Di samping masalah isu kudeta dan penculikan yang melingkupi sejarah masa lalu Prabowo Subijanto, calon presiden dari Partai Gerindra ini juga mempunyai jejaring bisnis yang cukup besar dan oligopolistik. Jejaring bisnis ini dia bangun melalui dua tangsi utama, yakni karena 1) pengaruh besar sang ayah, Soemitro Djojohadikusumo yang merupakan peletak dasar kebijakan ekonomi Orde Baru atau yang dikenal dengan Mafia Barkeley, dan 2) Kedekatannya dengan pusat kekuasaan Orde Baru, yakni Soeharto. Prabowo adalah salah-satu menantu Soeharto yang menikah dengan Tatiek Soeharto.
Melalui dua jalur inilah, karier militer Prabowo melesat, Prabowo menjadi the rising star kala itu. Di samping karier militer yang terus moncer, Prabowo juga mendapat berkah ekonomi. Melalui yayasan-yayasan yang dimiliki atau berafiliasi dengan Presiden Soeharto, Aditjondro (1998) menguraikan bahwa Prabowo mendapat limpahan ekonomi yang tidak sedikit. Aditjondro (1998) menulis :
“Sub-kelompok kelima adalah yayasan-yayasan yang dipimpin atau didominasi oleh Titiek Prabowo atau suaminya, Letnan Jenderal Prabowo Subianto, yang terdiri dari Yayasan Badan Intelijen ABRI (BIA), yang dikuasai Prabowo bersama teman dekatnya, Mayor Jenderal Jacky Anwar Makarim, yang ikut mengelola sistem perparkiran di Jakarta (Gatra, 4 Feb 1995), Yayasan Kobame (Korps Baret Merah), pemegang saham PT Kobame, Yayasan Veteran Integrasi Timor Timur, Yayasan Hati, yang dibentuk sejumlah “partisan” (orang-orang Timor Leste dan Timor Barat) yang membantu Kopassus merebut Timor Leste di tahun 1975-1976, Yayasan Kerajinan Indonesia dan yayasan pencari dana KONI, yang diketuai Titiek Prabowo (Asiaweek, 12 April 1996: 39; The Australian, 10 Oct. 1996), serta Yayasan Dharma Putera Kostrad, yang secara ex officio sekarang berada di bawah Prabowo sebagai Komandan Kostrad yang baru.”
Dalam urain berikutnya, Aditjondro menjelaskan bahwa yayasan-yayasan yang berafiliasi dengan Tatiek Soeharto dan Prabowo tersebut juga melakukan aktivitas bisnis dengan mendapat kredit dari Bank BRI dan Bank Pelita. Dan, kebetulan Bank Pelita adalah milik keluarga Djoyohadikusumo. Yayasan Kobame – melalui PT. Kobame – yang melakukan aktivitas bisnis itu. Aditjondro (1998) menguraikannya secara terperinci sebagai berikut :
“Sedikit catatan tentang yayasan-yayasan yang dikuasai Titiek dan suaminya. Semenjak Prabowo jadi Komandan Kopassus, PT Kobame mendapat kredit sindikat Rp 45 milyar dari BRI dan Bank Pelita (milik kel. Djojohadikusumo) untuk membangun proyek-proyek properti di daerah Cinjantung, serta berusaha mengambil-alih 50% saham Hotel Horison (EBRI, 18 Juni 1997; Siar, 10 Des 1997). Tidak jelas siapa ketuanya, tapi jelas berada di bawah pengaruh Prabowo, walaupun menantu Suharto itu sendiri kini sudah naik pangkat (jadi letjen) dan jabatan (jadi Pangkostrad)”
Catatan khusus perlu diberikan pada Yayasan Dharma Putera Kostrad yang diketuai Prabowo sebagai Pangkostrad. Aditjondro (1998) mengklaim bahwa yayasan ini merupakan “kapal keruk duit” pertama bagi Soeharto di awal Orde Baru. Artinya, Prabowo mewarisi “kapal keruk duit” itu.
BISNIS KELUARGA
Di samping mendapat berkah dari kedekatannya sebagai menantu Presiden. Prabowo bersama sang adik, Hashim Djoyohadikusumo juga membangun imperium bisnis keluarga dengan menguasai jutaan hektar tanah. Tentu saja, penguasaan tanah seluas jutaan hektar itu tak mungkin terjadi jika keluarga besar Prabowo tidak menjalin relasi cukup kuat dengan kekuasaan.
Dahsyatnya, jutaan hektar tanah milik keluarga Prabowo itu tersebar merata dari Aceh sampai Papua. Di Kaltim (Aditjondro, 1999), misalnya, Prabowo mempunyai holding company, Nusantara Energy yang mempunyai lisensi penambangan batubara dan di ekspor ke Tiongkok. Di propinsi ini, Prabowo juga menguasai konsesi HTI seluas 290 hektar, melalui PT. Tanjung Redep, yang dulu dimiliki Bob Hasan. Di samping itu, Kaltim juga menjadi pusat bisnis Prabowo melalui PT. Kertas Nusantara (Kiani Group) berkongsi dengan Luhut Panjaitan, mantan menteri Perdagangan Era Habibie dan sekarang menjadi pengurus Golkar. Kiani Group ini mendapat konsesi penguasaan hutan seluas 350 ribu hektar. Namun, belakangan, Kiani Group mengalami kesulitan keuangan sehingga belum membayar gaji karyawannya. Masih di provinsi yang sama, Prabowo juga menguasai konsesi hutan PT. Kartika Utama seluas 260 ribu hektar, PT.Ikani Lestari seluas 260 ribu hektar serta Pt. Belantara Pusaka seluas 15 ribu hektar.
Imperium bisnis keluarga Prabowo masih bisa diperpanjang, yang meliputi sector perkebunan, pertanian, peternakan, tambang batubara, dan juga minyak. Bahkan, jejaring bisnis keluarga Prabowo tidak hanya di Indonesia, tetapi juga melintas batas ke luar negeri sampai Argentina.
PRABOWO PEWARIS ORDE BARU
Praktik dan jejaring bisnis yang dilakukan oleh Prabowo dan keluarga besarnya – termasuk dengan jejaring Cendana – menunjukkan adanya oligopoli dalam perekonomian Indonesia. Perilaku Prabowo dalam berbisnis ini mereplikasi apa yang pernah dilakukan oleh mertuanya, Soeharto, yang sangat rentan terjadinya kolusi, korupsi, dan nepotisme. Orde Baru telah memberi contoh bahwa pembangunan ekonomi yang berbasis pada lingkaran keluarga Presiden hanya akan menghasilkan “high cost economy”, yang jauh dari kata adil dan merata. (Sedikit catatan : praktik ekonomi berbasis pada lingkaran keluarga presiden juga ditiru oleh SBY).
Artinya, jika Prabowo menjadi Presiden, karakter bisinis yang oligopolitis ini sangat rentan menghasilkan bentuk pemerintahan yang oligarkis. Dan, ketika oligopoli dan oligarki bertemu itu adalah mimpi buruk bagi demokrasi. Lebih jauh, jargon Prabowo “anti asing” dapat kita baca sebagai usahanya melindungi kepentingan bisnis keluarga, bukan murni untuk kepentingan nasionalisme.
Uraian di atas juga sekaligus menunjukkan indikasi bahwa arus transisi demokrasi di Indonesia mempunyai potensi untuk kembali pada era Orde Baru. Prabowo Subijanto – dengan menjadikan Gerindra sebagai kuda troya – sejatinya sedang menahbiskan dirinya sebagai putra mahkota sekaligus pewaris sah Orde Baru. Jujur, andai saja tidak ada Jokowi, jalan menjadi Presiden bagi Prabowo sangatlah mudah. Prabowo mempunyai dukungan modal ekonomi yang cukup + jejaring Cendana + elektabilitas yang signifikan. Namun, Jokowi – dengan elektabilitasnya yang lebih tinggi – adalah penghalang terbesar bagi ambisi Prabowo itu. Dalam perspektif inilah, saya menilai kehadiran Jokowi sebagai “keajaiban”.
*Versi awal tulisan ini dapat diakses di http://www.siperubahan.com/read/357/Imperium-Bisnis-Prabowo. Dimuat-ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.