Khitah Islam sebagai Agama Perlawanan

904
VIEWS

Baca Juga:

ribuan-buruh-salat-jumat-di-depan-istana-1DT9WoKl6J
sumber gambar: Okezone

Any society which perpetuates exploitation of the weak and the oppressed cannot be termed as an Islamic Society, even if other Islamic rituals are enforced
–Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology

Absennya organisasi massa yang berbasis Islam dalam membela kepentingan umatnya adalah persoalan serius bagi muslimin sekarang ini. Bagaimana tidak? Islam yang pada awalnya bergerak dan berada di garda depan perlawanan terhadap kesewenangan dan tindak opresif kaum kafir Quraisy, hari ini kita dapatkan realitas yang sebaliknya. Islam seakan bungkam atas kekerasan yang menimpa umatnya. Dan hal ini kemudian diperparah dengan ungkapan bahwa mereka tengah mengimplementasikan salah satu nilai rahmatan lil ‘alamin–welas asih–dalam gerakannya, bukan dengan perlawanan fisik.

Realitas seperti ini tentu amat kita sayangkan. Karena mereka telah berani membatasi dan mereduksi gerak perjuangan Nabi Muhammad saw. dalam menyebarkan Islam. Mereka nampak buta sejarah. Sebab, Nabi saw. selain bersikap kooperatif dan welas asih kepada musuhnya (baca kisah Perjanjian Hudaibiyah dan Fath Makkah), Nabi saw. juga tidak segan untuk melawan bahkan memerangi “rezim despot” kuffar Makkah untuk membela umatnya (baca kisah Perang Uhud yang salah satunya bermula dari pengkhianatan Yahudi Madinah). Mengadopsi pernyataan Roy Murtadho, umat Islam sekarang ini sedang melucuti elemen progresif Nabi Muhammad saw. Rahmatan lil ‘alamin dimaknai pasifisme, ketidakberdayaan, kerapuhan dan escape from reality. Padahal jika kita kembali membaca sejarah awal Islam akan mendapati kenyataan yang berbeda.

Ketika Muhammad saw. mendapat wahyu dan risalah untuk menjalankan kenabian, Makkah berada dalam kondisi yang sangat rusak. Perbudakan, perdagangan perempuan, manipulasi, perang antar suku dan berbagai kebejatan lainnya merajalela di seantero Makkah. Di sinilah arti penting Islam. Ia diturunkan tidak hanya untuk menyerukan tauhid yang membebaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah, namun juga membebaskan manusia dari segala diskriminasi yang menimpanya, karena bertauhid kepada Allah berarti menerima segala konsekuensinya, yaitu melawan dan membersihkan segala kemungkaran yang ada.

Alquran sendiri dengan jelas dan tegas menyerukan perlawanan kepada segala bentuk kezaliman yang ada di bumi. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam surat an-Nisa`: 75, “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri Ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!“.

Dalam hadis Nabi saw. juga telah disebutkan tuntutan untuk melakukan perubahan dan perlawanan terhadap kelaliman, “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan. Jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman” (Shahih Muslim: 70).

Yang perlu ditekankan dalam sejarah Islam adalah bahwa sebagian besar as-sabiqun al-awaalun (pemeluk Islam generasi pertama) tidaklah berasal dari golongan elit di masyarakat. Di antaranya adalah Bilal bin Rabah dan Ammar bin Yasir yang berasal dari golongan budak. Nabi Muhammad saw. sendiri meskipun berasal dari kabilah Quraisy, kabilah yang terpandang di antara kabilah-kabilah lainnya, tidak dapat dikatakan berasal dari keluarga kaya. Banyaknya kelas proletar memeluk Islam dikarenakan mereka yakin Islam akan membawa perubahan dalam masyarakat. Islam akan membawa masyarakat kepada kesetaraan dalam segala aspek. Karena itulah, penolakan kaum musyrik terhadap tauhid tidak hanya karena enggan meninggalkan agama leluhurnya saja, namun juga karena adanya ketakutan akan terjadinya revolusi sosial yang dapat meruntuhkan tatanan sosial yang ada: derajat tuan borjuis akan sama dengan budaknya yang proletar, kedudukan laki-laki akan sama dengan perempuan.

Sepinya gerakan perlawanan cendekiawan muslim terhadap kelaliman adalah, salah satunya, karena mereka menjadikan teologi pembebasan dalam Islam tak lebih hanya sebagai cara pandang, pisau analisis bukan sekaligus sebagai landasan pergerakan. Asumsi tersebut dapat dibuktikan dengan munculnya komentar sinis dari cendekiawan NU—yang notabene menjadi ormas Islam terbesar di Indonesia—dalam menyikapi gerak perjuangan Nahdliyin lain ketika membela umat tertindas. Selain itu, tindak apatisme bisa bercokol di cendekiawan NU dikarenakan mereka lebih menghabiskan energi dalam pusaran politik identitas. Memang benar bahwa pada awalnya, NU muncul untuk menghadang laju Wahabisasi. Akan tetapi, bukankah selanjutnya NU meletakkan dasar gerakannya di bidang pendidikan, sosial dan ekonomi yang berpusat pada kebutuhan umat, sebagaimana yang termaktub dalam Khittah Nahdliyyah?

Apatisme seperti inilah yang menjadi sasaran kritik Hasan Hanafi dalam bukunya Min al-‘Aqidah ila ats-Tsaurah. “Padahal”, tulisnya, “kesadaran individu dan pengorganisasian massa tidak akan tercapai tanpa adanya revolusi tindakan, bukan hanya sekedar dengan diskusi dan tukar pemikiran. Realitas juga tidak akan berubah hingga para cendekiawan turba untuk mengorganisir kesadaran: dari kesadaran pribadi menuju kesadaran massa…. Karena sejatinya keimanan tidaklah berhubungan dengan Allah dalam tataran teoritis belaka, namun juga dalam capaian implementasi dan manifestasi (tauhid)”[1].

Kritik Hasan Hanafi mengenai revolusi pemikiran ini relevan dalam NU. Dalam bahsul masail yang diselenggarakan di muktamar lalu, terdapat pertanyaan mengenai hukum alih kuasa lahan dan beberapa pertanyaan seputar agraria. Seharusnya pasca kajian tersebut NU mulai memantapkan langkahnya dalam memperjuangkan hak para petani dan melawan cengkeraman tangan kapitalisme ekstraktif. Atau setidaknya mampu membuat formulasi Fikih Air sebagaimana yang dilakukan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah 2014 lalu[2].

Namun yang terjadi adalah sebaliknya. NU, terutama di wilayah strukturnya belum juga bergerak dari aras pemikiran menuju dimensi tindakan. Ini dibuktikan dengan tiadanya advokasi untuk para petani dan buruh yang sering mendapat perlakuan diskriminatif. Alih-alih advokasi, NU sendiri belum mengeluarkan pernyataan yang berisi dukungan kepada para petani tersebut. Jadi jangan disalahkan jika mereka merasa pesimis dengan NU struktural dan kemudian berpaling darinya. Kendati demikian, pesimis dalam hal ini tidak berarti hilangnya kepercayaan kepada para kiai pendiri NU dan memori perjuangan Gus Dur. Namun justru sebaliknya. Umat sedang merindukan sosok pendiri NU dan Gus Dur yang begitu intensif dalam memperjuangkan kepentingan rakyat dan berani melawan rezim oligarkis dan kapitalis.

Dalam suasana perayaan Hari Buruh Internasional, sebenarnya NU sudah mempunyai wadah yang mampu mengakomodir kebutuhan dan mengorganisir buruh, yaitu Sarikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi). Namun sayangnya NU kurang (atau tidak?) memaksimalkan banom ini. Dalam setiap kasus perburuhan, Sarbumusi jarang nyaring suaranya, alih-alih berhasil dalam mengadvokasinya. Apakah masih ada harapan untuk Sarbumusi? Selama masih ada usaha pembelaan hak buruh dan perlawanan terhadap kuasa industri,harapan tentu masih layak disematkan.

o0o
Pentingnya tafsir perlawanan dan pembebasan dalam Islam semacam ini adalah karena hal itu menjadi “pertanggungjawaban moral dan sosial Islam” kepada umatnya. Sebab Islam turun tidaklah ditujukan untuk pemujaan dan penghambaan diri kepada Allah, namun untuk kebaikan manusia itu sendiri, yaitu tercapainya kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dan dua kebahagiaan tersebut tidak akan pernah tercapai jika para ulama dan cendekiawannya tidak tergerak untuk melakukan perubahan, terutama dalam menyejahterakan umat.

Catatan Akhir:

[1] Hasan Hanafi, Min al-‘Aqidah ila ats-Tsaurah, jil. 1, (Lebanon: Dar at-Tanwir li ath-Thiba’ah wa an-Nasyr, 1988), hlm. 11.

[2] Naskah Fikih Air dapat diunduh di sini http://tarjih.muhammadiyah.or.id/download-seminar-fikih-air.html

Related Posts

Comments 1

  1. Wong Bebas Merdeka says:

    Agama itu adalah fiksi. Kitab Suci itu fiksi. Tuhan itu tidak lebih dari khayalan-khayalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.