Jumisih: Yang Terpenting dari Partai Bukanlah Nama, Melainkan Kesanggupannya Melawan Kapitalisme

416
VIEWS
Jumisih
sumber: https://marsinahfm.files.wordpress.com

Pada zaman nabi, pejuang perempuan Bani Najjar bernama Nusayba binti Ka’ab ikut bertempur dalam medan Perang Uhud. Mulanya, perannya dalam perang tersebut sebagaimana perempuan lain, yaitu menyediakan makan dan mengambil air saat kedua putranya ikut berperang dalam medan perang. Namun saat pasukan Rasulullah semakin terjepit dan kekalahan sudah dekat, ia memutuskan untuk mengambil pedang dan perisai untuk ikut berperang. Diceritakan dengan heroik, Nusayba memberikan perlindungan pada Nabi Muhammad SAW saat mendapat serangan, ia mendapatkan beberapa luka pedang, panah dan tombak. Bahkan konon ia memberikan tubuhnya menerima luka senjata untuk melindungi Nabi Muhammad SAW. Dan dalam luka keduabelas yang menembus bahunya ia jatuh pingsan. Setelah ia sadar setelah sehari pingsan, kata pertama yang diucapkannya adalah “Apakah Nabi Selamat?

Cerita diatas tidak sedang mengajak untuk mengobarkan perang. Hanya sebatas untuk mempertajam memori sejarah kita bahwa perempuan seharusnya mendapatkan posisi yang sama dalam mengubah dunia, menegakkan keadilan dan mencipta perdamaian. Lebih-lebih di tengah situasi saat ini, di mana banyak perempuan hanya memikirkan dirinya untuk berdandan dan bersolek memuaskan hasratnya yang dibuai oleh iklan-iklan atau banyaknya muslimah yang hanya mengaji di surau dan rajin ke majelis taklim namun tak mengerti persoalan kaumnya. Tepat disitulah harapan-harapan kita atas bangkitnya gerakan perempuan itu menjadi nyata.

Roy Murtadho dari Islam Bergerak pada 26 Juni lalu berkesempatan mewawancarai Jumisih, pimpinan Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) di sela-sela kesibukannya  mempersiapkan perluasan Serikat Buruh yang dibangunnya bersama kawan-kawannya ke daerah.

Bisa diceritakan awal mula Anda bergabung dengan serikat buruh?

Saya dulu buruh di pabrik Garment, PT ELAINE , milik pengusaha asal Taiwan yang memproduksi gaun pengantin. Saya bekerja dari tahun 1998. Setelah kerusuhan Mei 98, tahun 2000 ada pelanggaran tentang THR yang mau dipotong 50%. Kawan-kawan marah, lalu mogok spontan. Tapi tidak berhasil. Setelah itu kami didatangi oleh orang Serikat, diajari mogok yang benar. Kemudian kami mogok dengan persiapan-persiapan. Akhirnya kami mogok tiga hari dengan terpimpin, dengan 22 tuntutan, dan Alhamdulillah 75% menang. Setalah itulah saya mulai berserikat dan menjadi salah satu pengurusnya.

Waktu itu Anda bergabung dengan serikat apa?

Waktu itu serikat saya FNPBI pimpinan Dita Indah Sari. Pertimbangannya karena kita sebagai buruh butuh alat untuk memperjuangkan hak-hak buruh, untuk belajar, berkawan, bersolidaritas, dan berjuang bersama. Tahun 2007 saya dipecat dari FNPBI karena menolak partai kami (waktu itu Papernas) berkoalisi dengan PBR, karena setahu saya PBR adalah partai yang tak pernah membela buruh.

Kapan tepatnya Anda dan kawan-kawan lainnya berpikir untuk membentuk serikat sendiri, dan bagaimana prosesnya?

Tahun 2009, saya, Dian, dan Atin, kami bertiga berdiskusi dan menggagas pembangunan Serikat Buruh baru yang berbeda dengan serikat-serikat yang ada di Kawasan Berikat Nusantara (KBN), yang mempunyai perspektif keperempuanan dan demokratis. Kita memulai dengan door to door. Mendatangi buruh-buruh perempuan di kos-kosan, mendiskusikan berbagai persoalan normatif termasuk persoalan buruh perempuan, (mengadakan) ajang-ajang sering kami lakukan dan memang berbasiskan territorial, yaitu di kos-kosan buruh. Kami mempunyai basis pengorganisasian di daerah Kompi Jenggot, Gang Gereja, Wisma Alung, Taruna, Pancong, dll. Jadi, dulu basisnya bukan pabrik tapi tempat tinggal buruh.

Dengan membangun Serikat Buruh yang mempunyai perspektif keperempuanan dan demokratis, apakah Anda hendak mengatakan bahwa banyak serikat buruh yang masih bias gender?

Iya, sangat. Sampai sekarang saya masih merasakan karakter patriarkis. Kepengurusan Serikat Buruh didominasi oleh para pengurus yng laki-laki. Dan anggota-anggota perempuan jarang sekali dimajukan (hanya didomestikkan). Pernah beberapakali saya hadir dalam rapat-rapat aliansi di kantor serikat lain, pengurus serikat perempuan hanya menjadi penyedia makanan dan minuman, dan tidak dilibatkan dalam rapat. Apalagi menduduki posisi strategis.

Apa agenda FBLP ke depan?

Secara organisasi kita masih akan fokus ke perluasan FBLP terutama ke daerah, melalui alat-alat yang sudah kami punya, yaitu Marsinah FM, Pelangi Mahardhika, Koperasi, Sanggar Tipar dan tentu saja pengorganisasian melalui isu buruh perempuan. Dan secara politik, kita akan terlibat dalam aliansi atau front luas, karena kami percaya dengan persatuan kekuatan perjuangan buruh akan maksimal.

Baru-baru ini ada wacana membuat partai buruh oleh salah satu serikat buruh, bagaimana Anda melihatnya?

Menurut saya, partai apapun yang penting bukanlah namanya, melainkan kesanggupan dan keberaniannya melawan kapitalisme. Jadi sikap, tindakan dan posisi anti kapitalisme itu yang paling penting. Apalah artinya partai buruh kalau nyatanya justru membela pemodal.

Kalau MEA, bagaimana anda melihatnya? Atau bagaimana harusnya gerakan buruh atau gerakan rakyat secara umum menghadapi pasar bebas?

Masyarakat Ekonomi Asean sebenarnya tak lain adalah bagian dari perluasan ekspolitasi kapitalisme terhadap rakyat, di mana tenaga kerja manusia diperlakukan sebagai barang dagangan yang tak lagi mempunyai batasan-batasan negara. Dengan demikian bagi saya, rakyat mestinya melakukan sebaik-baiknya perlawanan terhadap titik-titik terkuat MEA itu diterapkan. Karena kemanusiaan kita dinilai dan diukur sebatas sebagai komoditas olehnya.

Apa kira-kira metode pengorganisasian buruh  yang tepat saat ini? Memajukan kepentingan ekonomi dulu atau ideologi?  Atau kedua-duanya?

Mengorganisir buruh saat ini saya kira mesti dari banyak aspek. Tak bisa hanya mendahulukan memajukan kepentingan ekonomi atau sebaliknya mendahulukan membangun ideologi. Memajukan kepentingan ekonomi dengan mengajukan tuntutan-tuntutan jangka pendek, seperti kenaikan upah, pemenuhan hak-hak dasar buruh dan lain-lain tanpa ideologi yang jelas akan jatuh pada perjuangan jangka pendek dan akan kehilangan orientasi perjuangan itu sendiri. Sementara kalau ideologi dulu yang dibangun maka seringkali juga gagal menjawab persoalan-persoalan riil yang sedang dihadapi buruh. Seperti apa jawaban serikat atas terjadinya kemalangan buruh yang di-PHK atau kehilangan hak-haknya. Tak mungkin kita menjawabnya dengan revolusi. Wong mereka butuh survive kok! Bagi saya keduanya mesti beriringan. Bahkan bisa jadi tak cukup dengan keduanya.  Perlu lebih kreatif dan taktis. Misalnya lewat seni buruh semacam sanggar, buat koperasi dll. Apalagi untuk mengorganisir buruh perempuan, kita punya kekhususan, karena perempuan mengalami penindasan ganda, yaitu ditindas di pabrik dan secara sosial budaya sebagai korban patriarki. Jadi tidak mudah menarik buruh perempuan keluar dari domestifikasi, meski telah bekerja di pabrik yang bukan wilayah domestik. Nah, karena itu strategi baru itu dibutuhkan disini.

Apa kendala lain mengorganisir buruh perempuan?

Baca Juga:

Rintangan mengorganisir buruh, khususnya buruh perempuan tentu banyak sekali. Mulai persoalan perekonomian buruh sehari-hari yang serba kekurangan, membangun kesadaran berorganisasi, mendampingi banyak persoalan yang dihadapi mereka, dll. Apalagi mereka masih sangat minim mendapatkan perlindungan hukum.

Mayoritas buruh perempuan dimasukkan dalam industri padat karya karena dianggap lebih rajin, tekun, gampang diatur, penurut, dll. Sehingga, jika dikasih upah murah atau ditekan dengan aturan-aturan yang menindas mereka tidak melawan. Ini yang mau kita dobrak. Karena buruh perempuan juga pemasok devisa melalui pajak, dan secara kuantitas buruh perempuan mayoritas. Tapi karena Undang-Undang Perburuhan kita mengkondisikan buruh menjadi buruh kontrak, bahkan banyak pengusaha mempraktekkan borongan dan kerja harian lepas, maka ketakutan-ketakutan itu dibangun supaya buruh perempuan tidak melawan. Takut di-PHK, dihabisi kontraknya, kehilangan pekerjaan, hingga tidak bisa memberikan nafkah untuk keluarganya. Nah, ketakutan-ketakutan semacam inilah yang harus kita bongkar.

Mengenai ideologisasi. Buruh perempuan menjadi korban patriarki dan tidak banyak yang mendapat akses pendidikan sampai SMU apalagi perguruan tinggi. Juga karena biaya pendidikan yang tinggi. Nah, organisasi serikat buruh menjadi tempat yang baik untuk buruh perempuan belajar tentang apa saja, namun banyak perempuan-perempuan maju di serikat buruh mendapat hambatan dari keluarga (suami), dibatas-batasi, selesai kerja harus pulang, tidak usak ikut-ikut rapat, diskusi atau apapun terkait organisasi serikat. Juga hambatan-hambatan pekerjaan-pekerjaan domestik yang belum bisa berbagi dengan pasangan, membuat buruh perempuan lelah secara fisik sehingga susah untuk diberi pengetahuan baru. Nah, disinilah tantangan sesungguhnya. Bahkan Marsinah FM, kami proyeksikan salah satunya juga, memberikan informasi seputar perburuhan. Jadi kalau mereka tidak sempat datang ke diskusi masih bisa mendengarkan via radio di rumah-rumah mereka.

Rintangan dari sisi hukum adalah masih minimnya perlindungan hukum atas hak-hak buruh perempuan. Ada aturan tapi pengawasannya tidak dilakukan. Misalnya perlindungan terhadap hak-hak reproduksi perempuan. Meski peraturannya ada, tapi prakteknya di lapangan banyak yang dilanggar dan Disnaker sebagai lembaga pengawas diam saja. Misalnya hak buruh perempuan cuti haid, cuti melahirkan, pojok Laktasi (tempat menyusui, ed) itu jarang sekali mendapat perhatian pemerintah. Bahkan tak jarang buruh perempuan yang memperjuangkan hak-haknya mendapat intimidasi, dimarahi, hingga diputus kontraknya, dll.

Bagaimana Anda melihat terfragmentasinya gerakan buruh saat ini?

Saya prihatin dengan terfragmentasinya gerakan buruh saat ini. Padahal kita mayoritas secara jumlah. Saya bersetuju sebenarnya tentang pembangunan alat politik bersama untuk mempersatukan gerakan ini, dan saya pikir kita sedang berproses mengarah ke sana dengan berbagai kontradiksi di dalamnya (gerakan buruh, ed). Menurut saya masih wajar gesekan antar serikat, yang penting tetap memajukan aspek demokrasi, anti kapitalisme dan penghargaan terhadap berbagai kelompok.

Terakhir, ini pertanyaan agak personal, bisa dijawab bisa tidak (tertawa).Kalau boleh tahu, seperti apakah lingkungan Anda waktu kecil dengan keluarga. Atau bagaimana Anda memahami agama?

Ya umumnya anak kecil perempuan lainnya. Main boneka, masak-masakan. Dan agak besar saya mulai sedikit dikenalkan oleh keluarga dengan pekerjaan-pekerjaan domestik. Berbeda dengan kakak saya yang laki-laki. Sebenarnya ingin protes tapi tidak tahu caranya. Saya memperoleh jawaban atas situasi diskriminatif tersebut setelah saya mengenal organisasi serikat buruh di Jakarta. Jadi, saya merasa tempat berjuang saya di sini.

Saya didik oleh orang tua dalam kultur NU. Masuk SMK, saya ikut keluarga angkat yang Muhammadiyah. Jadi ya, campuran. Memang ada perbedaan-perbedaan dalam praktik Islam. Ya, kalau baik dan bisa saya lakukan, saya lakukan. Misalnya ajaran-ajaran tentang membela yang lemah, tidak sombong dll.

Ada hadis kalau tidak salah, “Jika kamu melihat kedzoliman di muka bumi maka ubahlah dengan tanganmu, jika itu tidak sanggup kamu lakukan maka ubahlah dengan ucapanmu, dan jika itu juga tidak sanggup maka berdoalah, dan itu adalah selemah-lemahnya iman”. Saya pikir ini cocok dengan apa yang saya dan kawan-kawan tengah lakukan di FBLP. Semampu kita berusaha membela kaum tertindas. Itulah yang akan terus kita upayakan (tertawa). Memperjuangkan keadilan.***

Related Posts

Comments 1

  1. fatah says:

    Ingat tentang Nu, NU punya serikat buruh yaitu: SERBUMUSI, pertanyaannya, kemana serbumusi selama itu?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.