasial diaspora yang sangat berbeda. Jika Anda melihat sistem kafala di Teluk, Anda akan menemukan arus masuk perempuan Asia Selatan, juga perempuan dari Afrika Utara dan Tanduk Afrika. Dari segi hasil aktual secara spasial, ini cukup kompleks, di mana pada mulanya terjadi karena peningkatan masalah alih daya kerja reproduksi dari skala internasional. Berbagai atensi telah ditujukan kepada Barat tentang trayektori apa yang mencirikan ekonomi barat, tetapi saya pikir ada banyak trayektori berbeda yang menjadi cirinya. Juga negara-negara berkembang baru dan blok-blok baru dan karakteristik sosialnya bervariasi.
Pada akhirnya, negara neoliberal tidak mampu mengisi kesenjangan perawatan. Ia hanya menarik tenaga kerja perempuan ke feminisasi pekerjaan tetapi pada saat yang sama tidak memberikan dukungan reproduksi kepada keluarga yang ditinggalkan dalam bentuk apa pun sehingga harus memanfaatkan tenaga kerja semua perempuan, yang lebih rendah dalam hierarki pekerjaan, untuk mengisi kesenjangan tersebut.
RAF: Pada tahun 2011, Profesor Guy Standing menciptakan istilah ‘precariat’ sebagai ‘kelas berbahaya baru’—sebagai class-in-the making. Bahwa dorongan daya saing pasar dan peningkatan fleksibilitas pasar tenaga kerja telah menciptakan ‘precariat‘ global dari pekerja informal dan rentan. Mereka cenderung mudah marah dan memisahkan diri secara politik atau beralih mendukung politik neo-fasis-populis. Apakah ini bisa menjadi prediksi yang kuat pasca Covid-19? Bagaimana menurut Anda tentang gagasan itu?
AM: Ini pertanyaan yang sulit. Saya tidak tahu, tapi saya pikir menggunakan kerangka kerja Guy Standing merupakan langkah yang bagus. Saya mengenal Guy cukup lama, Saya sangat mengagumi karyanya sebagai seorang mahasiswa. Saya belajar banyak dari buku-bukunya, dan saya pikir dia memiliki wawasan yang sangat kuat tentang konsep precariat, tetapi juga memiliki beberapa limitasi, dalam artian sangat sulit untuk memprediksi berdasarkan teori prekariat apa yang akan terjadi selanjutnya secara politis karena berbagai segmen dan kekuatan yang membentuk prekariat mungkin belum tentu memiliki posisi, kesadaran atau pemahaman kelas yang sama, sehingga kemungkinan besar, mereka tidak memiliki politik yang serupa satu sama lain. Ini adalah sebuah konsep, dan sebagaimana konsep-konsep pendahulunya, ia juga memiliki masalah yang sama, seperti multitude yang dielaborasi oleh Antonio Negri dan diteruskan oleh Michael Hardt.
Sebagai akademisi yang bergiat di isu perburuhan, dan yang benar-benar tertarik pada berbagai bentuk politik re-appropriasi dari nilai kerja kita, yang terpenting adalah jenis kekuatan kelas dan aliansi apa yang akan berbahaya bagi elit saat ini. Jadi isu bahwa mereka adalah kelas berbahaya dalam ruang hampa bagi saya kurang menarik. Saya pikir ini adalah argumen yang lebih sering digunakan untuk tujuan yang agak non-progresif, sehingga menekankan pemuda pengangguran di banyak negara sebagai berpotensi berbahaya sebenarnya telah digunakan untuk mengedepankan semua jenis kebijakan, kecuali yang berbau progresif. Saya lebih suka memikirkan jenis koalisi kelas pekerja, atau kombinasi dari buruh tidak tetap yang mungkin berbahaya bagi status quo, yang mana status quo berpihak pada elit dan membuat dunia sangat tidak setara saat ini. Hal tersebut bagi saya akan menjadi pertanyaan, kelas berbahaya mana yang akan tertarik dan terlibat secara politik dan yang dibentuk oleh perjuangan massa, yang akan benar-benar dapat membawa kita ke masa depan? Pertanyaan ini tidak dapat dijawab secara umum, karena hanya dapat dijawab dengan mengacu pada konteks tertentu. Subjek revolusioner hanya dapat ditemukan dalam revolusi seperti yang mereka katakan. Sangat mungkin berbeda di China atau Indonesia.
Sebagaimana salah satu argumen Guy, bahwa jenis perjuangan yang akan memberikan kemenangan bagi gerakan buruh haruslah dilihat sebagai perjuangan yang mengartikulasikan berbagai bentuk perjuangan, berbicara dengan berbagai jenis klaim, dan berjuang dari berbagai aksi kelas pekerja. Ini adalah kemampuan kita untuk bersatu sebagai pekerja, sehingga orang-orang yang dieksploitasi atau ditindas dengan cara yang berbeda oleh sistem kapitalisme, tetapi mengakui sejarah penindasan bersama, yang dapat membawa kita ke tempat yang baru.
RAF: Dalam hal advokasi, apa yang bisa dilakukan masyarakat lintas aliansi — dari aliansi kelas yang berbeda — dalam hal hak-hak pekerja? jenis advokasi apa yang cukup memenuhi kebutuhan pekerja atau hak-hak pekerja dalam menanggapi situasi ini?
AM: Semuanya tergantung pada kondisi eksistensial aktual dari berbagai jenis relasi kerja yang ada saat ini. Kalau berdasarkan penelitian saya di India, Anda masih akan mendapati segmentasi kelas pekerja yang menggunakan tuntutan klasikal perburuhan yang umumnya berlandaskan pada peningkatan upah dan juga kontribusi sosial. Namun, di saat yang sama jika kemudian ada lapisan yang memiliki kemampuan untuk menghubungkan pertarungan ini dengan perjuangan para pekerja yang mungkin melawan perbudakan, hubungan hutang atau mereka yang benar-benar melawan kenaikan sewa atau jenis kondisi perumahan yang menindas, saya pikir kita menjadi lebih kuat sebagai gerakan buruh. Bagi saya keterlibatan aktif dengan ide-ide reproduksi sosial, mungkin sebagian besar teoritis, tetapi tentu saja sebagian besar lainnya adalah politis dalam hal aliansi kelas dan perjuangan yang sebenarnya dapat membuat gerakan buruh lebih kuat dan tidak hanya fokus pada beberapa jenis strategi, seperti pengupahan yang layak. Namun itu mungkin bukan satu-satunya yang harus kita lawan dari kapitalisme dalam konteks jenis relasi kerja paling baru dan dominan di kondisi kontemporer saat ini.
Jawabannya tentu bukan spesifik secara konteks, tapi beberapa pekerja di mana saya meneliti dan menghabiskan waktu bersama umumnya melihat diri mereka semata sebagai upah dan kontribusi sosial, alih-alih ingin terlepas dari hutang, atau memiliki akses terhadap kredit, atau pengupahan bagi kerja-kerja tak berbayar yang mereka lakoni.
Jika kita tidak memanfaatkan semua keragaman ini dalam bentuk di mana perjuangan buruh dapat terwujud, kita berisiko bertarung dalam tempurung dan kita berisiko tidak pernah mengartikulasikan pertempuran ini bersama-sama, sementara artikulasi dari pertempuran ini hanya mungkin memperkuat suara dari semua pekerja ini terlibat dalam perkelahian yang berbeda.
RAF: Utsa Patnaik pernah menulis karya klasik “The Republic of Hunger“, membahas bagaimana warga India berjuang bagi pangan, tanah, dan produksi makanan mereka sementara tengah program pembangunan dari pemerintah, terjadi insiden kelaparan. Bagaimana rezim buruh atau perbudakan modern di India ini berkorelasi dengan fenomena kelaparan? Bagaimana Anda membangun keterhubungan tersebut?
AM: Utsa Patnaik, salah satu akademisi yang saya kagumi karya-karyanya, menulis buku tersebut pada masa ketika terjadi krisis pangan yang spesifik dengan mengajukan beberapa teori lain tentang bagaimana mengatasi krisis tersebut. Apa yang membuat argumennya masih relevan di luar konteks ruang dan waktu aktual adalah cara-cara di mana rezim pangan di India mencerminkan pola-pola khusus imperialisme masa lalu dan sekarang, yang merupakan sesuatu yang juga diperdalam oleh Utsa bersama dengan Prabhat Patnaik dalam karya terbarunya, ‘A Theory of Imperialism‘. Di sini mereka menyoroti proses globalisasi yang bagi beberapa negara telah melipatgandakan atau memperkuat tipe-tipe tropis dari rezim tenaga kerja di mana mereka dijejalkan. Dalam hal ini sangat terkait dengan perdebatan seputar perbudakan modern, seperti garmen dan tekstil yang saya lihat, meskipun saya harus mengatakan perbudakan modern bukanlah istilah favorit saya. Tetapi, katakanlah, pola ketidakbebasan yang kita lihat di pertanian terkait dengan rezim pangan global dan juga tidak hanya dibentuk oleh aktor barat tetapi oleh konglomerat India yang masif, sebenarnya juga bisa kita lihat di sektor lain yang merupakan sektor padat karya, atau bahkan ke sektor yang lebih padat modal seperti industri otomobil misalnya. Apa yang Anda lihat adalah konsentrasi kekuasaan di hierarki teratas, semacam rezim buruh yang sangat terfragmentasi. Sementara di lapisan buruh terbawah, Anda akan lihat pertarungan sangat terkait dengan sistem produksi yang dipandang masih terkait dengan beberapa tren yang kita amati selama masa kolonial. Anda akan menyaksikan resiliensi besar-besaran dalam rangka mengeluarkan sistem produksi, penggunaan besar-besaran kontraktor tenaga kerja yang menengahi hubungan kerja, dan juga siklus produk yang sangat terfragmentasi. Begitu juga upah para pekerja yang pada akhirnya diperas oleh sejumlah besar proses ini. Saya pikir ada hubungan yang jelas di luar momen krisis spesifik yang digambarkan Utsa Patnaik.
Kalau saya boleh menambahkan satu hal, terkait dengan referensi menyoal Indonesia. Ada satu buku yang terbit ditulis oleh Tania Li dan Pujo Semedi, berjudul ‘Plantation Life’ yang mencoba menteorisasikan ekspansi global dan modal nasional sebagai puncak dari okupasi korporat terhadap tanah dan masyarakat pedesaan. Saya pikir akan ada banyak argumentasi yang berkaitan dengan beberapa perdebatan yang terjadi di India dan saya lihat sebagai protagonis Utsa Patnaik dan sarjana lainnya.
RAF: Terima kasih banyak. Kami pasti akan terus mengikuti publikasi terbaru Tania Li, juga terhadap buku baru Anda. Buku baru Anda telah diluncurkan Februari tahun 2021, ‘Marx in the Field’ diterbitkan oleh Anthem Press. Sepertinya buku ini, berdasarkan kutipan di situs penerbit merupakan “karya yang sangat tepat waktu untuk menempatkan analisis Marxian dalam praktik penelitian”. Ini adalah sesuatu yang saya pikir kita semua butuhkan karena kebanyakan orang akan berpikir bahwa analisis Marxis sangatlah reduksionis, utopia atau tidak dapat diterapkan dalam praktik penelitian. Jadi, bisakah Anda ceritakan lebih banyak tentang buku tersebut, tentang bagaimana para aktivis progresif dapat memanfaatkan buku ini? Berbicara tentang menumbuhkan cakrawala optimis melihat pasca Covid-19!
AM: Ini merupakan bunga rampai di mana saya diperkenankan untuk memilih tim impian saya sebagai penulis yang ingin saya libatkan untuk menjelaskan bagaimana cara mereka menyebarkan Marx dalam praktik penelitian mereka. Alasan mengapa saya merasa harus memulai proyek ini ada dua. Di satu sisi, jika Anda melihat kelas metode penelitian, tidak hanya dalam studi pembangunan tetapi dalam ilmuwan sosial, mereka tidak perlu memperlakukan atau terlibat dengan Marx dari sudut pandang desain penelitian, metodologi, kategori dan konsep tetapi Marx umumnya, menjadi gerbang ke ranah teori dan abstraksi. Sebagian ini sebenarnya karena fakta bahwa tidak semua, tetapi sebagian besar studi Marxis, lebih condong mengobarak-abrik problem yang lebih analitis dan teoritis. Mereka enggan mengotori tangan mereka dengan praktik lapangan yang sebenarnya, agar tampak lebih jelas.
Kedua, bagaimana gagasan-gagasan Marx dilihat dan sebagian disalahpahami semata hanya sebagai karya yang hanya dapat digunakan secara keseluruhan dan hanya dapat digunakan oleh orang-orang yang mendefinisikan diri mereka sebagai kaum marxis. Marx haruslah untuk semua orang dan Marx dengan segala cara, haruslah berguna untuk semua orang. Itu tidak boleh dicabut dari akarnya dan ajaran aktual yang dia berikan dapat bermanfaat bagi lebih banyak cendekiawan dan aktivis daripada yang mungkin dipikirkan orang. Untuk mengantarkan Marx turun ke bawah dan ke lapangan, saya bertanya kepada para kontributor yang merupakan kelompok campuran, apabila sudah anda ketahui, para sarjana tua, ahli ekonomi politik, sarjana feminis, sarjana terlibat baik dalam teori marx dan pos-kolonial dan seterusnya.
Saya meminta mereka melakukan dua hal untuk membawa ‘Marx ke lapangan’. Pertama, dengan menyoroti kategori dan konsep mana yang krusial terhadap studi tentang konteks global saat ini dan dengan cara seperti apa hal ini dapat diadaptasi dan diwujudkan sesuai kondisi di lapangan, misalnya ‘bagaimana Anda mempelajari kelas jika Anda berada di konteks pedesaan dan di sana setiap orang tampaknya berwiraswasta, karena Marx selama ini lebih befokus pada kerja-kerja upahan. Bagaimana Anda menggunakan kerangkanya dalam konteks yang berbeda tersebut?
Kedua metode praktis mana yang digunakan oleh Marx untuk membangun ulang kehidupan kelas pekerja, dan Jika Anda membaca Kapital, Anda pasti tahu bahwa Marx secara sistematis menggunakan hal tersebut, pada misalnya untuk pengawasan buruh, laporan medis dokter untuk melacak kesehatan proletariat yang memburuk, dan seterusnya. Jika ada juga beberapa metode lain yang membuat mereka mampu menangkap esensi dari apa yang ingin dikatakan Marx, dan tentu saja semua penulis memiliki jawaban yang berbeda untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut dan mungkin tidak bersetuju dengan hal tertentu, tetapi idenya adalah untuk memicu perdebatan tentang bagaimana kita dapat menerapkan kaca mata ekonomi politik dalam praktiknya karena sangat penting bagi kita untuk menjaga eksplorasi khusus semacam ini tetap hidup, sehingga kita tidak perlu mempelajari Marx. Kita harus mempelajari isu-isu yang disukai Marx. Sebaliknya, saya pikir apa yang marxisme telah lakukan dalam mengeksplorasi Marx itu sendiri secara lebih baik daripada mendiskusikan cara-cara di mana banyak hal yang dia bicarakan sebelumnya masih sangat relevan hari ini bagi kita untuk mendongkel kelas penguasa.
RAF: Sekali lagi, kami ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada Dr. Alessandra Mezzadri karena telah meluangkan waktu untuk berbicara kepada kami selama sekitar satu jam.
AM: Terima kasih banyak. Ini suatu kehormatan tersendiri.