Membunuh Inisiatif Karantina Desa dan Pencitraan Kampanye Vaksinasi Covid-19: Cerita dari Hitu

1k
VIEWS

Katong harus iko (ikut) vaksinasi. Ini penting untuk kase ilang (melenyapkan) Covid-19. Apalagi bapak presiden dong datang langsung menyaksikan kegiatan ini”, ucap Halim, seorang laki-laki paruh baya.

 

Halim merupakan wirausahawan sekaligus satu dari sekian orang yang namanya dipilih untuk mengikuti kegiatan vaksinasi Covid-19 untuk masyarakat, pada 25 Maret 2021 di Desa Hitu[1]. Hitu adalah bagian dari wilayah Kabupaten Maluku Tengah yang terletak di pesisir utara Pulau Ambon, dan berbatasan dengan wilayah Kotamadya Ambon. Jarak dari Hitu menuju ibukota provinsi Maluku, Ambon, adalah 20 kilometer.

 

Kegiatan vaksinasi Covid-19 ini dibuka langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).[2] Selain kegiatan ini, rombongan Jokowi juga membawa bantuan sembako dengan nilai 150 ribu rupiah per kantong dan dana pemberdayaan nelayan dengan nilai 3 juta hingga 8 juta rupiah per nelayan.

 

Halim, seperti banyak warga Hitu, bersedia divaksinasi dan merasa beruntung memiliki kesempatan melihat sosok Jokowi. Kegembiraan masyarakat ini tentu wajar adanya. Namun jika kita lihat lebih jauh, kampanye program vaksinasi Covid-19 ini tidak lepas dari politik pencitraan. Seakan-akan selama ini pemerintah berhasil menangani pandemi.

 

Di balik kampanye vaksinasi covid-19, ada kisah bagus bagaimana penanganan pandemi dari bawah, melalui karantina desa yang dilakukan di Desa Hitu (juga beberapa desa lain di Maluku) dimatikan oleh pemerintah pusat dan daerah. Hal ini karena langkah penanganan pandemi yang tidak selaras dan amburadul.

Karantina Desa

 

(Peta Pulau Ambon. Diadaptasi dari LSEM Utrecht 1998.)

Pilihan mengadakan kampanye vaksinasi Covid-19 di Desa Hitu bukan tanpa sebab. Dari beberapa kandidat lokasi untuk kampanye vaksinasi di Pulau Ambon, Hitu dipilih karena pemerintah desanya pernah melakukan inisiatif bagus ketika awal pandemi melanda, yaitu karantina tingkat desa.

 

Saat Jokowi pertama kali mengumumkan work from home (kerja dari rumah) pada 15 Maret 2020, kasus infeksi Covid-19 di Indonesia saat itu mencapai 117 kasus dan pasien meninggal adalah 5 orang. Angka ini di luar data alternatif dari peneliti luar negeri yang mengungkapkan bahwa virus Covid-19 di Indonesia menyebar tanpa deteksi dan jumlah kasus infeksi sebetulnya jauh lebih besar.

 

Berbagai komunitas kesehatan dan kelompok masyarakat sipil kemudian mendesak Jokowi melakukan lockdown karena melihat bahaya dari penyebaran Covid-19. Negara-negara Eropa saat itu sudah melakukan hal tersebut, seperti di Italia yang jumlah kasus infeksinya sangat tinggi. Namun pemerintah Indonesia sendiri bimbang dan tak segera memutuskan lockdown. Ketika akhirnya himbauan work from home (WFH) diumumkan, arus mudik ke banyak daerah mulai terjadi, tidak terkecuali ke Desa Hitu. Di akun media sosial orang-orang Hitu, banyak yang kemudian memposting foto-foto perjalanan mudik.

 

Di Hitu sendiri, kelompok-kelompok pemuda punya peran aktif dengan terlibat lebih awal mendorong dan meyakinkan pemerintah desa untuk menerapkan kebijakan pencegahan penyebaran Covid-19. Kelompok-kelompok pemuda ini sebagian terdiri dari mahasiswa, yang baru lulus kuliah, dan juga anggota dari klub pendaki gunung serta paguyuban kesenian. Berkat peran aktif mereka, pada penghujung Maret 2020 Kepala Desa Hitulama dan juga Kepala Desa Hitu Messing tergerak melakukan rapat. Mereka mengundang kelompok pemuda dan masing-masing perangkat desa untuk membicarakan pemberlakuan karantina tingkat desa.

 

Beberapa saran penting dari pemuda diakomodir, pembentukan relawan yang bertugas penuh di lokasi karantina, tempat karantina tidak boleh terlalu dekat dengan desa, setiap orang harus dikarantina tanpa kecuali, peserta karantina diberi dukungan berupa tunjangan makan dan jaringan internet. Dapat dikatakan bahwa inisiatif karantina desa ini merupakan inisiatif bersama, antara warga Hitu yang “diwakili” oleh kelompok pemudanya dan pemerintah desa.

Baca Juga:

 

Tidak lama setelah pertemuan antar kepala desa dengan pemuda itu, kebutuhan teknis dan peralatan pendukung karantina disiapkan. Kedua kepala desa sepakat untuk menjalankan karantina berpusat di satu lokasi dan dikawal oleh tim relawan gabungan dari Hitu Lama dan Hitu Messing.

 

Pada tanggal 1 April 2020, karantina desa resmi diberlakukan dan menargetkan warga Hitu yang datang dari berbagai tempat di luar Pulau Ambon. Tepat pada hari itu, 35 pemudik tiba di Hitu dan langsung di karantina. Para pemudik ini datang daerah seperti Papua, Jawa, Sulawesi, dan pulau-pulau lain di Maluku. Pada hari yang sama, di wilayah Provinsi Maluku, terdapat 132 orang dalam pengawasan (ODP) dan 8 orang pasien dalam pengawasan (PDP).

Pemudik yang dikarantina melakukan olahraga di lokasi karantina desa, Desa Hitu.
Sumber foto, rakyamaluku.com

 

Tempat karantina berada di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang jaraknya 600 meter di luar kampung. Lingkungannya bersih dan segar. Sebanyak 13 ruangan sekolah dipakai untuk ruang karantina dan dijaga oleh lebih dari 12 relawan. Para relawan adalah gabungan antara pemuda desa dari wilayah administratif Hitu Messing dan Hitulama. Beberapa telah lulus kuliah, pekerja honorer di instansi pemerintah, dan beberapa adalah pendamping desa. Rata-rata usia relawan adalah 35 tahun.

 

Tugas relawan dibagi. Ada yang menjaga pos pemeriksaan protokol kesehatan dan kedatangan orang, ada yang menjaga lokasi karantina, ada yang memantau ke dalam desa apakah terdapat pemudik yang lolos dari keharusan karantina, ada yang mengurus bantuan uang atau sembako, dan ada yang menyusun protokol karantina dan mengontrol agar jadwal harian karantina berjalan.

 

Semua pemudik diharuskan menjalani masa karantina selama 14 hari sejak kedatangannya. Keluarga pemudik didorong agar melapor jika ada sanak saudaranya akan mudik. Hal ini agar relawan dapat segera mempersiapkan kebutuhan peserta karantina. Beberapa pemudik yang tiba di Hitu tapi tanpa menjalani karantina atau mereka yang lebih dulu mudik sebelum karantina desa ditetapkan, didatangi relawan dan babinsa yang bertugas di Hitu untuk diminta menjalani sisa masa karantina di sekolah tersebut.

 

Terkait kewajiban mengikuti karantina desa, Kepala Desa Hitulama, Salhana Pelu, mengatakan, “Masalah ini tidak boleh dipandang bulu. Siapapun yang baru tiba di Hitu, harus dikarantina dan tidak boleh ada pilih kasih. Kebijakan ini harus tegas dan tidak boleh ada kompromi.”

 

Sosialisasi dan komunikasi dari relawan serta kelompok pemuda kepada masyarakat terkait dampak kesehatan dari Covid-19 membuat masyarakat Hitu mengerti dan mendukung kegiatan karantina desa. Kedua pemerintah desa mencetak beberapa poster dan baliho yang dipasang di sejumlah tempat, yang memuat penjelasan atas kebijakan pemberlakukan karantina.

 

Mereka yang dikarantina diberi bantuan makanan atau uang. Ada juga fasilitas jaringan internet. Pemudik yang dikarantina mendapatkan uang sebesar 700 ribu selama 14 hari, yang digunakan untuk membeli keperluan konsumsi harian. Bantuan ini dialokasikan dari dana desa (wawancara: Mei 2020, Februari 2021).

 

Sebagaimana diungkapkan oleh Ma, “Kedua pemerintah desa, baik Hitulama maupun Hitu Messing mendukung karantina desa karena kami tidak ingin ada virus corona yang dibawa masuk ke kampung. Kami menjamin beberapa kebutuhan orang yang dikarantina”. Ma adalah relawan yang juga bekerja di sebuah instansi pemerintah daerah dengan status pekerja honor.

 

Tim relawan karantina tidak hanya mengawasi lokasi karantina, tapi juga memperhatikan protokol kesehatan secara umum di Desa Hitu. Bagi penduduk Hitu yang pada saat itu masih melakukan perjalanan pusat kota Ambon, diwajibkan memakai masker dan mencuci tangan. Di pos pemantau kedatangan orang yang terletak di pinggir jalan, 20 meter dari lokasi karantina, relawan memastikan protokol kesehatan dasar dijalankan. Misalnya, khusus kendaraan bermotor yang datang atau berangkat dari Hitu, dihentikan, penumpangnya diminta mencuci tangan, dan dibagikan masker jika ada yang tidak memakainya.

 

Salah satu keterbatasan yang segera dihadapi di lokasi karantina adalah ketersediaan ruang kelas. Hanya tersedia 13 ruangan sementara satu periode karantina (14 hari) ada puluhan pemudik. Setiap ruang kelas tidak bisa disekat menjadi ruangan-ruangan kecil. Sebagai gantinya, relawan menempatkan beberapa orang di dalam satu ruang kelas yang ditentukan berdasarkan hari kedatangan mereka, kemudian memberi jarak tempat tidur antara satu dengan yang lain. Setiap hari, ruangan kelas dan lokasi karantina disemprot cairan desinfektan.

 

Dampak ekonomi dari karantina desa bagi kegiatan ekonomi warga Hitu cukup bervariasi. Saat itu yang dapat dicatat, kegiatan ekonomi relatif berjalan seperti biasa. Ada sebuah pasar di Hitu dan selama karantina desa pasar ini tetap beroperasi setiap hari. Pasar ini 90 persen melayani kebutuhan dasar warga. Suplai dan distribusi barang dari pasar induk dan pusat grosir di Ambon ke pasar Hitu tidak mengalami kendala. Perempuan-perempuan yang menjadi pedagang tetap berjualan makanan dan sembako di pasar. Nelayan-nelayan menjual tangkapan ikan seperti biasa.

 

Pukulan kuat baru terasa bagi sopir minibus antar kota antar provinsi (AKAP), supir ojek online dan ojek pangkalan. Tidak berapa lama karantina desa dilakukan, Pemerintah Kota Ambon menetapkan pembatasan bagi kendaraan bermotor dari luar Kota Ambon. Minibus AKAP dan ojek yang berasal dari Hitu dan desa-desa yang berada di Pulau Ambon tapi merupakan wilayah dari Kabupaten Maluku menjadi sasaran kebijakan ini. Okupansi penumpang minibus AKAP Hitu menurun hingga 60 persen (wawancara: Mei 2020; Juni 2021). Warga Hitu banyak yang membatasi diri untuk bepergian menggunakan kendaraan umum. Meskipun begitu, pegawai negeri sipil, pekerja swasta, dan pedagang-pedagang Hitu yang berdagang di kota Ambon masih bisa melakukan kegiatannya menggunakan kendaraan pribadi atau sewaan.

 

Upaya Baik yang Dimatikan Pemerintah

 

Walau terdapat sejumlah keterbatasan, karantina desa di Hitu berjalan cukup efektif. Setidaknya sebanyak 100-an pemudik berhasil dikarantina selama kebijakan ini berlangsung antara April – Mei 2020. Selama itu pula, dikabarkan tidak ada yang menularkan Covd-19 di Hitu dan kondisi kesehatan semua orang yang dikarantina terbilang baik (wawancara: Mei 2020, Februari 2021).

 

Karantina di Hitu menjadi sumber inspirasi bagi desa-desa lain. Beberapa desa di Kabupaten Maluku Tengah kemudian terdorong melakukan karantina desa, seperti di Desa Pelauw, Desa Hila, dan Desa Tulehu. Namun demikian, upaya baik dari Hitu ini hanya berumur pendek. Praktis setelah berakhirnya cuti bersama Hari Raya Idul Fitri di penghujung Mei 2020, Desa Hitu menyetop kegiatan karantina. Desa-desa lain yang disinggung juga tidak lama kemudian menghentikan kegiatan yang sama.

 

Ada beberapa hal menyangkut kebijakan pemerintah pusat serta daerah (provinsi/kabupaten/kota) yang secara langsung berdampak pada kematian karantina desa. Memang dalam batas tertentu desa memiliki otonomi untuk menjalankan kebijakan mereka. Akan tetapi di tengah situasi pandemi ini, penanganan Covid-19 perlu dilakukan secara selaras dan serentak (sinkron) dari daerah hingga pusat. Sayangnya, keselarasan kebijakan ini tidak ditunjukkan oleh pemerintah.

 

Yang bisa dicatat adalah pertama, pemerintah (baik pusat dan daerah) tidak mengalokasikan anggaran khusus demi keberlanjutan karantina desa. Untuk Hitu, tidak ada alokasi dana khusus dari Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah maupun Provinsi Maluku. Dana desa yang ada cukup terbatas dan sebagian dialokasikan sebagai bantuan lain semasa Covid-19. Pemerintah desa kesulitan menjalankan karantina desa lebih dari 3 bulan jika tidak ada dukungan anggaran (wawancara: Mei 2020, Februari 2021).

 

Kedua, kebijakan pemerintah menyangkut aspek kesehatan penanganan pandemi gagal diterjemahkan dalam strategi yang konkrit untuk mendukung karantina desa. Pemerintah tidak memiliki prioritas untuk meningkatkan mutu dari fasilitas karantina desa serta pemberdayaan para relawannya. Terdapat sejumlah keterbatasan (ruangan, obat-obatan, alat tes Covid-19) yang dihadapi relawan di lokasi karantina dan hal tersebut mestinya diatasi agar tempat karantina menjadi benteng yang kokoh bagi pertahanan desa dalam melawan Covid-19. Pemerintah juga tidak mengadakan pelatihan yang diperlukan bagi relawan mengenai metode yang efisien dalam memantau proses karantina dan penegakan protokol kesehatan.

 

Ketiga, diberlakukannya rapid test sebagai surat garansi perjalanan. Surat keterangan rapid test tidak membatasi orang bepergian, melainkan hanya menambah prosedur birokrasi bagi mobilitas masyarakat. Jika memiliki surat tersebut, seseorang merasa bebas dari Covid-19 dan menganggap tidak perlu melakukan karantina. Dengan adanya kebijakan ini, para pemimpin desa dan relawan kemudian menganggap karantina desa kehilangan relevansinya karena setiap orang dapat menunjukan surat dimana ia “tidak” mengidap Covid-19.

 

Km, seorang relawan lain mengatakan, “Karantina desa Hitu dihentikan salah satunya karena sudah ada tes rapid sebagai pengantar perjalanan. Agak mubazir juga kami melakukan karantina sementara ada surat yang menyatakan seseorang tidak mengidap Covid-19.”

 

Bagaimanapun pendapat seperti ini tidak betul. Karantina harus dilakukan sekalipun ada persyaratan surat keterangan rapid test/swab antigen. Namun Pemerintah Desa Hitu memang tidak bisa melanjutkan kebijakan karantina desa saat struktur kekuasaan dan birokrasi di atasnya tidak mendukung upaya-upaya penanganan pandemi dari bawah.

 

Ketiga hal yang dicatat di atas berpangkal dari amburadulnya penanganan pandemi. Pemerintah tidak memiliki prioritas dan peta jalan dalam memberantas pandemi Covid-19. Aspek kesehatan kalah prioritas dari aspek ekonomi. Kebijakan WFH yang merupakan bagian dari aspek kesehatan penanganan pandemi, misalnya, tidak benar-benar efektif karena banyak kegiatan bisnis yang terkategori sebagai non essential masih dibolehkan beroperasi. Banyak pekerja yang sakit dipaksa masuk kerja.

 

Pemerintah Provinsi Maluku juga tidak memiliki kebijakan yang jelas dalam penanganan pandemi.[3] Bahkan dalam beberapa kesempatan, birokrat dan politisi Maluku menggelar pertemuan yang justru melanggar aturan physical distancing. Pengelolaan tempat-tempat karantina yang menggunakan bangunan pemerintah dan merupakan wewenang Pemerintah Provinsi Maluku tidak berjalan dengan maksimal. Di Wilayah Kota Ambon, tempat karantina yang menggunakan bangunan pemerintah adalah Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Provinsi Maluku di Desa Rumah Tiga dan Asrama Haji di Desa Waiheru. Pemeliharaan fasilitas karantina ini cukup buruk. Beberapa orang yang di karantina BPSDM mengeluhkan pelayanan yang buruk dan merasa ditelantarkan.

 

Pengalaman Bersama dan Amnesia Jokowi

 

Dianggap sebagai langkah tepat dalam mencegah penyebaran Covid-19, karantina di Desa Hitu pernah ramai diliput berbagai media. Doni Monardo, Kepala BNPB, memberikan pujian kepada dua kepala desa di Hitu atas inisiatif mereka.

 

Beberapa webinar diselenggarakan dengan mengundang Kepala Desa Hitu Lama untuk membicarakan pengalaman karantina desa. Salah satunya adalah webinar yang dibuat oleh Disaster Risk Reduction Centre – Universitas Indonesia (DRRC UI) yang bertajuk “Pentahelix Kepemimpinan Maluku Lawan COVID-19”. Tidak lama setelah webinar itu, UI dan BNPB mengeluarkan buku tentang pengalaman pandemi di 17 Provinsi. Pengalaman Desa Hitu menjadi cerita di bab “PROVINSI MALUKU: Potong Pele COVID-19 di Bumi Raja-Raja“.

 

Pujian atas apa yang dilakukan di Desa Hitu tidak banyak gunanya. Media massa, pemerintah, serta komunitas akademik lebih menyorot keberhasilan yang bertahan seumur jagung. Mereka gagal dalam mendorong keberlanjutan inisiatif penanganan pandemi dari akar rumput ini.

 

Di awal 2021 ketika penyebaran Covid-19 tidak menunjukan penurunan, Jokowi membunyikan ide yang sudah tampak basi, yaitu micro lockdown yang diterapkan di tingkat RT/RW. Yang aneh, ide tersebut dilontarkan tanpa melihat presedennya (contoh sebelumnya) dalam masyarakat. Micro lockdown atau karantina desa yang sekarang diterapkan di RT/RW di kota besar justru tidak berbeda dengan yang sudah diterapkan sebelumnya. Jokowi seperti mengalami amnesia. Jauh sebelum ide micro lockdown ia lontarkan, bahkan ketika pemerintah di tingkat pusat masih berdebat tentang lockdown dan efeknya terhadap ekonomi, desa-desa di Provinsi Maluku dan Jawa telah melakukan karantina tingkat desa.

 

Catatan Kaki:

[1]  Secara administratif, Hitu terbagi menjadi dua desa, yaitu Desa Hitulama dan Desa Hitu Messing. Keduanya memiliki perangkat pemerintahan desa yang berbeda, namun tidak memiliki batas wilayah administratif yang jelas. Wilayah Desa Hitulama sekaligus adalah wilayah Desa Hitu Messing, dan juga sebaliknya. Sementara dari sisi adat, kedua desa ini memiliki struktur adat yang tidak terpisah dan melebur jadi satu kesatuan wilayah adat. Tidak ada wilayah adat Desa Hitulama atau wilayah adat Desa Hitu Messing, yang ada adalah wilayah adat Desa Hitu. Untuk keperluan tulisan ini, saya akan lebih banyak merujuk pada Desa Hitu secara keseluruhan.

[2] Sehari sebelum tiba di Hitu, Jokowi membuka acara serupa di Desa Kao, sekaligus meresmikan bandara Kuabang, keduanya di Kabupaten Halmahera Utara.

 

[3]  Gubernur Maluku, Murad Ismail, pernah mengeluarkan pernyataan bodoh yang mencerminkan bagaimana dia tidak cakap memimpin di tengah pandemi, “Yang asli orang Maluku, kita isolasi di rumah, yang datang dari Jawa itu begitu mereka datang kita isolasi mereka 14 hari. Kita isolasi mereka di Diklat (BPSDM)”. Dalam pernyataan ini, dia membagi lokasi dan kewajiban karantina di Maluku berdasarkan asal domisili. Selain cukup rasis, pembagian seperti tidak berguna karena Covid-19 telah menyebar tanpa memperdulikan asal domisili.

 

Related Posts

Comments 2

  1. kang santri says:

    mantap, selalu beri informasi kepada umat, jangan kendor, potretsantri

  2. sudan says:

    Ikut berkunjung, semoga cepat mereda covid dan bisa beraktifitas lancar
    potretsantri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.