“Pengesahan RUU TPKS menjadi Undang-Undang adalah hadiah bagi seluruh perempuan Indonesia menjelang diperingatinya Hari Kartini sebentar lagi.”
Kutipan di atas merupakan pernyataan Puan Maharani selaku ketua DPR RI dengan masa jabatan 2019-2024 yang hilir mudik di berbagai media massa juga lini masa media sosial. Hal ini membuat namanya dan DPR sebagai lembaga dipuja-puja setelah disahkannya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada Selasa, 12 April 2022.
Tentunya pengesahan atas UU TPKS adalah hasil dari perjalanan panjang yang memakan waktu kurang lebih selama 10 tahun, seiring dengan kondisi kekerasan seksual di Indonesia yang terus meningkat jumlah kasus maupun tingkat kekerasannya. Hal ini diperburuk dengan kondisi secara kultural maupun struktural hukum positif memang tidak berpihak pada korban, khususnya perempuan.
Melalui tulisan ini penulis mencoba mengajak untuk mengingat dan merefleksikan kembali perjalanan UU TPKS dan perjuangan rakyat dalam memenangkannya. Tulisan ini sendiri terbagi menjadi tiga bagian yang akan membahas tentang perempuan dan kekerasan seksual, perjalanan UU TPKS, serta membahas UU TPKS yang dapat menjadi preseden gerakan perempuan yang lebih interseksional.
Perempuan dan Kekerasan Seksual
Mayoritas korban kekerasan seksual seperti yang sudah banyak kita ketahui adalah perempuan, hal ini diakibatkan masyarakat memandangnya sebagai objek yang dikonstruksikan berfungsi secara seksual untuk produksi dan mereproduksi manusia baru. Norma semacam ini menimbulkan kerentanan yang tinggi karena korban dianggap sebagai manusia kelas dua yang hak dan keamanannya bukanlah sesuatu yang penting. Sebagai perempuan, bentuk tubuh yang ia miliki memang sudah diseksualisasi sejak masih usia anak. Berbagai stereotip yang terus diproduksi masyarakat mengenai standar seorang perempuan semakin memperbesar victim blaming terhadap korban kekerasan seksual.
Dalam kelas sosial sendiri perempuan umumnya berada di kelas proletar. Hal ini dikarenakan dalam sistem produksi kapitalisme, manusia dilihat status sosialnya berdasarkan kepemilikan modal serta upah yang dihasilkan. Perempuan sebagai pihak yang dibebankan tanggung jawab produksi dan reproduksi sosial memang terpinggirkan karena pekerjaan yang mereka lakukan dianggap tidak penting serta terpisah dari kerja produktif lainnya yang berbayar. Walaupun sudah terbukanya kesempatan bagi perempuan untuk bekerja di berbagai sektor industri, namun harus diakui masih ada perbedaan besar antara upah, posisi, serta usaha yang harus dikeluarkan seorang perempuan supaya bisa mendapatkan hal yang sama dengan laki-laki.
Selain memang sudah memiliki kerentanan sendiri di tengah masyarakat kapitalis, ada hal lain yang juga membuat posisi perempuan menjadi semakin rentan. Pandangan mengenai fungsi perempuan sebagai objek seksual yang bertugas melakukan reproduksi sosial merupakan sebuah identitas tersendiri yang melekat. Tidak ada perempuan manapun yang bisa lepas dari identitas ini, walaupun mereka berasal dari kelompok atau kelas sosial yang mapan (borjuis). Dari sini kerentanan perempuan sebagai korban kekerasan seksual sudah terbentuk dengan sendirinya melalui identitas ini bahkan sejak ia dilahirkan. Namun, apabila perempuan dari kelas borjuis pun tidak dapat melepaskan identitas sebagai objek seksual, apalagi para perempuan dari kelas proletar yang memiliki jaring pengaman sosial lebih rendah bahkan hampir tidak ada. Bagaimana besarnya kerentanan yang harus mereka hadapi sebagai korban kekerasan seksual?
Hal ini senada seperti yang dinyatakan oleh Komnas Perempuan Indonesia dalam Siaran Pers di Hari Tanpa Kekerasan Internasional pada 3 Oktober 2021 yang menyatakan, “Secara global, perempuan miskin dan dari kelompok marginal lebih rentan pada kekerasan.” Situasi ini tentunya berlaku juga di Indonesia di mana perempuan dari kelas proletar mayoritas menjadi korban kekerasan seksual.
Perempuan dari kelas proletariat memiliki kerentanan yang lebih berlipat ganda dari lingkungan maupun kondisi masyarakat tempat ia hidup. Selain itu mereka yang berasal dari kelas ini umumnya tidak dekat dengan hukum dan prosesnya bahkan cenderung takut, sehingga banyak kasus yang berujung didiamkan dan terus dilakukan secara turun-temurun di dalam keluarga maupun masyarakat.
Hal semacam ini bahkan seringkali dimasukkan sebagai muatan di film atau series yang membawa isu sosial. Di masyarakat miskin, kasus seperti perkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga atau komunitas akan berujung didiamkan, lalu berputar seperti roda dan kembali terjadi pada generasi selanjutnya menjadi trauma lintas generasi. Sayangnya, hal ini tidak hanya terjadi di dunia fiksi namun memang berasal dari kenyataan. Siklus bisu yang lahir di antara korban kekerasan seksual dalam masyarakat miskin memang akan sangat mudah kita temui. Dengan berbagai alasan seperti karena paksaan keluarga, merasa yang terjadi adalah aib, hingga tekanan finansial yang membuat mereka harus menutup rapat mulutnya karena mahalnya biaya yang harus dibayar secara materiil atau emosional apabila melaporkan kasus ini ke pihak yang berwajib.
Hal ini jugalah yang mendorong perumusan dalam UU TPKS supaya bisa menjangkau berbagai dimensi untuk melindungi dan memberikan hak korban kekerasan seksual selengkap mungkin dalam mengakses proses hukum. Selama ini proses hukum yang hanya berfokus pada pemidanaan, mengakibatkan pemulihan korban bukan fokus utama bahkan tidak dipertimbangkan. Selama penyidikan hingga sidang korban harus mengulang kembali penderitaan yang dialaminya dengan menceritakan secara berulang tanpa pendampingan profesional dari psikolog atau konselor yang sudah terlatih untuk menangani korban kekerasan seksual dan memiliki perspektif yang jelas terhadap keberpihakannya pada korban. Korban juga harus mengalami kelelahan secara emosional dan tersiksa sebab dipaksakan berada di ruang yang sama dengan pelaku baik untuk mediasi atau persidangan. Semua ini diakibatkan tidak adanya aturan yang menegaskan aparat hukum berwenang harus mendapat pelatihan supaya memiliki perspektif gender dan keberpihakan korban secara tegas.
Di sisi lain, masalah biaya juga merupakan sesuatu yang menakutkan banyak pihak ketika ingin melaporkan kekerasan yang mereka alami ke aparat hukum. Masyarakat dari kelas proletar memiliki kekhawatiran yang lebih besar mengenai besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Mengingat mereka berasal dari golongan pekerja yang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup karena upah yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan standar hidup layak atau bahkan mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Tentu saja hal ini merupakan masalah yang membuat perkara kekerasan seksual bukanlah sesuatu yang tunggal.
Masalah kekerasan seksual saling berkelindan dengan masalah sosial lainnya. Begitu juga dengan kekerasan seksual dan kemiskinan. Hal ini jugalah yang membuat dalam proses penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM) UU TPKS dari kelompok masyarakat sipil menaruh perhatian besar mengenai alur dan upaya pendanaan terhadap proses hukum serta pemulihan korban oleh negara serta cara supaya dana ini dapat diakses dengan mudah sehingga dapat menjamin pemulihan korban.
Problem lain adalah keenganan korban kekerasan seksual untuk melapor. Ada budaya masyarakat di berbagai penjuru dunia, termasuk juga Indonesia, yang masih menganggapnya sebagai kejahatan asusila sehingga korban dipaksa untuk menutup mulut agar menjaga aib sehingga tidak membuat malu-keluarga, kelompok, masyarakat, bahkan instansi. Hal ini dikarenakan ada anggapan bahwa korban juga berkontribusi membuat kekerasan itu terjadi sehingga didakwa turut bersalah. Bagi perempuan korban kekerasan seksual, penindasan yang dialaminya memiliki lapisan yang lebih banyak, sehingga harus berjuang lebih keras bahkan untuk mendapat ruang bercerita apalagi keadilan di ruang sidang.
Sejak perumusannya UU TPKS lahir dari masyarakat seperti gerakan perempuan, gerakan anti kekerasan seksual, serta semua pihak yang terus berusaha mengadvokasi dan memperjuangkan hak korban. Mereka memperjuangkan keinginan untuk mendapatkan hak mereka serta korban kekerasan seksual secara struktural yang dijamin negara lewat instrumen hukum. Sebagai upaya merebut kembali hak korban yang direnggut budaya dan hukum adalah yang telah menjadi daya gerak dan roda yang mendorong masyarakat supaya perubahan sosial dapat terjadi dengan mengajukan RUU PKS (nama sebelumnya) untuk dituntut kepada pada anggota parlemen supaya segera disahkan.
Perjalanan Panjang UU TPKS: Rakyat vs Parlemen
Kita perlu mengingat kembali semangat dan asal mula kelahiran UU TPKS. Bermula dari para ibu yang merupakan anggota masyarakat sipil-terdiri atas berbagai elemen masyarakat-bukannya para elite politik seperti DPR dan pihak pemerintah. Kelahirannya diharapkan mendorong perubahan sosial di masyarakat dalam memandang kekerasan seksual dan keberpihakan pada korban. Perjuangan hingga disahkan menjadi UU adalah upaya tanpa henti demi hidup yang lebih baik bagi semua korban kekerasan seksual dan juga menjamin keamanan semua rakyat di Indonesia untuk mengakses hak mereka sebagai korban.
UU TPKS bukanlah sesuatu yang diberikan sebagai hadiah oleh elite politik melainkan usaha dari rakyat itu sendiri. Oleh karena itu, mari kita melakukan sedikit kilas balik akan perjuangan rakyat Indonesia hingga UU TPKS sah menjadi instrumen hukum di Indonesia. Awalnya RUU ini diusulkan oleh Komnas Perempuan pada tahun 2012 dan dilanjutkan dengan proses penyusunan rancangan awal bersama berbagai elemen masyarakat sipil seperti pegiat isu gender, LSM, dan forum pengada layanan. Pada 23 Agustus 2016 Komnas Perempuan bersama Forum Pengada Layanan (FPL) menyerahkan naskah akademik dan draft terkait RUU PKS pada ketua komisi III DPR RI yang ditindaklanjuti dengan penandatanganan oleh 70 anggota DPR RI sehingga menjadi RUU usulan DPR. Dengan besarnya dorongan dan advokasi tanpa henti yang dilakukan berbagai elemen masyarakat, RUU ini berhasil didorong untuk masuk menjadi prolegnas 2016-2019.
Pada 2017 pemerintah memangkas dari 152 pasal di draft RUU PKS menjadi bersisa 52 pasal saja, selama 2017-2019 RUU PKS prosesnya masih terhambat dan tidak ada kemajuan berarti. Tidak ada habisnya para elite politik ini memperdebatkan hal remeh-temeh dan tidak substansial seputar pemilihan judul, penggunaan kata consent dalam definisi kekerasan seksual, serta pengajuan jenis kekerasan seksual yang dianggap terlalu banyak dan tidak realistis. Segala perdebatan ini hanya berkutat tidak jauh dari asumsi kalau RUU PKS mengandung muatan paradigma barat (feminism) yang dikhawatirkan menghadirkan perspektif liberal seperti pro-zina dan penyimpangan seksual di Indonesia yang bagi sebagian kelompok akan membawa pengaruh buruk bagi masyarakat.
Tidak adanya hal substantif yang dibahas sepanjang 2017-2019 berujung RUU PKS dikeluarkan dari daftar prolegnas 2016-2019 dan dinyatakan akan menjadi RUU carry over di periode selanjutnya. Untuk melihat lagi apakah memang benar para pejabat pemerintahan ini mengeluarkan RUU PKS pada saat itu dengan alasan pembahasan yang sulit adalah sesuatu yang masuk akal. Mari kita sedikit bandingkan dengan pengesahan Omnibus Law yang serba cepat pada akhir periode 2019 hingga menimbulkan gelombang penolakan besar dari masyarakat, yang tercatat dalam sejarah dengan gerakan Reformasi Dikorupsi.
Hal ini menunjukkan hukum merupakan salah satu alat politik negara untuk menunjukkan keberpihakan para elite politik di dalamnya. Mereka menggunakan hukum sebagai alat mempertahankan kekuasaan dan modal mereka, lewat perumusan dan pengesahan perundang-undang dengan pemaknaan atas kepentingan para kelompok pemilik modal. Hal ini dilakukan dengan memberikan gambaran kepada rakyat supaya mendukung kepentingan mereka melalui undang-undang, platform, serta program yang mereka rencanakan atas nama kemajuan bangsa dan negara.
Walaupun RUU PKS memiliki urgensi tingkat tinggi bahkan didukung data tingkat kekerasan seksual yang fantastis setiap tahun, RUU ini harus kalah bersaing dengan Omnibus Law. Dengan melihat rakusnya pemerintah dalam mengeksploitasi alam dan menindas rakyat, maka tidak mengherankan ketika Omnibus Law dapat disahkan dengan kecepatan kilat akibat muatan yang diatur mengakomodir dan membebaskan para pemilik modal untuk menjalankan produksi yang bersifat ekspansif dan eksploitatif untuk mengeruk kekayaan alam walaupun itu merugikan mayoritas masyarakat Indonesia yang merupakan kelas pekerja.
Mayoritas anggota DPR serta pejabat negara Indonesia merupakan pengusaha atau investor di perusahaan atau industri. Hal ini juga sempat menjadi ramai setelah film dokumenter karya Watchdoc yang meliput industri batu bara menyeret nama-nama besar tokoh negara sebagai aktor di balik masifnya industri batu bara berkembang dan merusak lingkungan hingga memakan banyak nyawa manusia. Kembali lagi pada bahasan mengenai kepentingan para pemilik modal, Omnibus Law sangat amat memudahkan para pengusaha dan investor batubara bahkan jika kita mengetik kata kunci “Omnibus Law” dan batu bata di laman pencarian Google kita akan menemukan banyak artikel yang membahas bahwa ia merupakan angin segar yang bagi bisnis batubara.
Tentu saja, Omnibus Law tentunya lebih menggiurkan dan menguntungkan dengan akan adanya berbagai mega proyek kedepannya tentu dibutuhkan regulasi yang memudahkan proses dikembangkannya berbagai proyek “pembangunan”, daripada RUU PKS yang tidak memberikan keuntungan untuk perputaran modal dan proses produksi industri. Karena itulah saat akan disahkan para penguasa ini berbondong-bondong memberi gambaran kepada rakyat bahwa Omnibus Law sebagai undang-undang yang akan mendorong kemajuan negara dan membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Walaupun banyak protes datang dan kritik yang ditujukan kepada gagalnya Omnibus Law dalam memasukkan aturan untuk melindungi dan menjamin kelas pekerja.
Sejarah panjang RUU PKS hingga menjadi UU TPKS tidaklah berjalan mulus dan mudah, karena sangat lekat dengan perbedaan sikap politik dan juga kepentingan antara masyarakat dan parlemen. Khususnya perbedaan kepentingan antar kelas yang sebenarnya memang sangat lekat dalam setiap proses di parlemen, sehingga walaupun terdapat keterwakilan identitas perempuan ataupun kelompok marginal, memang pada akhirnya mereka hanya bersifat mewakili identitas saja bukan berarti membawa kepentingan yang sama untuk diperjuangkan.
UU TPKS Sebagai Preseden Gerakan Perempuan Interseksional
Pengesahan UU TPKS merupakan suatu langkah kemenangan kecil yang sangat perlu kita apresiasi bersama semua pihak yang memperjuangkan dan mendukung ini dalam prosesnya. Walaupun harus kita sadari dan ingat bahwa ini bukanlah kemenangan yang utuh bagi kita semua, karena pada akhirnya ada hal-hal yang harus direlakan untuk dilepaskan dari UU TPKS dan masih harus diperjuangkan lewat aturan perundang-undangan lainnya. Tidak lupa perjuangan ini masih amat panjang supaya aturan ini dapat diimplementasikan sesuai apa yang sudah kita perjuangkan selama ini, serta harapan kita untuk memerdekakan para korban kekerasan seksual dalam mengakses hak mereka.
Sebagai catatan bagi kita semua setelah pengesahan UU TPKS kita masih harus terus mengawal ketat beberapa hal yang menyangkut perlindungan terhadap korban kekerasan seksual:
- Mengawal pasal perkosaan yang dialihkan ke RKUHP supaya tidak berujung memiliki definisi sempit seperti sebelumnya yang terbatas pada penetrasi vagina dan penis.
- Mengawal korban aborsi paksa untuk dapat mengakses bantuan serta mendorong juga terbukanya akses terhadap aborsi yang aman.
- Mendorong untuk direvisinya UU ITE yang akan menaungi lebih lanjut mengenai kekerasan berbasis gender siber supaya tidak lagi menjadi bumerang dan digunakan untuk mengkriminalisasi korban.
- Mengawal upaya untuk menghadirkan pasal jembatan, yaitu pasal yang akan menjembatani korban kekerasan yang tidak diatur dalam UU TPKS supaya bisa mengakses dana serta fasilitas bagi korban.
- Mengenai pasal 35 dimana masih ada catatan bahwa seharusnya kompensasi untuk membayar restitusi dana bantuan korban bersifat talangan, sehingga harus dipastikan selama masa penahanan pelaku bekerja untuk membayar kembali.
- Mendorong diaplikasikannya aturan ini secara menyeluruh yang artinya segera dibentuk secara terbuka dan melibatkan masyarakat terkait PP ataupun Perpres berkaitan dengan UU TPKS.
- Mengawal dan mendorong dilakukannya pelatihan untuk peningkatan pengetahuan terkait kekerasan berbasis gender dan kekerasan seksual.
- Mendorong diberikan pelatihan untuk pendampingan korban kekerasan seksual kepada pihak-pihak terkait khususnya institusi kepolisian, pengadilan, dan kejaksaan yang menjadi garda terdepan dalam proses hukum.
Momentum kemenangan atas disahkannya UU TPKS sebagai bagian dari perjuangan reformis melalui instrumen hukum merupakan preseden untuk mendorong perjuangan melalui rancangan undang-undang lainnya. Keberhasilan ini perlu kita jadikan sebagai waktu untuk merefleksikan kembali apa yang disebut sebagai perjuangan isu “perempuan” supaya menjadi lebih luas dan interseksional.
Perempuan memang memiliki kerentanan sendiri di masyarakat. Namun, perempuan bukanlah suatu kelas sosial atau kelompok sosial yang terpisah dari entitas masyarakat lainnya. Perempuan ada di berbagai lapisan masyarakat mulai dari kelas proletar hingga borjuis, ada pula dalam berbagai kelompok masyarakat lintas sektor serta daerah: seperti masyarakat adat, kelompok religius, kelompok pekerja, petani, pengungsi di area konflik, pedesaan, perkotaan, dll. Perempuan tersebar di seluruh bagian dunia dan kelompok bahkan seringkali juga menjadi garda terdepan untuk mempertahankan komunitas dan kelompok mereka, misalnya para ibu-ibu Wadon Wadas.
Kita tidak bisa menutup mata dan hanya melihat masalah “perempuan” terbatas pada kekerasan seksual, otoritas tubuh, atau hak untuk bekerja. Amat perlu bagi kita menggunakan perspektif interseksionalitas dalam melihat isu yang berkaitan dengan perempuan sehingga bisa memandang lebih luas bahwa ada banyak jenis lapisan ketertindasan yang dialami perempuan.
Lapisan ketertindasan ini berbeda di bentuk dan jumlahnya sesuai dikelas mana atau lingkungan tempat mereka tinggal. Isu perempuan bukanlah sesuatu yang tunggal namun tentunya saling berkelindan dengan beragam isu lainnya seperti kapitalisme, kemiskinan, kerusakan lingkungan, dirampasnya hak pekerja, hingga terancamnya masyarakat adat.
Cita-cita untuk mensejahterakan dan menjamin keamanan hidup seluruh perempuan sangat perlu kita upayakan lewat berbagai cara, yaitu salah satunya dengan menuntut pengesahan RUU lainnya seperti UU TPKS yang memiliki nafas untuk merebut kembali hak milik rakyat yang sudah direnggut secara paksa karena kepentingan perputaran modal untuk memperkaya pihak-pihak yang berkuasa.
Beberapa regulasi yang bisa kita dorong pengesahannya dan terkait dengan perempuan dan kelompok marjinal saat ini adalah seperti RUU Masyarakat Adat yang sudah 13 tahun diperjuangkan serta RUU P-PRT yang sudah menginjak usia 18 tahun mengendap di gedung parlemen. Kemandegan yang dialami kedua RUU ini merupakan hal yang juga sama dialami seperti UU TPKS sebelumnya, kepentingan mereka tidak dianggap penting dan bukan prioritas penguasa. Walaupun sudah terdapat banyak data yang mendukung urgensi RUU seperti Masyarakat Adat dan P-PRT segera disahkan, namun bagi para penguasa dan pemilik modal mereka adalah roda kecil di dunia kapitalistik yang dimanfaatkan untuk menjalankan roda produksi. Sehingga apabila terdapat aturan yang melindungi hak mereka artinya ada yang membatasi proses eksploitasi yang saat ini terjadi dan tentu itu akan merugikan proses produksi. Selain mendukung pengesahan regulasi seperti RUU Masyarakat Adat ataupun RUU P-PRT, kita juga bisa mendorong revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang merugikan rakyat misalnya saja Omnibus Law yang pada 2019 lalu terjadi gelombang penolakan besar namun tidak diindahkan para penguasa. Sayangnya gelombang massa yang sangat besar pada saat itu seolah dibisukan setelah disahkannya Omnibus Law, padahal muatan di dalamnya masih relevan hingga saat ini untuk didorong supaya direvisi agar dapat diganti menjadi lebih mengakomodasi hak pekerja serta membatasi kewenangan perusahaan dalam mengeksploitasi alam maupun manusia sebagai pekerja.
Euforia atas pengesahan UU TPKS tidak seharusnya dimanfaatkan dengan menyanjung atau memuji penguasa. Ingatlah bahwa sudah seharusnya tugas dan kewajiban mereka supaya membuat kebijakan sesuai kebutuhan rakyat, bukannya kepentingan segelintir kelompok pemilik modal. Karena itu sekali lagi pengesahan UU TPKS tidak pernah dan bukanlah sebuah hadiah yang diberikan oleh parlemen, ini adalah hasil melawan dan perjuangan tanpa henti seluruh elemen rakyat Indonesia yang bergerak bersama untuk menyuarakan hak dan kebutuhan korban.