Amir Sjarifuddin: Seorang Komunis Sekaligus Kristen Taat (Bagian 2)

2.9k
VIEWS

Setelah disingkirkannya Amir dari kabinet dan dibentuknya FDR oleh sayap Kiri sebagai bentuk oposisi terhadap kebijakan kabinet Hatta,  secara bertahap namun pasti Hatta melakukan pelemahan terhadap Sayap Kiri. Yang pertama kali dijadikan sasaran adalah tentara pendukung FDR. Pada 27 Februari 1948, Hatta mengeluarkan keputusan Rekonstruksi dan Rasionalisasi Tentara (Re-Ra). Dengan alasan menyehatkan Anggaran Belanja Negara, Hatta berupaya mengurangi jumlah tentara dari sekitar 400.000 personil menjadi 57.000 personil, supaya dilatih secara profesional dan dipersenjatai secara modern dengan menjadikan Divisi Siliwangi sebagai pasukan intinya.[1]

Meski ditolak oleh Panglima Besar, Hatta bersikukuh mengeluarkan dekrit Pelaksanaan Re-Ra. Pada 15 Mei 1948, atas nama Menteri Pertahanan dan Wakil Presiden, Mohammad Hatta mengeluarkan Dekrit Re-Ra dan membubarkan TNI-Masyarakat, Tentara Laut Republik Indonesia, Dewan Kelasykaran Seberang dan Pepolit, melalui Penetapan BP KNIP dalam UU No. 3/1948.[2]Sementara pelaksanaan penertiban terhadap pasukan-pasukan yang dibubarkan diserahkan kepada Divisi Siliwangi.

Tak pelak lagi, Dekrit Re-Ra mengakibatkan reaksi di mana-mana. Pada Perayaan Kebangkitan Nasional 20 Mei 1948 di Alun-alun kota Solo, Kolonel Soetarto, Panglima Divisi IV Panembahan Senopati memimpin 5.000 pasukannya berdemonstrasi menolak Re-Ra. Soetarto lalu mereorganisir Divisi Panembahan Senopati menjadi Komando Pertempuran Panembahan Senopati (KPPS). Di Kediri, Panglima Divisi VI Narotama, Kolonel Sungkono, memimpin pasukannya berdemonstrasi menolak Re-Ra karena tiga divisi TNI yang ada di Jawa Timur akan dilebur menjadi satu resimen. Demonstrasi ini juga diikuti oleh 20.000 pemuda. Tanggal 1 Juni 1948, 30 Komandan Batalyon menemui Presiden untuk menuntut pencabutan Dekrit Pelaksanaan Re-Ra. Di Markas Besar Tentara di Yogyakarta, sikap pro-kontra juga muncul atas keluarnya dekrit ini.

Pertemuan-pertemuan yang dilangsungkan oleh Hatta dengan pemerintah Belanda semakin lama lebih menguntungkan kaum imperialis. Dalam pertemuan pada 23 Juni 1948, Van Mook meminta supaya Hatta menolak segala bentuk hubungan diplomatik Republik Indonesia dengan Uni Soviet dan negara-negara Komunis lainnya. Van Mook juga meminta supaya Hatta segera mencabut persetujuan diplomatik yang telah ditanda tangani utusan Presiden Soekarno, Suripno, dengan pemerintah Uni Soviet. Hatta menganggap usulan ini baik bagi pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah Belanda. Bahkan Hatta berjanji bahwa pemerintahannya tidak akan meratifikasi persetujuan antara Suripno dengan pemerintah Uni Soviet, namun tidak akan mengumumkannya secara terbuka sebab akan menimbulkan kesan tidak baik dari Uni Soviet maupun pemerintah komunis lainnya.[3]

Pada 21 Juli 1948, Hatta memimpin perundingan dengan utusan pemerintah Belanda dan diplomat-diplomat Amerika Serikat di Hotel Huisje Hansen, di tepi Telaga Sarangan, tidak jauh dari Madiun. Di pihak Republik Indonesia turut hadir Presiden Soekarno, Soekiman, Natsir, Roem dan Kapolri Jenderal Soekamto Tjokroatmodjo. Di pihak Belanda, hadir Menteri Luar Negeri bernama Dirk Stikker. Amerika Serikat diwakili oleh Merle Cochran dan Gerald Hopkins. Dirk Stikker mengajukan Red Drive Proposals, yaitu daftar 80 nama tokoh Komunis di Indonesia yang harus disingkirkan, agar dukungan Belanda dan Amerika Serikat pada pemerintahan Hatta semakin kuat, guna mencapai tujuan unie verband Republik Indonesia Serikat dengan Belanda di kemudian hari.[4] Usulan ini diterima oleh Hatta dan atas kesediaan ini, pemerintahannya menerima uang sejumlah 56 juta Dolar AS dari State Department Amerika Serikat lewat Biro Konsultasi Amerika Serikat di Bangkok.[5] Soekarno tidak bisa berbuat apa-apa ketika itu, sebab pengambil keputusan di pihak RI adalah Perdana Menteri. Merasa kecewa, Soekarno pulang sebelum perundingan berakhir.[6]

Pada 11 Agustus 1948, Musso yang sudah lama bermukim di Moskow, datang membawa pokok-pokok pikiran yang dituangkan dalam Resolusi Jalan Baru Untuk Republik Indonesia. Secara ringkas Resolusi Jalan Baru menekankan bahwa satu-satunya jalan untuk kemenangan melawan Belanda ialah dengan membentuk Front Nasional yang didukung oleh semua rakyat yang progresif anti-imperialis. Resolusi ini juga menuntut pembatalan Persetujuan Linggarjati dan Renville, serta menekankan bahwa perundingan dengan imperialis hanya akan terjadi berdasarkan pengakuan atas kedaulatan terhadap RI sesuai cita-cita Revolusi Agustus.[7]

Secara khusus, Musso bertemu dengan Presiden Soekarno di Yogyakarta pada 13 Agustus 1948. Dalam pertemuan itu Presiden Soekarno meminta Musso supaya turut membantu jalannya revolusi. Musso memberi jawaban:”ik kom hier om orde te scheppen” (saya datang kemari untuk menertibkan keadaan).[8] Soekarno bahkan mengajak Musso berpidato dalam Peringatan Kemerdekaan RI ketiga di Yogyakarta pada 17 Agustus 1948. Dalam pidatonya, Musso mengkritik Hatta karena urusan pemerintah dan politik dalam negeri RI begitu mudah diintervensi oleh Amerika Serikat. Musso juga mengkritik Amir yang telah memberi konsesi luas kepada Belanda dalam Persetujuan Renville. Amir menjawab kritik Musso dengan mengatakan: ”Mulai sekarang, revolusi harus berada ditangan unsur-unsur revolusi”. Bung Karno menjawab:”Mari kita bersama mempertahankan Republik ini sebagai milik kita bersama”.[9]

Reaksi Hatta terhadap pidato Musso berbeda dengan yang diberikan oleh Soekarno dan Amir. Pada 17 Agustus itu juga, Hatta melepaskan Tan Malaka, musuh bebuyutan PKI, dari penjara dan memberinya amnesti. Hatta juga melepaskan Ahmad Subarjo, Iwa Kusumasumantri, Jenderal Mayor Sudarsono, Adam Malik, Mohammad Saleh, Pandu Kartawiguna, Mohammad Yamin dan Sumantoro.[10] Kelompok Tan Malaka ini diminta merancang aksi-aksi tandingan, sabotase dan teror terhadap Musso dan kawan-kawan yang memperjuangkan “Jalan Baru Untuk Republik Indonesia”.[11]

Pada 29 Januari 1948, unsur-unsur FDR menyatukan diri ke dalam Partai Komunis Indonesia. Resolusi Jalan Baru dijadikan sebagai pijakan berjuang. Sesudah susunan Politbiro terpilih, PKI memulai kampanye Jalan Baru ke berbagai kota di pulau Jawa. Kampanye ini mendapat sambutan secara besar-besaran di kota-kota yang didatangi. Dalam kampanye di Yogyakarta, massa yang hadir mencapai 100.000 orang. Kampanye di Solo dihadiri oleh kurang lebih 80.000 orang, di Madiun hampir mencapai 300.000 orang, di Kediri dihadiri oleh 150.000 orang.[12]

Ketegangan di wilayah Republik Indonesia meningkat bersamaan dengan berjalannya Kampanye Jalan Baru. Tanggal 1 September 1948, dua kader PKI Solo diculik dan ditahan di asrama Kompi Lukas dari Divisi Siliwangi di Srambatan. Empat hari kemudian, 5 komandan batalyon KPPS yang ditugaskan menyelidiki hilangnya dua kader PKI, mengalami nasib yang sama. Sepeda mereka ditemukan di depan markas Kompi Lukas.[13] Letkol Suherman, yang ditugaskan menyelidiki hilangnya kelima komandan batalyon ini juga ikut diculik. Atas perintah Panglima Besar, Panglima KPPS Kolonel Suadi menugaskan Letkol Sumarto untuk menyelidiki penculikan tersebut. Sumarto juga ikut diculik. Panglima KPPS kehilangan kesabaran. Kompi Lukas diberi batas akhir untuk menyerahkan para korban penculikan selambat-lambatnya pada tanggal 13 September 1948 pukul 14:00 siang. Jika tidak, markas Kompi Lukas akan digempur.[14]

Diam-diam, 3 batalyon Siliwangi memperkuat markas Kompi Lukas di Srambatan. Kedatangan pasukan ini diketahui oleh komandan KMK Solo, Letkol Slamet Riyadi. Selaku penanggung-jawab keamanan Solo, Letkol Slamet Riyadi, mengingatkan supaya pasukan di luar Batalyon Rukman yang membawahi Kompi Lukas tidak melibatkan diri. Tigapuluh menit sebelum ultimatum berakhir, Mayor Sutarno, yang ditugaskan oleh Panglima KPPS untuk berunding dengan Kompi Lukas, tiba di Srambatan. Nasib malang menimpa Sutarno. Begitu Sutarno turun dari truk bersama pengawalnya, Kompi Lukas menghujani mereka. Mayor Sutarno dan beberapa pengawalnya gugur seketika itu juga.[15] Amarah pasukan KPPS tersulut. Markas Kompi Lukas digempur. Pertempuran berlangsung sengit berlangsung sampai maghrib.

Menjelang malam, gencatan senjata tercapai. Panglima Besar mengeluarkan perintah: Seluruh pasukan Siliwangi ditarik dari Solo dan seluruh Keresidenan Surakarta secara bersama-sama meninggalkan KPPS yang akan bertanggungjawab secara penuh atas penegakan hukum dan ketertiban di Solo.[16] KPPS segera menarik anggota-anggotanya kembali ke markas masing-masing sambil menunggu perintah pelaksanaan kontrol keamanan atas Solo dan sekitarnya. Sebaliknya kondisi ini dimanfaatkan oleh Siliwangi untuk menambah bala bantuan dari luar Solo.[17] Begitu merasa kuat, Siliwangi menyerang berbagai posisi KPPS yang menyebabkan pecahnya pertempuran kembali.

Kekacauan akhirnya meluas. Panglima Besar mengeluarkan perintah harian. Isinya, segenap Angkatan Perang supaya bulat bersatu menghadapi pihak manapun yang berusaha mengacaukan atau melanggar kekuasaan dan kedaulatan negara dan harus serentak menghadapinya.[18] Politbiro PKI meminta pasukan pendukung PKI menghindari insiden bersenjata. Namun, Hatta bersama Wakil Panglima Angkatan Perang, Kolonel AH Nasution, bersikukuh melancarkan operasi penertiban terhadap pasukan-pasukan yang membangkang Re-Ra.[19]

Pada 17 September 1948, pasukan gelap berseragam hitam, berikat kepala merah dan menggunakan badge tengkorak melakukan teror terhadap rakyat di sekitar Madiun. Malam harinya pasukan ini menahan 100 anggota Sarekat Buruh Kereta Api yang melakukan kongres di Madiun. Tanpa seizin Komandan Militer Teritorial, pagi 18 September 1948, pasukan gelap ini menggelar latihan perang dengan peluru tajam di sebuah lapangan di dekat markas Brigade 29. Kedatangan pasukan gelap ini sudah mengancam keselamatan Brigade 29. Melihat kedatangan pasukan gelap, Letkol Dachlan, Komandan Brigade 29 melapor kepada Soemarsono, pimpinan Pesindo yang berkedudukan di Madiun. Setelah mendengar laporan Dachlan, Soemarsono bergegas menemui Politbiro PKI yang sedang berkampanye Kediri. Kepada Soemarsono, Musso dengan tegas mengatakan:”jika keselamatan sudah terancam, pasukan gelap tersebut harus dilucuti lebih dahulu”. Dinihari 19 September 1948, Brigade 29 bergerak melakukan pelucutan. Belakangan diketahui, pasukan gelap tersebut adalah gabungan Siliwangi, Mobrig, GRR dan Barisan Banteng. Sesudah dilucuti, mereka dilepaskan.[20]

Kejadian pelucutan tersebut dilaporkan kepada pemerintah pusat. Karena Residen Samadikun sedang berada di luar kota, dan Walikota Purbosisworo mengaku sakit, Wakil Walikota yang bernama Supardi mengirim telegram berbunyi:

“Di Madiun, terjadi perlucutan senjata oleh kesatuan Brigade 29 atas Batalyon Siliwangi dan Mobrig. Berhubung dengan kepergian kepala daerah, untuk sementara pimpinan pemerintah daerah kami pegang. Keadaan aman kembali. Minta instruksi lebih lanjut. Laporan tertulis segera menyusul.”[21]

Meski laporan tentang situasi di Madiun sudah dikirim kepada pemerintah pusat, koran-koran di ibukota malah memberitakan PKI telah mendirikan Negara Soviet-Madiun, mengibarkan bendera palu arit, melakukan pembunuhan terhadap para kyai dan santri. Atas desakan Hatta, hari itu juga Kolonel AH Nasution menyiapkan rancangan aksi militer untuk menumpas PKI. Jenderal Soedirman meminta pemerintah agar jangan gegabah dan melakukan tindakan militer serta berusaha menawarkan solusi dengan cara menangkapi orang-orang yang dianggap terlibat Peristiwa Madiun, untuk diadili. Namun, Mohammad Hatta dan Kolonel AH Nasution sendiri lebih senang memilih penyelesaian dengan jalan militer.[22]

Ketika terjadi pelucutan di Madiun, Amir bersama sebagian besar Politbiro PKI sedang mengadakan Kampanye Jalan Baru di Purwodadi. Mendengar kabar dari Madiun, Amir dan kawan-kawan bergegas ke Madiun untuk menenangkan keadaan. Pukul 19.30 malam rombongan ini tiba di Madiun.

Kedatangan sebagian besar Politbiro ke Madiun benar-benar momentum yang ditunggu-tunggu oleh Hatta. Sadar bahwa Presiden Soekarno mampu mempengaruhi rakyat dan tentara, Hatta ”meminjam mulut” Presiden Soekarno untuk berpidato. Pukul 20:00 malam, Soekarno berpidato di depan RRI Yogyakarta, meminta segenap rakyat berdiri di belakang pemerintah menumpas pemberontakan PKI. Tidak lupa, Hatta menggunakan suara Menteri Agama Masykur. Tokoh Masyumi ini menyerukan umat Islam bersatu melakukan perang sabil melawan PKI, musuh Allah dan musuh agama Islam yang telah mengkianati Republik. Pidato Menteri Agama ini menjadi salah satu faktor penyebab para kyai dan santri turut menumpas PKI.[23]

Pidato Presiden Soekarno memancing emosi Musso. Musso balik menuding Soekarno-Hatta sebagai bekas penjual romusha yang telah menyengsarakan rakyat di masa Pendudukan Jepang dan menjalankan politik kapitulasi dengan imperialis. Pancingan Hatta mengena. Pidato balasan Musso justru bernada menyerang pribadi Presiden Soekarno. Simpati rakyat dan tentara mengalir kepada presiden dan pemerintah. Kekuatan yang dihadapi PKI jauh lebih besar dari sebelumnya.[24]

Baca Juga:

PKI sempat menaruh harapan bahwa peristiwa di Madiun akan diselesaikan secara baik-baik. Pada 22 September 1948, Letkol Suharto tiba. Dia mengaku sebagai utusan Panglima Besar untuk menyelidiki situasi di Madiun. Soemarsono membawa Suharto berkeliling melihat situasi di Madiun. Ternyata, apa yang dilihat oleh Suharto berbeda dengan berita-berita yang beredar di ibukota. Suharto lalu menandatangani surat pernyataan yang menerangkan bahwa di Madiun tidak terjadi pemberontakan. Amir juga mengirim surat kepada Presiden Soekarno, meminta supaya persoalan di Madiun diselesaikan secara baik-baik.[25]

Anehnya surat yang dibawa oleh Letkol Suharto tidak pernah sampai ke ibukota.[26]Upaya penyelesaian secara damai telah gagal. Pada 24 September 1948, pemerintah mengerahkan gabungan Siliwangi, Barisan Banteng, GRR dan Hizbullah menyerbu kedudukan-kedudukan PKI di Madiun. Pasukan-pasukan yang sebelumnya menjadi korban Re-Ra di Jawa Timur, turut menyerbu PKI begitu Kolonel Sungkono diangkat oleh Hatta sebagai Gubernur Militer untuk Jawa Timur.

Tepat pada 24 September 1948, Madiun sudah dikepung. Residen, walikota dan bupati-bupati se-Keresidenan Madiun, ternyata tidak bisa dijadikan sandaran untuk membela diri dari tuduhan keji pemerintah pusat. PKI lantas mengajak seluruh unsur politik se-Keresidenan Madiun merancang alat beladiri. Berbagai unsur politik, termasuk PNI dan Masyumi setuju membentuk Front Nasional Daerah Madiun. Harjono, terpilih sebagai Ketua Front Nasional Komite Daerah Madiun. Soemarsono, menjadi Gubernur Militer Madiun. Jenderal Mayor Djokosujono dipilih sebagai Komandan Militer Daerah Madiun. Abdul Muthalib, dipilih sebagai Residen baru Madiun, dengan wakil Sakirman. Supardi dipilih sebagai Walikota Madiun. Bupati-bupati dalam Karesidenan Madiun juga ikut diganti. Semuanya mewakili unsur-unsur politik yang terdapat di Madiun.[27]

Selama Front Nasional Daerah Madiun berdiri, tidak ada kekacauan di Madiun. Toko-toko buka seperti biasanya. Hanya ada satu kejadian penembakan dalam percobaan perampokan di salah satu toko. Namun, pelakunya segera ditangkap dan ditahan.[28] Tetapi, di desa-desa sekitar Madiun pemuda-pemuda berseragam gelap dengan ikat kepala merah melakukan pengacauan-pengacauan dan teror terhadap rakyat, terutama terhadap para kyai dan santri. Pelakunya adalah anak-buah dr Moewardi, yang menyaru sebagai anggota PKI. Para kyai dan santri mendapat kekuatan baru untuk melawan PKI ketika pasukan-pasukan pendukung pemerintah mendekati Madiun. Benturan antara para kyai dan santri dengan PKI bertambah besar. Akibatnya jatuh korban di kedua belah pihak.[29]

Pada 30 September 1948, pasukan pendukung pemerintah memasuki Madiun. Rombongan PKI yang dipimpin oleh Amir bergerak menuju garis demarkasi di Godongan, Purwodadi. Karena tidak punya perencanaan memberontak, PKI mengalami kesulitan menghadapi serbuan pasukan pendukung pemerintah. Banyaknya rombongan sipil yang tidak biasa hidup di hutan dan tidak berpengalaman menghadapi pertempuran turut memperbesar resiko perjalanan.

Rombongan yang dipimpin oleh Amir mengalami perjalanan berat sejak memasuki kawasan hutan Randublatung. Mereka kehabisan logistik dan obat-obatan. Dalam keadaan keletihan dan kelaparan, rombongan ini tetap melanjutkan perjalanan untuk menghindari pengejaran.[30] Makin lama, rombongan ini semakin sering terlibat kontak senjata dengan pasukan pendukung pemerintah. Akhir November 1948, rombongan ini sudah mencapai Rawa Klambu. Kondisi para anggota rombongan dan pemimpin-pemimpinnya dalam keadaan sakit akibat keletihan, kurang istirahat dan kelaparan. Di sisi lain, pasukan pendukung pemerintah semakin memperketat kepungannya. Pada 1 Desember 1948, Amir Sjarifuddin, Suripno, Harjono, dan 800 pengikut serta pasukannya, tertangkap di daerah rawa-rawa.[31]

Pada 5 Desember 1948, Amir dan kawan-kawan dibawa menggunakan kereta api dari Kudus menuju Yogyakarta. Mereka hendak dihadapkan dengan Gubernur Militer Solo, Kolonel Gatot Subroto. Sesudah itu, dibawa ke Yogyakarta. Sampai di Yogyakarta, dalam keadaan tangan diborgol, mereka diarak keliling kota oleh tentara dalam truk terbuka, selanjutnya dibawa ke tahanan penjara Benteng Vreedeburg.[32] Setelah beberapa hari ditahan di Benteng Vreedeburg Amir dan kawan-kawan diserahkan kepada Gubernur Militer Solo dan ditawan di Rumah Penjara Solo.

Menjelang jatuhnya ibukota Yogyakarta ke tangan tentara Belanda, di Istana Negara berlangsung rapat darurat kabinet membahas nasib para pemimpin PKI yang ditahan. Hatta mengambil keputusan voting. Dari 12 menteri yang hadir, 4 orang meminta supaya para pemimpin PKI ditembak mati, 4 orang menolak sedangkan 4 lainnya abstain. Mengetahui kebuntuan ini, Presiden Sukarno mengeluarkan veto: menolak hukuman mati bagi para pemimpin PKI yang ditahan.[33]

Veto Presiden Soekarno tidak pernah ditanggapi oleh pemerintah. Pada tengah malam peralihan tanggal 19-20 Desember 1948, Amir bersama 10 kawannya, menghadapi eksekusi di desa Ngaliyan, Karanganyar. Mereka ditembak mati tanpa pernah diadili.

Menjelang eksekusi dijalankan, Amir bersama sepuluh kawannya dibariskan di tepi lubang yang sudah disiapkan sebagai kuburan mereka. Dengan kepala tegak Amir dan kawan-kawannya serentak menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kemudian mereka menyanyikan lagu solidaritas Komunisme, Internationale. Selesai menyanyikan kedua lagu tersebut, Amir meminta waktu sejenak membaca Alkitab dan dan berdoa sebagai seorang Kristen. Amir juga meminta supaya Alkitab yang selalu dibawanya ditaruh dibawah kepalanya sebagai bantal waktu dia dikuburkan.[34] Komandan regu tembak memberikan waktu kepada Amir untuk membaca Injil dan berdoa. Selesai berdoa, Amir kembali ke barisan. Dihadapan regu tembak yang sedang mengarahkan bedilnya, Amir berteriak:”Kaum Buruh Sedunia, Aku Mati Untukmu!” Saat itu pula, sebuah tembakan menjatuhkan dirinya ke dalam lubang yang menjadi kuburannya bersama sepuluh orang kawannya.[35] Amir Sjarifuddin, yang tidak lelah berjuang demi kemerdekaan bangsanya, mati diujung bedil bangsanya sendiri. Ia mati sebagai seorang Komunis sekaligus Kristen yang taat.

 

Referensi:
Anderson, David Charles. 2003. Peristiwa Madiun 1948 : Kudeta Atau Konflik Internal Tentara. Media Pressindo.
Dekker, DR. Nyoman. S.H. (tt). Sejarah Revolusi Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Komisi Tulisan Soemarsono Eropa. 2008. Soemarsono:Revolusi Agustus, Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah. Jakarta: Hasta Mitra.
Pardede, Stn. H. Dipinggir Sungai Yang-Tse (Catatan Kenangan Dan Pemikiran), Bagian II.
Ricklefs, M. C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Cetakan I: Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.Saelan, H. Maulwi. 2001. Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66. Jakarta: Yayasan Hak Bangsa.
Setiawan, Hersri. 2002. Negara Madiun? Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan, Cetakan I, Yogyakarta, FuSPAD.
Siregar, Mr. 2007. Tragedi Manusia dan Kemanusiaan : Holokaus Terbesar Setelah NAZI, Yogyakarta: Resist Book.
Situmorang, Sitor. 1981. Sitor Situmorang Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba, Jakarta: Sinar Harapan.
Soe Hok Gie. 1999. Dibawah Lentera Merah, Bab IV: Dari Kongres Nasional CSI ke-tiga Sampai PKI, Bab. IV. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Soerojo, Soegiarso. 1988. Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. Jakarta:PT Intermasa, Jakarta.
Soetanto, Himawan. 1994. Perintah Presiden Sukarno Rebut Kembali Madiun. Jakarta: Sinar Harapan.
Sundhaussen, Ulf. Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju DwiFungsi ABRI, Penerjemah Hasan Basri, Jakarta: LP3ES.
Suroso, S. 2001. Berbagai Fakta dan Kesaksian Sekitar “Peristiwa Madiun”. Pustaka Pena.

Dokumen, Majalah, Surat-Kabar, Wawancara :
Catatan Kesaksian Soemarsono pada tanggal 11 November 1949, De Madioen Affair.
Departemen Agitprop CC PKI, Buku Putih Tentang Peristiwa Madiun, Cet. II, th. 1954
Kementerian Penerangan, Dua Puluh Tahun Indonesia Merdeka, Jilid IX.
Majalah Revolusioner, tanggal 19 Agustus 1948, tahun ke III, No. 14.
Makalah Ir. SetiadiReksoprodjodalam Seminar, Amir Sjarifoeddin:TempatnyaDalamKekristenandanPerjuanganKemerdekaan Indonesia, di STT Jakarta, 26 November 2009.
Mukadimah F.K.N. Harahap dalam buku,Amir Sjarifoeddin: Pergumulan Imannya Dalam Perjuangan Kemerdekaan, yang diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan pada tahun 1984.
Koran Berita Indonesia tanggal 15 Mei 1948.
Koran Merdeka tanggal 27 Desember 1948.
http://dev.progind.net, Rabu, 13 Juli 2011, D.N. Aidit Menggugat Peristiwa Madiun.
Balada-aidit.blogspot.com/2010/01/dan.aidit-sedjarah.diriku.i.html.
Wawancara dengan Damaris Harahap, 24 Mei 2009.
Wawancara dengan Ir. Setiadi Reksoprodjo, 23 November 2009.
Wawancara dengan Siswoyo, 8 Januari 2012.
Wawancara dengan Soemarsono, 12 Agustus 2013.

Catatan Akhir:
[1]Makalah Ir. SetiadiReksoprodjodalam Seminar: “Amir Sjarifoeddin:Tempatnya Dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia”, di STT Jakarta, 26 November 2009.
[2]Koran Berita Indonesia tanggal 15 Mei 1948.
[3]SuarSuroso, 60 Tahun Peristiwa Madiun: Pelaksanaan Doktrin Truman di Indonesia, hlm. 59.
[4]Wawancara dengan Soemarsono, 12 Agustus 2013
[5]SuarSuroso, 60 Tahun Peristiwa Madiun: Pelaksanaan Doktrin Truman di Indonesia, hlm. 62.
[6]Wawancara dengan Soemarsono, 12 Agustus 2013.
[7]Wawancara dengan Soemarsono, 12 Agustus 2013.
[8]Majalah Revolusioner, tanggal 19 Agustus 1948, tahun ke III, No. 14.
[9]Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, hlm. 67.
[10]SoegiarsoSoerojo, SiapaMenaburAngin Akan MenuaiBadai, hlm. 67.
[11]WawancaradenganSoemarsono, 12 Agustus 2013.
[12]De MadioenAffair: Catatan Kesaksian Soemarsono pada tanggal 11 November 1949, hlm. 3.
[13]Departemen Agitprop CC PKI ;BUKU PUTIH TENTANG PERISTIWA MADIUN, hlm. 10.
[14]HersriSetiawan, Negara Madiun? Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan, hlm. 186.
[15] S. Suroso, Berbagai Fakta dan Kesaksian Sekitar Peristiwa Madiun, hlm. 57.
[16] David Charles Anderson, Peristiwa Madiun 1948: Kudeta atau Konflik Internal Tentara?, hlm. 35.
[17]Departemen Agitprop CC PKI ;BUKU PUTIH TENTANG PERISTIWA MADIUN, hlm. 12.
[18]Departemen Agitprop CC PKI ;BUKU PUTIH TENTANG PERISTIWA MADIUN, hlm. 13.
[19]Wawancara dengan Soemarsono, 12 Agustus 2013.
[20]Wawancara dengan Sumarsono, 12 Agustus 2013.
[21]H. Maulwi Saelan, Dari Revolusi 45 SampaiKudeta 66, hlm. 113.
[22]M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Cetakan VI, hlm. 345.
[23]Wawancara dengan Soemarsono, 12 Agustus 2013.
[24]Wawancara dengan Soemarsono, 12 Agustus 2013.
[25]Soemarsono, Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, hlm. 149.
[26] Ada dua versi tentang surat yang dibawa oleh Soeharto ini. Pertama; surat itu dirampas oleh pasukan Siliwangi di daerah Ngawi. Siliwangi menduga Soeharto berada di pihak PKI karena baru datang dari Madiun. Versi lain menyatakan, Soeharto sengaja menghilangkan surat itu karena kedatangannya ke Madiun untuk melihat perimbangan kekuatan. Jika posisi PKI menguntungkan, Soeharto ikut PKI. Jika tidak, ikut pemerintah.
[27] De Madioen Affair: Catatan Kesaksian Soemarsono pada tanggal 11 November 1949, hlm. 8.
[28] De Madioen Affair: Catatan Kesaksian Soemarsono pada tanggal 11 November 1949, hlm. 9.
[29] Wawancara dengan Soemarsono, 12 Agustus 2013. Untuk mendukung narasi tunggal Orde Baru, pembuatan monumen Peristiwa Madiun hanya diperuntukkan pada korban di pihak kyai dan santri seperti di Kresek, Soco, Takeran, Gorang-Gareng. Bukti-bukti seperti lokasi-lokasi pembantaian terhadap pengikut PKI di Pracimantoro, Purwantoro, Wirosari, Penjara Magelang, Alun-Alun Kudus, kuburan massal Amir Sjarifoeddin dkk. malah dihilangkan dan dihancurkan.
[30] S. Kromorahardjo, Yang Berlawan : Kumpulan  Catatan Untuk Tambahan Bahan Studi, hlm. 24.
[31] Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, hlm. 72.
[32] Sitor Situmorang, Sitor Situmorang Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba,hlm. 181.
[33] balada-aidit.blogspot.com/2010/01/dan.aidit-sedjarah.diriku.i.html
[34] Stn. H. Pardede, Di pinggir Sungai Yang-Tse (Catatan Kenangan Dan Pemikiran), Bagian II, hlm. 25.
[35] Wawancara dengan Soemarsono, 12 Agustus 2013.

Related Posts

Comments 8

  1. Bung Martin, mantap artikel yang berfakta sejarah plus references. artikel yang ini kan bagian 2, kalau bagian 1 bisa dibaca dimana ya?

    Thanks in advance,

    Tomas

  2. sumit says:

    sejarah jarang yg objektif

  3. Riyanto says:

    Amir menunujukkan,komunis tidak harus atheis!

  4. Martin Hutagalung says:

    Ada kesalahan pengetikan pada catatan kaki nomor 12. Yang benar itu tanggal 29 Agustus 1948. Bukan 29 Januari 1948.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.