Puisi Kemiskinan

21.6k
VIEWS
Ilustrasi oleh Arut S. Batan
Ilustrasi oleh Arut S. Batan

Untukmu

Di antara keluh dan yang terenggut, aku ingin mencipta percakapan bersamamu. Barangkali bisa membuatku sejenak melepas lelah dari kejaran mesin pabrik, tuntutan sana-sini dan kebisingan upah.

Aku ingin duduk bersamamu. Barangkali suara dan kelembutanmu mampu memperbaiki angan tentang hidup yang kian mahal dan terampas.

Aku ingin berbicara denganmu sampai kita saling memahami. Barangkali bisa membuat kita berdua bersama-sama mencipta dunia baru. Ketika cinta tak lagi dipertukarkan dengan upah.

Aku ingin memeluk dan bersanding denganmu sampai habis masa kita. Barangkali aku bisa mengajarkan ketabahan dalam mencipta hidup yang sepenuhnya milik kita.

Pipisan, 20 Febuari 2016

———————————————————

Keindahan Kampung Kami

Dua cicak yang berkelahi
diiringi pujian pada Sang Agung
menjelaskan betapa indahnya kampung ini.

Ketika air wudhu membuka mata untuk melihat Sang Agung
menyerupa pada tas seorang gadis sekolahan yang jebol, yang disulam peniti.
Indahnya sujud pada Sang Agung mampu merasakan lesu,
perih dan panasnya balita yang sakit mencret-mencret sampai semakin kurus dan cengeng.
Tentang punggung ayahnya yang menua, yang retak, yang kesakitan.
Tentang darah tinggi ibunya yang kian hari kian dekat dengan kematian.

Sungguh keindahan apalagi yang ingin dituturkan pada kami yang tak paham sastra,
kesenian dan kebudayaan.
Bagi kami keindahan itu menyerupa pada musholla yang tak berpintu dan berjendela,
pada kotak jariyah kardus yang dilakban.
Bagi kami kesepian kotak itu lebih kering dari perenunganmu sang begawan kebudayaan yang menulis puisi dan catatan pinggir ratusan halaman.
Tembok-tembok rumah kami yang retak, bolong, rempal, dan bocor lebih indah dari lukisan-lukisan yang kau kurasi dan pamerkan.

Lantas keindahan apalagi yang kau dustakan dari kami?

Kisah cinta sepasang manusia, kau melihatnya hanya dari linangan air mata dan doa yang mendayu-dayu.
Pernahkah kau melihat indahnya kisah cinta dari keluarga tukang bakso keliling yang merelakan istrinya menjadi pembantu di negeri orang?
Tentang penantian seorang laki-laki buruh waterproofing yang menanti pujaan hatinya.
Tentang sepasang buruh pabrik yang memadu cinta di kota orang dengan ancaman pemutusan kontrak kerja.

Keindahan cinta apalagi yang hendak kau bacakan pada kami?

Kami sudah bosan dengan toleransi dan moral yang kau kumandangkan.
Moral yang kau ajarkan tak seindah semangat hidup kami yang terkatung-katung di hadapan tafsiran undang-undang.
Kami sudah bosan pada politik yang kucing-kucingan.
Perkelahian mereka tak semurni dendam perkelahian cicak di tembok kami.

Toleransi yang kau kumandangkan tak seindah seorang kakak yang terpaksa tak makan demi adiknya tetap kenyang.
Moral, toleransi dan politik yang diajarkan pada kami tak seindah hidangan tempe dan sambel terasi dari keringat yang tak terhitung dalam sidang kebijakan.
Lantas apalagi yang hendak kau ajarkan, kau dakwahkan, kau bimbingkan pada kami.

Keindahan apalagi dari kami yang kau dustakan?

Pipisan, 6 Januari 2016

—————————————————

Surat untuk Adik

Baca Juga:

Adikku, aku ingin bercerita.

Lihatlah Ibu, dia memiliki sorot mata layu yang menjadi petanda perpaduan indah antara penderitaan dan ketabahan.
Sementara Ayah, pasti kalian pun tahu, dia mampu memanipulasi airmata menjadi keringat yang seringkali dipuja terik matahari dan dicumbu mesra air hujan.

Adikku, dari mereka aku merampas sebagian kebahagiaan kalian.
Tapi adikku, sebagian besar kebahagiaan kalian dari ayah dan ibu, dirampas oleh kemulukan di balik kemuliaan tuan tanah, kebengisan yang kejam di balik kerendahan hati pemodal, dan penghianatan di balik slogan pemerintah.

Suatu saat kalian pasti mengerti. Aku rindu bersama kalian di rumah kita yang sempit yang seringkali membuat kita berebut sejengkal ruang untuk tidur.
Adikku, sampaikan salamku untuk ayah dan ibu. Semoga kalian selalu dilindungi Gusti Allah.

Jakal, 22 November 2015

—————————————————

Darah Tinggi

Kemiskinan membuat darah naik
kalau tak mengeluarkan marah,
mati bisa jadi pilihan lain.

Di sini banyak orang mati
sebabnya hampir sama:
darah tinggi.
Bukan kebanyakan makan kambing
tapi karena:

“Dengan apa besok beli makan?”
“Bapakmu tak dapat uang.”
“Lagi?”
“Sudah berhari-hari ini.”

Pipisan, 17 Juli 2016

——————————————————

Kerja Mahal

Aku harus berkelahi dengan bapak
tanpa niat jadi anak durhaka.

Aku dipaksa kerja
tapi usia sudah dua puluh tiga
putus kuliah
pabrik tak menerima
kantor tak melirik
kerja seadanya
hutang ibu sudah menumpuk
minta dibayar
bagaimana?

Tak kerja salah, kerja juga sama.

Lagi pula dari mana bapak dapat uang?
Jadi buruh sekarang makin mahal.
Tiga juta rupiah hanya untuk diperas modal
untuk upah,
untuk kontrak satu-dua-tahun,
habis itu nganggur lagi,
kembali dikejar-kejar,
ditahan,
dimarahi,
berkelahi lagi dengan bapak.

Pipisan, 17 Juli 2016

————————————————

Adik Perempuanku

Adik perempuanku,
tumbuh jadi gadis sedikit tawa senyum.
Dia tak bisa berdandan,
kosmetik mahal.
Uang jajannya cuma buat sekolah,
buat makan di sana.

Dia bahkan tak sanggup beli sabun cuci muka.
Adikku ingin jajan, di rumah dia berdagang,
cuma modal dua ratus ribu.
Sepuluh ribu untung seharinya
kadang cuma lima ribu.
“Lumayan,” katanya.
“Bisa beli bakso atau mie ayam.”

Adikku tumbuh dewasa diremas dendam.
Kakak laki-lakinya pengangguran.
Ibunya karena stres suka marah.
Bapaknya karena lelah suka kasih petuah.
Ibu-bapak ujungnya minta anaknya cepat kerja.

Adikku baru tamat SMK
belum juga dapat ijazah.
Harus naik bus ke luar kota
dari Indramayu-Purwakarta
mencari kerja. Mengharapkan upah.
“Kerja yang murah,” kata ibuku.
Hanya delapan ratus ribu masuknya.

Aku mengantarnya di pinggir jalan,
di tengah kegamangan.
Airmata yang tertahan,
lagi-lagi adikku, maafkan aku,
aku hanya bisa kasih doa.

Pipisan, 17 Juli 2016

————————————————

Rumahku

Rumahku semakin tua
tanpa cat sejak dibuatnya.
Temboknya sudah rempal-rempal.
Pecah menganga,
mempertontonkan pasir berjatuhan
dan bata merahnya
yang sudah berpuluh tahun tak berjumpa,

yang paling susah
kakus rumahku rusak
tak bisa berak
harus ke rumah tetangga.

“Perlu uang!”
“Keburu roboh!”
“Ayok kerja!”

Pak Presiden, berapa tahun upahku bisa perbaiki rumah?
Buat atau beli rumah itu semacam mimpi.
Tanah mahal,
material bangunan mahal juga,
upah kerja makin murah.

Di rumah ini
tiga adik perempuanku-ibuku-bapakku
tidur berdampingan.
Bukan karena harmonis nan romantis
karena tidak ada kamar lagi
cuman lantai.

Tidur rawan typus.

Pipisan, 17 Juli 2016

———————————————

Soal Penderitaan – Kemiskinan

Deritaku,
deritamu,
derita kalian,
derita kita.

Kemiskinanku,
kemiskinanmu,
kemiskinan kalian,
kemiskinan kita.

Bukan soal nasib-takdir Gusti Allah,
bukan soal tak berpendidikan,
apalagi soal malas.

“Lalu apa?” Tanyamu,
sembari menyeruput kopi hitam.
Kopi yang kau nikmati tapi kau kutuki
karena mesti dibeli, sementara diri
hanya buruh bangunan yang banyak nganggur.
Kopi yang jadi teman malam kita
di sudut musholla, tempat penuh berkah.

Dengarkanlah,
deritaku,
deritamu,
derita kalian,
derita kita,
juga kemisminan kita semua
ini di sengaja.

“Oleh siapa?” Tanyamu lagi.
“Oleh pemerintah.”
Jadi jangan mengemis lagi pada mereka,
apalagi bertanya: “Apa pemerintah tuli atas kemiskinan kita?”
Mereka yang bikin!

Pipisan, 17 Juli 2016

——————————————–

Menikah

Sehabis lebaran seorang teman menikah
memenuhi panggilan mulia.
Menyatukan tali cinta
tapi hatinya dingin dan geram.

Nikah ternyata mahal
dari mana biayanya?
Apa penghulu mau menikahkan tanpa bayar?

Di tangan negara, apa-apa dijual mahal.

Pipisan, 17 Juli 2016

—————————————-

Menunggu Kerja Lagi

Ada proyek setelah Lebaran dari bos.
Lumayan agak besar bayarannya.

Proyek ini bukan proyek pemerintah
bernilai triliunan rupiah,
kerjasama dengan pemburu rente,
maling.

Proyek mereka cuma jadi buruh bangunan.
Hanya ingin beli rokok dan kopi.
Tapi kabar dari bos yang ditunggu,
tak kunjung datang.
Rokok sudah habis
dari Dunhill ke linting
kopi tak terbeli.

Tepuk jidat lagi.

Pipisan, 17 Juli 2016

—————————————

Sajak Pagi Ini: Membaca Kembali Wiji

Aku kembali membaca Wiji
dan aku tiba-tiba ingin menulis puisi.
Bukan hendak jadi penerus Wiji
sebagai penyair.
Aku tak mau.

Puisi ini pun bukan untuk Wiji,
dia tak butuh lagi puisi.

Aku hanya penerus Wiji
dalam kemiskinan,
dalam penderitaan
dan kesaksian atas angkara penguasa.

Pipisan, 17 Juli 2016
.

Penulis adalah aktivis lepas dan penyair bebas

Related Posts

Comments 5

  1. Bettie says:

    Gee wiilskerl, that’s such a great post!

  2. apa makna miskin yang dimaksud, apakah miskin harta atau ilmu?

  3. Fajar says:

    Beberapa puisi sempat saya bacakan diacara pameran seni dan acara kokektif kami di kota Solo,

    Kalo boleh tau siapa ya penciptanya.
    Sering ditanya sama kawan itu karya siapa, dan saya bilang kalo saya juga hanya membaca di kanal islam bergerak tanpa tau nama penciptanya.

    Saya ingin bilang terimakasih karena karya puisinya telah mewakilkan rasa yang tak terkatakan oleh saya dan mungkin banyak orang diluar sana. Juga sekaligus mohon ijin untuk membacanya di acara kami.

    • Mastono says:

      Maafkan, saudaraku. Saya baru membaca komentar anda. Satu kebahagiaan sebagian puisi ini dibacakan oleh kawan-kawan di Solo. Salam untuk kawan-kawan sekalian. Saya penulis puisi ini: Mastono.

      • Yayan M. Hi. Malik says:

        Terima atas pusi ini telah ku baca dan telah terjatuhair mataku yang membasahi pipiku di malam hari ini.
        Semoga selalu bermanfaat bagi kehidupan manusia di muka bumi ini.
        Amin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.