Kata Orang Papua soal Otsus dan DOB: Penjajahan!

2.5k
VIEWS

Pengantar

Papua kembali bergejolak. Kebijakan Daerah Otonomi Baru (DOB) yang akan dieksekusi pemerintah Indonesia mendapat penolakan keras dari rakyat Papua. Aksi yang meletus sejak di Jayapura dan beberapa daerah luar Papua 8 Maret 2022 tersebut menjadi pembuka rangkaian gerakan penolakan di sejumlah daerah lainnya. Tercatat, setelah aksi penolakan di Jayapura daerah seperti Wamena, Yahukimo, Timika, Sorong menyusul menyuarakan penolakan terhadap program pemekaran yang akan dilakukan pemerintah RI.

Penolakan tersebut jelas bukan tanpa sebab. Bobroknya kebijakan dua jilid otonomi khusus (otsus), semakin masifnya militerisme, dan perampasan sumber daya alam yang semakin brutal adalah alasan kenapa rakyat Papua serentak melakukan penolakan. Otsus, yang diklaim pemerintah sebagai keseriusan menyejahterakan Papua, justru semakin memperparah marjinalisasi dan ketimpangan kelas yang ada. Ini juga tidak terlepas dari kepentingan ekonomi-politik para pemodal dan elit dibalik topeng otsus yang terus berusaha memaksakan agenda pembangunan dan investasi demi melancarkan proses akumulasi kapital.

Rakyat Papua menilai bahwa Daerah Otonomi Baru (DOB) adalah upaya lanjutan dari pemerintah Indonesia untuk semakin memuluskan kepentingan tersebut. Pelaksanannya yang tidak demokratis karena tidak melibatkan partisipasi rakyat Papua secara umum, legitimasi para elit lokal yang beraliansi dengan pemerintah pusat meloloskan pemekaran, hingga pengerahan aparat bersenjata lengkap untuk menghantam segala bentuk penolakan semakin memperjelas pemekaran memang merupakan ambisi perluasan kekuasaan elit-elit semata. Tercatat, sampai hari ini pemerintah melalui DPR semakin gencar mempercepat manuver pemekaran dengan meloloskan tiga RUU provinsi baru Papua (Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah).

Demi menggali keterangan secara lebih lanjut kami memutuskan untuk mewawancarai dua aktivis Papua, Zuzan Griapon dan Ambrosius Mulait. Zuzan Griapon adalah seorang aktivis perempuan Papua yang aktif bergerak di organisasi Green Papua, kolektif yang fokus melawan penghancuran lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam. Sementara itu, Ambrosius Mulait adalah seorang aktivis mahasiswa yang aktif bergerak bersama Asosiasi Mahasiswa Papua Pegunungan Tengah Se-Indonesia (AMPTPI). Beliau juga sangat lantang menyuarakan isu demokrasi, rasisme, hingga pelanggaran HAM di Papua.

 

Wawancara

Zuzan Griapon

  1. AT (Ahmad Thariq): Belakangan gelombang penolakan rakyat Papua terhadap kebijakan DOB dan Otsus semakin santer dan masif. Bisa ceritakan apa yang melatarbelakangi penolakan tersebut?

ZG (Zuzan Griapon): Kalau analisis saya, akhir-akhir ini penolakan atas pemekaran tidak terlepas dari sejarah penindasan yang panjang, dari program-program kolonialisme Belanda hingga hari ini rakyat Papua yang menolak punya satu kesepakatan bersama, bahwa pemerintah Indonesia sedang menjajah Papua. Salah satu program yang paling relate adalah Otsus dan pemekaran sebagai turunannya.

Dalam perspektif UU Otsus sendiri syarat – syarat pemekaran tidak memperhatikan kondisi objektif, seperti jumlah penduduk, aspirasi rakyat dan lain-lainnya, namun langsung dilakukan pemekaran desa, distrik, kabupaten dan provinsi. Jadi di sini terlihat sebenarnya pemekaran itu program kolonialisme. Kalau berdasarkan jajak pendapat dengan teman-teman, ada ketakutan akan terjadinya transmigrasi. Bahkan bukan hanya jajak pendapat saja, tapi juga di orasi-orasi dalam aksi demonstrasi tolak pemekaran yang disampaikan, ini juga membicarakan kekhawatiran yang sama. Apabila dianalisis lebih jauh, transmigrasi ini adalah rangkaian diskriminasi dan rasisme kronis yang sengaja dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Kenapa? Karena kemudian tanah-tanah yang merupakan sasaran produksi rakyat di Indonesia dirampas, lantas mereka mengucurkan dana ke Papua melalui Otsus, APBD, dll. Akibatnya, tenaga kerjanya diberikan akses ke Papua. Saya pikir ini yang sedang diproyekan oleh negara supaya memuluskan eskpansi kapitalisme di Papua.

Satu hal lagi bukan hanya soal kolonialisme saja, tapi juga militerisme. Program pemekaran wilayah akan berdampak pada pembangunan pos TNI dan PORLI dari tingkat provinsi hingga kampung, sebelum program ini terjadi telah dibangun pembangunan pos-pos militer. Misalnya, tanggal 8 April 2022, badan legislatif di Jakarta melakukan sidang, sebelum-sebelumnya sudah ada pembangunan posko Brimob seperti di Yahukimo, Paniai, dan titik-titik lainnya yang memungkinkan pemekaran ini juga mobilisasi militer, baik dari Jawa, maupun anak-anak asli Papua yang dijadikan tenaga militer, ada program polisi Otsus khusus orang asli Papua yang direkrut, inilah pola untuk menciptakan konflik-konflik di antara rakyat Papua.

 

  1. AT: Apa kepentingan elit/oligarki pusat dalam kebijakan pemekaran tersebut?

ZG: Berkepentingan sekali, dan menurut saya itu paling santer di partai-partai borjuis nasional. Bisa dilihat dari partai-partai berkuasa seperti PDIP, Gerindra, Nasdem, dll. Konflik politik pembagian kekuasaan yang ada di istana negara sangat berdampak pada konsolidasi-konsolidasi partai tersebut di akar rumput. Ini juga diperparah dengan kesadaran masyarakat yang masih melihat persoalan Papua hanya sekedar rasial, bukan penindasan oleh sistem yang benar-benar merenggut hak hidup rakyat. Entah dia siapa pun identitasnya, darimana pun, ketika ia tidak memiliki modal pasti ditindas. Ada contoh seorang rakyat Papua yang berkiprah di partai borjuis. Dulu (2003- 2008), orang tersebut sangat aktif sekali mengikuti aksi saat masih mahasiswa. Tapi setelah bergabung dengan partai borjuis kesadaran borjuisnya sangat menghegemoni. Akibatnya hari ini terjadi perpecahan di masyarakat. Pihak pendukungnya karena kesamaan identitas mendukung orang tersebut, sementara yang lainnya justru tertindas kemiskinan, terbunuh dan terisolir dsb.

Partai-partai ini memang sangat berkepentingan dalam perampasan lahan yang ada di Papua. Bahkan bukan hanya partai, tapi juga anggota-anggota militer. Ini juga alasan kenapa Haris Azhar dan Fathiya Maulidayanti ditangkap. Karena mereka membongkar mafia-mafia tanah, saham, yang juga dimiliki oleh politisi nasional. Ini juga belum cek yang dimiliki oleh elit-elit nasional lain. Bahkan nasionalisasi Freeport sendiri bukan kepentingan masyarakat Indonesia secara umum maupun Papua, melainkan elit-elit politik. Terlebih sejarah Papua juga tidak bisa dilepaskan dari kepentingan Freeport di Papua, karena kedatangan perusahaan tersebut juga sehingga dicanangkannya UU Penanaman Modal yang disahkan 10 Januari 1967. Undang-undang itu merupakan corong investasi asing, baik di Indonesia, maupun di Papua.

Hal-hal itu lah yang menjadi syarat-syarat ekspansi modal dilakukan. Ekspansi modal harus ada pemekaran wilayah agar rakyat tidak bersatu, sehingga hanya berpikir untuk makan-minum saja, tanpa berpikir mempertahankan sasaran produksinya yang dirampas. Manipulasi kesadaran akibat program transmigrasi, beasiswa mahasiswa maupun pemuda, maupun kampanye UMKM, semuanya mengajarkan rakyat Papua untuk bersaing. Ini sebenarnya menciptakan kebudayaan kapitalisme dan menghapus kebudayaan komunal yang selama ini diyakini oleh rakyat Papua sebagai masyarakat adat. Itu terbukti, perlahan semakin banyak Orang Asli Papua (OAP) yang berpikir individualis, dan perlahan kebudayaan yang mulai menghilang.

Kepentingan kapitalisme global, khususnya negara-negara imperialis juga punya kepentingan besar dalam proyek pemekaran. Karena tidak logis ketika hutang negara mencapai tujuh ribu sekian trilyun justru pemekaran dilakukan dengan dana besar. Saya pikir ini juga ada kepentingan dengan G20. Jangan-jangan saat di G20 justru ditawarkan “tuan-tuan dan negara yang berkepentingan silakan ambil daerah ini, blok ini, kemudian amankan sendiri”. Toh kita lihat sendiri kalau BUMN sudah bukan milik negara, tapi sudah jadi milik kepentingan para pemilik modal. Terbukti seperti subsidi BPJS dipotong, subsidi pendidikan dikurangi, harga BBM dinaikan, harga minyak goreng dinaikan dsb.  Hal-hal ini adalah bukti penghematan kapitalisme, dengan tujuan mempertahankan modal untuk ekspansi, akibat resesi serta pandemik COVID -19 namun belum banyak dibicarakan di Papua. Melalui propaganda dan konsolidasi perlahan mulai terungkap, bahwa imperialisme masuk dan memanipulasi kesadaran kita.

Bahkan kalau kita bicara suprastruktur seperti sistem pendidikan, hukum dibungkam oleh negara. Kita bisa lihat Fathiya dan Haris saja ditangkap, Victor Yeimo juga. Misalnya sistem pendidikan, hegemoni dari program beasiswa harus sekolah ke Jawa lalu pulang jadi “tuan di tanah sendiri”. Padahal menjadi budak koorporat karena sarana produksinya sudah digantikan lahan-lahan proyek.

 

  1. AT: Bagaimana peran elit lokal Papua memuluskan pemekaran tersebut?

ZG: Pertama diorganisasikan menjadi anggota partai borjuis, lalu dijadikan elit politik (DPR). Selanjutnya, penangkapan Victor Yeimo pada 9 Mei 2021, dituduh sebagai provokator aksi anti rasisme di Papua (2019), aksi anti rasisme disebabkan persekusi dan rasisme tahun 2019 di Surabaya, ada gelombang massa yang sangat besar. Gelombang massa itu berlangsung meluas di seluruh wilayah Papua, termasuk di Jayapura. Gelombang massa aksi itu merespons secara spontan, kemudian negara berupaya kriminalisasi gerakan rakyat. Beberapa pimpinan gerakan menjadi tumbal untuk ditangkap misalnya 7 tapol di balikpapan, 6 tapol di Jakarta, Timika, Fak-fak, sorong dsb, hal ini membuat agenda gerakan terhambat karena harus rekonsolidasi ulang, akhirnya dimunculkan Petisi Rakyat Papua (PRP). PRP dilaunching pada 4 Juli 2020 untuk merespons Otsus karena menurut kami kebijakan itu merupakan riil kolonialisme yang ada di Papua dan dirasakan oleh semua rakyatnya, bahkan terbukti secara historis, otsus bukan tuntutan politik rakyat. Tuntutan kami hak menentukan nasib sendiri dalam skema sipil-politik.

Ketika PRP terkonsolidasikan dan perlahan mulai membangun gerakan persatuan massa, aksi dll, negara yang berusaha mengkriminalisasi gerakan, sehingga penangkapan Victor Yeimo sebagai upaya mendemoralisasi gerakan. Victor Yeimo salah satu jubir KNPB dan jubir internasional PRP. Sebelum penangkapan Victor sempat ada pemadaman internet (30 April 2021, sekitar pukul 22.00 WIT), lebih tepatnya penurunan bandwitch, sehingga beberapa titik saja yang mendapat akses internet. Pola ini merupakan upaya negara untuk mengisolasi gerakan.

Elit-elit politik Jakarta dan Papua sangat berperan aktif. Sebelum internet dipadamkan, ada pembentukan pansus dari DPR RI (April 2021) kemudian datang ke Papua mengambil tokoh-tokoh agama, mahasiswa, pemuda, perempuan melakukan rapat di hotel untuk melegitimasi pengesahan otsus. Setelah disahkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (otsus jilid dua), menjadi peluang besar untuk melakukan pemekaran. Tidak terlepas dari elit-elit ini juga terafiliasi dengan partai bojuis nasional yang memiliki kepentingan untuk mengeksploitasi manusia maupun alam di Papua. Bahkan semua ini juga dirasakan oleh rakyat Indonesia.

Kesulitan kami karena isolasi ilmu pengetahuan sekian lama di Papua akibat paham yang berhaluan kiri, dalam arti melawan kolonialisme, imperialisme, militerisme yang berusaha dihilangkan oleh negara. Hari ini perlahan pembicaraan maupun perdebatan dimulai kembali, dan saat-saat ini kita mulai melihat itu untuk memperluas kesadaran, bahwa musuh kita bukan orang Indonesia, tapi kekuasaan hari ini. Karena rakyat Indonesia pun menderita karena sistem ini. Bahkan orang Indonesia di Papua saja sudah punya kesadaran kalau penindasan ini bukan hanya soal identitas, bahwa ini ada kelas yang menindas dan ditindas.

Baca Juga:

 

  1. AT: Beberapa sumber menyebutkan pemekaran akan semakin mempertajam konflik horizontal antar rakyat Papua. Bagaimana menurut anda berdasarkan pengalaman otsus dua jilid selama ini?

ZG: Saya pikir itu memang akan terjadi kalau kesadaran hari ini bukan tentang perjuangan kelas. Meski hari ini banyak yang sadar kolonialisme tapi perjuangan kelas harus tetap dipropagandakan. Karena sebenarnya transmigrasi ini tenaga kerja yang tidak mendapat akses pekerjaan di tempat mereka kemudian datang ke Papua untuk bekerja, lantas diperhadapkan dengan rakyat Papua yang tidak bekerja karena sasaran produksinya dirampas. Saya pikir ini adalah upaya untuk memanipulasi kesadaran rakyat Papua bahwa musuhnya adalah sesama pekerja, bukan sistem yang menindas

  1. AT: Beberapa sumber juga menyebutkan masyarakat adat Papua akan terancam dengan agenda pemekaran. Bagaimana menurut pandangan anda? Masyarakat adat mana saja yang kelak akan terancam?

ZG: Berkurangnya masyarakat adat itu jelas akibat pola militeristik Indonesia. Sejarah Indonesia menganeksasi Papua memang militeristik, misalnya dengan operasi militer berakibat pada pembunuhan massal. Pemerintah Indonesia juga sebenarnya dengan program-programnya mengubah struktur masyarakat, sehingga orang meninggal bukan hanya karena ditembak mati, tapi juga karena sistem kesehatan dan lainnya yang buruk. Masyarakat adat kalau tanpa tanah jelas bukan masyarakat adat, karena adatnya dirampas.

Program militerisme juga memaksakan perubahan kebudayaan, misalnya operasi koteka, yang mana pemberantasan kebudayaan koteka kemudian dipaksakan menggunakan kain. Setelah menggunakan kain tidak didemokratiskan pengetahuan tentang bagaimana membuat kain, namun dipaksakan untuk membeli pakaian, sehingga harus memiliki uang.

  1. AT: Beberapa provinsi baru Papua menggunakan nama adat tertentu, padahal di Papua masyarakat adatnya sangat beragam. Mungkin itu juga bias memperparah konflik horizontal?

ZG: Benar, apalagi politik devide et impera saja sudah kental. Misalnya orang gunung-pantai. Seakan orang gunung itu lebih terbelakang dari orang pesisir, padahal ada sejarah penindasan panjang yang menciptakan itu. Tambahan juga ada konflik horizontal di ruang kerja. Belum lagi konflik horizontal akibat ormas-ormas binaan militer Indonesia dan ormas Islam,  yang sedang mengonsolidasi kekuataanya di Papua. Nah, dengan adanya pemekaran ormas-ormas ini juga akan ikut memekarkan sayap-sayapnya untuk kepentingan menjaga modal. Dari sejarahnya, mereka lah yang akan hadir unuk menciptakan benturan horizontal ketika masyarakat ingin bicara soal hak-hak mereka.

  1. AT; Tiga RUU provinsi baru Papua sudah disetujui paripurna DPR, Apa langkah perjuangan rakyat Papua selanjutnya?

ZG: Kami akan tetap aksi demi penyadaran massa luas dan melakukan upaya yang bisa dilakukan. Pemekaran ini hanya bagian kecil dari program lain yang sangat memperparah penindasan. Akan ada aksi serentak lagi  termasuk dari PRP. Bagusnya hari ini kawan-kawan sudah dikonsolidasi, termasuk soal menyikapi G20, event internasional yang akan memperparah kembali penindasan, karena sejarahnya G7 memiliki 64% kekayaan dunia. Melalui ini kami akan terus melakukan aksi massa, diskusi, konsolidasi untuk meningkatkan kesadaran. Karena ditakutkan demoralisasi dari masyarakat sendiri, khususnya kalangan pemuda yang paling aktif.

  1. MAF (Muhammad Azka Fahriza): Berdasarkan penglaman saya, kampus merupakan episentrum gerakan di Papua, misalnya Uncen, tapi tentu di bawah ada dinamika yang lebih rumit daripada itu. Menurut Zuzan, peran kampus sebagai aktor penting dalam gerakan penolakan DOB maupun kebijakan Jakarta lainnya seperti apa?

ZG: Melihat para akademisi di Uncen maupun universitas lainnya, yang ingin saya tegaskan di sini ialah dua provinsi besar, Papua dan Papua Barat hanya ada dua kampus negeri, yakni Universitas Cendrawasih (Uncen) dan Universitas Papua, sedangkan universitas swastanya lebih banyak. Bisa dibayangkan juga kalau kebebasan berpendapat di universitas swasta lebih dikekang dibanding negeri. Terlebih, akibat kebijakan neoliberal hari ini universitas negeri juga sudah mirip dengan swasta kepemilikan pribadinya. Sehingga pengizinan militer untuk masuk ke kampus, hingga pada aksi anti-rasisme di lingkungan Uncen  tanggal 23 September 2019 ada penembakan. Beberapa kali mahasiswa Uncen juga melakukan aksi selalu dibubarkan paksa. Itu juga bentuk inisiatif dari mahasiswa karena merasakan situasi penindasan kronis di Papua.

Akan tetapi kalau kita berbicara tentang akademisi justru mayoritas tidak memiliki perspektif politik yang berpihak pada rakyat. Sebaliknya, mereka justru berpihak pada kepentingan negara.  Ada banyak sekali hal-hal yang dikomandoi dari atas kemudian ke bawah. Misalnya kasus 21 Mei 2021 penggusuruan rusunawa Universitas Cendrawasih. Kenapa terjadi penggusuran? Padahal rusunawa dihuni oleh mahasiswa, mahasiswa tersebut melakukan aktivitas konsolidasi rakyat. Rusunawa juga merupakan basis-basis gerakan, misalnya Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sekretariatnya berlokasi di sana. Hal ini membuktikan mahasiswa dibatasi dalam kebebasan berserikat dalam ruang kampus. Kemudian tempat tersebut juga biasa digunakan untuk aksi, konsolidasi dan diskusi oleh kawan-kawan. Jika kampus sudah tutup karena jam malam, kadang-kadang  mereka melanjutkan rapat disana. Jadi represivitasnya bukan hanya di kampus sebagai ruang demokratis, tapi sudah sampai pada ruang-ruang asrama.

Hal-hal ini yang menjadi penting disebabkan tidak memiliki perspektif politik, kesadaran akan siapa yang dilawan, siapa yang berkepentingan atas pencurian lahan, kemiskinan, genosida, ekosida dsb yang ada di Papua, sehingga dengan mudah dijadikan tangan kanan, tangan kiri, kaki kanan, kaki kiri pemerintah kolonial Indonesia. Terlebih tawaran pemerintah pun serius. Saya pernah ditawari jadi  pekerja atau staf di kementrian bagian hukum dan HAM. Waktu itu saya masih menjadi ketua Keluarga mahasiswa Papua di tahun 2016. Sekali lagi, kalau tidak memiliki perspektif kelas tawaran tersebut jelas sangat menjanjikan ekonomi. Bisa jalan-jalan di Jakarta beberapa kali sebulan, makan di hotel, dan fasilitas lainnya. Sementara tidak sadar kalau sedang dipersiapkan untuk menjadi pion yang akan menciptakan konflik di Papua. Realitas lainnya bentuk pengondisian konflik horizontal adalah gunung-pantai, seakan-akan yang pantai adalah kolonial sedangkan yang gunung adalah melawan kolonial. Orang Papua sangat melekat dengan kepemilikan marga, misalnya jika Yance Udam adalah pemuda gerakan cinta tanah air NKRI, seakan asal suku dari wilayah Jayapura, dianggap sebagai binaan intel dsb. Semua ini adalah konflik yang diciptakan kolonial Indonesia.

  1. MAF: Pengalaman saya ketika berbincang dengan teman-teman di Papua, bahkan dengan kawan-kawan di gerakan sendiri, kada ada muncul keinginan sebagian dari mereka menjadi PNS, dan terkadang ada juga perspektif kalau orang Papua berdaya di tanah sendiri adalah, secara implisit, ketika semakin banyak OAP yang menduduki jabatan/posisi tertentu di pemerintahan. Saya melihat ini menjadi semacam pra-kondisi dari upaya penyatuan dukungan rakyat di Papua. Tadi pun sempat disinggung soal otsus jilid dua juga DOB yang menjanjikan pelipatgandaan jumlah PNS. Jika kita hubungkan antara marga/suku yang juga dikomodifikasi negara untuk memperoleh dukungan dari Papua, melalui pemberian kue-kue pembangunan via Otsus, misalnya, menurut Zuzan, seberapa berat upaya untuk meyakinkan rakyat Papua untuk menerima ide penolakan DOB?

ZG: Kembali lagi, kuncinya adalah perspektif kelas. Mau dia PNS, atau siapapun, kecuali kapitalis atau memiliki modal, kita masih bisa meningkatkan kesadarannya dari hanya makan-minum menjadi kesadaran politik. Sehingga bisa membentuk persatuan yang kuat. Saya ingin sedikit cerita sejarah, pada tahun 1971 pernah terbentuk OPM (Organisasi Papua Merdeka). Dalam catatan-catatan sejarahnya, tidak ada pandangan soal politik identitas, kapitalisme, sentralisme demokrasi, dll. Namun kepentingannya adalah bersatu untuk melawan penjajah, hal ini yang membuat front persatuan ini kuat sekali. Ia tidak memandang hanya orang Papua, bahkan ada orang Tionghoa menjadi anggota. Menurut saya itu adalah kemajuan front di tahun tujuh puluh satu. Tapi kemudian dihancurkan oleh negara dengan militerisme-nya, inilah penyebab mengapa harus bongkar pasang front lagi, hingga hari ini PRP muncul.

Sulitnya penyadaran masyarakat bisa dibayangkan, ini puluhan tahun kesadarannya dimanipulasi. Seharusnya kita melawan setan-setan tanah, justru malah melawan orang yang hari ini juga sebenarnya sama perlu pekerjaan untuk makan-minum. Untuk meyakinkannya kami selalu melakukan aksi-aksi massa, supaya mengingatkan kalau perjuangan kita tidak mati, masih bisa berdiri. Bahkan di internal kami pun ada perdebatan soal perjuangan, tapi yang paling penting adalah bagaimana masyarakat bisa melibatkan diri dalam perjuangan yang besar ini. Di tengah itu propaganda soal sistem yang menindas, kapitalisme, kolonialisme terus bejalan.

Satu hal lainnya adalah tenaga produktif yang bisa mengorganisir kelas-kelas sosial yang terbentuk di Papua. Karena sekat-sekat, bukan hanya yang dibentuk oleh kebijakan negara, tapi juga agama, latar belakang pendidikan, latar belakang pekerjaan, dll. Ini membentuk kebudayaan yang saling mengisolasi satu sama lain. Padahal kalau kelas-kelas ini diorganisr untuk kepentingan yang lebih besar itu bisa.

Hari ini sudah harus terjadi. Karena kalau kita lihat sejarahnya otsus jilid satu adalah program yang membuat rakyat Papua bergantung pada uang, dan sudah terjadi dua puluh tahun. Tahun 2008 krisis, kemudian 2011 ada MP3EI untuk percepatan pembangunan Indonesia, program Papua dilahirkan UP4B. Ini juga semakin memperburuk kondisi masyarakat, dan membentuk kelas-kelas sosial. Kini otsus jilid dua yang, kewenangannya disentralkan di Jakarta, bisa dibayangkan bila ada perusahaan mau mengeksploitasi langsung melalui Jakarta tanpa beritahu OAP/masyarakat sekitar. Kondisi masyarakat semakin memburuk karena sasaran produksinya (tanah) sudah rampas dan digantingkan infrastruktur, masyarakat jadi berpikir bagaimana caranya bertahan hidup, jadi buruh, jadi apapun bisa. Hal ini juga yang menjadi alasan kenapa PRP harus melawan imperialisme, kolonialisme, militerisme, dan bahkan membuka solidaritas buat Indonesia atau Internasional untuk Papua. Tujuannya adalah untuk membuka ruang agar kita bisa melihat situasi kita sudah sampai mana. Dan perdebatan ini harus menjadi ide-ide baru untuk langkah-langkah menjalankan program-program ini. Sejarah penindasan Penjajahan Belanda, dilanjutkan penjajahan Indonesia menyebabkan tidak sedikit rakyat yang mengalami demoralisasi. Namun, kami akan terus melakukan perdebatan, aksi masa dan belajar agar menemukan, memperjelas sejarah dan bagaimana kita melawan.

  1. MAF: Tadi soal disinggung soal orang non-Papua dalam perjuangan, misalnya para pendatang. Kalau saya bergaul dengan kawan-kawan, misalnya di SONAMAPPA (Solidaritas Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua Barat) dan GempaR Papua (Gerakan Mahasiswa Pemuda Rakyat Papua) sulit mencari, jangankan orang non-Papua, muslim Papua pun sulit. Bagaimana pengalaman Zuzan mengampanyekan, baik itu di media sosial, atau secara langsung mendekati. Saya pernah punya pengalaman membuat forum yang komposisinya orang Papua dan non-Papua. Menurut saya, sebenarnya kedua kelompok ini bisa cukup berbagi pengalaman keterpinggiran sebagai orang Papua, mengapa Papua menjadi daerah yang paling dimiskinkan sejak awal. Pengalaman di gerakan kira-kira seperti apa?

ZG: Kalau dari pengalaman saya karena dulu terlibat AMP di Jawa, melihat bahwa bukan hanya identitas agamanya, asal sukunya, orientasi seksual juga, sebenarnya kita mengalami struktur penindasan yang sama. Ketika di sana punya juga teman-teman non-Papua, tapi ada di Papua. Di situ lah ruang-ruang kami untuk saling berbagi. Tidak terlepas juga dari kondisi subjektif gerakan di Yogyakarta, diskusi di mana-mana. Diskusi, konsolidasi, itu menjadi ruang kami berkomitmen membangun sesuatu yang baru.

Dulu AMP Malang kami punya anggota muslim Papua, kebudayaan organisasi yang membuka ruang demokrasi membantu penghilangan sekat-sekat. Semua orang punya perspektif dan pengalaman berbeda, tapi kita melihat kenapa nasib rakyat ditindas seperti ini. Misalnya di saat aksi, kami bergerak kolektif bersama kawan-kawan Muslim Papua, meski dianggap minoritas dan merupakan agama yang hari ini menindas kami. Tapi menurut saya tidak, justru harus diberikan ruang lebih besar untuk mengkritisi negara. Bahwa ini bukan soal agamanya, identitas, atau latar belakangnya, tapi persoalan negara sedang merampas kita.

Beberapa kali juga aksi di Papua kawan-kawan muslim Papua berperan aktif, bahkan menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang esensi Islam dan pembebasan manusia, hal memberikan perspektif yang berbeda. Berbeda seperti kata orang-orang kalau Islam ini menindas (karena agama dominan Kristen/Katolik), padahal ruang demokrasi bersama sengaja diisolasi oleh negara. Jika dilihat dari sejarah kepitalisme menggunakan agama untuk melakukan ekspansi kapital kristen protestan maupun khatolik. Saya optimis, dengan memunculkan kawan-kawan muslim Papua, itu akan membentuk kebudayaan baru. Kebudayaan yang dibangun bukan karena sekat-sekat tadi. Propaganda juga, misal soal LGBT, perlu pelajari sejarahnya supaya ilmiah sehingga semakin banyak sektor yang berjuang untuk pembebasan nasional. Kita tidak bisa meyakini Papua merdeka itu ruang kosong, tidak ilmiah  atau mistis-mistis.

  1. MAF: Menarik kalau kita berbicara agama. Islam, Kristen, Katolik itu sama potensialnya untuk apapun di Papua. Dalam konteks otonomi khusus atau DOB, pemerintah pasti melakukan kampanye, seperti di koran lokal, elit-elit Papua, keturunan pendatang seputar dukungan terhadap DOB maupun otsus jilid dua. Bagaimana peran agama memuluskan agenda ini, misalnya peran lembaga dan pemimpin gereja?

ZG: Saya mungkin tidak punya data riil soal jumlah sinode di Papua, tapi saya ingin melakukan pembacaan lebih jauh. Di Otsus ada tiga tungku/pilar yang mendapat dana, yakni perempuan, adat, agama. Gereja dapat paling banyak. Praktik ini ialah rasisme, karena dalam sejarahnya Papua bukan orang Kristen saja, tapi ada juga non-Kristen. Dalam sejarah transmigrasi juga ada Hindu, Buddha, Islam, terjadi sejak sebelum tahun 60-an sampai hari ini. Padahal gereja ini juga melakukan akumulasi kapital. Rakyat harus membayar 10 % setiap minggu dari pendapatannya ditunjukan dengan uang derma yang besar setiap gereja, tapi realita masyarakat di Papua menjadi wilayah termiskin di Indonesia.  Hal ini tidak terlepas dari agama sebagai lembaga/institusi yang memanipulasi kesadaran masa rakyat, kemudian ditambah dengan negara yang menggunakan agama sebagai corong untuk merampas hak rakyat.

Sejak 2020 pimpinan sinode gereja (Kingmi, Baptis, GKI, GIDI) terkonsolidasi dalam Dewan Gereja Papua, kemudian 58 Pastor papua sikap politiknya mulai muncul, untuk menolak Otonomi khusus. Saya pikir harus lebih dari pernyataan sikap, tetapi harus membawa jemaat untuk bergerak bersama-sama masyarakat. Bukan soal pers-pers atau propagandanya saja, namun aksi masa menduduki pusat-pusat kota. Gereja harus mengajak jemaatnya untuk merasakan solidaritas antar jemaat seperti yang dilakukan Yesus Kristus, keluar dari zona nyaman gereja untuk berbicara dan berdebat seputar persoalan bangsa, soal penindasan di Papua. Ancaman dan teror terhadap pimpinan sinode atau pemimpin agama terus terjadi, kemudian hegemoni jemaat yang ada elit-elit politik maupun kapital-kapital yang berkepentingan di Papua sehingga untuk mengajak rakyat bersolidaritas bersama masih susah.

 

Ambrosius Mulait

  1. AT: Baru-baru ini aksi menolak pemekaran Papua terjadi di Jakarta yang juga melibatkan represi dari aparat. Bisa ceritakan bagaimana jalannya aksi kemarin (organisasi yang terlibat, kronologi singkat, dan fakta lapangan)?

AM (Ambrosius Mulait): Memang aksi penolakan pemekaran itu serentak. Jadi tidak hanya di Papua, tapi juga di Jakarta, Bandung, Bogor, Tangerang, Yogyakarta, Ambon. Kalau di Papua itu lokasinya Jayapura, Wamena, Yahukimo, Timika, Sorong. Kenapa hari ini rakyat Papua menolak otsus dan pemekaran? Karena pemekaran adalah anak kandung dari otsus. Otsus hadir selama ini karena aspirasi politik Papua merdeka. Jadi jelas kalau pemerintah soal perpanjangan otsus harus melibatkan rakyat Papua, dan mendengarkan aspirasinya, apa yang diinginkan. Sesuai Pasal 76 uu otsus MRP lembaga negara yang melakukan rapat dengar pendapat (RDP) di setiap wilayah 7 wilayah adat. RDP yang dilakukan MRP dibubarkan oleh aparat gabungan. Misalnya, mereka melakukan RDP di Merauke dibubarkan, ditangkap, bahkan beberapa dipenjarakan. Bahkan, TIM MRP setelah ke Wamena dihadang barisan oleh ormas barisan merah putih saat mau keluar dari bandara. Tidak jadi, akhirnya mereka kembali ke Jayapura.

Selain itu, setelah aksi penolakan otsus, rakyat Papua diperhadapkan dengan moncong senjata. Ketika ada demonstrasi damai ada yang dipukul, banyak. Di Jakarta sendiri ada dua kawan kami yang kena tangkap, sampai diproses hukum enam bulan, lalu dibebaskan, Kevin dan Roland. Pada 15 juli 2021 demo penolakan pengesahan Otsus Depan DPR RI ada penangkapan 50 orang dari Polda Metro Jaya, kemudian dibebaskan sore hari. Demo 11 april 2022 105 orang yang ditangkap saat aksi penolakan DOB di Mendagri kemarin. Dalam aksi penolakan otsus ini seakan rakyat Papua ini tidak ada apa-apanya oleh pemerintah Indonesia. Bahkan pemerintah saat membahas otsus pun tidak sesuai dengan undang-undang otsus itu sendiri. Pasal 76 itu menyatakan, dalam evaluasi otsus MRP melakukan RDP,  dengan merampung aspirasi masyarakat Papua seperti apa. Hasil aspirasi masyarakat Papua Barat sendiri itu menolak otsus dan meminta Pemerintah Indonesia lakukan dialog. Bahkan di wilayah Papua hal yang sama beberapa daerah saat demo rakyat sampaikan hal yang sama.

Aksi kemarin, depan mendagri media juga melakukan framing kalau tidak ada surat izin. Ketika tidak ada surat izin itu orang tidak mungkin melakukan aksi. Karena 10 tahun saya di Jakarta, ketika aksi-aksi Papua kami beri surat pemberitahuan, ke intelkam Polda metro jaya kami tidak pernah diberikan surat tanda terima untuk melakukan aksi. Kebiasaan aparat di Intelkam Polda “ Suratnya sudah masuk, nanti ketemu di lapangan saja ”, begitu katanya. Walaupun kita minta pun pihak apparat mereka tidak akan kasih. Tujuannya supaya mudah ditangkap. Jadi memang praktik seperti itu ada. Saat ada kekerasan, represi, dihadang, aparat bisa beralasan kalau aksi ini tidak ada izin.

Kemarin juga saat aksi polisi sempat sebar isu kalau ada bendera bintang kejora. Itu isu yang tidak benar. Kami juga sadar, kalau polisi mau melakukan kriminalisasi. Waktu otsus juga begitu, karena kami teman-teman mahasiswa di sini lebih menekankan pemerintah pusat tidak boleh bertindak semena-mena, kembali mempertanyakan untuk Membuka ruang untuk mendengarkan aspirasi rakyat Papua. Kemarin saat aksi penolakan DOB jalan lingkaran depan istana, itu dijadikan sebagai objek vital, ditutup. Padahal sebelum-sebelumnya aksi itu biasa-biasa saja. Teman-teman mulai mau ke depan Mendagri langsung dihadang, sudah berdatangan dari Gambir ke arah Veteran. Polisi datang memprovokasi massa aksi, meneriaki salah satu massa aksi “monyet” sehingga aksi ricuh.

Kemudian pasca otsus ruang demokrasi dibungkam habis-habisan. Bukan hanya di Papua, bahkan  aksi-aksi OAP di luar Papua juga. Setelah penangkapan dua kawan kami, bahkan asrama-asrama pun didatangi aparat, ada intimidasi. Pasca kami melakukan konsolidasi otsus itu, beberapa kawan dibawa pimpinan Carles Kosay dan Januar Mabel difasilitasi untuk membuat kegiatan oleh Polda. Semacam kegiatan untuk mendukung otsus tetap berlanjut hal yang sama DOB. Kemarin saja kami di kalangan mahasiswa dikondisikan habis-habisan. Kita lihat dari total jumlah teman-teman yang menolak DOB itu lebih banyak dari yang mendukung. Itu pun orang yang mendukungnya karena dibayar oleh aparat, kemudian membuat pernyataan. Tapi pernyataannya pun dalam bentuk video, sementara teksnya sudah disiapkan oleh aparat. Kemudian mereka suruh masyarakat membacakan teksnya sesuai yang sudah ditulis. Memang pengkondisian itu tidak hanya di Jawa tapi di Papua Ada beberapa tempat yang ketahuan. Seperti di Nabire, orang-orang tua kami yang tidak tahu apa-apa disuruh baca teks untuk mendukung otsus. Kemudian setelah dibacakan statement dukung otsus itu diberi ongkosnya adalah Supermie, perekaman dilakukan oleh aparat TNI dengan seragam lengkap dan videonya viral.

Kalau organisasi yang kemarin ikut aksi penolakan otsus di Jakarta ada sekitar 122 organisasi, yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) sebelumnya 118. Aksi kemarin di Jakarta itu kolektif, gabungan dari berbagai organisasi, yang tergabung dalam PRP. Jadi kita tidak mengatasnamakan satu organisasi tertentu. Hal yang sama juga kami lakukan di aksi penolakan DOB.

Kembali lagi, konkretnya kenapa DOB ditolak oleh rakyat karena tidak memenuhi syarat. Otsus itu sendiri pun dikebut karena demi kepentingan melakukan pemekaran di Papua. Sementara otsus itu sendiri tidak ada hal substansial yang mengatur hak-hak orang Papua itu sendiri. Bahkan mereka  (pemerintah) membuat satu legitimasi bahwa untuk melakukan pemekaran itu dasarnya undang-undang otsus yang baru. Sebelumnya, UU Otsus menyatakan kalau pemekaran dilakukan berdasarkan aspirasi rakyat Papua, melalui rekomendasi MRP, dan diusulkan DPRP Papua ke pemerintah pusat. Tapi setelah substansinya diubah, pemekaran provinsi dilakukan atas aspirasi rakyat Papua melalui MRP, tapi seandainya MRP menolak atau tidak menetujui pemerintah pusat bisa melakukan inisiatif pemekaran. Artinya sebelumnya ada lex specialis, sekarang itu hilang sama sekali, karena diambil alih semua isi kewenangan otsus oleh pemerintah pusat.

  1. AT: Bagaimana respons organisasi OAP di luar Papua dalam merespons kebijakan pemekaran? Apa ikut menggalang aksi penolakan? Di mana saja? Apa ada represi atau tidak?

AM: Kalau di Bandung, Yogyakarta jalannya aman. Teman-teman yang sering mendapat represi itu di Malang, Surabaya, Makassar oleh aparat dan ormas gabungan, termasuk Pemuda Pancasila. Bahkan di Makassar ormas sering datang demo mahasiswa Papua di asrama kamasan Papua. Kalau di Jakarta represi paling besar itu terhadap mahasiswa Papua. Kemarin saja saat aksi soal DOB, kawan kami dipukul oleh tongkat baton stik (Alpius Wenda).

Padahal kawan-kawan Papua ini kalau tidak mendapat represi dari ormas dan aparat, semuanya akan berjalan baik-baik saja, damai. Jadi kalau aksi paling sopan itu orang Papua. Karena orang Papua ini diperhadapkan dengan moncong senjata dan beragam macam persoalan, mulai dari pembunuhan, penembakan, bahkan pembahasan strategis seperti kebijakan saja tidak pernah dilibatkan. Tapi orang Papua sadar kalau tidak aksi dengan cara damai, kami akan diperlakukan lebih tidak manusiawi. Maka dari itu kawan-kawan setiap kali aksi selalu dengan cara damai. Kecuali kalau ada provokasi lewat pemukulan lebih awal. Bahkan di Papua sendiri, Yahukimo, 10 orang ditembak, dua orang tewas, sisanya dalam kondisi kritis.

 

  1. AT: Apa organisasi anda sendiri juga terlibat aktif dalam aksi penolakan? Bisa jelaskan sikap organisasinya?

AM: Iya, karena berdasarkan hasil kongres Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI) pada 2020 di Jayapura. Salah satu hasil kongres itu adalah menolak perpanjangan otsus dan lakukan dialog. Rekomendasi kami adalah pemerintah Indonesia harus membuka ruang dialog untuk menampung aspirasi rakyat Papua. Karena itu kami juga menolak DOB karena satu paket dengan otsus. Kami berpandangan dua puluh satu tahun otsus di Papua justru tidak memanusiakan orang Papua, angka kematian paling tinggi, kematian ibu-ibu juga tinggi, pendidikan relatif tertinggal jauh, kesehatan paling buruk, kemiskinan tinggi. Jadi jelas harus ada kebijakan baru.

Sebelum ada pemekaran itu juga kami sudah konferensi pers. Solusi kami adalah pemekaran di Papua tidak layak karena jumlah penduduk secara umum Papua dan non-Papua itu 4,3 juta, sementara orang Papua asli itu 2,1 juta. Jadi ketika ada pemekaran ini yang akan menikmati siapa? Jadi kami melihat ini ada politik (pendudukan) dan akan ada peluang transmigrasi besar-besaran yang akan masuk ke Papua.

Karena dari pemekaran dua provinsi yang ada saja, misalnya di keterlibatan legislatif/eksekutif itu bermasalah (orang asli Papua (OAP) sangat minim. Misalnya di Jayapura, Total kursi DPRD itu ada 40, dan orang Papuanya sendiri hanya 15 orang sisanya non Papua. Di Merauke ada tiga puluh kursi, keterlibatan orang Papua asli hanya lima orang. Karena ruang-ruang politik ini diambil oleh orang-orang yang punya partai semua, selain itu jumlah penduduk yang sedikit akibat genoside atau ditembak mati dan dominan orang yang punya uang saja dapat membeli partai dan suara. Sedangkan kami orang Papua sendiri mau disebut kaya juga tidak masuk akal, karena sumber dayanya saja dikeruk oleh Indonesia, Amerika, dan kapitalis lainnya.

Pemekaran ini sendiri juga bertentangan dengan proses penyusunan undang-undang itu sendiri. Karena Sesuai aturan prosedur pemakaran provinsi Pasal 32-34 uu 32 Tahun 2014 pemerintahan daerah bertentangan dengan pasal 72 UU Otsus yang telah direvisi. Secara proses penyusunan undanga-undang secara administrasi bertantangan, karena pemekaran dilakukan lewat daerah persiapan. Tapi untuk Papua ini tidak ada daerah persiapan, langsung dilakukan pemekaran. Jadi intinya UU Otsus ini bahkan bertentangan dengan UU pemekaran. Syarat jumlah penduduk juga tidak memenuhi syarat. Orang Papua ini kaya, tapi dibuat ketergantungan. Jadi ketika ada pemekaran, ada investasi asing masuk untuk membuka usaha, orang Papua tetap saja tidak dihargai akan terpinggirkan. Bisa dilihat dari bisnis kelapa sawit, Freeport, sudah ekploitasi lama tapi orang Papua tetap miskin, apalagi kalau sudah dibuka pemekaran baru (DOB). Jadi seakan di Papua sistem ini bisa diutak-atik, kalau pun bertolak bekalang tidak apa-apa.

Harus diingat juga kalau kepemilikan tanah di Papua ini juga berdasarkan marga, sub suku, atau klan. Misalnya marga Tabuni. Dalam satu wilayah adat itu bisa ada sampai 108 orang. Jadi setiap marga itu punya kepemilikan tanahnya sendiri. Nah, kalau dipaksakan ada pemekaran kemungkinan besar akan terjadi pergesekan sesama masyarakat. Belum juga nanti akan ada penambahan jumlah militer besar-besaran akibat pemekaran. Tapi buat saya ini bukan soal politik Papua merdekanya, tapi soal cara baru politik Pendudukan dan imajinasi nasionalisme dan kemanusiaan. Persoalan nasionalisme koletif orang Papua tidak bisa dipangkas dengan kebijakan otsus dan anak kandungnya Pemekaran (DOB) derah otonomi baru. Di Papua Barat, kenyataanya terjadi pemaksaan secara politis walupun dampaknya sangat buruk bagi ekonomi, politik, dan agraria. Indonesia selalu melihat Papua secara kaku, dan malah menambah banyak konflik di Papua, bukanya diselesaikan dengan cara beradab.

Pemekaran dan Otsus itu wujud nasionalisme Indonesia maka tidak akan mempengaruhi keinginan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi orang Papua, karena banyak negara maju telah membuktikan itu, Misalnya Catalonia yang negaranya maju meminta referendum, yang mana memiliki sumbangan besar bagi kemerdekaan spanyol, tetapi memiliki tekad untuk merdeka. Hal yang sama Referendum New Caledonia merdeka dari Prancis, begitu juga invasi Rusia ke Ukraina. Ini negara-negara maju dan beradab dan inin sesuatu yang baru, artinya setiap orang hidup dalam imajinasi nasionaslisme. Begiu juga hal yang sama Indonesia saat kolonialisme Belanda dengan prokyek insfrastruktur. Politik identitas ala Jakarta tidak menggambarkan moral orang Papua justrus praktik tersebut tindakan rasisme Indonesia atas rakyat Papua. Orang Papua butuh hidup bukan pembangunan rasis melalui otsus dan DOB.

  1. AT: Beberapa organisasi gerakan rakyat Indonesia juga ikut bersolidaritas mendukung aksi tolak pemekaran di Papua. Bagaimana tanggapan anda?

AM: Saya sangat respect dan berterima kasih. Selama ini kami di Papua diperhadapkan antara rakyat dan aparat, dan kami selalu dibungkam. Media-media pun diminimalisir oleh negara dan aparat. Sehingga isu yang terjadi di Papua ini tidak bisa didengar warga Indonesia. Pergerakan orang Papua itu semakin dikekang. Saat ada solidaritas dari kawan Indonesia kami merasa tidak sendiri saat menuntut hak-hak kami, termasuk hak menentukan nasib sendiri.

Artinya semakin banyak orang Indonesia yang sadar. Jadi buat saya ini nilai plus, karena meski informasi di Papua dibatasi, tapi ternyata bisa tahu dan mau bersolidaritas. Bahwa di Papua ini ada persoalan besar, ada krisis kemanusiaan, eksploitasi besar-besaran. Artinya rakyat Indonesia ini semakin peduli dengan Papua. Bahwa ada persoalan bersama. Sehingga persoalan pemekaran ini bisa didengar oleh publik, dan stigma-stigma terhadap orang Papua juga bisa hilang.

Bahkan orang Papua ini merasa bangga. Kenapa orang Indonesia saja bisa bicara soal Papua, sementara di Papua sendiri masih ada yang tidak bicara. Jadi ini salah satu kemajuan, termasuk misalnya ketika rakyat Indonesia membuka ruang-ruang diskusi soal Papua.

  1. AT: Seandainya negara ngotot melakukan pemekaran, apa organisasi OAP di luar Papua siap menggalang kekuatan massa lebih besar?

AM: Kemungkinan besar akan terjadi. Misalnya di kalangan mahasiswa, mereka akan hadir ketika mendengar informasi. Karena Rakyat Papua itu secara sikap lebih banyak menolak pemekaran dan otsus, sementara yang mendukung hanya segelintir orang. Dukungan itu datang dari para bupati yang sudah dua perode masa jabatannya karirnya akan habis, maka dari itu perlu tempat berkarir lagi. Bahwa kemarahan ini sudah lama, sudah enam puluh tahun lebih akibat kebijakan yang tidak pernah menghargai orang Papua. Penolakannya pun akan dengan cara damai (perlawanan rakyat Papua akan tetap berlanjut walaupun negara hendak memaksakannya).

 

 

 

Related Posts

Comments 1

  1. Yeromi says:

    Sudah jelas, Otsus dan Pemekaran ini produk jahat Jakarta maka, hanya orang jahat yang akan kompromi dukung Jakarta merancang kejahatan dibalik retorika kesejahteraan.

    ~Victor Yeimo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.