Tour de Flores dan Reproduksi Kemiskinan

981
VIEWS

“TOUR de FLORES”

Oh, Flores, land of flowers
Kelimutu, three color lakes
Bena village, unique house
Komodo, seven wonders

Wae Rebo, ritual home
Lamalera, whale hunters
Beautiful islands in Riung.
Land of Paradise is Flores

Nagekeo, store of handicrafts
Maumere, heaven of sea park
Larantuka Renya with Semana Santa
Sweet Solor and nice Adonara

Tour de Flores, moment of competition and fun
Tour de Flores, moment of friendship and peace
Tour de Flores, moment of joy and happiness

Welcome to Flores island
Welcome to fancy Flores
Welcome and welcome back
“Explore the Amazing Land”

Bersama bangsa-bangsa
Gemakan Nusa Bunga
Bring Flores to the world
Bring the world to Flores

Tour de Flores, moment of competition and fun
Tour de Flores, moment of friendship and peace
Tour de Flores, moment of joy and happiness

S’lamat datang di Flores
Welcome and welcome back
Mai, mai, mai…….
It is your Paradise Land

Explore the beautiful land
Explore the fantastic land
“Explore the Amazing Land”
Glory of great Flores

It is your Paradise Land
It is your Paradise Land

Lagu ini merupakan Theme Song Tour de Flores 2016 (TdF), gubahan dua musisi Flores, Epi Embu Agapitus dan Robert Eppedando. Dalam lagu ini, TdF 2016 –dengan panjang lintasan mendekati 700 kilomenter, yang  akan diselenggarakan pada tanggal 16-26 Mei 2016– digambarkan seolah sebagai  kegiatan promosi pariwisata yang tanpa cacat cela, yang mampu mengangkat pesona keindahan alam dan budaya Flores. Karena itu, TdF 2016 dilihat sebagai “moment of competition and fun”, “moment of friendship and peace”, dan “moment of joy.” Secara lugas lagu ini menegaskan bahwa TdF 2016 pasti akan membawa “berkah” bagi masyarakat Flores tanpa syarat apa pun. Sebab, dengan diselenggarakannya TdF 2016, baik turis domestik maupun manca negara yang berjumlah sekitar 2,1 juta orang, dan diprediksikan pada tahun keempat penyelenggaraan TdF akan membeludak hingga 4 juta orang, akan memberikan “rejeki” ekonomi bagi masyarakat Flores (Investor Daily, 24/11/2015; Investor Daily, 29/1/2016). Hampir senada dengan pesan Theme Song TdF 2016 ini, Primus Dorimulu, Chairman TdF 2016, menegaskan dengan sangat percaya diri bahwa: “pariwisata bukan kegiatan exploitatif”[1] dan, karena itu, TdF, sebagai kegiatan promosi pariwisata, akan membawa manfaat bagi masyarakat, tetapi dengan syarat, yakni tergantung pada respon pemerintah daerah dan masyarakat Flores (Dorimulu 2015).

Sepintas pesan Theme Song TdF 2016 dan disposisi Dorimulu (2015) ini seolah-olah adalah sebuah ekspresi niatan yang jujur, tulus dan suci untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat Flores. Tetapi, sejatinya, seperti yang pernah saya singgung pada tulisan terdahulu (Tolo, 2016), TdF 2016 sesungguhnya memuat agenda eksploitatif untuk kepentingan elit politik, ekonomi dan birokrasi demi meraup keuntungan sebesar-besarnya untuk diri dan golongan sendiri, baik untuk jangka pendek maupun untuk masa yang akan datang. Pada titik ini, menjadi terang benderang bahwa baik Dorimulu (2015) maupun penggubah Theme Song TdF 2016 sedang bermanipulasi dan berimajinasi di ruang imaginer-utopis bahwa bahwa TdF 2016 akan memiliki implikasi ekonomi dan politik seperti Tour de France yang sudah diselenggarakan sejak tahun 1903 sebanyak 101 kali hingga 2014, yang telah berhasil meningkatkan geliat bisnis pariwisata dan ekonomi masyarakat Perancis. Karena itu, pelbagai jargon, kesimpulan dan premis yang lahir dari imajinasi manipulatif-utopis model ini tentu saja harus disangsikan secara tegas, baik dalam ruang diskursus ilmiah maupun dalam pentas politik lokal di Flores

Ekonomi Politik Pembangunan Pariwisata di Flores

Secara historis-kultural, masyarakat Flores terbagi ke dalam tiga kelas sosial berbeda, yakni tuan (gae, mosalaki), orang biasa, commoners (gae kisa), dan hamba[2] (ho’o) (Muda 1986, Parreira 1988). Stratifikasi sosial ini sudah mengakar dan membatu sejak lama dalam kehidupan sosial masyarakat Flores. Menurut Arndt (1958, 2003), hal ini disebabkan oleh pengaruh kebudayaan Hiduisme yang disinyalir pernah menancapkan kakinya di Flores. Menurut laporan, pada abad ke 14, Flores berada di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit[3] dan, waktu itu, Flores masih bernama Solot[4] (Metzener 1982). Tuan (gae), pemegang kasta sosial tertinggi dalam masayarakat Flores merupakan “tuan tanah dan pemilik kekayaan yang bisa dibagikan kepada kelas yang lebih rendah (Muda 1986). Sementara itu, para hamba, sebagaimana ditulis Forth (2001), tidak memiliki ‘hak independen atas tanah.’[5] Karena tidak memiliki hak atas tanah, pada masa lalu, parah hamba nilainya setaraf barang komoditas yang bisa dijual dan dijadikan upeti.[6] Perdagangan hamba dilarang oleh Belanda pada tahun 1838 (Gordon 1975), tetapi baru benar-benar berakhir pada tahun 1907 (Metzener 1982).

Stratifikasi sosial tradisional dan ketimpangan agraria yang telah berurat akar di dalam peradaban masyarakat Flores ini menjadi landasan strategis bagi ekspansi kapital Belanda yang secara intensif mulai masuk Flores pada awal abad 20 (Gordon 1975). Untuk mememuluskan proses akumulasi kapitalnya, Belanda pertama-tama mengubah struktur pemerintahaan di Flores yang umumnya berbasiskan pada politik kampung (nua) menjadi politik kerajaaan dengan cara memilih salah satu raja terkuat dan memiliki komitmen untuk berpihak pada kepentingan kapital Belanda (Gordon 1975, Tule 2004, Tule 2006). Pada tahun 1909-1929, terdapat delapan oderafdeeling yang dipimpin oleh seorang raja pilihan Belanda, yakni Manggarai, Ngada, Riung, Nagekeo, Ende, Lio, Sikka, dan Larantuka (Tule 2004).

Ketika unit politik kerajaan sudah terbentuk, Belanda mulai mengintervensi pemerintah kerajaan untuk melakukan perubahan terhadap struktur agraria. Sebagai konsekuensi, tanah didistribusikan, diolah dan apa yang harus ditanam ditentukan sepihak demi kepentingan kapital Belanda. Di Manggarai, misalnya, setelah diangkat raja Alexander Baruk dari Todo pada tahun 1930, Belanda secara perlahan mulai mengubah sistem agraria tradisional lodok[7] dengan sistem terrace system. Belanda pun memperkenalkan sistem pengelolaan sawah dan tanaman komoditi seperti kopi di Flores. Hampir semua tata kelola pertanian yang dibuka oleh Belanda ini “tidak lagi membutuhkan keputusan komunal  tentang kapan saat penanaman atau sistem pembagian kerjanya” (Gordon 1975: 131). Di Sikka, pada tahun 1930, raja Sikka “membabtis” dirinya sebagai pemilik tanah yang tidak ditempati dan digarap oleh masyarakat yang umumnya adalah tanah komunal sebagai tanah milik pribadinya dan kemudian menjualnya kepada para pedagang dari Bugis. Hal ini menyebabkan hampir hilangnya tanah komunal di Sikka bagian Tengah kala itu (Metzner 1982: 225). Jepang yang menguasai Flores pada perang dunia kedua juga menguasai tanah di Flores untuk memproduksi pangan beras demi mendukung kepentingan perangnya (Sato & Tennien 1957 [1976]). Setelah kepergian Belanda dan Jepang dari Flores, tanah-tanah yang dikuasai oleh penjajah ini dijual murah kepada Gereja Katolik di Flores (Prior 2013). Karena pernah bersentuhan dengan kapitalisme penjajah, para penjaga tanah (land guardian) di Flores pun mulai mengklaim diri sebagai tuan tanah (land lord) yang menguasai puluhan hingga tanah ratusan hektar sepeninggalan para penjajah. Padahal, Flores, sebagai bagian dari bangsa Astronesia, tidak miliki konsep tuan tanah, kecuali penjaga tanah yang tidak dibenarkan menguasai tanah puluhan bahkan ratusan hektar sebagai hak milik pribadinya (Tule 2013).

Upaya untuk melawan feodalisme dan tuan tanah yang sewenang-wenang ini di Flores sempat dilakukan, tetapi gagal total pasca tragedi pembantaian 1965 di Flores  yang menyasar pertama-pertama orang yang pernah melawan feodalisme dan para tuan tanah (Klinken 2015a, Klinken 2015b), dan Gereja Katolik di Flores kala itu membiarkan peristiwa pembantaian yang tidak berperikemanusiaan dan bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik ini terjadi tanpa mengambil sikap menolak yang tegas, kecuali setelah peristiwa pembantaian yang keji ini sudah selesai dilakukan (Prior 2011, Madung & Prior 2015). Karena itu, hingga kini, koefisien kepemilikan tanah terus meningkat dan sebagian bersar tanah masih terkonsentrasi pada para tuan tanah. Lagi pula ekspansi pertambangan dan pariwisata kini menyebabkan banyak tanah strategis di Flores jatuh pada pengusaha pariwisata (Dale 2013) dan investor tambang (Regus 2011).

Dengan ketimpangan agraria seperti ini, yang mampu melakukan reproduksi sosial-ekonomi dan mobilisasi kelas dalam kehidupan masyarakat Flores hanyalah golongan kelas yang berkuasa atas tanah sejak lama. Penelitian Jalong (2011) di Manggarai menunjukkan bahwa kelas penguasa tanah, dengan kekuatan ekonomi dan politik, telah berhasil menduduki jabatan strategis di lembaga politik, birokrasi dan Gereja Katolik hari ini.  Apalagi sejak awal Gereja Katolik memperkenalkan pendidikan modern di Flores, anak-anak golongan penguasa tanah dari kalangan elit-elit adat mendapat privilese dari para imam Katolik untuk mengakses pendidikan Katolik bermutu di Flores.

Sejak awal misinya di Flores, Gereja Katolik merasa bahwa misi meng-Katolik-an Flores lebih mudah dilakukan dengan melakukan aliansi dengan para pemimpin adat dan “tuan tanah” melalui pemberian pendidikan bermutu kepada anak-anak mereka dan menjadikan mereka orang Katolik yang baik, yang akan menjadi pendukung setia dan fanatik Gereja Katolik di masa mendatang (Molnar 1997). Dengan demikian, hingga kini, yang menduduki posisi penting dalam institusi birokrasi, politik dan Gereja Katolik adalah golongan yang sama seperti pada beberapa abad yang lalu, yang pernah mengenyam pendidikan bermutu rintisan Gereja Katolik di Flores. Kelas menengah atas di Flores yang menduduki posisi penting ini tak jarang mereproduksi kebijakan ekonomi dan politik yang cenderung berpihak pada kepentingan ekonomi politik golongannya sendiri, termasuk dalam kebijakan promosi dan pembangunan pariwisata hari ini di Flores.

Baca Juga:

Karena kini tanah tidak lagi menjadi satu-satunya sumber ekonomi dan politik seperti di masa lalu, maka para golongan kelas sosial yang berkuasa di Flores hari ini melihat institusi politik dan birokrasi, bahkan institusi Gereja Katolik (Erb 2006), sebagai “sumber ekonomi dan politik baru” agar bisa terus mereproduksi kekuasaannya (Lele 2012). Sejak awal tahun 1980an, salah satu sumber ekonomi dan politik yang dapat direngkuh adalah dalam bidang promosi dan pembangunan pariwisata yang kini mulai bertumbuh dan berkembang[8] di Flores (Erb 2000). Pada tahun 1980, Taman Nasional Komodo (TNK) mulai dibuka dan pada tahun 1982-1983 pembangunan akomodasi berupa bungalows didirikan di pulau Komodo.  Sejak tahun 1986, pulau Komodo menjadi World Heritage Site, dan sejak tahun 1995 The Nature Conservancy sudah hadir di TNK dan mulai memperkenalkan ekoturisme bagi masyarakat Flores yang mendapat dampak buruk dari ekspansi kapitalisme pariwisata di Flores. Pada tahun 1983, kawasan Kelimutu ditetapkan oleh pemerintah sebagai Taman Nasional. Pada akhir tahun 1980an, banyak turis mulai mengunjungi rumah-rumah adat tradisional di Ngada yang kuno nan eksotik dengan budaya megalitik yang menggemaskan serentak mengesankan (Erb 2005a). Sekitar tahun 1986, bersamaan dengan jatuhnya harga minyak di pasar dunia,  pariwisata di Flores mulai berkembang lebih gesit seiring dengan ambisi pemerintah pusat meningkatkan devisa negara dari sektor pariwisata yang pada tahun 1970an sampai awal tahun 1980an ditopang oleh sektor perminyakan.  Pada tahun 1996, dengan keberadaan Veranus  Komodensis, Labuan Bajo ditetapkan oleh pemerintah NTT sebagai destinasi pariwisata nomor satu di NTT dan menjadi pintu gerbang masuk bagi wisatawan yang akan mengunjungi Flores. Sejak itu mulailah dibangun masterplan untuk pembangunan pariwisata di Labuan Bajo dan beberapa destinasi wisata di tempat lain di Flores sehingga, pada awal tahun 1990, Flores mengalami tourism boom, walau pernah meredup pada tahun 1998, lalu kembali menggeliat hingga kini (Erb 2000). Pada tahun 2002, I. Gede Ardika, Menteri Pariwisata kala itu, mengunjungi Flores dan menegaskan bahwa dia ingin menjadikan Flores sebagai bagian dari “golden triangle” atraksi turis di Indonesia: Bali, Sulawesi (Tanah Toraja) dan Flores (Erb 2005a). Memasuki awal milenium ke tiga, turis yang mengunjungi TNK terus meningkat (Allerton 2003), dan menjadi semakin dikenal dunia ketika Komodo masuk ke dalam tujuh keajaiban dunia pada tahun 2012 (Dale 2013).

Dengan semakin dikenalnya Flores sebagai salah satu destinasi wisata di Indonesia, promosi dan pembangunan pariwisata kerap kali diselenggarakan, tetapi sialnya menjadi “ladang” untuk mendapatkan kekuasaan ekonomi dan politik bagi para pemangku dan penyelenggara pembangunan pariwisata. Tak jarang birokrat, politisi dan pengusaha pariwisata bermain mata untuk tujuan ekonomi dan politik kelompoknya yang bisa “dirampok” dari dana-dana APDB atau dana-dana strategis lainnya dari pemerintah pusat yang dialokasikan untuk promosi dan pembangunan pariwisata. Penelitian Erb (2009) membuktikan bahwa paket promosi pariwisata di Labuan Bajo pada tahun 2000, 2004 dan 2006 diselenggarakan sebagai “proyek” untuk mendapatkan dana dari Jakarta untuk kepentingan para pihak penyelenggara. Erb (2009: 178) menulis bahwa “‘promosi pariwisata’ di Labuan Bajo sering tidak berkaitan dengan kepariwisataan, tetapi untuk menciptakan ‘proyek’ agar memperoleh uang dari pemerintah pusat. Dinas Pariwisata akan membuat proposal untuk mengadakan festival guna mendapat dana dari Jakarta, yang dapat mereka tilep dengan berbagai cara. Festival-festival promosi pariwisata, sejatinya, tidak menghasilkan uang sama sekali untuk pembangunan ekonomi…” Paket promosi pariwisata sebagai sebuah “proyek” seperti ini tentu tidak dirancang secara serius dan profesional dan, karena itu, tidak memiliki implikasi positif dalam mendongkrak kedatangan wisatawan yang berdampak dampak siginifikan bagi peningkatan ekonomi masyarakat di Flores.

Pengelolaan TNK sejak 1990-2012 menjadi contoh yang jelas “perampokan” APDB untuk kepentingan reproduksi kekuasaan kelas menengah sosial atas, sebab pengeluaran anggaran yang besar dari APBD tidak setara dengan penghasilan yang diperoleh dari pembangunan pariwisata bagi kesejahteraan masyarakat Flores. Pada tahun  1990-1991 dan 1994-1995, pemerintah daerah menggelontorkan biaya sebesar US$218.000, tetapi pendapatan daerah dari biaya masuk yang sangat murah saat itu, yakni US$0,87, hanya mencapai US$15.060. Artinya, pendapatan dari sektor pariwisata TNK hanya menyumbang 6,9% dari total pengeluaran operasional yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah (Walpole et.al 2001). Hal sama juga masih terus menjadi persoalan hingga dekade pertama awal abad 21, yakni pendapatan daerah dari TNK hanya mencapai Rp. 1,6 miliar  pada tahun 2011 dan Rp. 1,8 miliar pada tahun 2012. Padahal, pengeluaran untuk biaya operasional TNK pada tahunan mencapai Rp. 3,5 miliar (Dale 2013).

Selain itu, dalam konteks pembangunan TNK, pada tahun 1995-1996, para wisatawan TNK membelanjakan uangnya sekitar US$1,1 juta. Sekitar US$465.000 dolar digunakan untuk transportasi, akomodasi, guide, makanan dan cinderamata yang umumnya dikelola dan dikuasai oleh kelas menengah atas dan orang-orang kaya lokal ([pensiunan] birokrat dan politisi) dan yang berasal dari Jakarta dan manca negara (Erb 2005a, Walpole et.al 2001). Karena itu, dengan watak pembangunan pariwisata yang seperti ini, kemiskinan menjadi kian melanggeng hingga hari ini di Flores, yang mana menurut data BPS (2010), dari 1,8 juta jiwa penduduk Flores, terdapat 330.380 (17,33%) penduduk miskin, jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional yakni 13,33% (Tolo 2012).

Menjadikan kegiatan promosi dan pembangunan pariwisata sebagai “proyek” untuk kepentingan kelas menengah atas mereproduksi kekuasaan ekonomi dan politiknya seperti yang terjadi di Flores hari ini, selain menyebabkan terjadinya praktek korupsi (Erb 2009), tetapi juga menimbulkan beberapa persoalan yang kontra produktif dengan janji cita-cita pembangunan (Erb 2005b, Erb 2005a). Promosi dan pembangunan pariwisata selama ini diarahkan untuk membangun pariwisata di Flores seperti yang terjadi di tempat lain seperti di Bali, atau bahkan tempat wisata lain di Eropa (Erb 2005b), seperti di Perancis misalnya dengan Tour de France yang akan ditiru di Flores dengan Tour de Flores 2016 (Tolo 2016). Akibatnya, dalam imajinasi para pemangku dan pengembang pariwisata di Flores, Bali selalu menjadi rujukan untuk pembangunan pariwisata. Karena itu, Dinas Pariwisata daerah sering melakukan “comparaive studies” terhadap promosi dan pembangunan pariwisata di Bali. Dengan demikian, tujuan promosi pariwisata pertama-tama untuk menyasar turis elit, seperti yang terjadi di Bali, dan mengabaikan turis backpackers. Padahal, secara faktual, menurut penelitian Erb (2005a), turis backpackers berkontribusi lebih signifikan terhadap nadi ekonomi masyarakat lokal karena mereka umumnya lebih lama tinggal di Flores sekitar 5-7 hari –dibandingkan dengan turis elit yang hanya tinggal di Flores sekitar 2-3 hari dan jarang berinteraksi dengan aktivitas ekonomi masyarakat lokal– dan bersentuhan langsung dengan aktivitas ekonomi masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan mereka selama di Flores. Untuk menarik wisatawan elit ini, dengan meniru cara promosi pariwisata di Bali, para pelaku pariwisata yang berasal dari kelas menengah atas di Flores biasa mengadakan pertunjukan dan festival budaya dengan tiket masuk, tetapi tidak disajikan dengan profesional, dan cenderung memperlakukan kebudayaan sebagai komoditi, obyek artefak yang mati, dan terlepas dari hidup manusia Flores. Misalnya, pelaksanaan pesta Penti Manggarai 2001 yang gagal total menarik minat wisatawan. Dengan dana yang besar, pesta Penti ini dikoordinir oleh orang-orang kaya Manggarai di Jakarta yang sudah lama meninggalkan kampung halamannya dan cenderung melupakan tata adat budaya Manggarai yang benar, sehingga memperlakukan budaya sebagai komoditi untuk dipertontonkan, terlepas dari nilai kehidupan masyarakat lokal, karena itu, tidak menarik sebagai sebuah atraksi budaya bagi wisatawan (Erb 2005b, Erb 2005a). Selain itu, pada masa pemerintahaan bupati Gaspar Perang Ehok, rumah adat di Wae Rebo direhabilitasi sebagai upaya untuk menjaga otentisitas budaya untuk menarik wisatawan, tetapi, dalam waktu bersamaan, mengabaikan otentisitas yang lebih jauh mendalam dari rumah adat sebagai institusi yang tersusun atas relasi sosial yang kompleks. Sebab, bagi masyarakat Manggarai, rumah adat tidak dilihat sebagai artefak budaya yang mati, tetapi sebagai sebuah institusi yang hidup yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakatnya seperti yang dipahami oleh Levi Straus. Karena itu, upaya rehabilitasi rumah adat yang menelan biaya yang mahal ini tidak menarik bagi para wisatawan (Allerton 2003).

Persoalan lain adalah bahwa merujuk Bali sebagai jalan yang mesti diekori dalam pembangunan pariwisata di Flores memiliki dua implikasi sebagai berikut: pertama, pembangunan pariwisata di Bali, dalam banyak kasus, telah terbukti menyingkirkan masyarakat lokal dari tanah airnya sendiri. Tidak sedikit tanah masyarakat yang dikorbankan untuk kepentingan pengembangan pariwisata yang hanya menguntungkan pengusaha pariwisata manca negara dan orang-orang kaya dari Jakarta (Erb 2005a), seperti dalam kasus mutakhir soal rencana proyek reklamasi di teluk Benoa Bali (MAP Corner 2016). Mengikuti pola promosi dan pembangunan pariwisata seperti ini berarti secara tau dan mau ingin mereplikasi kegetiran hidup orang Bali akibat eskpansi kapitalisme pariwisata hari ini untuk masyarakat Flores di masa depan. Kedua, menjadikan Bali sebagai prototipe pembangunan pariwisata di Flores tidak menjawabi permintaan dan kebutuhan turis baik manca negara maupun domestik dan, apalagi, dalam banyak hal, pengembang, pemangku dan pelaku pariwisata di Flores mengabaikan turis domestik, yang berdasarkan data nasional, pada tahun 2003, terdapat sekitar 110 juta turis domestik dibandingkan dengan 5,5 juta turis manca negara, dan, pada tahun 2005, turis domestik meningkat menjadi 112 juta orang dibadingkan dengan turis manca negara yang menurun menjadi 5 juta orang (Erb 2009). Lagi pula, banyak turis, baik domestik maupun manca negara, ingin menghindari hiruk pikuk pariwisata Bali yang semua sisi kehidupannya sudah terkomodifikasi dan ingin mencari ketenangan dan keotentikan budaya, alam dan masyarakat yang masih terjaga di Flores. Tetapi, ironisnya, pemerintah daerah di Flores justru ingin membangun Flores seperti Bali yang justru kini mulai dihindari oleh para wisatawan. Terkait dengan menjadikan Bali sebagai rujukan promosi dan pembangunan pariwisata di Flores, Erb (2005a: 173) memberikan catatan demikian:

Ketidaksesuaian fundamental antara turis yang datang ke Labuan Bajo dan turis yang diingini Dinas Pariwisata untuk datang ke Labuan Bajo dapat dilihat dari “diskursus” yang sama sekali berbeda terkait dengan konsep tentang “Bali”. Dalam imajinasi Dinas Pariwisata, dan dalam rencana-rencana mereka, mereka ingin menjadikan Flores seperti Bali, itulah yang ingin mereka rencanakan untuk Labuan Bajo. […] Bali merupakan ideal bagi Dinas Pariwisata untuk mengembangkan pariwisata di Flores, yang mana ingin dihindari oleh para turis yang mengunjungi Flores. Ketika ditanya apa yang mereka suka dari Flores, atau mengapa mereka datang ke Flores, banyak dari turis mengutarakan kepadaku bahwa mereka ingin menghindari Bali, yang terlalu padat dengan para pedagang dan turis yang agresif. […] Karena itu, kita dapat melihat ironi dari “miskomunikasi” antara turis yang datang ke Flores dan para pelaku dan pemangku pariwisata yang bertanggung jawab membentuk watak pembangunan pariwisata di Flores.

Intisarinya adalah bahwa promosi dan pembangunan pariwisata di Flores digelar dan dilaksanakan tidak pertama-tama untuk meningkatkan kepentingan masyarakat Flores, tetapi sebagai upaya untuk meraup keuntungan ekonomi dan politik bagi segelintir kelas menengah atas, baik di institusi birokrasi, politik maupun bisnis pariwisata. Hal ini terjadi karena sumber ekonomi politik di Flores tidak lagi semata bersumber pada tanah seperti pada masa lalu, tetapi juga bersumber pada lembaga birokrasi dan politik hari ini. Memang kepemilikan tanah menjadi kunci bagi kelas menengah ke atas di Flores untuk menempati posisi penting dalam ranah birokrasi dan politik hari ini, tetapi, ketika sudah menempati posisi strategis ini, mereka tetap berupaya  untuk “merampok” sumberdaya ekonomi di lembaga birokrasi dan politik yang sejatinya digunakan untuk pembangunan di Flores, termasuk pembangunan pariwisata di Flores. Tetapi, sumber daya ekonomi itu tidak saja berada pada institusi birokrasi dan politik, tetapi juga pada para wisatawan yang mengunjungi Flores. Karena itu, orientasi promosi pariwisata dan pembangunan pariwisata di Flores menyasar turis-turis elit –bukan  para backpackers yang dianggap tidak memiliki uang– yang mampu membayar tiket pertunjukan atau “nginap” di hotel-hotel mewah yang umumnya dimiliki oleh para (pensiunan) birokrat dan politisi lokal, pengusaha kaya manca negara dan Jakarta (Erb 2005). Dengan ini menjadi jelas bahwa agenda promosi dan pembangunan pariwisata di Flores sejauh ini sejatinya dirancang untuk memenuhi keinginan dan kepentingan kelas menengah ke atas, bukan untuk kepentingan masyarakat miskin di Flores.

Tour de Flores2016, Relasi Sosial Produksi dan Reproduksi Kemiskinan

Para pihak penyelenggara TdF 2016, yang menguasai media cetak nasional, mencoba meyakinkan publik Flores bahwa TdF 2016 sebagai investasi jangka pendek dan panjang yang dapat mendatangkan keuntungan ekonomi senilai Rp. 20,4 triliun (Investor Daily 20/1/2016). Dengan janji keuntungan yang besar ini, kecuali pemerintah daerah Ngada yang dipimpin oleh Bupati Marianus Sae (Sergap NTT, 15/4/2016, Tolo 2016), beberapa pemerintah derah di Flores –termasuk pemerintah daerah Flores Timur yang sedang berutang Rp. 9,5 miliar– dan pemerintah provinsi bersedia menyediakan dana senilai 16,5 miliar (Sergap NTT, 30/3/2016). Dana ini “dirampok” dan dianggarkan dari APBD 2016 yang sejatinya sudah ditetapkan tidak memiliki item pengeluaran untuk TdF 2016, yang mana setiap kabupaten yang terlibat dan perintah provinsi harus menyediakan dana masing-masing Rp. 1,5 miliar dan Rp. 3 miliar. Dari jumlah dana Rp. 16,5 miliar ini, nantinya, Rp. 7-8 miliar akan dialokasikan untuk para pemenang TdF 2016 dan sisanya digunakan untuk membiayai panitia penyelenggara yang umumnya beranggotakan orang-orang kaya di Jakarta.

Namun, proyeksi dan predikis spekulatif keuntungan Rp. 20,4 triliun dari penyelenggara TdF 2016 bukanlah angka pasti yang bisa diraup oleh pemerintah dan masyarakat daerah. Jika melihat ekonomi politik pembangunan pariwisata selama ini di Flores, keuntungan dari penyelenggara TdF 2016 tidak akan dinikmati oleh pemerintah daerah dan masyarakat Flores. Begitu juga jika melihat pengalaman tour serupa di Indonesia, seperti Tour de Singkarak misalnya, agak susah untuk diyakinkan bahwa TdF 2016 akan membawa keuntungan bagi masyarakat Flores. Jonimar Boer, anggota Komisi II Bidang Pembangungan DPRD Sumatra Barat, secara pribadi menolak Tour de Singkarak yang telah dilaksanakan sejak tahun 2009, karena begitu besar dana yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi Sumbar untuk Tour de Singkarak, tetapi tidak berdampak positif bagi ekonomi masyarakat. Boer berkesimpulan bahwa dalam penyelenggaraan Tour de Singkarak “[k]euntungan terbesar justru diraih pihak-pihak dari pusat, terutama panitia penyelenggara. Sementara rakyat Sumbar lebih berada pada posisi penonton di daerah sendiri (Republika 20/3/2012).” Seorang warga Padang juga memiliki kesan yang sama bahwa acara tahunan ini membuat dampak yang negatif juga terhadap masyarakat, terutama bagi kita yang berdomosili di Kota Padang, di mana kita mengalami kemacetan yang sangat panjang sehingga mengganggu dan merugikan masyarakat (Gosumbar 4/10/2015). Seorang sopir angkot jurusan Siteba-Pasar Raya di Padang mengeluhkan dampak negatif Tour de Singkarak demikian: “[m]au bagaimana lagi, terpaksa hari ini pulang tanpa gaji, pasalnya macet akibat Tour de Singkarak ini sangat panjang dan lama sekali. Jangankan untuk gaji, untuk minyak serta setoran angkot saja entah bagaimana nanti sore” (Pos Metro Padang 4/10/2015).[9] Tetapi, untuk menantang dan menghadang keraguan dan fakta negatif seperti ini dalam penyelenggaraan TdF 2016, Dorimulu (2015), Chairman TdF 2016, menjawab agak panjang lebar demikian:

Ketika Tour de Flores (TdF) menggema, ada pihak yang bertanya, “Apa dampak pariwisata bagi rakyat Flores dan NTT? Jangan-jangan, pariwisata membuat orang Flores dan NTT makin melarat.” “Oh, dampak positif, TdF dan pariwisata Flores tergantung pada respons pemda dan rakyat setempat,” jawab saya. Masyarakat lokal akan mendapatkan dampak positif dari kegiatan pariwisata jika bahan makanan dan makanan jadi yang dibeli hotel, restoran, dan wisatawan berasal dari daerah setempat. …[S]ouvenir yang dibeli pelancong berasal dari masyarakat setempat. …[T]ransportasi lokal disediakan oleh pengusaha lokal. …[R]estoran dimiliki oleh masyarakat setempat. …[M]asyarakat lokal pemilik tanah ikut memiliki saham hotel dan restoran yang dibangun. Tanah penduduk tidak dilepas habis, melainkan disewakan kepada pemodal besar. …[P]ara pekerja di hotel, restoran, toko, biro perjalanan berasal dari daerah setempat. …[A]da budaya lokal yang dikemas menjadi seni pertunjukan rutin. Nyanyian dan tarian adat bisa dikelola dengan baik menjadi uang jika pemda membantu menyediakan acara malam kesenian di gedung atau lokasi kesenian. …[P]enduduk setempat ikut memiliki home stay.

Pernyataan Dorimulu (2015) ini tidak memiliki dasar argumentatif yang kokoh untuk mempertanggungjawabkan jargon, premis dan hipotesis imaginernya ini. Seperti apa yang ditegaskan oleh Erb (2000) ketika menilai kegiatan Penti Manggarai 2001 bahwa orang-orang  kaya Flores, yang lama tinggal di Jakarta, yang menginisiasi kegiatan kultural untuk tujuan menggenjot pembangunan pariwisata, sudah tidak lagi mengenal realitas sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat Flores. Kekurangan referensi pengetahuan tentang hal ini berimplikasi pada jalan keluar yang ditawarkan terhadap suatu persoalan cenderung kontra produktif.  Dalam konteks pernyataan yang dikutip panjang lebar di atas, Dorimulu (2015) sepertinya abai terhadap realitas ketimpangan relasi sosial produksi dalam masyarakat Flores hari ini, seperti yang telah dijelaskan pada bagian kedua dari tulisan ini. Bagaimana masyarakat Flores bisa terlibat aktif dalam TdF 2016 seperti yang disarankan oleh Dorimulu (2015), jika kondisi obyektif-material hari ini, mayoritas masyarakat masih harus berhadapan dengan rintangan struktural yang sudah membantu sejak lama di Flores. Seruan-seruan “profetis-spekulatif” seorang Dorimulu (2015) menjadi tak bermakna jika menengok formasi kelas sosial dan konstelasi politik dalam ranah birokrasi, politik, dan Gereja Katolik di Flores hari ini. Bagaimana masyarakat Flores bisa turut serta dalam menikmati  “kue pembangunan” yang akan dibawa oleh TdF 2016 jika sumber-sumber ekonomi, baik di sektor agraria maupun di sektor institusi pemerintah, politik dan Gereja Katolik hari ini di Flores hanya bersirkulasi di antara kelas sosial atas di Flores yang menduduki posisi strategis di lembaga birokrasi, politik dan Gereja Katolik (Erb 2005, Prior 2013). Apalagi hampir sekitar 97 persen APDB di Flores adalah kucuran dari pemerintah pusat, yang berpotensi menjadi “lahan basah” perebutan sumber ekonomi dan politik bagi kelas sosial menengah atas di Flores (Obon 2007, Kompas 2011). Dengan demikian, jurus-jurus pembangunan yang ditawarkan oleh Dorimulu (2015) di atas memang tidak sinkron dengan kondisi obyektif-material masyarakat Flores hari ini. Karena itu, janji-janji bahwa TdF 2016 akan menyejahterahkan seluruh lapisan masyarakat Flores yang dilontarkan oleh Dorimulu (2015) hanyalah sebuah “retorika imaginer-utopis” seorang pemimpi, tanpa diakhiri huruf n (a dreamer). Pertanggungjawaban seorang Dorimulu (2015) atas retorika imaginer-utopisnya ini menjadi semakin sulit dipertahankan dan dipercaya ketika data dan fakta mutakhir membenarkan upaya pemerasan dana dari pihak ketiga untuk kepentingan ekonomi dan politik pihak penyelenggara. Sebab, belum lama ini, panitia TdF 2016 meminta “uang siluman” ratusan juta rupiah dari pihak ketiga yang telah berniat sungguh-sungguh menggunakan dana pribadinya sendiri sekitar Rp. 400 juta hanya untuk menggelar fashion show memperkenalkan kepada dunia internasional pakaian tradisional NTT pada acara puncak TdF 2016 di Labuan Bajo nanti (Romualdus 2016). Memang sejauh ini belum ada temuan mengenai mark up anggaran dan penyelewengan penggunaan dana TdF 2016, tetapi bukti mengenai permintaan “uang siluman” ini sudah memberikan sinyalemen kuat bahwa ada ketidakberesan dalam tata kelola keuangan TdF 2016 yang perlu diteliti dan ditelisik lebih jauh. Fakta dan data ini mengkonfirmasikan temuan Erb (2009) bahwa, selama ini, promosi pariwisata di Flores hanyalah sebuah “proyek” bagi pihak penyelenggara untuk meraup keuntungan ekonomi dan politik bagi diri mereka sendiri.

Segaris dengan pemikiran Dorimulu (2015), beberapa pihak menilai bahwa TdF 2016 akan mengingkatkan taraf ekonomi semua lapisan masyarakat dan membawa keberhasilan pembangunan pariwisata di Flores, sebab Perancis, dengan Tour de France-nya, telah membuktikan hal itu. Tentang hal ini, Eppedando (2016), salah satu anggota tim penyelenggara TdF 2016, menulis demikian:

Tour de France berawal pada 1903 telah mencatat banyak pencapaian dan efek ekonomis luar biasa bagi Eropa dan dunia. […] Dalam perkembangan, Tour de France bukan saja melewati kota-kota di Perancis melainkan juga kota-kota di Eropa atas permintaan beberapa organisasi publik dan pemerintah setempat. Mereka menilai bahwa Tour de France bakal membawa dampak sosial dan ekonomi luar biasa. […] Tour de France akan memasuki penyelenggaraan edisi ke-103 di [tahun] 2016. Sejarah, reputasi, penyelenggaraan, selebrasi, dan kesuksesannya menjadi inspirasi dan model bagi Tour de Flores dengan target bertahap yakni membawa dunia ke Flores dan menghadirkan Flores di pentas dunia.
Pendapat Eppedando (2016) ini terlalu simplisitis dan menyerderhanakan persoalan. Pertanyaan yang harus diajukan di sini adalah: mengapa Perancis berhasil dengan Tour de France-nya? Kondisi obyektif-material macam apakah yang membuat Tour de France berhasil mendongkrak ekonomi masyarakat Perancis? Pertama-tama harus diakui bahwa Perancis, termasuk banyak negara di Eropa, telah berhasil melewati transisi agraria dan, karena itu, ekonominya pada umumnya ditopang oleh sektor jasa. Ekonomi Perancis sendiri ditopang oleh sektor jasa sebesar 78,49 persen dari total GDP, yang mempekerjakan sekitar 74,09 persen dari total populasi. Sektor agraria hanya menopang sekitar 1,69 persen yang mempekerjakan sekitar 2,90 persen dari total populasi dan sektor manufaktur dan industri menyumbangkan 19,82 persen dari GDP yang mempekerjakan 21,78 persen dari total populasi. Oleh Bank Dunia Perancis dikategorikan sebagai “politeically stable” dengan koefisien gini sekitar 0,33 pada tahun 2012, yang kurang lebih sama dengan koefisien gini pada tahun 1995. Pada tahun 2012, sekitar 58 persen penduduknya mampu mengakses pendidikan tinggi (World Bank 2015). Jika ingin menilai Tour de France yang diselenggarakan sejak 1903 mungkin diperlukan data mengenai koefien gini sejak saat itu. Perancis tidak seperti negara Eropa yang lain, koefisien gini pada abad 18 dan 19, juga pada awal abad 20, tidak tersedia. Tetapi, dengan penelitian Morrisson & Snyder (2000), dapat dibuktikan bahwa distribusi kekayaan di Perancis pada sejak pecah Revolusi Perancis (1790-1815) menjadi semakin adil dan merata. Morrisson & Snyder (2000: 71) memberikan beberapa alasan di dibalik keberhasilan Perancis menurunkan kesenjangan ekonomi pasca Revolusi  Perancis sebagai berikut:

Setelah Revolusi kelas bawah mendapat manfaat dari penghapusan dime, pajak yang telah merugikan mereka sebelumnya. Penghapusan hak-hak feodal bangsawan juga meningkatkan pendapatan masyarakat kelas bawah, yakni para petani yang tidak lagi tunduk untuk bekerja corvees dan kewajiban lain untuk seigneurs mereka. Mungkin aspek yang paling penting lainnya adalah penyitaan properti gereja dan para bangsawan. Barang-barang yang disita itu dilelang sebagai biens nationaux. Kelompok terbesar pembeli adalah petani dan kaum borjuis yang sudah memiliki tanah dan memiliki sarana untuk memperoleh lebih banyak, ada banyak dari jajaran yang lebih rendah dari hirarki pertani yang juga dapat memperoleh beberapa bidang tanah yang dilelang oleh pemerintah. Akibatnya, struktur agraria berubah secara dramatis. Di departemen baru Nord, pangsa lahan yang dimiliki oleh para biarawan/biarawati dan kaum bangsawan menurun dari 42 persen pada 1788 menjadi 12 persen pada tahun 1802, dan saham yang dimiliki oleh paysans meningkat dari 30 persen menjadi 42 persen. Sebelum Revolusi,  petani di desa-desa di bagian Tenggara Perancis yang dianggap ‘tergantung’ karena mereka tidak menguasai cukup lahan dan sumber daya lain untuk menghidupi keluarga mereka, jika tidak mencari pekerjaan di luar sektor agraria, atau bergantung pada amal kasih dari mereka yang  secara ekonomi ‘independen’. Tapi setelah Revolusi, persentase petani dengan kategori ‘tergantung’ menurun dari 46 persen menjadi 38 persen, sedangkan persentase petani ‘independen’ meningkat dari 20 persen menjadi 32 persen. Indikasi terkait lain yang diterima golongan pekerja dari golongan kelas yang lebih tinggi adalah bahwa gaji pekerja perkotaan meningkat 62 persen pada tahun 1797-1803, jika dibandingkan gaji pada tahun 1785-89, sedangkan harga gandum (indikator tunggal terbaik untuk biaya hidup) hanya meningkat 28 persen selama periode yang sama.

Penyelenggaraan TdF 2016 dilaksanakan dalam struktur relasi sosial produksi yang kurang lebih sama dengan Perancis sebelum terjadinya Revolusi di mana tanah dan kekayaan masih terkonsentrasi pada golongan bangsawan, tuan tanah (mosalaki), birokrat, politisi, pengusaha Tionghoa, pengusaha pariwisata, investor tambang, dan Gereja Katolik di tengah 60% masyarakat Flores yang hanya mengenyam pendidik Sekolah Dasar (Tolo 2013a). Di Manggarai Barat, tanah-tanah persawahan Lembor sudah jatuh satu-satu ke tangan pengusaha Tionghoa. Di Manggarai, sudah sejak tahun 1970an banyak tanah-tanah strategis bersertifikat milik masyarakat jatuh dalam genggaman para birokrat dan orang kaya baru. Menurut Gordon (1975: 145-146) di Manggarai: Tanah-tanah bersertifikat[10] dengan mudah diperjualbelikan, dan dalam dekade terakhir kelas baru pengusaha kaya telah muncul di Manggarai yang mampu membeli tanah. …Mereka dapat membeli jip, membangun rumah, dan membeli tanah. Biasanya mereka melakukan ketiganya. Tetapi pembelian tanah selalu menjadi pilihan pertama mereka.

Karena keberadaan Taman Nasional Komodo sebagai destinasi pariwisata, tanah-tanah strategis di Labuan Bajo juga jatuh satu-satu ke tangan pengusaha pariwisata, entah itu melalui jual beli dengan masyarakat atau tender dengan pemerintah. Misalkan, menurut laporan Tempo (6/3/2015), ketua DPR RI kala itu, Setya Novanto memenangi tender tanah seluas 4 hektar di pantai Pede untuk mendirikan hotel senilai 120 miliar rupiah selama 25 tahun, dengan nilai sewa 1,3 miliar rupiah. Di Maumere, Tule (2013) juga mengakui bahwa kongregasi religius Katolik SVD  memiliki 200an hektar tanah pertanian dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) dengan kontrak berdurasi 50-70 tahun. Di Manggarai Barat, Dale (2013) mengungkapkan salah satu konggregasi religius Katolik memiliki tanah sekitar 70an hektar. Di Ngada, sebuah paroki Gereja Katolik memiliki sekitar 6 hektar tanah ladang dan sawah. Sementara itu, seminari-seminari di Flores, seperti seminari Mataloko, seminari Kisol dan Seminari Hokeng, juga seminari Tinggi Ledalero, masing-masing memiliki perkebunan yang luas (Tolo 2013). Banyak tanah yang dikuasai oleh Gereja Katolik di Flores dewasa ini awalnya adalah tanah milik perusahaan dan perkebunan Belanda yang pada mulanya dirampas baik secara koersif maupun konsensus dari masyarakat Flores. Tanah-tanah ini akhirnya dijual murah kepada Gereja Katolik sebagai bagian dari tindakan akumulasi melalui perampasan, seperti yang disinggung oleh Harvey (2003), ketika Belanda harus meninggalkan Flores setelah Indonesia merdeka (Prior 2013). Dari sektor pertambangan, menurut laporan tulisan Hasiman (2013), banyak areal tambang di NTT yang merupakan tanah ulayat masyarakat adat sudah dikuasai oleh korporasi tambang baik nasional maupun multinasional. Di Manggarai, Regus (2011) melaporkan banyak tanah ulayat (lingko) jatuh pada tangan investor tambang. Bahkan beberapa wilayah hutan lindung menjadi wilayah konsesi tambang (Tolo 2013b, Regus 2011). Dalam kaitan dengan ini, pemerintah daerah selalu berpihak kepada korporasi tambang dengan memberikan fasilitas dan kebijakan yang mengguntungkan koporasi dan merugikan masyarakat. Pemerintah daerah di Flores cenderung melihat penyelesaain terhadap persoalan pengangguran dan sumber daya manusia yang rendah adalah dengan mendatangkan investor (Erb 2010). Karena itu, Regus (2011: 8) menulis demikian: “[k]orporasi dan negara melakukan proses marginalisasi terhadap MLT.”[11] Dengan kondisi struktur agraria seperti ini, pada tahun 2013, data menunjukkan bahwa 34 keluarga petani kaya di Flores menguasai sekitar 476 hektar, sedangkan 78 petani gurem di Flores cuma menguasai 27 hektar. Dengan kata lain, rata-rata keluarga petani kaya di Flores menguasai 17 kali lebih luas dari tanah keluarga petani gurem (Tolo 2013a, Tolo 2014). Dengan struktur agraria yang demikian timpang, maka, walaupun pertumbuhan ekonomi positif, tetapi tidak bermanfaat bagi peningkatan ekonomi masyarakat Flores. Data menunjukkan bahwa, dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2010-2014), pemerintah provinsi NTT, termasuk Flores, tampak riang dengan profil pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang terus merangkak naik.[12] Namun, jika menengok fakta kemiskinan pada tahun 2014, maka performa positif ini menjadi tidak bermakna. Sebab, dari total total 4,8 juta penduduk masih terdapat lebih dari 1 juta penduduk NTT dikategorikan sebagai orang miskin. Koefisien gini NTT pada tahun 2014 juga masih tinggi,  yakni 0,38.[13] Ini berarti bahwa kinclongnya performa ekonomi NTT selama ini, termasuk pembangunan dalam bidang sektor pariwisata, ternyata hanya dinikmati oleh segelintir elit politik, elit birokrasi, elit ekonomi dan korporasi, tetapi menjadi beban bagi sekitar 1,32 juta petani dan sekitar 1,8 juta pekerja informal dari total 2,25 juta angkatan kerja.

Dengan demikian, penyelenggaraan TdF 2016 dalam struktur relasi sosial produksi seperti yang terjadi di Flores hari ini memang tidak akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat Flores, bahkan justru akan mereproduksi kemiskinan di Flores. Pembelajaran dari Tour de France untuk meningkatkan ekonomi masyarakat Flores bukan pertama-tama terhadap bagaimana Perancis menyelenggarakan Tour de France melainkan kondisi obyektif-material macam apakah yang memungkinkan Perancis mampu mendongkrak kemajuan ekonomi semua lapisan masyarakatnya. Hal ini bisa terjadi karena Perancis meletakan dasar kondisi obyektif-material yang relatif adil melalui sebuah Revolusi Perancis, yang memungkinkan terjadinya distribusi kekayaan di antara masyarakat Perancis sebelum diselenggarakannya Tour de France. Dalam kondisi demikian, Tour de France memang mampu membuka peluang bisnis ekonomi pariwisata yang memungkinkan semua lapisan sosial bisa terlibat dan mengalami Tour de France sebagai moment of competition and fun, moment of friendship and peace dan  moment of joy and happiness, seperti pesan dari Theme Song TdF 2016 yang dikutip pada awal tulisan ini. Tetapi, menurut penulis, “keajaiban” yang terjadi di Perancis ini tidak mungkin terealisir di Flores dengan TdF 2016, sebab kondisi obyektif-material relasi sosial produksi di Flores hari ini tidak memungkinkan semua lapisan sosial untuk terjun dalam detak nadi pembangunan ekonomi pariwisata yang akan dibuka oleh TdF 2016. Alih-alih mendongkrak pembangunan ekonomi seluruh lapisan sosial masyarakat Flores, TdF 2016 malah menjadi pembawa keberuntungan bagi kelas sosial atas semata, yang sedang menguasai Flores hari ini dan juga rombongan orang kaya dari Jakarta dan manca negara yang siap-siap merebut momentum ini.

Penutup

TdF 2016, secara ekonomi politik, merupakan agenda kelas menengah atas, baik di Flores maupun di Jakarta ataupun manca negara, untuk memuluskan agenda akumulasi kapitalnya. Tak ubahnya dengan paket promosi pariwisata di Flores selama ini, yang hanya dijadikan sebagai “proyek” untuk mendapatkan dana dari pemerintah pusat untuk kepentingan kelas menengah atas –birokrat, politisi, dan pengusaha pariwisata– di Flores seperti yang ditulis oleh (Erb 2009), TdF juga akan mengulangi strategi dan intrik yang kurang lebih sama. Perbedaannya hanyalah pada struktur aliansi yang sebelumnya hanya beranggotakan kelas menengah atas di Flores, tetapi kali ini melibatkan aliansi tambun dari banyak aktor, yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pelaku usaha bisnis pariwisata. Aliansi tambun ini bersama-sama “merampok” Rp. 16,5 miliar dana APBD untuk menyelenggarakan TdF 2016 yang sejatinya ditujukan untuk kepentingan kelas menengah atas semata yang memiliki kekuasaan dan modal. Namun, pandangan sumir terhadap TdF 2016 ini bukan saja karena wataknya yang bersifat “proyek,” tetapi juga karena argumentasi yang mendasari TdF 2016 –sebagai  upaya untuk menyejahterahkan masyarakat Flores seperti yang terjadi dengan Tour de France untuk masyarakat Perancis– tidak dapat dipertanggungjawabkan ketika dibenturkan dengan kondisi obyektif-material masyarakaf Flores hari ini. Ketimpangan relasi sosial produksi masyarakat Flores hari ini tidak menjadi dasar yang logis bagi terselengaranya TdF 2016 yang digadang-gadang akan membawa dampak positif bagi pembangunan pariwisata untuk seluruh masyarakat Flores. Bisa jadi TdF 2016 akan membawa peningkatan pertumbuhan ekonomi, tetapi bukan pembangunan ekonomi. Sebab, pertumbuhan ekonomi tidak serta merta berarti pembangungan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan perluasan ekonomi yang diukur oleh GNP. Akan tetapi, pembangunan ekonomi tidak sekedar perluasan ekonomi saja, melainkan pertumbuhan ekonomi yang mandiri. Ini berarti bahwa terdapat perbedaan kualitatif antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi (Budiman 1987: 208).

Dengan demikian, jika TdF bisa menggenjot kedatangan pariwisata ke Flores hingga 4 juta jiwa, seperti yang pernah ditegaskan oleh Primus Dorimulu, Chairman TdF 2016 (Investor Daily, 24/11/2015), maka pertumbuhan ekonomi Flores tentunya akan naik, tetapi, dengan relasi sosial produksi hari ini, maka perluasan ekonomi ini tidak serta merta meningkatkan pembangunan di Flores. Hal ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi ini nantinya hanya mengalir ke “kantong-kantong” kehidupan segelintir kelas menengah atas di Flores yang hari ini sedang berkuasa dan juga para orang kaya dari Jakarta dan manca negara yang akan menginvasi Flores dengan kapital dan kekuasaan yang mereka miliki. Karena itu, kemiskinan akan terus bereproduksi di Flores melalui TdF 2016 dan TdF di masa-masa yang akan datang. Jika masyarakat Flores berhasrat sungguh-sungguh untuk belajar dari Perancis dengan Tour de France-nya, maka keinginan untuk menggelar Tour de Flores mensyaratkan terjadinya Revolusi Flores terlebih dahulu.

 

REFERENSI

ALLERTON, C. (2003), Authentic Housing, Authentic Culture? Transforming A Village Into a ‘Tourist Site’ in Manggarai, Eastern Indonesia, Indonesia and the Malay World 31, 89: 119-128.

ARNDT, P. (1958) Hinduismus der Ngadha. In Folklore Studies, Vol XVIII, Tokyo.

ARNDT, P. (1951). Nama, Paulus Sabon (Penerj. 2003). Agama Asli di Pulau Alor. Maumere: Candraditya.

ARNDT, P. Nama, Paulus Sabon (penerj. 2002). Hubungan Kemasyarakatan di Wilayah Sikka (Flores Tengah Bagian Timur). Maumere: Candraditya.

BEKKUM, WILHEMUS VAN (1946); M. AGUS (Penerj, 1974). Sejarah Manggarai (Warloka-Todo-Pongkor), Unpublished manuscript.

BUDIMAN, ARIEF. (1987). Jalan Demokratis ke Sosialisme: Pengalaman Chili di Bawah Allende. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

DALE,C.J.P (2013) Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan Sistemik. Kupang: Sunspirit Books.

DORIMULU PRIMUS (2015). Dampak Positif Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal, Nagekeo Bersatu, 24 November. Lihat juga di koepang.com, ditayang 2 Februari 2016 di http://koepang.com/dampak-positif-pariwisata-bagi-masyarakat-lokal/.

EPPEDANDO, ROBERT (2016). Tour de Flores: Belajar dari Tour de France, Kompasiana, 29 Februari. Tulisan ini dapat diakses di http://www.kompasiana.com/roberteppedando/tour-de-flores-belajar-dari-tour-de-france_56d3e9aec823bd9f14de90c6.

ERB, MARIBETH (2010). Kebangkitan Adat di Flores Barat: Budaya, Agama dan Tanah, dalam Davidson, James S., et al., Adat dalam Politik Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

______. (2009) Tourism as glitter Re-examining domestic tourismin Indonesia, dalam Winter, Tim & Teo, Peggy, Chang, T.C. (Eds.), Asia on Tour: Exploring the Rise of Asian Tourism, New York: Routledge.

_______. (2006). Between Empowerment and Power: The Rise of the Self-Supporting Church in Western Flores, Eastern Indonesia 1, Journal of Social issues in Southeast Asia 21, 2: 204-229.

______. (2005a). Shaping a ‘New Manggarai’: Struggles over culture and tradition in an Eastern Indonesian regency1. Asia Pacific Viewpoint, 46(3), 323-334.

______. (2005b). Limiting tourism and the limits of tourism: The production and consumption of tourist attractions in western Flores. Indigenous tourism: The commodification and management of culture, 157-181.

_______. (2000). Understanding tourists: interpretations from Indonesia. Annals of Tourism Research, 27(3), 709-736.

FORTH, G (2001). Dualism and Hierarchy: Processes of Binary Combination in Keo Society; Oxford Studies in Social and Cultural Anthropology. England:Oxford University Press.

GORDON, JOHN LAMBERT (1975). The Manggarai: Economic and Social Transformation in an Eastern Indonesia Society, PhD Thesis at Harvard University Cambridge, Massachusetts.

HARVEY, D. (2003). The New Imperialism. New York: Oxford University Press.

HASIMAN, F. (2014) Monster Tambang. Jakarta: JICP OFM.

MACCANNELL, DEAN (1992). Empty Meeting Grounds: The Tourist Papers. London and New York: Routledge.

MADUNG, O.G. & PRIOR J.M. (eds.) (2015). Berani Berhenti Berbohong: 50 Tahun Pascapristiwa 1965-1966. Maumere: Ledalero, Litbang STFK Ledalero.

MAP CORNER (2016). “Ekonomi Politik Reklamasi Pantai”, Diskusi Mingguan 19 April.

METZNER, J.K. (1982). Agriculture and Population Pressure in Sikka, Isle of Flores: A contribution to the study of the stability of agricultural systems in the wet and dry tropics, Development Studies Centre Monograph No. 28, Australian National University.

MOLNAR, A. K. (1997) Christianity and Traditional Religion among the Hoga Sara of West-Central Flores, Anthropos 92.

MORRISSON, CHRISTIAN & SNYDER, WAYNE (2000). The income inequality of France in historical perspective, European Review of Economic History  4, 59-83.

MUDA, H (1986). The Supreme Being of the Ngadha People in Flores (Indonesia): Its Transcendence and Immanence, Doctoral thesis, Pontifica Universita Gregoriana, Rome.

JALONG, FRANSISKUS (2011). Kairos dan Developmentalism: Politik Wacana Patronase di Manggarai, Tesis Master, Universitas Gadjah Mada.

KLINKEN, van Gerry (2015a). The Making of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota Kupang, 1930an-1980an. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta.

_______. (2015b). Pembunuhan di Maumere, Jurnal Ledalero 14: 1, 9-33.

KOMPAS. 2011. Ekspedisi Jejak Peradaban NTT: Laporan Jurnalistik Kompas. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

LELE, G. (2012), Flores dan Kemiskinan, wawancara di Yogyakarta, Univesitas Gadjah Mada, 5 September.

OBON, FRANS (2007). “Mencari Rakyat dalam APBD”, Laporan Jurnalistik “Diskusi Tematik Fakultas Ekonomi Universitas Flores, Fenomena Pengelolaan APBD Yang Berpihak Pada Rakyat”, Ende, 22 Februari. Tulisan ini bisa diakses di http://fransobon.blogspot.co.id/2007/07/mencari-rakyat-dalam-apbd.html.

ORINBAO, SARENG (1969). Nusa Nipa, Nama Pribumi Nusa Flores. Ende: Nusa Indah.

_______. (1992). Tata Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku-Bangsa Lio. Maumere: SeminariTinggi St. Paulus Ledalero.

PARREIRA, M MONDALANGI (1988). Adat-Istiadat Sikka Krowe di Kabupaten Sikka. Maumere, Flores.

PICARD, M (1997). Cultural Tourism, Nation-Building and Regional Culture: The Making of a Balinese Identity, dalam  M. Picard & R. E. Wood  (Eds.).Tourism, Ethnicity and the State in Asian and Pacific Societies. Honolulu: University of Hawaii Press.

PRIOR, J.M. (2013). “Land Disputes and the Church,” dalam Lucas, Anton & Warren, Carol, Land For the People: The State and Agrarian Conflict in Indonesia, United States of America: Center for International Studies.

_______. (2011). The Silent Scream of a Silenced History, Exchange 40:117-43, 311-12

REGUS, M. (2011). Tambang dan Perlawanan Rakyat: Studi Kasus Tambang di Manggarai, NTT, Jurnal Sosiologi Masyarakat 16, 1: 1-28.

ROMUALDUS, SANDY (2016), ”Tour de Flores dan Uang Siluman”, wawancara via Facebook, 8 Mei.

SATO, KAPTEN TASUKU & TENNIEN, P MARK (1957). Wignyanta, Thom (penerj, 1976). Aku Terkenang Flores (I Remember Flores). Ende: Nusa Indah.

TOLO, EYS (2012). Land Grabbing dan Kemiskinan di Flores, [Opini], Flores Pos, 9 Oktober

_______. (2013a). Laporan Penelitian Tentang ‘Tradisi, Hakatas Tanah, dan Penciptaan Kesejahteraan Masyarakat Lokal  di Flores dan Maluku,’ Novevember 2013- February 2014.

_______. (2013b). Public Participation in the Implementation of Forestry Decentralization in Indonesia, Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Universitas Indonesia, 20 (2): 113-120.

_______. (2014). Land Grabbing dan ReformaAgraria Indonesia, Basis, No.01-02, Year 63, Yogyakarta.

_______. (2016). ‘Tour de Flores, Perampokan APBD, dan Gugatan Marianus Sae’, Indoprogress, 5 Mei. Tulisan ini bisa dilihat di sini http://indoprogress.com/2016/05/tour-de-flores-perampokan-apbd-dan-gugatan-marianus-sae/.

TULE, P. (2004) Longing for the House of God, Dwelling in the House of Ancestors: Local Belief, Christianity, and Islam among the Keo of Central Flores. Freiberg, Switzerland: Studia Instituti Anthropos 50, Academic Press.

_______. (2006). “We are Children of the Land: A Keo Perspective,” dalam Reuter, Thomas (Ed.), Sharing the Earth, Dividing the Land: Land and Territory in the Austronesian World. Australia: ANU Press.

_______. (2013). “Comunal Land Tenure in Flores”, Paper dipresentasikan kepada mahasiswa University of Agder Norwegia di Maumere, Ledalero.

WEBB, RAFP (1986). Adat and Christianity in Nusa Tenggara Timur: Reaction and Counteraction, Philippine Quarterly of Culture and Society, 14: 339-365.

WALPOLE, M.J, et. al (2001). Pricing Policy for Tourism in Protected Areas: Lessons from Komodo National Park, Indonesia, Conservation Biology15, 1:  218-227.

[1] Pertanyataan Dorimulu (2015) bahwa “pariwisata bukan kegiatan eksploitatif” tentunya bersifat apriori dan spekulatif, tanpa dasar penelitian ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Pernyataan seperti ini menunjukkan dan menegaskan keterbatasan pengetahuan dan informasi seorang Dorimulu (2015) karena belum pernah membaca dan merefleksikan soal dampak perkembangan pariwisata di dunia, atau pun belum sama sekali membaca tulisan-tulisan tentang tema seperti ini yang membahas perkembangan pariwisata di Indonesia, misalnya di Bali, yang ditulis oleh Picard (1997), Warren (1998), Aditjondro (1995), dan Suasta & Connor (1999). Para penulis dengan latar belakang akademis dan pengalaman penelitian internasional yang panjang ini menarik kesimpulan yang jauh berbeda dari Dorimulu (2015): bahwa perkembangan pariwisata memiliki dampak-dampak eksploitatif, apalagi jika terdapat struktur relasi produksi yang timpang di mana pembangunan pariwisata itu dilaksanakan. Dorimulu (2015) mungkin juga tidak tahu, seperti apa yang ditulis oleh Dean MacCannel 1992: 1), bahwa: “pariwisata tidak semata sebuah agregasi dari aktivitas-aktivitas komersial semata; ia juga merupakan sebuah pembentukan ideologi sejarah, alam dan tradisi; sebuah pembentukan yang memiliki kekuasaan untuk membentuk kembali budaya dan alam agar sesuai dengan keinginan-keinginannya sendiri.”

[2] Menurut Arndt (2002), pada jaman dahulu kala, di Sikka ada beberapa fakta tentang stratifikasi sosial terendah dalam masyarakat, yakni hamba. Pertama, hamba bisa diperjualbelikan, pada penculikan manusia untuk dijadikan hamba, hamba juga berasal dari tawanan perang, dan orang orang yang tidak bisa membayar utang bisa menjadi hamba. Kedua, hamba digunakan seperti benda sebagai milik pribadi. Ketiga, di masa lalu, khususnya anak-anak, agar bisa dijadikan hamba, orang kaya biasanya meletakan barang berharga dan istimewa dipinggir jalan yang menggiurkan anak-anak. Ketika anak-anak mengambilnya dia akan ditangkap dan dijadikan hamba. Keempat, orang tua yang tidak bisa membayar utang menjual anak mereka sebagai hamba. Kelima, anak-anak nakal akan dijual oleh orang tua mereka sebagai hamba. Keenam, hamba muda yang sehat dapat dijual seharga 80 gulden, dan harganya lebih rendah jika tuannya membutuhkan uang. Ketujuh, hamba bisa dibebaskan, jika seseorang atau keluarganya menebusnya dengan membayar sejumlah uang. Kedelapan, jika hamba merasa tidak diperlakukan baik oleh tuannya, dia bisa komplain pada rajanya. Karena itu, di Sikka, tuan yang membunuh hambanya mendapat hukuman dari rajanya. Kemungkinan ada pengaruh Kristianitas dalam hal ini. Kesembilan, seorang tuan dapat menjadikan hamba perempuannya sebagai istri kedua, tetapi anak-anak yang lahir dari istri hamba derajatnya lebih rendah dari ibu pertama yang bukan hamba. Kesepuluh, hamba biasanya tinggal di pondok di kebun. Jika ada pesta di kampung, mereka datang hadir dan tidak diijinkan masuk dalam rumah kecuali di koridor rumah.

[3] Setelah kerajaan Majapahit runtuh, dua kerajaan kecil yakni Goa dan Ternate menjajah Flores. Pada abad 15 dan 16, Goa menguasai Flores di bagian Barat dan Tengah, dan Flores bagian Timur diduduki oleh kerajaan Ternate (Orinbao 1969). Tetapi, kekuasaan kedua kerajaan kecil ini tidak berlangsung lama karena kedatangan bangsa Eropa, yakni Portugis dan Belanda pada abad 16. Flores bagian Barat, yakni Manggarai, dengan bantuan Belanda, akhirnya jatuh dalam kekuasaan kesultanan Bima pada abad ke 18 (Gordon 1975). Namun, menurut laporan lain, Manggarai sudah jatuh ke tangan Bima sejak tahun 1667 akibat perjanjian Bongaya (Erb 2010). Perjanjian Bongaya (Bongaaisch Tractaat) adalah perjanjian antara Belanda dan Makassar yang mana pihak Makasar yang berhasil ditaklukan Belanda harus membayar 1.000 hamba kepada Belanda. Pada saat itu harga untuk seorang hamba adalah senilai 75 guilders (Gordon 1975).

[4] Menurut catatan Orinbao (1969), nama pulau Flores yang sebenarnya adalah Nusa Nipa, sebab nama ini lebih mewakili keadaan flora dan fauna di pulau Flores. Menurut catatan sejarah, nama pulau Flores berganti-ganti. Sejak tahun 1287, pulau Flores bernama Solot.  Namun, ketika Portugis datang, mereka tidak menemui nama pribumi pulau Flores, karena itu,  mereka menamai pulau ini Cabo de Flores, yang berarti Tanjung Bunga. Pada tahun 1636, nama Flores di pakai secara resmi oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama inilah yang kemudian dipakai hingga saat ini.

[5]Selain itu, para hamba dan keturunan hamba tidak bisa menikah dengan keturunan tuan, terutama wanita dari keturunan tuan tidak bisa menikah dengan pria dari keturunan hamba. Dewasa ini, latar belakang mengenai stratifikasi sosial masih menjadi pertimbangan orang Flores ketika mencari jodoh, walaupun tidak dibicarakan secara terang-terangan. Pada jaman dahulu, jika terjadi perkawinan antara keturunan hamba dan keturunan tuan, maka keturunan hamba akan dibunuh secara kejam. Misalnya, di Ngada, Muda (1986: 47) menulis demikian: ‘the offender is hung up on the top of the bamboo far away from the village and then pierced with arrows or lances by the people’.

[6]Menurut laporan Bekkum (1974), di jaman dulu, di Flores, seorang hamba dihargai dengan dua ekor kerbau di pantai selatan Flores (Aimere), tetapi di daerah pedalaman Ngada lebih mahal, yakni seorang hamba dihargai enam ekor kerbau. Masyarakat Manggarai yang membutuhkan hamba sering membeli hamba di Aimere dan Ngada untuk diserahkan sebagai upeti kepada kesultanan Bima yang menguasai Manggarai sejak abad 18 (Gordon 1975), bahkan menurut laporan lain sejak tahun 1667 akibat perjanjian Bongaya (Erb 2010). Tentang pembayaran hamba kepada Bima ini, menurut J.P Freijss sebagaimana dikutip oleh Bekkum (1974) ‘empat Dalu (Lamba Leda, Cibal, Todo and Bajo) masing-masing membayar 10 orang hamba setiap tahun; sedangkan ke-8 Dalu yang lain 5 orang hamba. Apalagi ada beberapa Dalu seperti Pongkor tidak mau  membayar upeti kepada kesultanan Bima. Sebelum tahun 1815, Bima lebih berkuasa dari pada kemudian; pada waktu itu mungkin sampai 2000 orang hamba setahun diekspor. Menurut Bima, bahwa Ia berhak menerima 3-4000 hamba setiap tahun’.

[7] Sistem lodok memastikan pembagian tanah yang mana setiap keluarga dalam  mbaru gendang mendapatkan beberapa keping tanah dari beberapa lingko yang berbeda yang digarap setiap tahun berdasarkan sistem budidaya kampung (Erb 2010).

[8] Menurut penelitian Maribeth Erb (2000), turis pertama yang mengunjungi Flores, khususnya Manggarai, adalah pasutri Kuhn yang berasal dari Jerman pada tahun 1967. Pasangan Kuhn ini tiba di Flores dengan kapal laut di Labuan Bajo. Ketika itu, tidak terdapat satu pun akomodasi untuk wisatawan di Labuan Bajo. Karena itu, pasangan ini menginap di rumah bapak camat di Labuan Bajo dan melanjutkan perjalanan ke Ruteng dengan menunggang kuda. Sejak kedatangan pasutri Jerman ini, Flores mulai dikunjungi wisatawan. Namun hingga pertengahan tahun1980an geliat pariwisata Flores masih tak terurus dan terabaikan baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.

[9] Berdasarkan penelitian penulis, pada umumnya suara-suara sumir berkaitan dengan penyelenggaraan Tour de Singkarak ini digemakan oleh media-media lokal, sementara itu media-media besar nasional yang dikuasi oleh para pemilik modal yang berkepentingan dengan pelaksanaan Tour de Singkarak, juga nanti Tour de Flores 2016, memilih bungkam dan memberi dukungan penuh tanpa melihat keadaan riil dampak negatif di masyarakat.

[10] Kepemilikan tanah bersertifikat di Indonesia memang berkontribusi meningkatkan transaksi penjualan dan pembelian tanah. Misalnya, di tahun 2011-2013 saja  terdapat sekitar 2,3 juta transaksi penjualan dan pembelian tanah bersertifikat di Indonesia (BPN 2013).

[11]Yang dimaksudkan dengan MLT adalah masyarakat lokal.

[12] Pertumbuhan ekonomi di NTT beberapa tahun terakhir selalu positif, yakni 5,63% (2010-2012), 6,0% (2013) dan 6,25% (2014). Sementara itu, pendapatan perkapita juga terus naik, yaitu  4,5 juta rupiah (2008), 5,7 juta rupiah (2010) dan 6,1 juta rupiah (2011) dan 7,8 juta rupiah (2014).

[13] Koefisien Gini adalah cara pengukuran yang ditemukan oleh statitikus Italia, Corrado Gini, yang dipublikasikan oleh pada tahun 1012 dalam karyanya Variabilità e mutabilità, yang digunakan untuk mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan, termasuk kekayaan dalam kepemilikan tanah. Di Indonesia, pada tahun 2014, koefisien gininya mencapai 0,38, yang mengandung arti bahwa hanya 1% penduduk menguasai 38% dari total sumber daya ekonomi di NTT, salah satunya sumber daya ekonomi adalah dalam bentuk tanah. Dalam konteks corak ekonomi seperti ini, peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita NTT memang hanya mengalir ke kantong segelintir orang yang menguasai tanah sebagai faktor produksi yang paling penting di NTT. Karena itu, pertumbuhan dalam sektor pertanian –sebagai sektor yang menyumbang pertumbuhan tertinggi sebesar 1,05% pada tahun 2014- hanya dinikmati oleh segelintir elit dan korporasi tertentu saja.

Related Posts

Comments 22

  1. Raf martin says:

    Gila pendapat kamu sangat menggugah hati para pembaca. Setiap kata penuh makna memberi inspirasi baru dalam membangun Flores.
    Semogacdirimu di berikan kesempatan seluasnya memberikan sumbangsi pemikiran dalam menata flores untuk masa mendatang.

  2. Endak Dj says:

    Sepekan ini,sejak peserta TdF berkayuh pada titik start di Larantuka,hampir pasti teman-temn saya di FB mengunggah foto tentang semarak TdF,masing-masing dengan status-status positif-membahagikan.Saya enggan sekali memberikan komentar,karena belum menemukan alasan yang cukup tentang efiktifitas dari event mahabesar ini untuk Flores dan khusus untuk masyarakat akar rumput di flores. Tulisan ini menjadi referensi yg amat penting untuk menangkat apa makna dan manfaat dri TDF jangka pendek dan jangka panjang. Hemat saya,Flores saat ini masih bergulat dengan masalah kemiskinan ekonomi dan rendahnya SDM. Dan karena itu promosi pariwisata mungkin tidak akan signifikan mendongkrak angka kemiskinan dan memperbaiki kualitas pendidikan.Yang saya tahu,akar kemajuan tidak akan pernah terlepas dari pendidikan. Karena itu,Revolusi Flores yang penulis sarankan lebih tepat diterjemahkan sebagai “revolusi pendidikan” dan revolusi pembangunan infrastruktur. Pendidikan untuk manusi dan infrastruktur akan menunjang akses terhadap pendidikan. Semoga para pemangku kepentingan di bumi flores jangan terus berdecak kagum karena euforia TDF,tapi segera backhome untu bekerja membangun flores dari sendi pendidikan dan pembangunan.Jangan lupa bahwa bahwa banyak mosalaki,tuan tanah,anak raja yang non schoole..untuk tidak dikatakan belum rejeki untuj mendapat pendidikan layak.
    Viva flores…salam

  3. Yohanes Eustaqius Babo says:

    Biarkan berjalan dlu…..biasanya kita pu org kl blum berjalan sdh analisa dr berbagai aspek…memang tdk ada salahnya jg……tp ne br tahun pertama…kita lihat dampaknya setelah berjalan beberap tahun…minimal 5 tahun…..menurut sy point pertama yg mau kita capai tu cukup org tau flores dlu….flores tu dmana???sederhana sj…dg adanya tour de flores…org makin mengenal flores….cukup dorang ambil peta liat..oh trrnyata flores tu dsini,,,siapa yg tdk sakit hati waktu masih kuliah di jawa tmn2 dr flores trmasuk sy sering mendapat pertanyaan..flores tu dmana sech….sebelah papua ya??masih negara indonesia ya???itukan konyol…..kl dampak untuk masyarakat secara langsung dlm jangka pendek sech tdk ada..hanya pertunjukan semata…tp sy bangga…dg tour de flores….nama flores makin terkenal..ckup itu sj dlu tujuannya sdh cukup

  4. Venan Pea Mole says:

    Mungkin harus diperiksa lagi argumentasi bahwa secara historis-kultural, masyarakat Flores terbagi ke dalam tiga kelas sosial berbeda, yakni tuan (gae, mosalaki ), orang biasa,
    commoners ( gae kisa ), dan hamba (ho’o ). Apakah sudah tepat kutipan ini? Bukankah ‘kelas sosial’ dimaksud hanya berlaku pada di Kabupaten Ngada, terkhusus etnis Bajawa? Ada baiknya dikoreksi dahulu, karena start tulisan ini justru dimulai dengan argumen yang harus diperiksa lagi keakuratannya, sehingga mungkin sebagai pembaca, saya menjadi tertarik meneruskan bacaan terhadap tulisan ini.

  5. Tati Resi says:

    Terima kasih , Tulisan ini telah membuka pikiran dan wawasan kami masyarakat Flores yang sekarang ada di Flores, ini benar benar sebuah tulisan yang mengguggah dan menyadarkan. Semoga dapat menjadi bahan refrensi bagi masyarakat Flores agar tidak tereksploitasi dalam bentuk apapun. Beginilah masyarakat Flores begitu lugu selama ini sehingga selalu “dimanfaatkan”. Apakah sekarang jamannya saudara “menjajah” saudara sekandung?
    Terima kasih.

    • Oscar Mere says:

      Dr awal saya tak pernah dapat kajian yg tepat manfaat keuntungan jelas dr TDF.
      karena mereka cuma numpang lewat.
      Masih banyak cara lain yg lebih hemat, apalagi zaman multi media sekarang, internet jauh lebih efektif dalam sebuah promosi.
      Dan stelah acara itu, kemajuan riil dari acara tdf emang tak nampak jelas bagi masyarakat.
      Penggunaan APBD untuk mendukung cra ini, saya adalh orang yg tak setuju.
      Setelah tahun berlalu, evaluasi nyata dari ini semua tak ada.
      Walahualam, ini acara untuk siapa, cuma Tuhan yang tahu.

  6. lasarus langga says:

    Org flores pda zaman penjajah di angkat menjadi raja trus sampai sudah merdeka kalangan yg di juluk sebagai tuan tanah di tunggang oleh greja katolik tana aja pun ndak di bli untuk bangun greja mala di kasi aja lantas tunggang lagi kita….

  7. bernard says:

    Saya sangat setuju dengan tulisan di atas bahwa penyelenggaraan TDF itu hanya utk kepentingan segelintir orang saja,alasan nya promosi” hmm..bukan nya sekarang sudah semakin gampang utk promosi!! bisa dgn memperbanyak blog,atau melalui media2 sosial dll.hmmm…sayang banget,kasian sekali jadi masyarakat biasa.

  8. Evania says:

    Thanks om, saya sependapat dg om. Beda Prancis dan Indonesia tentunya lebih beda lagi dg Flores.

  9. Yohanes Eustaqius Babo says:

    Pak bernad..mungkin bisa lebih konkret jabarkan kepentingan segelintir org tu yg bgamana??yg trmasuk segelintir org tu siapa2….??trus untuk tujuan apa memakai media tdf untuknkepentingan sndiri…kami yg masyarakat biasa pengen tau???yg lbih konkret la….kl sy sech slalu menempatkan diri di titik ekulibrium…atw titik ditengah lingkaran..jadi sy bisa melihat smua baik yg positif maupun yg negatif…kl kita slalu melihat org dr sudut elevasi…biar org mau buat baik jg akan dinilai ada kepentingan…..mungkin p bernad bsa jelaskan ke kami…..masyarakat biasa ne….kl tdk bsa publikasikan pnjelasan…bisa dikirim ke alamat email sy estababo@yahoo.co.id

  10. warih says:

    tulisan yang luar biasa…..tetapi update terakhir…..bupati ngada, marianus sae sangat mendukung kegiatan dimaksud. salah satu bukti bahkan beliau memimpin sendiri tarian jai utk menyambut para pembalap……….silahkan browsing sendiri berita terakhir terkait bupati ngada dalam menyambut tdf. mungkin beliau galau juga melihat antusiasme masyarakat ngada menyambut tdf. hehehe

  11. Stefan M says:

    Kalau dilihat bahwasannya penjajahan bentuk baru sudah mulai perlahan masuk di Flores dengan membuka kran di sektor pariwisata. Sejak dulu hingga kini masyarakt sudah di jajah secara perlahan oleh orang2 di debut Salam tulisan di atas. Says yang bergerak di Masyarakat adat sangat tidal sepakat kalau Masyarakat di pertontonkan dengan tidal manusiawi. Padahal segala bentul adatnya di buat Masyarakat harus berhubungan dengan alam. Says setuju dengan tulisan ini.. Minta ijin untuk sher ya..

  12. Andi Lado says:

    Salut banyak referensi…. dari tulisan ini kita bisa mengambil kesimpulan sendiri….
    TDF ladang baru bagi kaum kapitalis flores dan indonesia pada umumnya…… Apabila TDF menjadi agenda tahunan,,, maka jelas bahwa uang rakyat akan dirampok triliunan rupiah…….
    Sementara pembangunan daerah di NTT masih mebutuhkan sekian banyak rupiah di berbagai sektor……….

  13. JONAS C. MURDINI TULIS says:

    Sebaiknya sblm penyelenggaraan TDF jikid II, pihak penyelenggara TDF mnjelaskan scra detail dampak tdf trhdap pertmbuban pariwisata dan trutama dampak ekonomi bagi masyarakat flores. (Bkn segelintir org kaya). Jgn smpe TDF ini hanya sebuah cara utk mngambil dan merampok kantong APBD utk mngisi kantong para penyelenggara dan sebuah jln masuk bagi org2 kaya utk menguasai flores dg bisnis2 kapitalis mrka. Klau memng mereka bs menjelaskan korelasi antra TDF dg pertumbuhan pariwisata n terutama pemerataan kemakmuran di flores, kegiatan ini layak dilanjutkn. Tp bila tdk, kegiatan ini layak diboikot dan dihentikan.

  14. sonynelo says:

    Tour d’france saja sejak 1903..Ingat itu. Kita baru 2 kali. Coba anda bayangkn bhwa saat tour d’france di tahun 1905 misalnya, sdh ada bnyak kritikan model tulisan Anda ini, dan ada sebagian orang prancis yg percaya melihat manfaat kegiatan tsb puluhan taun ke depan. Krit8kan sebagai masukkan untyk selslu memurnikan motivasi penyelenggara baik2 saja. Tapi meniadakan Tour d’flires..No. Maju terus dan adakan tiap taun tor d’flires..mudah2 kita dapati kepala kepala daerah yg punya visi paeiwisata..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.